Apa yang dimaksud dengan Perilaku Memilih ?

Perilaku Memilih

Didalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilihan umum menjadi syarat utamanya. Tetapi kenyataannya, masih banyak anggota masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya didalam kegiatan pemilihan umum, hal ini disebabkan perilaku memilih yang kurang.

Apa yang dimaksud dengan Perilaku Memilih ?

Perilaku memilih adalah serangkaian kegiatan membuat keputusan yaitu memilih atau tidak memilih (Cholisin 2004). Sedangkan menurut Prihatmoko (2008) perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagi rangkaian pembuatan keputusan.

Perilaku Politik

Menurut Ramlan Surbakti, (1992) seecara umum perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono Sastroadmodjo (1993) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu kehidupan bermasyarakat.

Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter, machialvelis dan demokrat.

Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik sebagai berikut:

  1. Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa.

  2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan.

  3. Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu.

  4. Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992)

Perilaku Memilih

Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis.

Menurut Cholisin (2007), terdapat lima pendekatan dalam perilaku memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan pilihan rasional.

  1. Pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai.

  2. Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.

  3. Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.

  4. Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.

  5. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah.

Dalam memilih model juga dapat dilihat orientasi “policy-problem-solving” dan oreientasi ideologi, dimana keduanya akan menghasilkan tinggi dan rendahnya suatu intensitas. Dalam perilaku memilih, dilihat dari tinggi rendahnya intensitas, maka pemilih dapat dikategorikan sebagai berikut :

  • Pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas tidak begitu mementingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya.

  • Pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah menjabat.

  • Pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal adalah pemilih yang bisa dimobilisasi dalam periode kampanye (Rohrscheneider, 2002). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias yang tinggi.

  • Pemilih skeptis yang tidak memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput) dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah, 2008

Model Perilaku Memilih

xzGD

Setidaknya terdapat tiga pendekatan yang selama ini menjadi basis dalam membaca perilaku memilih yaitu:

  • The Columbia Study
  • The Michigan Model,
  • Rational Choice* (Bartels, 2012; Roth, 2008).

Ketiga pendekatan tersebut lebih dikenal dengan istilah sosiologis, psikologis dan pilihan rasional. Selain itu, terdapat juga pendekatan berbeda yang dikembangkan oleh Lau dan Redlawsk (2006) yakni:

  • rational choice
  • early socialization
  • fast and frugal
    -bounded rationality.*
  1. The Columbia Study*

Dipelopori oleh Lezarsfeild pada tahun 1940. The Columbia Study kemudian lebih dikenal dengan model atau pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis memperlihatkan bahwa ada pengaruh antara nilai-nilai sosiologis yang menempel pada diri individu yang memengaruhi perilaku seseorang dalam politik. Nilai-nilai sosiologis tersebut berupa agama, kelas sosial, etnis, daerah, tradisi keluarga dan lain-lain (Bartels, 2012).

Berangkat dari teori lingkaran sosial, setiap manusia terikat dalam berbagai lingkaran sosial seperti misalnya keluarga, tempat kerja, pertemanan dan lain sebagainya, teori ini kemudian digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Asumsinya bahwa seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaan dan usianya, sehingga mendefinisikan lingkaran sosial yang memengaruhi keputusan pemilih, disebabkan kontrol dan tekanan sosialnya (Roth, 2008). Menurut Roth (2008), model sosiologis dapat memberi penjelasan yang sangat baik pada perilaku memilih yang konstan. Hal ini disebabkan kerangka struktural masing-masing individu yang hanya berubah secara perlahan.

Namun, model sosiologis tidak dapat menjelaskan mengenai penyebab pindahnya pilihan politik individu. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa basis analisis utama dari model ini adalah kondisi sosial, bukan menjadikan individu sebagai pusat analisis. Adapun instrumen yang menjadi basis analisis sosiologis yakni agama, etnis, pendidikan, tempat tinggal (desa- kota), pekerjaan, gender, umur dsb (Mujani et al ., 2012). Begitu halnya dengan geopolitik (kedaerahan), juga merupakan basis analisa perilaku politik dalam model sosiologis.

