Apa Pentingnya Menuntut Ilmu Dalam Ajaran Agama Islam, Mengapa kita lalai?

Dewasa ini, banyak negara yang mayoritas penduduknya ber-agama Islam tetapi negara tersebut bukanlah termasuk negara maju, bahkan cenderung masuk kedalam negara terbelakang. Hal ini sangatlah ironis mengingat didalam ajaran agama Islam banyak sekali panduan-panduan untuk mencapai kesuksesan dunia.

Salah satunya adalah menuntut ilmu. Ajaran agama Islam sangat menekankan umatnya untuk menuntut Ilmu sebanyak-banyaknya, tetapi entah mengapa kita sering kali melalaikannya.

Menuntut Ilmu dalam Al-Quran


  • Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)

  • (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar Ayat 9)

  • Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha: 114)

Menuntut Ilmu dalam Hadist


  • “Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.”

  • “Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula”. (HR. Bukhari dan Muslim)

  • ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. (HR. Turmudzi)

  • Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam” (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)

  • Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga (HR Muslim)

Nasihat Imam Syafi’i tentang pentingnya menuntut ilmu.


  1. Barangsiapa yang tak pernah merasakan lelahnya mencari ilmu walau hanya sebentar, akan meminum kehinaan kebodohan pada sisa hidupnya
    Kalau kita coba baca sejarah para ulama terdahulu, untuk menuntut ilmu mereka harus menempuh dulu perjalanan panjang, meninggalkan hal-hal keduniawiannya, duduk di majelis ilmu belajar lansung kepada para imam dan ulama. Setelah ilmu didapat mereka ikat dengan menulis dilembaran-lembaran kertas menggunakan pena tinta celup, tak terbayangkan memang bagaimana sulitnya untuk mendapatkan ilmu di masa itu. Jauh berbeda dengan hari ini, jika kita ingin ilmu maka dengan mudahnya.

  2. Baginya yang melewatkan mencari ilmu pada saat muda, maka bertakbirlah untuknya 4x karena kematiannya sudah terjadi.
    Nasihat Imam syafii yang harus dicamkan, jika melewatkan atau mengabaikan waktu muda dari mencari ilmu maka kita sudah disamakan dengan orang yang sudah mati oleh Imam syafii.
    Salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita, sebuah karunia dari Allah untuk kita yang tak ternilai harganya bahkan ini yang membedakan antara diri kita sebagai manusia dengan binatang adalah AKAL, dan makanan akal ini adalah ILMU.

  3. Kehidupan pemuda – demi Allah – adalah dengan mencari ilmu dan bertaqwa, bila keduanya tak mewujud, maka tak ada yg menandai keberadaannya.
    Salah satu yang menjadikan dirinya mulia dibanding yang lain adalah keilmuan yang dimiliki. Orang yang berilmu akan diakui keberadaannya, bahkan dia hidup lebih lama dari usianya didunia. Walaupun ia telah tiada, namun keberadaannya tetap ada melalui wasilah ilmu yang dimilikinya.

Adakah cerita-cerita terkait dengan keutamaan dalam menuntut ilmu ?

2 Likes

Banyak dari kita umat muslim lalai untuk menimba ilmu karena

  1. Ketidaktahuan mereka bahwa mencari ilmu dalam agama islam hukumnya adalah Wajib
  2. Pengaruh Globalisasi yang tidak dapat di bendung, serta kelemahan masyarakat indonesia dalam membedakan mana yang baik untuk di ambil serta yang buruk untuk ditinggalkan.
  3. Kurangnya pendidikan agma sejak dini oleh para orang tua.
  4. Cacatnya sistem pendidikan di Indonesia.

Namun, meskipun beberapa orang mencari ilmu dengan giat, namun mereka lupa bahwa mereka mencari ilmu bukan untuk mendapatkan Ridha Allah SWT namun hanya sekedar untuk alasan duniawi seperti

  1. Mendapat pekerjaan yang lebih baik
  2. Mendapat uang yang lebih banyak
  3. Mmpermudah dalam mencari jodoh
  4. Tekenal di kalangan masyarakat akan kepintaranya atau jabatanya

Karena sudah ditegaskan oleh Allah SWT bahwa rezeki, jodoh dan mati itu adalah takdir yang tidak dapat diubah. Menurut saya ilmu berfungsi untuk mensejahterakan umat, dan ilmu tidak sepenuhnya ada kaitanya dengan rezeki, karena orang lulus sd yang tidak dapat mengerjakan soal matematika aljabar sekalipun, dapat memiliki penghasilan lebih dibanding dengan mereka yang memiliki ilmu tinggi. Namun, kewajiban mencari ilmu tetap harus dilaksanakan. Jika ada orang mengatakn bahwa mancari ilmu untuk masa depan yang lebih baik, maka sebenarnya, masa depan sesungguhnya, adalah masa depan kita saat di akhirat dengan harapan masuk Surga dan bertemu dengan sang Ilahi, yaitu Allah SWT.

2 Likes

Sepakat, bahwa pengaruh globalisasi dapat membuat kita lalai, karena banyak sekali hal-hal negatif yang dapat mempengaruhi pola pikir generasi muda di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kedewasaan pola pikir sehingga kita bisa memilah milah mana yang baik dan mana yang buruk, karena pengaruh globalisasi tidak semuanya buruk, bahkan ada yang baik.

Sebetulnya pendidikan agama sudah diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini. Tetapi sepanjang peng-lihat-an saya, pendidikan agama di usia dini kurang dititik beratkan pada Akhlak yang baik dan benar. Bahkan lebih condong kepada tata-cara formal ber-agama.

