Model Perilaku Memilih
Setidaknya terdapat tiga pendekatan yang selama ini menjadi basis dalam membaca perilaku memilih yaitu:
- The Columbia Study
- The Michigan Model,
- Rational Choice* (Bartels, 2012; Roth, 2008).
Ketiga pendekatan tersebut lebih dikenal dengan istilah sosiologis, psikologis dan pilihan rasional. Selain itu, terdapat juga pendekatan berbeda yang dikembangkan oleh Lau dan Redlawsk (2006) yakni:
- rational choice
- early socialization
- fast and frugal
-bounded rationality.*
- The Columbia Study*
Dipelopori oleh Lezarsfeild pada tahun 1940. The Columbia Study kemudian lebih dikenal dengan model atau pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis memperlihatkan bahwa ada pengaruh antara nilai-nilai sosiologis yang menempel pada diri individu yang memengaruhi perilaku seseorang dalam politik. Nilai-nilai sosiologis tersebut berupa agama, kelas sosial, etnis, daerah, tradisi keluarga dan lain-lain (Bartels, 2012).
Berangkat dari teori lingkaran sosial, setiap manusia terikat dalam berbagai lingkaran sosial seperti misalnya keluarga, tempat kerja, pertemanan dan lain sebagainya, teori ini kemudian digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Asumsinya bahwa seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaan dan usianya, sehingga mendefinisikan lingkaran sosial yang memengaruhi keputusan pemilih, disebabkan kontrol dan tekanan sosialnya (Roth, 2008). Menurut Roth (2008), model sosiologis dapat memberi penjelasan yang sangat baik pada perilaku memilih yang konstan. Hal ini disebabkan kerangka struktural masing-masing individu yang hanya berubah secara perlahan.
Namun, model sosiologis tidak dapat menjelaskan mengenai penyebab pindahnya pilihan politik individu. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa basis analisis utama dari model ini adalah kondisi sosial, bukan menjadikan individu sebagai pusat analisis. Adapun instrumen yang menjadi basis analisis sosiologis yakni agama, etnis, pendidikan, tempat tinggal (desa- kota), pekerjaan, gender, umur dsb (Mujani et al ., 2012). Begitu halnya dengan geopolitik (kedaerahan), juga merupakan basis analisa perilaku politik dalam model sosiologis.
- The Michigan Model
Sebuah metode untuk mengetahui perilaku memilih yang berkembang awal tahun 1950-an. The Michigan Model kemudian dikenal dengan nama pendekatan psikologis yang uraiannya secara lengkap dapat dilihat dalam “ The American Voter ” (1960) ditulis oleh Campbell, Converse, Miller, dan Stokes. Berbeda dengan model sosiologis, dalam model psikologis, adanya keterikatan/ dorongan psikologis yang membentuk orientasi politik seseorang. Ikatan psikologis tersebut disebabkan oleh adanya perasaan kedekatan dengan partai atau kandidat. Persepsi dan penilaian individu terhadap kandidat atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan pemilu. Secara sederhana menurut Roth (2008), pendekatan psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan pemilu melalui trias determinant :
-
Identifikasi partai (Party ID),
-
Orientasi kandidat
-
Orientasi isu.
Funnel Causality (diadaptasi dari Campbell et al ., 1960 oleh Dalton, 2002)
-
Pada bagian corong yang lebar adalah kondisi sosial ekonomi yang menghasilkan pembagian politik yang luas dari masyarakat: struktur ekonomi, perpecahan sosial seperti ras atau agama, dan keberpihakan sejarah. Faktor-faktor ini memengaruhi struktur dalam sistem kepartaian, tetapi tidak memengaruhi keputusan suara pemilih. Ketika bergerak melalui saluran kausal, kondisi sosial ekonomi memengaruhi loyalitas kelompok dan orientasi nilai dasar. Misalnya, kondisi ekonomi mungkin mengikat individu kepada kelas sosial, atau identitas daerah dapat membentuk reaksi terhadap kesenjangan sosial dan politik. Dengan demikian, kondisi sosial dijabarkan ke dalam sikap yang secara langsung dapat memengaruhi perilaku politik individu. Pada corong kausalitas yang menyempit merupakan sebuah loyalitas kelompok dan prioritas nilai yang terhubung ke sikap politik yang lebih eksplisit.
