Apa yang dimaksud dengan khalwat?

Dalam tradisi sufi, khalwat atau kholwat mempunyai arti mengasingkan diri dalam kesendirian dan kesunyian untuk bertafakur dan taqarrub kepada Allah SWT. Khalwat disini bukan berarti bersendiri diantara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.

Menurut Abubakar Aceh, khalwat menurut pandangan golongan sufi adalah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk selalu mengingat Allah, dan dengan demikian tetap berkepanjangan memperhambakan diri kepada Allah. Artinya terus-menerus menjaga hati untuk beribadah kepada Allah SWT.

Dalam bukunya Sa’id bin Musfir mengutip pandangan Hasan Asy-Syarqawi bahwa berkhalwat menurut kaum sufi adalah salah satu keharusan rohani yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk menjadi seorang sufi. Mereka juga meyakini bahwa berkhalwat menjadi bukti atas kesunguh-sunguhan taubat dan menguatkan keikhlasan. Berkhalwat dianggap merupakan masa-masa terbaik yang dilakukan seorang manusia bersama Tuhannya.

Secara bahasa menurut Annemarie Schimmel dalam pengantar bukunya Michaela Ozelsel mengartikan, khalwat yang dalam bahasa turki disebut halvet, mempunyai arti menyepi, menyendiri atau mengasingkan diri. Lebih lanjut Schimmel menjelaskan, seorang sufi pada tahapan awalnya, ketika gurunya menganggap layak dan perlu, diharuskan menyelesaikan latihan keras selama empat puluh hari empat puluh malam, sendirian di dalam sebuah ruangan sempit dengan sedikit mungkin cahaya, sedikit makanan, mengisi waktu hanya dengan membaca al-Qur’an, meditasi, dan mengucapkan serangkaian doa tertentu atau asma-asma Allah. Sang guru biasanya akan menjenguknya dipetang hari untuk melihat kemajuannya dan menafsirkan mimpinya, atau membawanya kembali kedunia normal jika terbukti ia terlalu lemah untuk melakukan latihan-latihan yang diwajibkan itu.

Sedangkan khalwat atau khalwah menurut kamus tasawuf adalah mengasingkan diri, pengasingan rohani. Rasulullah misalnya pernah melakukan khalwat ke gua Hira’ hinga beliau memperoleh wahyu yang pertama. Menurut Sanerya Hendrawan khalwat menekankan suasana batin dalam kesendirian, keheningan, tidak bertemu dan berkomunikasi dengan siapa pun, kecuali Allah.

Berzikir, berdoa dan beribadah, merenung, serta praktek-praktek asketis lainnya menjadi kegiatan terpenting selama berlangsungnya proses khalwat.

Dari perspektif psikologi transpersonal, khlawat bisa dipahami sebagai teknik untuk mengubah, memfokuskan, memecahkan, atau memperluas kesadaran normal. Menurut pandangan Campbell bahwa di dalam khalwat berlangsung tiga tahap proses kejiwaan yang oleh Campbell disebut separation , initiation , and return . Proses yang berlangsung adalah memisahkan diri dari keramaian, menciptakan kesendirian dan kesunyian, berkonsentrasi dan menukik jauh ke dalam diri, lalu menemukan pencerahan, dan kembali kekancah pergaulan masyarakat dengan visi baru.

Di dalam proses itu berlangsung refleksi, visualisasi dan dialog batin, yang kemudian menghasilkan sebuah pengalaman transpersonal, yang menurut Maslow di luar individualitas (lebih inklusif, lebih besar daripada individual). Ini dicapai dengan cara mengakses petunjuk batin (inner guide) yang di sebut Higher Self . Wilber memahami Higher Self ini sebagi kesadaran murni yang merupakan cahaya ketuhanan. Di bawah petunjuk batin inilah terjadi pertumbuhan jiwa yang bersifat progresif, yang semakin meluas sehinga memungkinkan kehidupan yang lebih autentik, kreatif, dan menghadapi tantangan hidup dengan berhasil (suatu kehidupan yang memungkinkan tercapainya integrasi dan ekspresi yang harmonis dari totalitas alam manusia yang mencakup fisik, emosional, mental, dan spiritual.

