Apa yang dimaksud dengan Difteri ?

Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit.

Apa yang dimaksud dengan Difteri ?

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang mudah menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Kuman ini menghasilkan eksotoksin yang menimbulkan gejala lokal dan umum. Gejala antara lain demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia sehingga penderita tampak sangat lemah. Gejala umum ini biasanya disertai gejala lokal setiap bagian yang terkena seperti pilek, nyeri telan, sesak nafas, suara serak. Gejala – gejala akibat eksotoksin tergantung pada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan syaraf, dan nefritis (Nelson, 2004).

Masa inkubasi difteri antara 2-5 hari. Masa penularan penderita difteri 2-4 minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan masa penularan karier bisa sampai 6 bulan (Departemen Kesehatan, 2007). Penularan terjadi apabila kontak dengan penderita difteri atau dengan karier difteri (terdapat kuman namun tidak menimbulkan gejala).

Bakteri ditularkan secara kontak langsung melalui batuk, bersin atau berbicara dan kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku atau mainan yang terkontaminasi oleh karena bakteri ini. Penegakan diagnosa melalui gejala yang dialami serta tanda klinis. Pemeriksaan laboratorium selalu dilakukan namun hasil laboratorium membutuhkan waktu yang lama (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

Bakteri Corynebacterium diphtheriae cukup resisten terhadap udara panas, dingin, kering, dan tahan hidup pada debu dan muntah selama 6 bulan (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

Bakteri Corynebacterium diphtheriae mati pada suhu 60˚C selama lebih 10 menit. Dengan menggunakan desinfektan dapat dengan mudah membunuh bakteri ini. Bakteri ini dapat terdispersi dengan debu. Sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri ini selama beberapa jam (Frobisher, 1978).

Patofisiologis Difteri

Penyakit difteri diawali dengan masuknya Corynebacterium diphtheriae ke dalam hidung atau mulut, kemudian tumbuh pada mukosa saluran nafas bagian atas terutama tonsil, kadang – kadang di daerah kulit, konjungtiva, atau genital. Bakteri kemudian memproduksi toksin. Toksin yang terbentuk diserap melewati membran sel mukosa, menimbulkan peradangan dan kerusakan epitel diikuti oleh nekrosis (Harrison, 2008).

Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi bakteri ini semakin banyak, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan terbentuknya membran palsu pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan berat bahkan bisa meluas sampai ke trakea dan kadang – kadang ke bronkus, diikuti pembengkakan jaringan lunak di bawah mukosanya. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas (Harrison, 2008).

Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk ke dalam peredaran darah menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di beberapa organ tubuh terutama pada jantung, ginjal, dan jaringan syaraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis dan payah jantung. Kerusakan jaringan syaraf akan menimbulkan paralisis terutama pada palatum mole, otot mata, dan ekstremitas. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran nafas (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

Manifestasi klinis

Penyakit difteri yang diserang utamanya adalah saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari penyakit ini adalah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel rusak, lalu terbentuklah membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman inimengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis

Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal. (Depkes,2007)

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

  • Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.

  • Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

  • Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Difteri pada umumnya merupakan penyakit pada anak. Manifestasi klinis disebakan oleh penyebaran toxin diphtheria. Manifestasi klinis difteri dapat berupa :

  • Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingusyang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bilatidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utamapenularan.

  • Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil dengan gejala radang akuttenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

  • Difteri laring (laryngo trachealdiphtheriae) dengan gejala tidak bisabersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

  • Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

Patogenesis

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampaike hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan kepita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau bendamaupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.

Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. (Ditjen P2PL Depkes,2003)

difteri

Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis pasien. Penegakan diagnosis difteri didasarkan pada temuan klinis tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Hal ini dikarenakan preparat smear kurang dipercaya, dan hasil kultur membutuhkan waktu beberapa hari.

Temuan berupa faringitis dan/atau laryngitis disertai dengan pseudomembran, hoarseness dan stridor, cervical adenitis dan bullneck merupakan temuan klinis bermakna sehingga pasien harus segera diterapi dengan antitoksin. Pemeriksaan mikrobiologi biasanya menggunakan blood tellurite untuk isolasi bakteri.

Gejala Penyakit

Gejala klinis penyakit difteri adalah :

1.Panas lebih dari 38 °C
2. Ada psedomembrane di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi.(Ditjen P2PL Depkes,2003)

Diagnosis banding

  • Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).

  • Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

  • Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

  • Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

Komplikasi

Komplikasi dapat dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :

  1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
  2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
  3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjutmenjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibatkelumpuhan, dan kerusakan ginjal.

Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi antara lain :

  • Miokarditis
  • Neuritis

Pencegahan

Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi tak akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali.

Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar daripada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri.

Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi terjadinya difteri.(Kartono,2008)

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan.

Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus ) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan.

Imunisasi DPTdiberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnyadiberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1. (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005)

Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.

Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.

Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakatterutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan.

Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah.Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih.

Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.

Pengobatan

Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria ditegakkan. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit:

  • Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular
  • Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
  • Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
  • Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
  • Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
  • Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
  • Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan secara intravena. 1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.

Langkah-langkah pemberian ADS :

Jika uji sensitivitas positif : BESREDKA

  1. 0,05 ADS ditambah 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
  2. 0,1 ADS ditambahkan 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
  3. 0.1 ADS murni diberikan injeksi SC
  4. 0,2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
  5. 0,5 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
  6. 2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
  7. 4 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
  8. Sisanya diberikan semua bergantian kiri dan kanan

Atau bila keadaan penderita tidak memungkinkan bisa diberikan bertahap dengan jarak 15 menit. Bila pada waktu pemberian BESREDKA terjadi alergi maka suntikan dosis obat diulang sama dengan 1 tingkat/1 tahap sebelumnya.

Jika uji sinsitivitas negative: Diberikan melalui infus (Drip)

  1. Pasang infus D5 ¼ Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat ringan difteri yang dialami, kemudian diberikan harus habis dalam waktu 4-6 jam.

    • Bila mendapat ADS 20.000 bisa langsung diberikan secara IM, asal pasien tidak panas atau nadi stabil/baik.
    • Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka tetesan diperlambat dan bila masih alergi pemberian diganti dengan cara BESREDKA.
  2. Antibiotik

    • Penicillin procain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari berturut-turut
    • Eritromycin 40-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari
  3. Kortikosteroid
    Prednisone 2 mg/kgBB

  4. Pengobatan penyulit
    Tracheostomi dilakukan jika terjadi sumbatan jalan napas.

Difteri pertama kali ditemukan pada tahun 1884 oleh Loeffler. Difteri merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae (CD). Bakteri ini biasanya menyerang traktus respiratory bagian atas, menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa, dan pembentukan sebuah pseudomembrane. Walaupun infeksi ini pada umumnya menyerang bagian atas traktus respiratory seperti mukosa faring, dapat juga menyebabkan lesi sistemik dari jantung dan juga saraf (Hadfield et al., 2000). Corybacterium diphtheriae merupakan bakteri gram positif , aerobik , pleomorphic coccobacillus. CD menghasilkan sebuah toxin melalui lisogenisasi dengan corynebacteriophage yang membawa gen tox . Efek dari toksin CDinilah yang menyebabkan penyakit difteri(Zasada, 2015).Difteri dikenal sebagai sebuah pembunuh utama yang menyebabkan ribuan kasus kematian pada anak. Tingkat mortalitas mulai menurun drastis pada abad ke-21 setelah diperkenalkannya program imunisasi dan peningkatan taraf hidup (Byard, 2013).

Patofisiologi Difteri

Toksin CD mempunyai kapasitas invasif yang kecil tetapi mempunyai efek lokal dan sistemik. Toksin dari CD memiliki dua subunit, yaitu subunit A dan B. Subunit A mempunyai efek inhibisi terhadap sintesis protein, sedangkan subunit B yang menempel pada reseptornya, akan mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel sehingga merubah fungsi normal sebuah sel(Ryan & Ray, 2004).

Genyang mengkode toksin CD terdapat pada corynophages / corynobacteriophages (Holmes, 2000) . Toksin dari CD yang disekresi, membawa gen struktural tox yang ditemukan pada lisogenik corynobacteriophagesβ tox+, ϒ tox+, and ω tox+ yang membuat toksin dari CDberbahaya. Ekspresi dari gen diregulasi oleh host bakteri dan konsentrasi besi yang terkandung pada tubuh bakteri. Pada kondisi dimana konsentrasi besi yang rendah, regulator gen terinhibisi dan menyebabkan kenaikan produksi toksin.

