Apa saja macam-macam khalwat?

Khalwat

Khalwat merupakan perjalanan rohani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju dzat Maha Pemberi Segala.

Dalam kitab Risalah nya Imam Qusyairi membagi khalwat menjadi dua macam yaitu:

  • Khalwat secara lahir yaitu mengasingkan diri di dalam rumah dan dari pergaulan sesama manusia.

  • Khalwat secara batin yaitu batinnya tetep dalam musyahadah kepada asrorul Hak, namun lahirnya tetep bergaul dengan sesama manusia.

Sedangkan dalam menentukan lamanya khalwat para syaikh berbeda pendapat. Hal ini tergantung kepada thariqat dan ajarannya. Sa’id mengatakan, khalwat itu sangat tergantung kepada keadaan murid itu sendiri, waktu luangnya, kebutuhan hatinya, dan tujuan yang akan dicapai melalui khalwat itu sendiri.

Yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah ketulusan dan kemantapan niat. Karena ini adalah cara yang terbaik di waktu khalwat sedang dilaksanakan. Demikian juga kehati-hatian dan selalu mengadakan pengawasan atas perjalanan khalwat sangat diperlukan. Dengan demikian waktu lamanya tidaklah menjadi ukuran keberhasilan laku seorang murid. Tapi yang terpenting adalah kemantapan dan ketulusan niat dalam menjalaninya.

Sebelum Michaela Ozelsel mulai melakukan khalwat, Guru Mursyidnya mengingatkan, engkau jangan melakukan khalwat untuk kepentingan dirimu sendiri, Islam tidak mengenal kerahiban dan kependetaan, pengasingan diri hanya bersifat sementara, karena mengabdi kepada masyarakat, umat, lebih berguna setelah engkau keluar.

Dari pernyataan tersebut jelaslah kehidupan Islam yang benar justru perlu adanya pergaulan yang baik, berkumpul secra sehat, dan beramah tamah, serta bersahabat dengan mereka yang suka pada kebaikan. Dapat dipahami pula dalam khalwat di sini terkandung makna pemeliharaan jiwa. Selama jiwa bisa terpelihara dengan baik dalam musyahadah kepada asrarul Hak , maka bercampur dan bergaul dengan sesama manusia adalah lebih baik.

Nabi Muhammad melakukan khalwat selama 40 hari di gua Hira’ disusul khalwatnya selama beberapa hari ketika keputusan wahyu, kemudian Nabi Musa pun melakukan khalwat di bukit Tursina selama 30 hari dan disempurnakan lagi menjadi 40 hari. Sementara Imam Ghazali pun melakukan khalwat 40 hari, tiga kali banyaknya sampai 120 hari.

Dalam bukunya Ozelsel menceritakan pengalaman khlawatnya selama 40 hari dan banyak kita jumpai wacana khalwat yang dilakukan selama 40 hari. Melihat itu semua maka 40 hari adalah khalwat yang umum dilakukan. Akan tetapi semua itu tergantung dari thariqat dan juga sang guru Mursyid yang tentunya mendasari dengan melihat keadaan sang murid sendiri. Artinya tidak ada paksaan yang mengharuskan bagi sang murid selama dia tidak mampu.

Kalau kita melihat penjelasan Sa’id Hawa tentang daurah (latihan-latihan spiritual) maka akan tampak jelas kebebasannya. Sebagaimana penjelasannya, jika memang mampu untuk melakukan daurah selama 40 hari, maka lakukanlah. Jika mampunya hanya 3 hari, 7 hari, 8 hari, sebulan atau lebih maka lakukanlah. Sa’id menganjurkan sebisa mungkin dalam melakukan daurah tidak mengangu pekerjaan dan kewajiban. Jika tidak bisa maka lakukanlah sebisa mungkin asal tidak menyia-nyiakan keluarga, pekerjaan, dan kewajiban sehari-hari.