  1. The Michigan Model

Sebuah metode untuk mengetahui perilaku memilih yang berkembang awal tahun 1950-an. The Michigan Model kemudian dikenal dengan nama pendekatan psikologis yang uraiannya secara lengkap dapat dilihat dalam “ The American Voter ” (1960) ditulis oleh Campbell, Converse, Miller, dan Stokes. Berbeda dengan model sosiologis, dalam model psikologis, adanya keterikatan/ dorongan psikologis yang membentuk orientasi politik seseorang. Ikatan psikologis tersebut disebabkan oleh adanya perasaan kedekatan dengan partai atau kandidat. Persepsi dan penilaian individu terhadap kandidat atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan pemilu. Secara sederhana menurut Roth (2008), pendekatan psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan pemilu melalui trias determinant :

  • Identifikasi partai (Party ID),

  • Orientasi kandidat

  • Orientasi isu.

    Funnel Causality (diadaptasi dari Campbell et al ., 1960 oleh Dalton, 2002)

  • image

Pada bagian corong yang lebar adalah kondisi sosial ekonomi yang menghasilkan pembagian politik yang luas dari masyarakat: struktur ekonomi, perpecahan sosial seperti ras atau agama, dan keberpihakan sejarah. Faktor-faktor ini memengaruhi struktur dalam sistem kepartaian, tetapi tidak memengaruhi keputusan suara pemilih. Ketika bergerak melalui saluran kausal, kondisi sosial ekonomi memengaruhi loyalitas kelompok dan orientasi nilai dasar. Misalnya, kondisi ekonomi mungkin mengikat individu kepada kelas sosial, atau identitas daerah dapat membentuk reaksi terhadap kesenjangan sosial dan politik. Dengan demikian, kondisi sosial dijabarkan ke dalam sikap yang secara langsung dapat memengaruhi perilaku politik individu. Pada corong kausalitas yang menyempit merupakan sebuah loyalitas kelompok dan prioritas nilai yang terhubung ke sikap politik yang lebih eksplisit.

Ujung lebar dari corong mewakili kondisi sosial yang luas, menunjukkan bahwa struktur sosial jauh dari keputusan pemilih yang sebenarnya. Ketika bergerak melalui corong, perhatian bergeser ke faktor-faktor yang secara eksplisit politis, melibatkan keyakinan dan pengetahuan individu. Karakteristik sosial itu dilihat sebagai aspek penting dari proses pemungutan suara, tetapi pengaruh utama adalah dalam membentuk orientasi politik. Sebagian besar dampak langsung dari karakteristik sosial pada pemilih dimediasi oleh disposisi sikap. Sikap, pada gilirannya, tergantung pada loyalitas kelompok dan orientasi nilai individu, serta rangsangan eksternal seperti teman-teman, media, kebijakan pemerintah, dan kegiatan kampanye (Dalton, 2002).

Model ini menjelaskan keputusan suara individu didasarkan dalam tiga sikap: partisanship (keberpihakan), pendapat terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat terhadap perilaku memilih (Dalton, 2002). Partisanship sebagai salah satu konsep dalam pendekatan psikologis adalah kedekatan psikologis yang merupakan hubungan yang stabil dan bertahan lama dengan partai politik. Situasi di mana individu memilih kelompok rujukan, walaupun mereka tidak menyatu didalamnya dan mulai bertindak sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai aturan kelompok tersebut. Identifikasi dengan partai disebut dengan istilah party ID , yakni perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, bahwa ia mengidentikan diri sebagai orang partai tertentu, atau bahwa ia merasa dekat dengan partai politik tertentu.

  1. Rational choice

Rational choice adalah sebuah pendekatan perilaku memilih yang merupakan kritik terhadap dua model pendekatan yang sudah ada yaitu pendekatan sosiologis dan psikologis. Ada kegelisahan ilmuwan melihat perubahan- perubahan perilaku memilih yang tidak bisa dijelaskan oleh dua pendekatan tersebut. Latar belakang teoritis untuk penjelasan pendekatan ini berangkat dari teori ekonomi (Mujani et. al, 2012; Bartels, 2012). Model ini merupakan upaya untuk menjelaskan perilaku memilih yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Premisnya sederhana, jika asumsi pilihan rasional mampu menjelaskan pasar, maka hal ini juga dapat menjelaskan fungsi politik. Operasi model ini didasarkan bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih bersifat rasional, yakni dipandu oleh kepentingan diri sendiri dan diberlakukan sesuai dengan prinsip maksimalisasi manfaat. Pilihan politik pemilih yang rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau kandidat tertentu dalam politik, baik hasil yang dipersepsikan maupun yang diantisipasi (Roth, 2008).

Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, ketiga model tersebut tidak harus bertentangan. Sebaliknya, ketiganya mempunyai pengaruh relatif terhadap pilihan politik (Mujani et al ., 2012). Singkatnya, dalam studi perilaku memilih, sejatinya dilihat dalam pendekatan probabilistik bukan deterministik, karena semua faktor dapat berpengaruh. Jadi, yang dilihat pada sisi proporsionalitas faktor, seberapa besar faktor yang dominan dan mampu menjelaskan pilihan politik dengan lebih baik.

Referensi

Dalton, R. J. (2002). Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Industrial Democracies . New York: Chatham House Publishers.

Bartels, L. M. (2012). “The Study of Electoral Behavior” dalam Jan E. Leighley (ed) The Oxford Handbook of American Elections and Political Behavior . Oxford: Oxford University Press.

Roth, D. (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen dan Metode . Jakarta: Friderich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit.

Konsep Perilaku Pemilih


Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah (Efriza, 2012) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam institusi politik seperti parpol.

Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia School). (Dieter Roth, 2008).

Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial, setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dsb. Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi.

Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. (Dieter Roth, 2008). Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis.

Selain pendekatan Sosiologis, pendekatan Psikologis juga bisa digunakan dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa. Meski begitu, pendekatan ini tidak dominan dibanding pendekatan Sosiologis. Dalam bukunya, Dieter Roth (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sosial psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu/utama. Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yakni identifikasi partai (party identification).

Dalam pendekatan yang sama, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012) menjelaskan bahwa seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengna partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).

Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957). Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang.

Joko J. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka “menunggu” sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.

Prof. Miriam Budiarjo (2008) mendefinisikan prilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam dua besaran, yaitu:

  • Perilaku Memilih Rasional.
    Perilaku memilih ini, notabane disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih. Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu.

  • Perilaku Memilih Emosional
    Sementara untuk perilaku memilih ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi maupun sosiopsikologi.

Perilaku pemilih dan partisipasi politik menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan (1990). Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.

Sementara itu menurut Surbakti perilaku pemilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaiatan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih didalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. (1997)

Selanjutnya menurut Firmanzah (2007;89), ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi pertimbangan pemilih, yakni:

  • Kondisi awal pemilih, ini dimaksudkan bahwa karaktristik yang melekat dalam diri pemilih. Setiap individu memiliki sistem nilai, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mewarisi kemampuan yang berbeda-beda pula. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi individu ketika mengambil keputusan politik.

  • Faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media massa yang memuat data, informasi dan berita berperan penting dalam mempengaruhi oponi dimasyarakat. Demikian pula dengan pemaparan para ahli, iklan politik, hasil seminar, survey dan berbagai hal yang diulas dalam media massa akan menjadi pertimbangan pemilih.

  • Faktor parpol atau kontestan, pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi dan kualitas para tokoh- tokoh parpol dengan pandangan mereka masing-masing. Dalam hal ini masyarakat lebih sering melakukan penilaian terhadap figur tokoh parpol, sekaligus menjadi barometer mereka dalam menilai parpol yang bersangkutan.