Akhlak ialah “hal li nnafsi daa’iyatun lahaa ila af’aaliha min ghoiri fikrin walaa ruwiyatin” yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Ibnu Maskawaih

Akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan senang dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan terlebih dahulu. Abu Hamid Al Ghazali

Akhlak merupakan sesuatu yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan. Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani

Bekerja keras, hormat kepada orangtua dan guru, rajin belajar, menjaga kebersihan dan lain sebagainya yang harusnya ditanamkan sejak kecil, sehingga generasi muda kita mempunyai karakter yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh pengaruh buruk.

Apabila Rajin belajar sudah menjadi Akhlak umat Islam, maka umat Islam akan menjadi umat yang maju.

Sejarah membuktikan betapa umat Islam pernah menguasai dunia selama ratusan tahun dan berkontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.

Oleh karena itu, pendidikan agama, khususnya Akhlak yang baik dan benar, harusnya mempunyai peranan yang sangat penting didalam membentuk karakter bangsa Indonesia, karena agama sangat identik dengan iman.

3 Likes

Saya setuju dengan semua pendapat bapak, tapi pada kenyataanya, terkadang seorang anak dimarahi jika mendapat nilai jelek, namun, sangat jarang dimarahi jika nilai agama, atau nilai TPA (Taman Pendidikan Agama) mereka jelek. Sepengalaman saya dengan orang tua teman saya, bahwa si wali murid mengatakan kepada anaknya “…tidak masalah tidak lulus bisa mengulang tahun depan”. Sangat disayangkan jika mayoritas perilaku orang tua seperti itu.

5 Cara Mendidik Anak Berdasarkan Agama Islam
Berdasarkan artikel yang saya baca ada 5 cara mendidik anak berdasarkan agama islam

  1. Mulai mengajarkan aqidah dan tauhid kepada anak sejak dini.
  2. Mengajarkan cara menunaikan ibadah yang sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam
  3. Mengajarkan Al Qur’an dan Al Hadist kepada anak
  4. Mendidik anak dengan akhlak yang mulia
  5. Mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan

Menurut saya jika kita ingin mempelajari ilmu dunia, maka ilmu agama merupakan hal yang harus dipelajari sebelum ilmu dunia. Jika ilmu dunia tidak dimbangi dengan ilmu agama, maka akan cenderung menjadi seseorang yang berpaham ateis atau agnostic. Keduanya harus seimbang karena jika berat sebelah seperti yang dikatakan Albert Eisnten “…Sains tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa sains adalah buta…”.

Sumber

  1. https://mutiarabijaksana.com/2014/06/21/ketahui-cara-mendidik-anak-yang-benar-menurut-agama-islam/
  2. Pendapat Albert Einstein Mengenai Agama dan Tuhan | Ada Fakta
2 Likes

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabi

Suja’i Sarifandi


Di samping ayat–ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, al-Qur’an juga mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan. Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting,dan Islam telah sejak awal menekankan pentingnya membaca. Mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasululullah SAW., menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menegakkan urusanurusan agamanya, sebagai kewajiban yang Fardlu ‘Ain bagi setiap Muslim. Ilmu yang Fardlu Ain yaitu ilmu yang setiap orang yang sudah berumur aqil baligh wajib mengamalkannya yang mencakup; ilmu aqidah, mengerjakan perintah Allah, dan meninggalkan laranganNya.

Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadishadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.

Dalam al-Qur’an, kata ilmu dalam berbagai bentuknya digunakan lebih dari 800 kali, ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), al-Qur’an dan Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi.

Dalam QS. al-Mujadilah ayat 11, Allah SWT., berfirman:

Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan). dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah : 11).

Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut Ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Fathir ayat 28 :

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah ulama (orang berilmu). (QS. Fathir : 28).

Di samping ayat–ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, al-Qur’an juga mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, dan katakanlah, tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan. Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan pentingnya membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu QS. al-Alaq ayat 1-5:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan kamu dari segummpal darah. Bacalah,dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. (QS. al-Alaq : 1-5)

Ayat-ayat tersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal, sehingga Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan Ilmu pengetahuan menurut Islam membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal

Di samping ayat–ayat al-Qur’an, banyak hadis Nabi yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut Ilmu Pengetahuan. Makalah ini secara khusus membahas tentang Ilmu Pengetahuan dalam perspektif Hadis Nabi.

Pengertian Ilmu Pengetahuan

Term ilmu dalam bahasa Arab berasal kata kerja (fi’il) ‘alima, bentuk mashdar (bentuk kata benda abstrak) dari yang berarti tahu atau mengetahui, dan dalam bentuk fa’il (bentuk kata benda pelaku/subjek) ‘alim, yaitu orang yang mengetahui/ berilmu, jamaknya ulama, dan dalam bentuk maf’ul (yang menjadi obyek) ilmu disebut ma’lum, atau yang diketahui.

Dalam tinjauan Islam, pengertian ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan yang mempelajari pokok persoalan tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tafsir dan lain sebagainya.

Ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya menurut Imam al-Ghazali mencakup, ilmu Syar‘iyyah dan ilmu Ghairu Syar‘iyyah.

  • Ilmu Syar‘iyyah adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dutuntut dan dipelajari oleh setiap Muslim.
  • Di luar ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategori ghairu syar‘iyyah.

Imam alGhazali juga mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu:

  • Ilmu Fardu A’in adalah ilmu tentang cara amal perbuatan sesuai syari’at, dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam.

  • Ilmu Fardu Kifayah ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi, yang mencakup : ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.

