Apa saja tipe-tipe dalam Perilaku Pemilih ?

Perilaku memilih

Perilaku memilih adalah serangkaian kegiatan membuat keputusan yaitu memilih atau tidak memilih

Apa saja tipe-tipe dalam Perilaku Pemilih ?

Popkin membedakan antara pilihan potitik sebagai wujud perilaku politik dengan pilihan pribadi tethadap produk-produk konsumtif sebagaimana dalam perilaku ekonomi. Menurutnya ada empat hal yang membedakan perilaku tersebut, yaitu :

  • Pertama, memilih kandidat politik, secara tidak Iangsung dirasakan manfaatnya sebagaimana pilihan terhadap produk konsumtif, melainkan manfaatnya diperoleh di masa depan.

  • Kedua, pilihan politik merupakan tindakan kolektif dimana kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Jadi pilihan seseorang senantiasa mempertimbangkan pilihan orang lain.

  • Ketiga, pilihan politik senantiasa diperhadapakan dengan ketidakpastian utamanya untuk memenuhi janji politiknya.

  • Keempat, pilihan politik membutuhkan informasi yang intensif demi tereapainya manfaat dimasa depan.

Kemudian juga, secara umum tipe perilaku pemilih sebagaimana yang dikemukakan oleh Newman dterdiri atas segmen- segmen sebagai berikut :

  1. Segmen pemilih rasional, Yaitu kelompok pemilihan yang mernfokuskan perhatiannya pada faktor isu dan kebijakan kontestan dalam menentukan pilihan politiknya.

  2. Segmen pemilih emosional, Yaitu kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu seperti kesedihan, kekhawatiran, dan kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan pilihan politiknya. Faktor emosional ini sangat ditentukan oleh personalitas kandidat.

  3. Segmen pemilih sosial, Yaitu kelompok pemilih yang mengasosiasikan kontestan dengan kelompok- kelompok sosial tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.

  4. Segmen pemilih situasional, Yaitu kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.

Selanjutnya Nimmo menurunkan pemberian suara ke dalam empat alternatif tindakan yakni :

  1. Pemberian suara rasional

    Tindakan pemberi suara yang rasional memperhitungkan cara atau alat yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemberi suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada pilihan politik, disamping itu, berminat secara aktif terhadap politik, sehingga memperoleh informasi. Pemilih rasional cukup pengetahuan mengenai berbagai alternatif, bertindak berdasarkan prinsip bukan secara kebetulan atau kebiasaan. melainkan bertindak dengan mempertimbangakan bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Pemilih rasional cenderung memilih altematif yang peringkat preferensinya paling tinggi.

  2. Pemberian suara reaktif

    Bersumber dari asumsi fisikalistik bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan dengan cara pasif dan terkondisi terhadap kampanye politik oleh partai dan kandidat yang menyajikan isyarat dengan maksud menggerakan arah perilaku pemilih dalam memberikan suara. Ikatan emosional kepada partai politik merupakan konstruk yang paling penting yang menghubungkan pengaruh sosial dengan pemberian suara bagi pemilih yang reaktif. Sumber utama aksi dari pemberi suara yang reaktif yaitu sekedar mengasosiasikan lambang partai dengan nama kandidat mendorong mereka yang mengidentifikasikan diri dengan partai atau kandidat untuk mengembangkan citra yang lebih menguntungkan tentang catatan dan pengalamannya, kemampuannya dan atribut personalnya. Oleh karena itu, identifikasi dengan partai meningkatkan tabir perseptual yang melalui tabir itu individu melihat apa yang menguntungkan bagi kepartaiannya.

  3. Pemberi suara responsif

    Yaitu pemberi suara yang inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa, politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara. Terdapat perbedaan antara pemberi suara responsif dengan reaktif antara lain,

    1. meski suara responsif dipengaruhi oleh karakter sosial dan demografis mereka, pengaruh yang pada hakikatnya merupakan atribut yang permanen ini tidak deterministik.

    2. pemberi suara responsif memiliki kesetiaan terhadap partai, tetapi afiliasi ini tidak menentukan perilaku pemilihan karena ikatan kepada partai tidak emosional.

    3. pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek yang penting dalam pemilihan umum, ketimbang oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kcpada partai. Pemberi suara yang responsif bukanlah gambaran pemilih yang dibelenggu oleh determinan sosial atau didorong oleh alam bawah sadar yang dipicu oleh propaganis yang luar biasa terampilnya. Ia lebih merupakan gambaran tentang pemilih yang digerakan oleh perhatiannya terhadap masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintah dan tentang kepribadiaan eksekutif.

  4. Pemberi suara aktif

    Manusia bertindak terhadap suatu objek yang dilihatnya, memberinya makna dan menggunakan makna itu untuk mengarahkan tindakannya. Bila pandangan demikian, individu yang aktif itu menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk bertindak bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya, yang terhadapnya orang menanggapi karena silat atribut dan sikap individu atau jangkauan rangsangan yang terbatas. Keterlibatan aktif mencakup orang yang. menginterpretasikan peristiwa, isu, partai dan personalitas. Dengan demikian menetapkan dan menyusun maupun menerima serangkaian pilihan yang diberikan.

