Apa saja Tujuan atau Hikmah terkait Pengharaman Menikahi Bekas Istri Ayah?

Pernikahan

Pernikahan adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Apa saja tujuan atau hikmah terkait pengharaman menikahi bekas istri ayah ?

‘Janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).’ (QS. an-Nisa’: 22)

Dalam ayat tersebut, telah dijelaskan tiga hikmah dibelakang pengharaman menikahi bekas istri ayah.

  • Pertama, istri ayah berkedudukan sebagai ibu.

  • Kedua, agar jangan seorang anak menggantikan posisi ayahnya, sehingga ia mengkhayalkan sebagai tandingannya. Secara naluriah, kebanyakan seorang suami tidak suka kepada bekas suami pertama istrinya, sehingga si anak akan membenci ayahnya.

  • Ketiga , supaya tidak terjadi kesamaran dalam masalah kewarisan bagi istri ayah, yang mana hal ini sangat dominan di kalangan jahiliyah.

Seperti yang sudah diketahui, bahwa sebagian kabilah Arab memiliki tradisi bahwa seorang laki-laki bisa mewarisi istri ayahnya; apabila seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan seorang istri, maka anak laki-laki lebih berhak atas perempuan tersebut, jika mau ia menikahinya apabila tidak berstatus sebagai ibunya, atau ia menikahkannya dengan siapa pun laki-laki yang ia mau. Ada beberapa contoh nyata tentang laki-laki yang menikahi istri ayahnya.

Di kalangan bangsa Arab ada seseorang yang menikahi anak perempuannya, yaitu Hajib bin Zararah. Ia menganut agama Majusi dan melakukan tindakan tersebut. Lalu Allah melarang kaum mukminin dari kebiasaan ayah-ayah mereka terkait perilaku dan aib yang menjijikkan ini.

Menikahi bekas istri ayah ini mengandung kesan yang tidak disukai, yang menjatuhkan derajat kemanusiaan si wanita dan si laki-laki sekaligus, padahal mereka berasal dari diri yang satu, dan menghinakan salah satunya berarti menghinakan yang lainnya. Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini dan sebagai perbuatan yang keji, dibenci, dan dimurkai, serta sebagai jalan hidup yang buruk. Kecuali, yang telah terjadi di masa lalu pada zaman jahiliyah, sebelum Islam datang mengharamkannya. Apa yang sudah berlalu itu dimaafkan dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Allah Swt. menyebut pernikahan dengan istri ayah sebagai pernikahan maqt, yakni pernikahan yang dibenci dan dianggap rendah, karena merupakan pernikahan yang mengandung kebencian yang diarahkan kepada pelakunya. Bangsa Arab menyebut anak yang menikahi istri ayahnya sebagai al-maqti , yang dibenci. Karenanya, Allah Swt. berfirman, 'Dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). ’ Yakni sejelek-jelek jalan dan pedoman yang ditempuh pelakunya, sebab dampak yang diterima adalah adzab Allah. Maka, tidak halal di dalam Islam menikahi istri ayah. Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsir al-Wasith karya Wahbah al-Zuhaili meriwayatkan, ‘Setiap perempuan yang telah dinikahi ayahmu, baik telah menggaulinya atau belum menggaulinya, maka perempuan itu haram (dinikahi).’

Sebagaimana haram menikahi istri ayah, diharamkan juga menikahi istri kakek. Pelakunya berhak mendapatkan adzab karena telah menikahi perempuan yang telah dinikahi ayah atau kakek, kecuali yang telah berlalu pada masa jahiliyah dimana tindakannya tersebut dimaafkan. Pernikahan jenis ini adalah tindakan keji yang ditolak oleh akal, dibenci oleh syariat, dan merupakan seburuk-buruk jalan yang ditempuh dalam pandangan tradisi.