Dalam perspektif kajian Islam, ilmu pengetahuan mengandung pengertian yang menyeluruh dan berkesinambungan dan nilai yang tidak dapat dipisahkan. Termasuk dalam konteks ini, ilmu sains dan teknologi adalah antara cabang ilmu pengetahuan yang memberi manfaat dan faedah besar kepada kelangsungan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Kedudukan Ilmu Pengetahuan, Orang Yang Menuntut Ilmu dan Orang Yang Berilmu

Mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasululullah SAW., menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menegakkan urusan-urusan agamanya, sebagai kewajiban yang Fardlu ‘Ain bagi setiap Muslim. Ilmu yang Fardlu Ain yaitu ilmu yang setiap orang yang sudah berumur aqil baligh wajib mengamalkannya yang mencakup; ilmu aqidah, mengerjakan perintah Allah, dan meninggalkan laranganNya.

Bersumber dari Anas bin Malik ra. Ia berkata, Rasulullah SAW., bersabda:

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. (HR. Abu Dawud).

Adapun ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka termasuk Fardlu Kifayah. Artinya seluruh kaum Muslimin akan berdosa jika tidak ada seorang pun di antara mereka yang menekuni suatu jenis ilmu, padahal mereka membutuhkannya. Mereka tidak terbebas dari dosa, sehingga ada salah satu di antara mereka memenuhi kewajiban itu.

Rasulullah SAW., memotivasi kepada para sahabatnya tidak hanya terbatas pada menuntut ilmu agama yang terkait dengan syari’ah. Beliau juga menyeru mereka menuntut ilmu dan keahlian lain yang bermanfaat bagi kaum Muslimin, yaitu ilmu yang hukum menuntutnya fardlu kifayah. Oleh karenanya, Nabi SAW,. juga memotivasi sebagian sahabat untuk selalu belajar memanah yang waktu itu sangat diperlukan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.

Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW., bersabda

Bersumber dari ‘Uqbah bin ‘Amir alJuhani ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa belajar memanah kemudian meninggalkannya, maka ia telah durhaka kepadaku. (HR. Ibnu Majah, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dan al-Darimiy dengan redaksi yang berbeda).

Ketika Rasulullah SAW., pertama kali datang ke Madinah, Zaid bin Tsabit ra. diajak kaumnya untuk bertemu beliau. Lalu Zaid diperkenalkan kepada Rasulullah sebagai anak muda belia Bani Najjar yang telah membaca tujuh belas surat al-Qur’an. Setelah mendengar bacaan Zaid, Nabi sangat mengaguminya dan memerintah Zaid untuk belajar bahasa Yahudi.

Bersumber dari Zaid bin Tsabit ra. berkata: Rasulullah SAW., memerintahku untuk belajar beberapa bahasa dari tulisan Yahudi.

Beliau bersabda,

“Sesungguhnya aku, demi Allah! Tidak yakin bangsa Yahudi (memahami) atas tulisanku.”
Kata Zaid: Maka tidak lebih setengah bulan aku telah (berhasil) mempelajarinya.
Kata Zaid: Saat aku telah mempelajarinya, jika Nabi menulis untuk orang Yahudi, akulah yang menulisnya untuk mereka, dan jika mereka menulis kepada Nabi, akulah yang membacakan tulisan-tulisan mereka. (HR. al-Turmudzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Bahasa Suryani adalah bahasa asli Kitab Injil, sedangkan bahasa Ibrani adalah bahasa asli Kitab Taurat. Hadits di atas menunjukkan pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing, selama bahasa tersebut bermanfaat bagi umat Islam.

Hukum mempelajari bahasa asing yang bermanfaat ini termasuk kategori fardlu kifayah, dengan berdasar bahwa tidak semua sahabat Nabi diperintahkan untuk mempelajarinya. Selain itu Rasulullah SAW., menjadikan ilmu termasuk sesuatu yang harus menjadi cita-cita manusia dan harus menjadi ajang perlombaan, karena semakin banyak orang berilmu, kehidupan di dunia ini akan menjadi semakin baik.

Bersumber dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: Nabi saw bersabda:

Tidak boleh hasud (iri), kecuali pada dua hal: orang yang dikaruniai harta benda oleh Allah kemudian ia menggunakan hartanya sampai habis dalam kebaikan, dan orang yang dikaruniai hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Yang dimaksud hasud dalam hadis ini adalah al-ghibthah, yaitu menginginkan nikmat yang sama dengan orang lain. Jika yang dinginkan persoalan duniawi hukumnya mubah, sedangkan jika persoalan ketaqwaan dan ketaatan hukumnya dianjurkan (mustahabbah). Jika hasud yang dimaksud adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain dengan harapan berpindah menjadi miliknya, ulama sepakat hukumnya haram dengan dasardasar yang ditegaskan al-Qur’an dan Hadis.

Pada hakikatnya manusia yang menjadikan ilmu sebagai cita-citanya dan berlomba-lomba untuk meraihnya, ia telah merintis jalan yang memudahkannya menuju ke surga.

Bersumber dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:

Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim, al-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Darimi).

Dalam menjelaskan hadits ini, Imam al-Nawawi mengingatkan bahwa keutamaan saat bepergian mencari ilmu didapatkan seseorang, jika kesibukannya pada ilmu-ilmu syari’ah dan bertujuan kepada Allah. Meskipun pada dasarnya hal ini merupakan prasyarat yang mutlak dalam setiap ibadah, para ulama punya kebiasaan mengingatkannya, karena sebagian orang sering bersikap gegabah dalam mencari ilmu. Lebih-lebih anak-anak muda yang sedang mencari ilmu, mereka sering melupakan tujuan dan niat.