Sementara Imam Qusyairi dalam Risalahnya mengatakan, khalwat merupakan sifat ahli sufi. Sedangkan ‘ uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT. Seharusnya bagi murid pemula agar ‘ uzlah (mengasingkan diri) dari bentuk-bentuk eksistensial kemudian di akhir perjalanannya melakukan khalwat (menyepi) sehinga sikap lemah lembut dapat tercapai. Lebih lanjut Imam Qusyairi mengatakan, hakikat khalwat adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan Al - Haq . Hal itu dikarenakan khalwat merupakan perjalanan rohani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju dzat Maha Pemberi segala.

Dengan demikian pengertian khalwat secara bahasa adalah menyepi, menyendiri atau mengasingkan diri, pengasingan rohani. Sementara secara istilah khalwat diambil dari tradisi sufi yang berarti mengasingkan diri dalam kesendirian dan kesunyian untuk bertafakur dan taqarrub kepada Allah SWT. Penekanannya adalah pada suasana batin dalam kesendirian, keheningan, tidak bertemu dan berkomunikasi dengan siapa pun, kecuali Allah. Berzikir, berdoa dan beribadah, merenung, serta praktek-praktek asketis lainnya menjadi kegiatan terpenting dalam taqarrub kepada Allah.

Dasar Khalwat


Dalam wasiat atau pesannya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, mengatakan,

Kesunyian dan kesendirian pasti akan dialami oleh setiap manusia setelah mati. Oleh karena itu, Allah mengajarkanmu untuk menyendiri dan mengasingkan hati dari ghayrullah (selain Allah). Lenyapkan dirimu sebelum dirimu mati, niscaya kubur itu akan menjadi jalan menuju Allah. Apabila hatimu telah mati dari ghayrullah, engkau akan hidup di sisi Allah. Engkau akan dekat dengan Allah, dan akan dilimpahi magfiratullah (pengampunan dari Allah), karena engkau telah mengenal Allah. Hukum-hukum utama dalam syari’at Allah hendaknya dijaga dan dipelihara.

Pesan tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kita untuk meniadakan selain Allah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Sementara Abdurrahman al-Jauzi mengisahkan, dari Abu Haul al-Maghribi ketika berada di Masjid Baitul Maqdis, ia meminta nasehat dari seorang arif yang dianggap gila oleh orang-orang di situ. Kemudian sang arif yang dianggap gila tersebut memberi nasehat lewat untaian syairnya:

“Jadilah engkau menyepi sendiri, dari pergaulan semua makhluk, pergi dari mereka, mencari al - Haq. Dan sabarlah, karena dengan kesabaran itu, engkau dapat meraih matahari cita-cita…”

Sesungguhnya khalwat itu sudah tidak asing lagi bagi kita serta telah diperintahkan oleh Allah. Syaikh Ahmad al-Kamsakhanawi mengambil dalil dari hikayat dari Nabi Ibrahim AS. sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an,

Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku. Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi (Q.S. Maryam/19: 48-49).

Djamaluddin Ahmad mengatakan, bukan hanya persiapan dan pematangan jiwa dengan khalwat di gua Hira’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. selama 40 hari (dalam sebagian riwayat) sebelum dan sampai turunnya wahyu pertama, karena beliau akan menghadapi kekuatan kaum Quraisy yang tidak mudah ditaklukan. Nabi Musa pernah melakukan hal yang serupa yaitu melakukan khalwat di bukit Tursina dengan berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Selama itu pula Nabi Musa mempersiapkan diri karena beban yang akan dipikulnya dari Allah sangat berat. Ia akan berhadapan dengan kekuatan Fir’aun yang mengangkat dirinya sebagai tuhan, dan umatnya sendiri (Bani Israil) yang sering bertindak tidak etis terhadap Nabi mereka sendiri.

Firman Allah:

Dan telah kami janjikan kepada Musa memberikan Taurat, sesudah berlaku waktu 30 malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan tuhannaya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, gantikanlah Aku dalam memimpin Kaumku, dan perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”. (Q.S Al-A’raf/ 7:142).