Seiring dengan peningkatan toksin, efek dari toksin itu sendiri meluas tidak hanya pada area dimana bakteri berkolonisasi. Walapun toksin Cd ini tidak memiliki target organ spesifik, tetapi miokardium dan saraf perifer lebih sering terkena dampaknya (Hadfield et al., 2000). Toksin CDadalah toksin poten yang mempunyai efek letal pada beberapa spesies seperti manusia, monyet, dan kelinci, dimana dosis sekitar 100-150 ng/Kg dapat memberikan yang serius (Zasada, 2015).

Manifestasi Klinis

Mukosa traktus respiratori bagian atas merupakan tempat infeksi utama. Pada orang dewasa lebih sering pada mukosa oral, mukosa bukal, bibir, palatum, dan lidah. Corybacterium diphtheriae berkolonisasi pada permukaan membran mukosa dan menyebabkan pembentukan dari pseudomembran yang berwarna putih dan setelah beberapa waktu akan menjadi warna abu – abu kotor. Pada tahap terakhir dapat menyebabkan warna hijau atau hitam yang merupakan hasil dari nekrosis. Pada limfonodi bisa terdapat pembesaran dan muncul warna merah kehitam – hitaman yang merupakan tanda – tanda perdarahan. Sebagai respon dari infeksi, menyebabkan terjadinya limfadenitis akut non-spesifik (Hadfield et al., 2000).

Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5hari, gejala biasanya diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk pseudomembran pada jaringan lunak uvula dan tonsil setelah 24 jam sebagai efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak adalah bull neck yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah bening leher (Byard, 2014). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan dari pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal , seluruh faring. Jaringan lunak palatum, uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik ini dapat menembus ke otot rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem (Byard, 2013).

Insiden komplikasi neurologis pertama kali diindikasikan dengan terjadinya neuropati dimana terjadi paralisis dari palatum lunak dan dinding posterior faring. Seteleah itu, neuropati saraf kranial menyebabkan paralisis dari okulomotor dan siliari yang disebabkan karena disfungsi dari nervus fasial, faringeal, atau laringeal yang menyebabkan gangguan pada aspirasi (Hadfield et al., 2000).

Komplikasi dan efek letal difteri disebabkan adanya obstruksi respiratori atau efek sistemik dari DT yang diabsorbsi pada lokasi infeksi. Obstruksi secara mekanik jalur nafas disebabkan oleh pseudomembran, edem, dan perdarahan yang terjadi secara mendadak dan lengkap menyebabkan terjadinya sesak nafas. DT yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ, terutama pada jantung dan saraf. Pada jantung, DT menyebabkan terjadinya miokarditis yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif. Pada saraf, DT menyebabkan terjadinya paralisis pada otot – otot pernafasan dan juga otot okulomotor. Kombinasi dari ketiga manifestasi difteri yang menyebabkan penyakit infeksi ini memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (Ryan & Ray, 2004).

Determinan Terjadinya Difteri

Berdasarkan keterangan dari kementrian kesehatan, kasus difteri di Indonesia mulai hilang pada tahun 1990, kemudian muncul kembali pada tahun 2009 dan terus mengalami peningkatan jumlah kasus pada tahun-tahun setelahnya. Dalam penelitian sebelumnya menyebutkan ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan munculnya penyakit difteri, diantaranya adalah riwayat imunisasi, faktor kepadatan hunian rumah yang tinggi, dan juga faktor pendidikan yang rendah dari ayah dan ibu (Sariadji et.al., 2016).

Difteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring, hidung, laring, selaput mukosa, kulit dan terkadang konjungtiva serta vagina. Penyakit ini dapat menyerang seluruh lapisan usia, tetapi lebih sering pada anak-anak, terutama pada anak yang tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri penyebab difteri.

Difteri merupakan penyakit yang mengancam jiwa. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Tingkat kematian akibat penyakit ini paling tinggi di kalangan bayi dan orang tua, kematian biasanya terjadi pada tiga sampai empat hari pertama timbulnya penyakit (Cahyono, 2010).

Sumber utama penularan penyakit ini adalah manusia. Penularan terjadi melalui udara pernapasan saat kontak langsung dengan penderita atau pembawa (carier) kuman. Seorang penderita difteri dapat menularkan penyakit sejak hari pertama sakit sampai 4 minggu atau sampai tidak ditemukan lagi bakteri pada lesi yang ada.

Seorang pembawa (carier) kuman dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan (Cahyono, 2010). Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan seumur hidup. Pencegahan yang paling efektif dilakukan melalui vaksinasi (Cahyono, 2010).