Bahkan Rasulullah SAW., mengkategorikan orang yang meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu mempunyai kedudukan yang sangat terhormat, sebagai pejuang di jalan Allah. Bersumber dari Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. al-Tirmidzi).

Di saat kaum Muslimin melakukan kegiatan belajar bersama, Allah menurunkan sakinah (ketenangan) kepada mereka, memberi rahmat yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, dan para malaikat senantiasa mengelilingi mereka dan menyebut mereka sebagai orang yang mendapat ridla di sisi Allah.

Bersumber dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda:

tidak berkumpul kaum (Muslimin) dalam suatu rumah Allah (masjid) seraya membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali mereka mendapatkan sakinah (ketenangan), dipenuhi oleh rahmat (kasih-sayang) dan para malaikat mengelilingi dan menyebut mereka di dalam golongan orang-orang yang berada di sisiNya. (Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Keutamaan ilmu di sisi Allah SWT., dapat kita simak pada awal mula penciptaan manusia. Para malaikat diperintahkan Allah untuk bersujud (menghormat) kepada Adam, karena Adam mampu menceritakan nama-nama (ilmu) yang diajarkan Allah dan malaikat tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS. al-Baqarah: 30-34). Oleh karena keutamaan ilmu, ada di antara malaikat yang bertugas menaungi orang-orang yang mencari ilmu dengan sayap-sayapnya.

Bersumber dari Shafwaan bin ‘Assaal alMuraadi ra. berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW., bersabda:

Tidak seorang pun keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, kecuali para malaikat menaungi dengan sayap-sayapnya, karena suka dengan yang ia kerjakan. (Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Darimi).

Demikian tingginya kedudukan ilmu, sehingga penuntutnya untuk kepentingan agama disejajarkan kedudukannya dengan nabi-nabi. Kelak di surga mereka berkumpul dengan para nabi-nabi Allah. Bersumber dari al-Hasan ra., ia berkata: Rasulullah SAW., bersabda:

Barangsiapa meninggal dunia di saat sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka ia masuk surga dalam satu tempat dengan para nabi-nabi. (HR. al-Darimi).

Rasulullah saw. membuat perumpamaan antara orang yang mau menenerima ilmu dan tidak mau menerimanya. Nabi SAW., mengibaratkan yang pertama seperti tanah yang berguna bagi manusia, sedangkan yang kedua seperti tanah yang mandul yang tidak berguna.

Bersumber dari Abu Musa al-Asya’ari ra. dari Nabi SAW., perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diperintahkan Allah kepadaku ialah seumpama hujan lebat yang jatuh ke tanah. Diantara tanah itu ada tanah yang bagus yang menerima air, maka ia menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak, dan ada tanah keras yang menampung air, maka Allah memberinya kegunaan bagi manusia untuk minum dan mengairi dan menanam, dan ada pula yang jatuh ke tanah lain, yaitu tanah datar yang licin, yang tidak dapat menampung air dan tidak menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan apa yang diperitahkan Allah kepadaku berguna baginya, maka ia tahu dan mau mengajarkannya, dan perumpamaan orang yang sama sekali tidak peduli dan tidak menerima pentunjuk Allah yang diperintahkan kepadaku. (HR. alBukhari, Muslim dan Ahmad).

Oleh karenanya orang yang mau bersungguh-sungguh belajar ilmu agama sampai ia memahaminya menjadi pertanda bahwa Allah menghendaki kebaikan kepada dirinya.

Bersumber dari Ibnu Abbas ra., sesungguhnya Rasulullah SAW., bersabda:

Barangsiapa yang dikehendaki Allah kepada kebaikan, niscaya Dia memahamkannya dalam urusan agama. (HR. al-Bukhari, Muslim, alTirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Darimi).

Kebaikan akan didapatkan seseorang, manakala dalam mencari ilmu disertai dengan tujuan dan niat yang positif dan bermanfaat bagi manusia dan kehidupan, atau dalam bahasa agamanya, dengan tujuan yang tulus karena Allah. Nabi Muhammad SAW., sangat mencela dan melarang penuntut ilmu yang hanya untuk tujuan popularitas, kekuasaan dan kemegahan duniawi.

Bersumber dari Hudzaifah ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW., bersabda:

Janganlah kalian mencari ilmu untuk menyombongkan diri kepada ulama, atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, atau untuk memalingkan muka manusia kepada kalian. Barangsiapa melakukan itu, ia masuk neraka (HR. Ibnu Majah).

Hasan bin Ali mengingatkan: “Siksaan atas seorang yang berilmu, disebabkan oleh hatinya yang mati, dan hati yang mati disebabkan mencari keuntungan duniawi dibungkus dengan amal akhirat”. Oleh karenanya Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Wibawa ilmu dan hikmah niscaya hilang, jika keduanya digunakan mencari dunia”.

Bahkan Sa’id bin al-Musayyab menegaskan: “Jika kalian melihat seorang berilmu mengitari penguasa, maka ia adalah pencuri”.

Umar Bin al-Khattab berkata: “Jika kalian melihat orang berilmu suka kehidupan duniawi, maka waspadalah untuk agama kalian. Karena orang yang mencintai akan tenggelam di dalamnya.”

Dengan demikian, mencari ilmu yang bermanfaat harus menjadi tujuan bagi setiap manusia, dan hendaknya kita senantiasa berdo’a agar mendapatkannya. Rasulullah SAW., banyak memanjatkan do’a demikian kepada Allah.

Bersumber dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. berdoa:

Ya Allah aku mohon perlindungan kepadamu dari empat perkara; dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari hati yang tidak khusyu’, dan dari jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak didengar. (HR. Abu Dawud, alNasa’i, dan Ibnu Majah).

Bersumber dari Ummu Salamah ra, bahwasanya Rasulullah saw ketika shalat subuh, setelah salam membaca:

Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rejeki yang baik dan amal yang diterima. (Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., memerintahkan agar kita senantiasa memohon kepada Allah agar diberi ilmu yang bermanfaat. Bersumber dari Jabir bin Abdullah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda:

Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepadaNya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (HR. Ibnu Majah).

Sedemikian tingginya kedudukan ilmu dalam Islam, sehingga Rasulullah SAW., menyebut ilmu termasuk tiga hal yang pahalanya tidak terputus setelah pemiliknya meninggal dunia. Bersumber dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:

Ketika seseorang meninggal dunia maka akan terputuslah amalnya, kecuali tiga hal; kecuali sedekah jariah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan kepadanya. (HR. Muslim, al-Tirmidzi, al-Darimi, Abu Dawud, al-Nasa’i, dan Ahmad).

Demikianlah kedudukan ilmu dalam perpektif hadits nabawi. Rasulullah saw. semenjak terutus menjadi Nabi selalu mengingatkan para sahabat dan umatnya untuk selalu menuntut ilmu dan memberi penghargaan yang besar bagi para penuntut ilmu. Namun Rasulullah SAW., juga mengingatkan agar mencari ilmu tetap harus dalam koridor mengharapkan ridla Allah SWT. Hanya ilmu yang bermanfaat di akhirat dan dunia yang menghasilkan RidlaNya.

Manfaat ilmu hanya didapatkan jika disertai dengan niat dan tujuan baik dan benar ketika menuntutnya. Dengan niat baik dan benar, ilmu yang diperoleh diharapkan bermanfaat dan pahalanya tetap mengalir, meskipun pemiliknya telah meninggal dunia, sebagamaimana janji Rasulullah SAW.

1 Like

Islam sebagai agama rahmah li al-‘alamin sangat mewajibkan umatnya untuk selalu belajar, bahkan Allah mengawali menurunkan al- Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktifitas belajar. Sedangkan dalam arti luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupannya.

Firman Allah dalam Q.S. al-Mujadallah 11:

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa dalam perspektif Islam, belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang yang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan guna meningkatkan derajat hidupnya.

Islam menggambarkan belajar dengan bertolak dari Firman Allah Q.S An-Nahl: 78

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Makna dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada mulanya manusia itu tidak memiliki pengetahuan atau tidak mengetahui sesuatupun.

Firman Allah dalam Q.S. ar-Rad: 11

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali- kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa belajar merupakan proses yang dilalui manusia selama manusia hidup. Perbedaan manusia dengan binatang ialah manusia memiliki akal pikiran dan budi pekerti yang dapat digunakan untuk berpikir, sehingga manusia memiliki cita-cita dan tujuan hidup. Kemajuan dan kemunduran manusia sangat tergantung manusia itu sendiri, apakah ia mau berusaha untuk maju atau tidak.

Firman Allah dalam Q.S. ar-Ra’d: 19

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa proses belajar dalam Islam sangat dianjurkan, karena manusia yang baru saja dilahirkan ke muka bumi adalah bagaikan orang yang buta.

Pandangan dasar Islam tentang kemungkinaan manusia untuk memperoleh kemajuan hidupnya adalah terletak pada kemampuan belajarnya. Sedang kemampuan belajar seseorang telah ditetapkan oleh Allah sebagai suatu kemampuan ikhtiyariahnya sendiri melalui proses transformasi, transaksi dan transinternalisasi dalam berbagai segi kehidupan manusia, dimulai sejak lahir sampai meninggal dunia.

Proses belajar tidak akan lepas dari hubungan pendidik dan peserta didik. Menurut Islam perlakuan terhadap anak didik sangat besar pengaruhnya. Adapun tuntutan Islam terhadap hubungan antara pendidik dengan peserta didik yang terpenting di antaranya adalah adanya rasa kasih sayang, lemah-lembut, memberikan kemerdekaan, memberikan penghargaan, sesuai dengan perkembangannya, mengarahkan ke masa depan berbicara kepada mereka dengan baik, benar, mudah dimengerti, dan disiplin.

image

Proses belajar menurut konsep Islam adalah melatih, menggunakan, memfungsikan serta mengoptimalkan fungsi macam- macam alat (indera luar dan dalam) yang telah dianugerahkan oleh Allah secara integral dalam pelbagai aspek kehidupan sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada-Nya.

Perlu diketahui bahwa setiap apa yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan, pasti dibaliknya terkandung hikmah atau sesuatu yang penting bagi manusia. Demikian juga dengan perintah untuk belajar. Beberapa hal penting yang berkaitan dengan belajar, antara lain:

  1. Bahwa orang yang belajar akan dapat memiliki ilmu pengetahuan yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan. Sehingga dengan ilmu pengetahuan yang didapatkannya itu manusia akan dapat mempertahankan kehidupan.

    Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. az-Zumar: 9, yang artinya adalah : “(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

  2. Allah melarang manusia untuk tidak mengetahui segala sesuatu yang manusia lakukan. Apa pun yang dilakukan, manusia harus mengetahui kenapa mereka melakukannya. Dengan belajar manusia dapat mengetahui apa yang dilakukan dan memahami tujuan dari segala perbuatannya. Selain itu dengan belajar pula manusia akan memiliki ilmu pengetahuan dan terhindar dari taqlid buta, karena setiap apa yang kita perbuat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

    Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra’: 36, yang artinya adalah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”

Seseorang yang dikatakan berhasil dalam belajarnya jika dapat mencapai ulul albab. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:

Ulul Albab merupakan kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. di antara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan dan pengetahuan, di samping pengetahuan yang mereka peroleh secara empirik.