Catatan : Terjadi perbedaan pandangan dalam masalah pengambilan dasar dalil khalwat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW dan pada Nabi Musa AS, Dr. Sa’id bin Musfir al-Qahthani dalam bukunya mengatakan, apa yang dilakukan oleh Musa AS, adalah khusus untuknya dan tidak boleh seorang pun manusia menirunya, termasuk saudaranya sendiri Nabi Harun AS. Tidak disyariatkan untuk umatnya dan tidak pula disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Dr. Sa’id mengutip perkataan Ibnu Taimiyah bahwa, melakukan khalwat dengan mengambil dalil dari khalwatnya Nabi Musa ini berarti berpegangan dengan syariat yang telah dihapus, sedangkan berdalil dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad berarti berpegang pada sesuatu yang dilakukan Rasulullah sebelum kenabiannya. adapun jika mereka berdalil dengan dasar I’tikaf Nabi SAW, sesunguhnya beliau mensyari’atkannya, agar mereka menjaga ibadah, menyempatkan diri untuk-Nya, menghentikan kesibukan dan urusan-urusan lain.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan tentang kesunahan khalwat. seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ‘Umul Mu’minin , yang menjelaskan tentang wahyu pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kesenangan beliau melakukan khalwat di gua Hira’ yaitu:

Aisyah berkata: Pertama kali wahyu Rasulullah SAW diawalai mimpi yang shahih (benar) pada waktu tidur, Rasullullah SAW tidak mengetahuinya kecuali datang menyerupai terangnya waktu subuh. Kemudian diberi kesenangan kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan khalwat di gua Hira, maka beliau mengasingkan diri di dalamnya, yaitu beribadah beberapa malam yang berbilang-bilang.

Dalam hadis Nabi yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri menerangkan tentang manusia yang utama yaitu:

Wahai Rasulullah, siapakah manuisa yang paling utama?. Beliau menjawab: Orang mukmin yang berjuang di jalan Allah dengan jiwa raga dan harta bendanya. Ia bertanya lagi: kemudian siapa? Beliau menjawab: Orang mukmin yang menyendiri pada sebuah desa dengan tujuan untuk bertakwa kepada Allah dan menjauhi manusia karena kejahatannya. (H.R. Bukhari).

Hadis ini juga digunakan oleh Syaikh Ahmad al-Kamsakhanawy sebagai dalil melakukan khalwat.

Imam Qusyairi dalam kitab Risalah- nya mengambil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:

Sebaik-baik kehidupan manusia adalah orang yang mampu memegang kerasnya (kendali) kuda di jalan Allah. Jika mendengar hal yang mengejutkan dan menakutkan, Ia tetap di atas pungung kuda dengan pilihan mati atau terbunuh, atau orang yang mendapatkan harta rampasan perang yang bertempat tinggal di atas gunung atau di dasar jurang yang senantiasa mengerjakan shalat, member zakat, dan beribadah kepada Tuhan sampai kematian menjemputnya, yang tidak dimiliki oleh orang lain kecuali tetap dalam kebaikan. (H.R. Muslim).

Kemudian beliau Imam Qusyairi juga berkata, saya telah mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqaq berkata, berpakaianlah sebagaimana orang berpakaian, makanlah sebagaimana orang makan, dan menyendirilah dengan bersembunyi.

Dalam permasalahan dasar khalwat ini Sa’id Hawa menerangkan, pada masa dulu para sahabat Nabi Saw di luar waktu jihad, bekerja dan memenuhi kewajiban mereka, selalu berkhalwat dengan membaca al-Qur’an, atau dengan berdzikir atau dengan menjauhi hal-hal yang tidak berguna. I’tikaf mereka di bulan Ramadhan, khalwatnya Rasulullah di gua Hira’ sebelum kenabian dan sesudahnya merupakan dalil terkuat untuk membuktikan kebolehan masalah khalwat. Lebih lanjud Sa’id menjelaskan, bahwa sesunguhnya para pemikir dunia mengakui bahwa di dalam kegiatan khalwat yang lama ada pengaruh yang luar biasa terhadap kejernihan pikiran, jiwa dan adanya keteguhan hati, sehinga mereka mempraktikkan khalwat ini. Bahkan Sa’id berharap agar setiap muslim membiasakan diri untuk berkhalwat dalam rangka menghidupkan kembali kesunahan I’tikaf .