Konsep Perilaku Pemilih

  • Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah (Efriza,2012:480) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam institusi politik seperti parpol.

Perilaku Pemilih dalam Perpektif

444

  • Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing:
    • pendekatan sosiologi,
    • psikologi,
    • pilihan rasional.
  1. Pendekatan sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia School). (Dieter Roth, 2008). Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial, setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dsb. Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu : status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi.
  • Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. (Dieter Roth, 2008). Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis.
  1. Selain pendekatan Sosiologis, pendekatan Psikologis juga bisa digunakan dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa. Meski begitu, pendekatan ini tidak dominan dibanding pendekatan Sosiologis. Dalam bukunya, Dieter Roth (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sosial psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu/utama. Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yakni identifikasi partai (party identification). Dalam pendekatan yang sama, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012) menjelaskan bahwa seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengna partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan ( political efficacy ).

  2. Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957). Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.

  • Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi. Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi politik tidak sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic Theory of Democracy ). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan sangatlah kecil.

  • Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih atas pilihannya biasanya sangat kecil.

  • Mencari informasi politik itu mahal dan perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai rational ignorance (Bryan Caplan ; 2007, The Myth of Rational Voter ). Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya. Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik (terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat.

  • Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem suara terbanyak tidak selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan agregasi dari berbagai kepentingan individu ( Kenneth Arrow‟s Impossilibty Theorem ).

    “Non voters think it‟s not worth their while to physically go through the process of voting because their votes won‟t make any difference, statistically speaking. Some of them don‟t vote because they want to make informed decisions and the cost to get and process that information is more than the expected benefit. On the other hand, most people who vote are politically ignorant. But this is done rationally. They choose to be ignorant because to be politically informed takes effort. They still go to voting booth because they get rewarded by feeling good having done their civic duty, trying to save the environment, helping the poor or whatever. That feeling is a reward, but not a big reward. So they spend some effort, but not that much that they become well informed. If the reward is bigger they‟ll probably be more informed.”

  • Apakah ini berarti demokrasi gagal? Bukan gagal, hanya tidak sempurna. Seperti dikatakan Churchill, “Democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time.” Karena manusia ini makhluk rasional, maka ketidakpedulian-nya-pun harus dirasionalisasi. Jadi pemilih tidak akan mengakui bahwa mereka tidak tahu banyak tentang kandidat, tapi cenderung mengaku sudah lebih tahu. Bahkan mereka merasa ketidakpedulian itu suatu kebaikan, misalnya dengan menganggap bahwa politik itu kotor.

  • Joko J. Prihatmoko (2005 ; 46) menjelaskan bahwa pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka „menunggu‟ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.

  • Prof. Miriam Budiarjo (2008;136) mendefinisikan prilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah ( public policy ). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan ( contacting ) atau ( lobbying ) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam dua besaran, yaitu:

  1. Perilaku Memilih Rasional
    Perilaku memilih ini, notabane disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih. Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu.

  2. Perilaku Memilih Emosional
    Sementara untuk perilaku memilih ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi maupun sosiopsikologi.

  • Perilaku pemilih dan partisipasi politik menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan (1990). Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.

  • Sementara itu menurut Surbakti perilaku pemilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaiatan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih didalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. (1997)

  • Selanjutnya menurut Firmanzah (2007), ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi pertimbangan pemilih, yakni:

    • Kondisi awal pemilih, ini dimaksudkan bahwa karaktristik yang melekat dalam diri pemilih. Setiap individu memiliki sistem nilai, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mewarisi kemampuan yang berbeda-beda pula. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi individu ketika mengambil keputusan politik.
    • faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media massa yang memuat data, informasi dan berita berperan penting dalam mempengaruhi oponi dimasyarakat. Demikian pula dengan pemaparan para ahli, iklan politik, hasil seminar, survey dan berbagai hal yang diulas dalam media massa akan menjadi pertimbangan pemilih.
    • Faktor parpol atau kontestan, pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi dan kualitas para tokoh- tokoh parpol dengan pandangan mereka masing-masing. Dalam hal ini masyarakat lebih sering melakukan penilaian terhadap figur tokoh parpol, sekaligus menjadi barometer mereka dalam menilai parpol yang bersangkutan.
Referensi

Arifin Anwar. 2015. Perspektif Ilmu Politik. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Budiardjo Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Sebuah Bunga
Rampai
Budiardjo Miriam. 1994. Pengatar Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Gaffar Afan. 1992. Javanese Voters :A Case Study Of Election Under A Hegemonic Party System. Gajahmada University Press: Yogyakarta

McClosky Herbert. 1972. Political Participation. International Encyclopedia of the Social Sciences Edisi 2. New York: The Macmillan Company

Huntington Samuel P. 1968, Political Order in changing Societies. New Heaven: Yale University Press.

Key V. O. 1966. The Responsible Electorate. Camridge: Harvard University