  1. Q.S. al-Baqarah: 269

    Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam
    tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

  2. Q.S. Yusuf: 111

    “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

  3. Q.S. Ali Imran: 7

    Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Tanda-tanda keberhasilan dalam belajar, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, dengan menunjukkan profil antara lain sebagai berikut:

  1. Q.S. Ali Imran: 190-191

    (190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

    Maksud dari ayat tersebut adalah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, diantaranya adalah kesenangannya merenungkan, memikirkan, meneliti, memahami dan mengambil pelajaran terhadap ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi.

  2. Q.S. al-Maidah: 100

    “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”."54

    Maksudnya adalah seseorang yang belajar tersebut mampu memisahkan mana yang baik dan yang jelek, kemudian dia memilih yang baik, meskipun dia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu, dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang.

  3. Q.S. az-Zumar: 18

    “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.55 Mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang- orang yang mempunyai akal.”

    Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa orang yang belajar kritis dalam menerima ide, gagasan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain, serta pandai menimbang-nimbang hal- hal tersebut.

  4. Q.S. at-Thalaq: 10

    “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah menurunkan peringatan kepadamu.”

image

Maksudnya adalah bahwa orang yang belajar tersebut harus bertaqwa kepada Allah SWT.

Keberhasilan belajar dari masing-masing individu dapat diketahui dari seberapa jauh tingkatan mereka dalam mencapai hasil belajarnya sesuai dengan tingkatan hasil belajar tersebut baik pada domain kognitif, domain afektif maupun domain psikomotorik.

Seseorang yang melakukan aktivitas belajar sudah selayaknya memahami dan menyadari perolehannya atau hasil apa yang sedang/telah dicapainya, baik dalam pengembangan domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotoriknya, maupun peningkatan integritas iman, ilmu, dan amalnya, perolehan itu akan dapat diketahui antara lain dari penampilan atau perubahan yang terjadi pada orang yang belajar tersebut, mulai dari yang paling sederhana sampai pada suatu yang kompleks.

Perolehan belajar Islami tersebut akan dapat diketahui oleh masing-masing individu sesuai dengan tujuan belajar Islami yang hendak dicapainya. Dengan kata lain, hasil apakah yang hendak diperoleh seseorang setelah mengalami proses belajar tersebut guna mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan, dan setelah dievaluasi dengan memakai kriteria-kriteria tertentu, maka akan dapat diketahui apakah berhasil atau gagal.

Bertolak pada tujuan umum belajar Islami yang hendak dicapai, maka perolehan belajar Islami dari seseorang akan menuju ke arah “terpadunya iman, ilmu, dan amal seseorang, dan atau telah bertambah/berkembang domain kognitif, afektif dan domain psikomotorik secara optimal dan terpadu dalam diri seseorang. Optimalisasi dari hal-hal tersebut terwujud dalam karakteristik penampilan dirinya serta kepribadiannya yang mengimani Islam secara mantap dengan dilandasi oleh ilmu Islam, dan mampu mengaktualisasikan ilmunya selaras dengan nilai-nilai iman, serta senantiasa mengamalkan Islam dalam pelbagai aspek kehidupannya, mendakwahkan Islam dalam berbagai bidang, dan tetap teguh/istiqamah dan sabar dalam ber-Islam”.

Perolehan belajar semacam seperti di atas tersebut sudah barang tentu tidak dapat dicapai begitu saja oleh seseorang, melainkan harus melalui proses belajar yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus yang bsejak kemampuan yang terendah hingga yang tertinggi.

Perolehan belajar dalam Islam secara bertahap dapat dicapai sebagai berikut (berdasarkan taksonomi Bloom):

  1. Domain Kognitif
    Pada domain ini seseorang telah bertambah/berkembang kemampuan kognisinya dalam mempelajari ilmu-ilmu Islam (tanzili dan kauni). Bertambahnya kemampuan itu secara bertahap dimulai dari kemampuan hafalan, kemampuan pemahaman, kemampuan pemahaman aplikasi, kemampuan analisia, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, sampai dengan kemampuan evaluasi, dalam pengkajian ilmu-ilmu tersebut. Pengembangan kemampuan- kemampuan tersebut tetap dilandasi oleh sikap iman yang tertinggi. Karena itu penemuan-penemuan baru baik dalam ilmu maupun teknologi yang dihasilkan oleh konsep belajar Islami tersebut tidaklah netral. Tetapi justru ilmu selalu terkait atau inherent dengan nilai-nilai iman.

  2. Domain Afektif
    Pada domain ini seseorang telah bertambah/berkembang sikap (afeksi)-nya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta ajaran-ajarannya. Bertambah/berkembangnya sukap (afek) ini secara bertahap dimulai dari memiliki sikap menyimak, menaggapi, memberi nilai, mengorganisasi nilai, sampai dengan memiliki karakteristik nilai terhadap ajaran islam. Orang yang demikian ini karakteristik pribadinya sudah matang, yakni semua sikap, tingkah laku, keyakian dan gagasan menjadi inklusif mempribadi. Islam menjadi suatu pandangan hidupnya dan segala pengembangan ilmu, teknologi, budaya dan amal demi untuk menuju keridlaan Allah SWT. semata.

