Apa yang Anda ketahui tentang makna pernikahan dalam Islam?

Pernikahan Islam

Pernikahan merupakan perjanjian antara kedua pasangan yang siap menjalani hidup bersama berdampingan hingga akhir haya dengan dihadapan Tuhan-Nya. Di dalam agama islam, pernikahan pun diatur sesuai dengan Al-quran dan hadist agar setiap pernikahan dapat menjadi pernikahan yang sakinah mawaddah dan warahmah.

Apa makna pernikahan dalam islam ?

Perkataan nikah berasal dari bahasa arab yang berarti berkumpul atau bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebut juga dengan perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkan sama dengan kata mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan kata perkawinan.

Perkataan nikah dan kawin keduanya sama terkenal dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam Fiqih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau ziwaj yang juga banyak terdapat dalam dalam Al Quran, kedua kata tersebut mempunyai persamaan yaitu sama-sama berarti berkumpul.

Pengertian nikah atau ziwaj secara bahasa syariah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertian secara majasi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang pengertian majsinya adalah akad, kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan namun pengertian yang lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majasi, yaitu akad. Al-Qadhli Husain mengatakan bahwa arti tersebut adalah yang paling shahih. Ada yang mengatakan bahwa pengertian bahasa dari kata nikah dan ziwaj adalah musytarak (mengandung dua makna) antara wathi’ dan akad dan keduanya merupakan makna hakiki.

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah memberikan
pengertian nikah sebagai berikut:

Artinya:”Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Kata nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu nakaha- yankihu-nikahan , artinya mengawini atau menikah.

Nikah, dari segi istilah, dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nikah adalah ikatan suami istri dengan ungkapan yang mengarah pada pernikahan atas kesaksian dua orang yang baik dan kehadiran seorang wali.

Perkawinan adalah ikatan kuat yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara bersamaan atas dasar cinta, ikhlas, pengorbanan, dan bersama merasakan kebahagiaan dan kepahitan dalam hidup sampai keduanya dipisahkan oleh kematian.

Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat ar- Ruum ayat 21:6

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri/pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

Tabiat manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki keinginan untuk mencinta dan dicinta sehingga dijadikanlah pernikahan sebagai media mawaddah wa rahmah. Mawaddah diartikan sebagai bentuk kasih sayang karena kebutuhannya sendiri, sedangkan rahmat sebagai bentuk kasih sayang karena kebutuhan pihak lain. Jadi, pernikahan adalah media untuk mengasihi pasangan karena ia sendiri membutuhkan pendamping dan menyayanginya karena pasangannya juga ingin didampingi.

Betapa pentingnya pembinaan perkawinan/keluarga yang sehat dan bahagia (keluarga sakinah), sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an:

Artinya : ”Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruan-Ku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. (QS. asy-Syuura: 23)

Sudah menjadi sunnatullah menciptakan makhluk berpasangan begitupun manusia yang sejak awal penciptaannya sudah dirancang untuk memadu kasih dalam berkeluarga. Mayoritas pakar tafsir berpendapat bahwa awal mula penciptaan wanita adalah dari tulang rusuk pria.

Sebagai kesimpulan, Lafadz nikah mengandung tiga macam arti, yaitu:

  • Pertama , menurut bahasa, nikah ialah berkumpul atau menindas.

  • Kedua , arti nikah menurut ahli ushul. Di kalangan ulama ahli ushul (Ushul al-Fiqh) berkembang tiga macam pendapat tentang arti lafadz nikah.

    • Menurut ahli ushul golongan Hanafi, nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.

    • Menurut ahli ushul golongan Syafi‟iyah, nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh.

    • Menurut Abu al-Qasim Az-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah bahwa nikah artinya antara akad dan setubuh.

  • Ketiga, arti nikah menurut ulama fiqh. Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.

Syarat-syarat pernikahan ada dua, yaitu sebagai berikut:

  • Pertama, perempuanya halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin menjadikanya istri. Jadi, perempuanya itu bukanlah merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara mapun selama-lamanya.

  • Kedua, akad nikahnya dihadiri para saksi. Dalam hal ini meliputi masalah-masalah berikut:

  1. Hukum mempersaksikan

    Menurut jumhur ulama’ pernikahan yang tidak dihadiri oleh para saksi adalah tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi, sekalipun diumumkan kepada orang ramai maka pernikahanya tetap tidak sah.

  2. Syarat-syarat menjadi saksi

    Syarat-syarat menjadi saksi adalah berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan omongan dari kedua belah pihak yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapanya itu maksudnya adalah sebagai ijab dan qabul pernikahan.
    Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau orang-orang yang sedang mabuk, maka pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada.

Adapun untuk syarat menjadi seorang saksi adalah sebagai berikut:

  • Bersifat adil

    Menurut golongan Imam Syafi’I berpendapat bahwa untuk menjadi seorang saksi harus adil sebagaimana disebutkan dalam hadist: “tidak sah menikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. Menurut mereka ini disyari’atkan jika dalam suatu pernikahan yang belum di ketahui kepastian adil-tidaknya.

    Disini mengenai saksi yang adil ada dua pendapat: menurut Syafi’i pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil- tidaknya, pernikahannya sah.
    Karena, pernikahan itu terjadi di berbagai tempat dikampung- kampung, daerah-daerah terpencil, dan kota, di mana ada orang yang belum bisa di ketahui adil dan tidaknya, hal ini akan menyulitkan. Oleh karena itu cukuplah dilihat dari segi lahirnya saja bahwa dia bukan orang yang fasiq.

  • Laki-laki

    Golongan Syafi’i dan Hambali mensyari’atkan saksi haruslah laki- laki. Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua orang perempuan adalah tidak sah. Sebagaimana yang Rasulullah ajarkan bahwa tidak boleh seorang perempuan menjadi saksi dalam urusan pidana, pernikahan dan talak. Akad nikah bukanlah satu perjanjian kebendaan dan bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan dan biasanya yang menghindari hal itu adalah laki-laki. Jadi tidak sah jika seorang laki-laki dan dua orang perempuan menjadi saksi dalam pernikahan.

  • Harus merdeka

    Abu Hanifah dan Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad tidak mengharuskan syarat ini. Dia berpendapat akad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, dan kerena dalam al-Qur’an maupun Hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya
    tidak boleh ditolak.

  • Harus orang Islam

    Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin al-Hasan, pernikahan tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang Islam, sedang kesaksian orang non Muslim terhadap orang Islam tidak dapat di terima.