Abubakar Aceh mengungkapkan, bahwa menurut ahli tarikh (sejarah) sesudah menjadi Rasul, Nabi pernah berkhalwat ke jabal Nur (gua Hira’). Peristiwa tersebut terjadi ketika pada suatu hari konon datang seorang kepada Nabi menanyakan tentang hakikat ruh. Nabi menanguhkan beberapa hari untuk menerangkan. Tetapi beberapi hari lamanya belum juga datang wahyu untuk menjelaskan kepada oranng musyrik itu. Lalu Nabi pergi ke Jabal Nur berkhalwat beberapa hari lamanya. Sesudah itu turunlah wahyu dari Allah yang mengajarkan kepada Nabi, agar sesuatu apapun yang akan dikerjakan hendaklah dikatakan insya Allah. Sebab waktu Nabi ditanya, Nabi tidak menjawab dengan kata insya Allah, maka karena itulah konon Allah menahan wahyu beberapa hari lamanya.

Menurut Imam Sahal yang dikutip oleh Imam Qusyairi, beliau menjelaskan bahwa khalwat tidak dapat dibenarkan kecuali dengan meningalkan barang yang haram dan meninggalkan barang yang halal, juga tidak dibenarkan kecuali dengan melaksanakan hak Allah SWT. Imam Qusyairi menambahkan perkataan Dzun Nun al-Misri bahwa, saya tidak pernah melihat sesuatu yang dapat menimbulkan sikap ikhlas kecuali kekasihmu adalah khalwat, makananmu adalah lapar, dan pembicaraanmu adalah lapar. Apabila engkau meninggal dunia, engkau selalu bersambung dengan Allah SWT. Dzun Nun al-Misri juga pernah berkata, orang tidak akan terhalang dari makhluk karena berkhalwat sebagaimana orang yang tidak akan terhalang dari mereka karena mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Merujuk dari dasar dan penjelasan para tokoh sufi di atas maka dasar khalwat adalah al-Qur’an seperti dalam Q.S. Maryam/19: 48-49, Q.S Al-A’raf ayat 142. Kemudian sunah Rasulullah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudry tentang ‘ uzlah dan jihad, dari Aisyah yang menjelaskan tentang wahyu pertama kali turun dan kesenangan Nabi melakukan khalwat. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan juga perilaku para sahabat dan tabi’in yang menjadi landasan dasar ajaran-ajaran sufi. Kemudian perilaku atau jalan yang ditempuh oleh para tokoh sufi terdahulu menjadi titik terang bagi penganut perjalanan spiritual pada dekade-dekade sesudahnya samapi sekarang.

Referensi :

  • Abubakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadani, 1993).
  • Sa’id bin Musfir al-Qhathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2005)
  • Michaela Ozelsel, Empat Puluh Hari Khalwat “Catatan Harian Seorang Psikolog Dalam Pengasingan Diri Sufistik”, terj, Nuruddin Hidayat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)
  • Sholihin M, dan Anwar Rosihon, Kamus Tasawuf , (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002)
  • Sanerya Hendrawan, Spiritual Menegement, (Bandung: Mizan Pustaka, 2009)
  • Abul Qosim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, terj. Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
  • Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Rahasia Sufi, Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi al Abrar. Terj. Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
  • Abdurrahman al-Jauzi, Anekdot-Anekdot Sufi, terj. Nabhani Idris, (Bandung: Al-Bayan, 1996)
  • Syaikh Ahmad al-Kamsakhanawy an-Naqsyabandy, Jami’ul Usul fil Auliya’ wa Anwa’ihim wa Aushofihim, (Darul Kitab al-‘arabiyah al-kubra, t.t,)
  • Djamaluddin Ahmad al-Buny, *Menelusuri Taman-Taman Mahabah Sufi
  • Abi Abdillah Muhammad Ibnu Isma’il al-Bukhari, Matan al-Bukhari , (Berut: Darul Kitab al-Islami, t.t.), jil. I