  3. Domain Psikomotorik
    Pada domain ini seseorang telah bertambah/berkembang kemampuan psikomotoriknya dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara bertahap, dimulai dari ketrampilan persepsi, ketrampilan kesiapan, ketrampilan respon terbimbng/terpimpin, ketrampilan mekanisme, tampilan nyata gerakan motorik, ketrampilan adaptasi, sampai dengan ketrampilan originasi dalam pengamalan ajaran islam. Tampilan pengamalan yang demikian itu akan diterima oleh lingkungan sosialnya, terutama mereka yang sadar akan kebenaran hakiki. Dan bagi umat yang belum sadar akan terdorong untuk menuju ke arah kesadaran yang hakiki akan kebenaran ajaran Islam. Karena dalam pengamalannya, dalam mendakwahkan ajaran Islam, selalu didasari oleh kesadran iman dan ilmu yang inherent.

Belajar merupakan sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dalam Islam ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan yang tinggi, diantaranya adalah :

  1. Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencari kebenaran.

    Firman Allah dalam Q.S. Fushilat: 53, yang berbunyi:

    “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

    Manusia dapat menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya dengan menggunakan kekuatan intelegensi yang dibimbing oleh hati nurani. Kebenaran-kebenaran tersebut sebagai tonggak sejarah yang pasti dilalui oleh semua manusia dalam perjalanan untuk mencapai kebenaran mutlak (yaitu Allah SWT.).

  2. Ilmu pengetahuan sebagai prasyarat amal saleh.

    Firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 28, yang berbunyi:

    “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali64 dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali(mu).”

    Seseorang yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan akan dapat berjalan di atas kebenaran serta dengan iman dan kekuatan ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan.

  3. Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mengolah sumber-sumber alam guna mencapai ridha Allah SWT.

    Firman Allah dalam Q.S. Luqman: 10, yang berbunyi:

    Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.

    Ilmu pengetahuan merupakan instrument untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah SWT. yaitu mensejahterakan manusia, guna mencapai ridha-Nya. kesejahteraan itu dapat diperoleh jika manusia mengelola sumber-sumber alam dengan mengetahui hukum-hukum dan aturan-aturan yang memungkinkan manusia dapat mengelola dan memanfaatkan bumi dengan baik. Oleh karena itu, tujuan ilmu pengetahuan adalah menghilangkan hambatan-hambatan pada jalan perkembangan yang benar bagi pribadi Muslim dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam yang ada, guna memperluas kehidupan dan memperkaya dalam segala segi.

  4. Ilmu pengetahuan sebagai alat pengembangan daya pikir.

    Ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua visi, yaitu sebagi produk berfikir atau sebagai kegiatan dan daya pikir. Sebagai pengembangan daya piker karena ilmu pengetahuan merupakan alat untuk memahami dan membiasakan diri untuk berpikir secara keilmuan yang dapat mempertajam daya pikir manusia.

  5. Ilmu pengetahuan sebagai hasil pengembangan daya pikir.

    Firman Allah dalam Q.S. az-Zumar: 9, yang berbunyi:

    “(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

    Manusia adalah makhluk yang berpikir, dari lahir sampai masuk liang lahat. Hampir semua masalah tidak lepas dari kegiatan berpikir. Berpikir pada dasarnya sebuah proses yang membuahkan ilmu pengetahuan. Proses tersebut merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai kepada kesimpulan yang berupa ilmu pengetahuan.

image

Menurut Najati (2005), cara belajar menurut al-Qur’an dapat melalui:

  1. Meniru (Imitasi)

    Al-Qur’an mengemukakan contoh tentang bagaimana manusia belajar dengan cara meniru, yaitu dalam Q.S. al-Ahzab: 21, yang berbunyi:

    “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

    Pada awal perkembangannya bayi belajar hanya dengan cara meniru orang tuanya, atau orang di dekat-dekat, karena tabiat manusia cenderung untuk meniru, maka teladan yang baik merupakan hal yang penting dalam membentuk prilaku manusia.

  2. Pengalaman Praktis dan coba-coba (trial and error)

    Manusia di dalam kehidupannya terkadang menghadapi situasi- situasi baru yang belum dipelajari bagimana meresponnya atau menyikapinya. Terkadang responsnya tepat, tetapi kadang responsnya terhadap situasi yang dihadapinya bersifat coba-coba.

  3. Berpikir

    Ayat al-Qur’an yang memberikan bukti, argument, dan mendorong manusia untuk berpikir tentang kebesaran Allah, diantaranya adalah Q.S. al-Ghasyiyah: 17-20, yang berbunyi:

    “(17) Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (18) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?, (19) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, (20) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

    Pada saat berpikir, manusia belajar membuat solusi atas segala persoalan, mengungkapkan korelasi antara berbagai objek dan peristiwa, melahirkan prinsip dan teori, dan menemukan berbagai penemuan baru.

1 Like

Saya sepakat dan untuk memahami bagaimana belajar terdapat tiga proses mendapatkan ilmu. Hadits di bawah ini memiliki kandungan dan makna yang sangat dalam dan luas berkaitan dengan ilmu. Ada beberapa makna dan hikmah yang bisa kita gali dari hadits yang cukup singkat ini.

Aafatul ilmi an-nisyaanu, waidhoo’atuhuu an tuhadditsa bihii ghoiro ahlihi
Artinya: “Penyakit yang merusak ilmu adalah melupakannya dan menyampaikannya pada orang yang bukan ahlinya.”

Pertama, Pengertian Ilmu.

Apa sebenarnya hakikat ilmu itu. Jangan-jangan kita belum ngerti betul apa itu ilmu. Ilmu artinya mengetahui sesuatu dengan benar, dengan hati yang jernih, obyektif jauh dari kepentingan dan prasangka yang tidak benar, melalui pemikiran dan analisa yang benar dan sistematis, akurat dan teliti serta didukung bukti-bukti dan dalil yang meyakinkan serta dilakukan oleh orang yang ahli dibidangnya.
Ilmu dalam pengertian seperti ini, kalau menyangkut masalah akidah, maka akidah kita menjadi akidah benar. Kalau menyangkut syari’at (fiqih), maka ibadah dan mu’amalah kita juga benar. Kalau menyangkut tashawwuf, maka akhlak, adab dan thariqoh kita juga benar, terhindar dari kepalsuan, tipuan dan kesesatan. Sebaliknya, kalau ilmunya tidak benar, bisa jadi akidah, ibadah dan tasawuf kita juga salah, sehingga amal kita tidak sah dan tidak diterima oleh Allah.

“Man amila amalan laisa 'alaihi amrunaa fahuwa ruddun” (Barang siapa yang melakukan sesuatu yang tidak kami perintahkan maka tertolak) (HR. Imam Ahmad dan Muslim)

Jadi barang siapa yang beramal, tapi amalnya tidak sesuai dengan petunjuk, tuntunan atau nilai-nilai ajaran Rasulullah SAW berarti amalnya itu keliru dan tentu saja ditolak. Para ulama kita telah menyusun kitab-kitab baik masalah akidah, fiqih, tashawwuf maupun yang lainnya semuanya didasarkan pada tuntunan kanjeng Nabi atau sejalan dengan nilai-nilai dan semangat ajaran yang beliau sampaikan.

Kedua, Kedudukan Ilmu

Ilmu memiliki kedudukan sangat penting dalam agama. Sebab, ilmu menjadi landasan kita untuk beramal. Sebelum beramal kita harus mempelajari ilmunya, dalam hal apapun. Imam Syafi’I berkata: Man aroodad dunyaa fa’alaihi bil’ilmi, wa man aroodal aakhirata fa’alaihi bil’ilmi, wa man aroodahuma fa’alaihi bil’ilmi. (Barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan), di dunia maka ia harus berilmu, dan barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan), di akhirat maka ia harus berilmu, dan barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan), keduanya (dunia dan akhirat), maka ia juga harus berilmu.
Jadi, mau apa saja kita harus ngerti ilmunya, apalagi masalah ibadah. Wudhu, sholat dan ibadah-ibadah yang lain juga harus ngerti ilmunya. Sebab, bisa jadi amal kita sia-sia karena tidak ngerti ilmunya.

Dalam sebuah kata bijak disebutkan:

“Wa kullu man bighoiri ilmin ya’malu a’maaluhuu marduudatun laa yuqbalu” (Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya ditolak, tidak diterima).

Subhanallah, begitu tingginya kedudukan ilmu. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits: "Satu orang alim yang mengerti agama lebih berat bagi syetan dari pada seribu orang ahli ibadah (tapi tidak alim).

Ketiga, Menjaga Ilmu

Setelah kita mempunyai ilmu, maka kita harus senantiasa menjaganya. Jangan sampai dibiarkan hilang tanpa usaha menjaganya. Sebab kalau kita lupa dengan ilmu kita akan banyak dampak buruknya. Bukankah kita diperintah untuk beramal setiap saat, lha kalau kita lupa ilmunya maka paling tidak ada dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi kita tidak mau beramal karena tidak tahu ilmunya (akibat lupa). Kedua, bisa jadi kita tetap beramal tapi amalnya salah karena ilmunya sudah lupa. Di samping itu, kita sering ditanya oleh orang yang mungkin jauh lebih awam dari pada kita. Lantas, kalau pertanyaan itu butuh segera dijawab padahal kita sudah lupa ilmunya (jawabannya) kan bisa menimbulkann mudhorot. Belum lagi sekarang ini banyak buku-buku baru yang perlu diteliti lagi. Sebab, banyak isinya yang kurang tepat, atau salah cetakannya atau ditulis oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Nah, kalau kita tidak tahu ilmunya, kan kita tidak bisa meluruskan hal itu.

Untuk menjaga ilmu, banyak cara yang bisa kita lakukan. Bisa dengan cara sering membaca, mengulang-ngulang, sering ikut pengajian atau majelis taklim. Bagi orang awam, salah satu cara menjaga ilmu yang paling praktis ya dengan mengamalkannya dan dekat dengan para ulama. Sedangkan bagi mereka yang 'alim, menjaganya dengan cara mengamalkannya serta mengajarkannya kepada orang lain, syukur-syukur juga dengan menulisnya dalam bentuk buku atau kitab. Rasulullah SAW bersabda: Man amila bimaa alima, allamahullaahu maa lam ya’lam. (Barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan mengajarkannnya apa yang ia belum ketahui).

Menjaga ilmu sangatlah penting, karena menjaga ilmu termasuk ibadah yang sangat besar pahalanya. Ibadah itu taqorrub kepada Allah, dan Allah SWT itu Maha Alim. Orang yang semakin berilmu maka semakin mudah taqorrubnya kepada Allah Yang Maha 'Alim.
Kalau kita tidak melakukan upaya untuk menjaga ilmu, maka kita termasuk telah melupakan ilmu. Sedangkan kalau kita melupakan ilmu, kita tidak bisa mengamalkannya dan amal kita bisa jadi tidak benar dan kita tentu saja tidak bisa mengajarkannya kepada orang lain. Nah, akibat dari tidak tersampaikannya ilmu agama ini kepada umat, maka berangsur-angsur ilmu agam akan hilang. Akibatnya, ilmu yang tersebar di masyarakat adalah ilmu yang tidak benar dan menyesatkan, umatpun menjadi mudah tersesat.

Referensi

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Al-jami’ as-Shahih, Dar Ibnu Katsir, beirut, cet III, 1989 M