Ujung lebar dari corong mewakili kondisi sosial yang luas, menunjukkan bahwa struktur sosial jauh dari keputusan pemilih yang sebenarnya. Ketika bergerak melalui corong, perhatian bergeser ke faktor-faktor yang secara eksplisit politis, melibatkan keyakinan dan pengetahuan individu. Karakteristik sosial itu dilihat sebagai aspek penting dari proses pemungutan suara, tetapi pengaruh utama adalah dalam membentuk orientasi politik. Sebagian besar dampak langsung dari karakteristik sosial pada pemilih dimediasi oleh disposisi sikap. Sikap, pada gilirannya, tergantung pada loyalitas kelompok dan orientasi nilai individu, serta rangsangan eksternal seperti teman-teman, media, kebijakan pemerintah, dan kegiatan kampanye (Dalton, 2002).
Model ini menjelaskan keputusan suara individu didasarkan dalam tiga sikap: partisanship (keberpihakan), pendapat terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat terhadap perilaku memilih (Dalton, 2002). Partisanship sebagai salah satu konsep dalam pendekatan psikologis adalah kedekatan psikologis yang merupakan hubungan yang stabil dan bertahan lama dengan partai politik. Situasi di mana individu memilih kelompok rujukan, walaupun mereka tidak menyatu didalamnya dan mulai bertindak sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai aturan kelompok tersebut. Identifikasi dengan partai disebut dengan istilah party ID , yakni perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, bahwa ia mengidentikan diri sebagai orang partai tertentu, atau bahwa ia merasa dekat dengan partai politik tertentu.
- Rational choice
Rational choice adalah sebuah pendekatan perilaku memilih yang merupakan kritik terhadap dua model pendekatan yang sudah ada yaitu pendekatan sosiologis dan psikologis. Ada kegelisahan ilmuwan melihat perubahan- perubahan perilaku memilih yang tidak bisa dijelaskan oleh dua pendekatan tersebut. Latar belakang teoritis untuk penjelasan pendekatan ini berangkat dari teori ekonomi (Mujani et. al, 2012; Bartels, 2012). Model ini merupakan upaya untuk menjelaskan perilaku memilih yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Premisnya sederhana, jika asumsi pilihan rasional mampu menjelaskan pasar, maka hal ini juga dapat menjelaskan fungsi politik. Operasi model ini didasarkan bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih bersifat rasional, yakni dipandu oleh kepentingan diri sendiri dan diberlakukan sesuai dengan prinsip maksimalisasi manfaat. Pilihan politik pemilih yang rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau kandidat tertentu dalam politik, baik hasil yang dipersepsikan maupun yang diantisipasi (Roth, 2008).
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, ketiga model tersebut tidak harus bertentangan. Sebaliknya, ketiganya mempunyai pengaruh relatif terhadap pilihan politik (Mujani et al ., 2012). Singkatnya, dalam studi perilaku memilih, sejatinya dilihat dalam pendekatan probabilistik bukan deterministik, karena semua faktor dapat berpengaruh. Jadi, yang dilihat pada sisi proporsionalitas faktor, seberapa besar faktor yang dominan dan mampu menjelaskan pilihan politik dengan lebih baik.
Referensi
Dalton, R. J. (2002). Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Industrial Democracies . New York: Chatham House Publishers.
Bartels, L. M. (2012). “The Study of Electoral Behavior” dalam Jan E. Leighley (ed) The Oxford Handbook of American Elections and Political Behavior . Oxford: Oxford University Press.
Roth, D. (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen dan Metode . Jakarta: Friderich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit.