Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabi
Sujaâi Sarifandi
Di samping ayatâayat Qurâan yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, al-Qurâan juga mendorong umat Islam untuk berdoâa agar ditambahi ilmu, dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan. Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting,dan Islam telah sejak awal menekankan pentingnya membaca. Mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasululullah SAW., menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menegakkan urusanurusan agamanya, sebagai kewajiban yang Fardlu âAin bagi setiap Muslim. Ilmu yang Fardlu Ain yaitu ilmu yang setiap orang yang sudah berumur aqil baligh wajib mengamalkannya yang mencakup; ilmu aqidah, mengerjakan perintah Allah, dan meninggalkan laranganNya.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qurâan yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadishadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Dalam al-Qurâan, kata ilmu dalam berbagai bentuknya digunakan lebih dari 800 kali, ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qurâan sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), al-Qurâan dan Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi.
Dalam QS. al-Mujadilah ayat 11, Allah SWT., berfirman:
Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan). dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah : 11).
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut Ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Fathir ayat 28 :
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah ulama (orang berilmu). (QS. Fathir : 28).
Di samping ayatâayat Qurâan yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, al-Qurâan juga mendorong umat Islam untuk berdoâa agar ditambahi ilmu, dan katakanlah, tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan. Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan pentingnya membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu QS. al-Alaq ayat 1-5:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan kamu dari segummpal darah. Bacalah,dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. (QS. al-Alaq : 1-5)
Ayat-ayat tersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal, sehingga Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan Ilmu pengetahuan menurut Islam membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal
Di samping ayatâayat al-Qurâan, banyak hadis Nabi yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut Ilmu Pengetahuan. Makalah ini secara khusus membahas tentang Ilmu Pengetahuan dalam perspektif Hadis Nabi.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Term ilmu dalam bahasa Arab berasal kata kerja (fiâil) âalima, bentuk mashdar (bentuk kata benda abstrak) dari yang berarti tahu atau mengetahui, dan dalam bentuk faâil (bentuk kata benda pelaku/subjek) âalim, yaitu orang yang mengetahui/ berilmu, jamaknya ulama, dan dalam bentuk mafâul (yang menjadi obyek) ilmu disebut maâlum, atau yang diketahui.
Dalam tinjauan Islam, pengertian ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan yang mempelajari pokok persoalan tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tafsir dan lain sebagainya.
Ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya menurut Imam al-Ghazali mencakup, ilmu Syarâiyyah dan ilmu Ghairu Syarâiyyah.
-
Ilmu Syarâiyyah adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dutuntut dan dipelajari oleh setiap Muslim.
- Di luar ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategori ghairu syarâiyyah.
Imam alGhazali juga mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu:
-
Ilmu Fardu Aâin adalah ilmu tentang cara amal perbuatan sesuai syariâat, dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam.
-
Ilmu Fardu Kifayah ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi, yang mencakup : ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Dalam perspektif kajian Islam, ilmu pengetahuan mengandung pengertian yang menyeluruh dan berkesinambungan dan nilai yang tidak dapat dipisahkan. Termasuk dalam konteks ini, ilmu sains dan teknologi adalah antara cabang ilmu pengetahuan yang memberi manfaat dan faedah besar kepada kelangsungan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Kedudukan Ilmu Pengetahuan, Orang Yang Menuntut Ilmu dan Orang Yang Berilmu
Mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasululullah SAW., menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menegakkan urusan-urusan agamanya, sebagai kewajiban yang Fardlu âAin bagi setiap Muslim. Ilmu yang Fardlu Ain yaitu ilmu yang setiap orang yang sudah berumur aqil baligh wajib mengamalkannya yang mencakup; ilmu aqidah, mengerjakan perintah Allah, dan meninggalkan laranganNya.
Bersumber dari Anas bin Malik ra. Ia berkata, Rasulullah SAW., bersabda:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. (HR. Abu Dawud).
Adapun ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka termasuk Fardlu Kifayah. Artinya seluruh kaum Muslimin akan berdosa jika tidak ada seorang pun di antara mereka yang menekuni suatu jenis ilmu, padahal mereka membutuhkannya. Mereka tidak terbebas dari dosa, sehingga ada salah satu di antara mereka memenuhi kewajiban itu.
Rasulullah SAW., memotivasi kepada para sahabatnya tidak hanya terbatas pada menuntut ilmu agama yang terkait dengan syariâah. Beliau juga menyeru mereka menuntut ilmu dan keahlian lain yang bermanfaat bagi kaum Muslimin, yaitu ilmu yang hukum menuntutnya fardlu kifayah. Oleh karenanya, Nabi SAW,. juga memotivasi sebagian sahabat untuk selalu belajar memanah yang waktu itu sangat diperlukan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.
Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW., bersabda
Bersumber dari âUqbah bin âAmir alJuhani ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa belajar memanah kemudian meninggalkannya, maka ia telah durhaka kepadaku. (HR. Ibnu Majah, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dan al-Darimiy dengan redaksi yang berbeda).
Ketika Rasulullah SAW., pertama kali datang ke Madinah, Zaid bin Tsabit ra. diajak kaumnya untuk bertemu beliau. Lalu Zaid diperkenalkan kepada Rasulullah sebagai anak muda belia Bani Najjar yang telah membaca tujuh belas surat al-Qurâan. Setelah mendengar bacaan Zaid, Nabi sangat mengaguminya dan memerintah Zaid untuk belajar bahasa Yahudi.
Bersumber dari Zaid bin Tsabit ra. berkata: Rasulullah SAW., memerintahku untuk belajar beberapa bahasa dari tulisan Yahudi.
Beliau bersabda,
âSesungguhnya aku, demi Allah! Tidak yakin bangsa Yahudi (memahami) atas tulisanku.â
Kata Zaid: Maka tidak lebih setengah bulan aku telah (berhasil) mempelajarinya.
Kata Zaid: Saat aku telah mempelajarinya, jika Nabi menulis untuk orang Yahudi, akulah yang menulisnya untuk mereka, dan jika mereka menulis kepada Nabi, akulah yang membacakan tulisan-tulisan mereka. (HR. al-Turmudzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Bahasa Suryani adalah bahasa asli Kitab Injil, sedangkan bahasa Ibrani adalah bahasa asli Kitab Taurat. Hadits di atas menunjukkan pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing, selama bahasa tersebut bermanfaat bagi umat Islam.
Hukum mempelajari bahasa asing yang bermanfaat ini termasuk kategori fardlu kifayah, dengan berdasar bahwa tidak semua sahabat Nabi diperintahkan untuk mempelajarinya. Selain itu Rasulullah SAW., menjadikan ilmu termasuk sesuatu yang harus menjadi cita-cita manusia dan harus menjadi ajang perlombaan, karena semakin banyak orang berilmu, kehidupan di dunia ini akan menjadi semakin baik.
Bersumber dari Abdullah bin Masâud ra. berkata: Nabi saw bersabda:
Tidak boleh hasud (iri), kecuali pada dua hal: orang yang dikaruniai harta benda oleh Allah kemudian ia menggunakan hartanya sampai habis dalam kebaikan, dan orang yang dikaruniai hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Yang dimaksud hasud dalam hadis ini adalah al-ghibthah, yaitu menginginkan nikmat yang sama dengan orang lain. Jika yang dinginkan persoalan duniawi hukumnya mubah, sedangkan jika persoalan ketaqwaan dan ketaatan hukumnya dianjurkan (mustahabbah). Jika hasud yang dimaksud adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain dengan harapan berpindah menjadi miliknya, ulama sepakat hukumnya haram dengan dasardasar yang ditegaskan al-Qurâan dan Hadis.
Pada hakikatnya manusia yang menjadikan ilmu sebagai cita-citanya dan berlomba-lomba untuk meraihnya, ia telah merintis jalan yang memudahkannya menuju ke surga.
Bersumber dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah memudahkan baginya jalan ke surga.â (HR. Muslim, al-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Darimi).
Dalam menjelaskan hadits ini, Imam al-Nawawi mengingatkan bahwa keutamaan saat bepergian mencari ilmu didapatkan seseorang, jika kesibukannya pada ilmu-ilmu syariâah dan bertujuan kepada Allah. Meskipun pada dasarnya hal ini merupakan prasyarat yang mutlak dalam setiap ibadah, para ulama punya kebiasaan mengingatkannya, karena sebagian orang sering bersikap gegabah dalam mencari ilmu. Lebih-lebih anak-anak muda yang sedang mencari ilmu, mereka sering melupakan tujuan dan niat.
Bahkan Rasulullah SAW., mengkategorikan orang yang meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu mempunyai kedudukan yang sangat terhormat, sebagai pejuang di jalan Allah. Bersumber dari Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
âBarangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.â (HR. al-Tirmidzi).
Di saat kaum Muslimin melakukan kegiatan belajar bersama, Allah menurunkan sakinah (ketenangan) kepada mereka, memberi rahmat yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, dan para malaikat senantiasa mengelilingi mereka dan menyebut mereka sebagai orang yang mendapat ridla di sisi Allah.
Bersumber dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda:
tidak berkumpul kaum (Muslimin) dalam suatu rumah Allah (masjid) seraya membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali mereka mendapatkan sakinah (ketenangan), dipenuhi oleh rahmat (kasih-sayang) dan para malaikat mengelilingi dan menyebut mereka di dalam golongan orang-orang yang berada di sisiNya. (Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Keutamaan ilmu di sisi Allah SWT., dapat kita simak pada awal mula penciptaan manusia. Para malaikat diperintahkan Allah untuk bersujud (menghormat) kepada Adam, karena Adam mampu menceritakan nama-nama (ilmu) yang diajarkan Allah dan malaikat tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS. al-Baqarah: 30-34). Oleh karena keutamaan ilmu, ada di antara malaikat yang bertugas menaungi orang-orang yang mencari ilmu dengan sayap-sayapnya.
Bersumber dari Shafwaan bin âAssaal alMuraadi ra. berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW., bersabda:
Tidak seorang pun keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, kecuali para malaikat menaungi dengan sayap-sayapnya, karena suka dengan yang ia kerjakan. (Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Darimi).
Demikian tingginya kedudukan ilmu, sehingga penuntutnya untuk kepentingan agama disejajarkan kedudukannya dengan nabi-nabi. Kelak di surga mereka berkumpul dengan para nabi-nabi Allah. Bersumber dari al-Hasan ra., ia berkata: Rasulullah SAW., bersabda:
Barangsiapa meninggal dunia di saat sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka ia masuk surga dalam satu tempat dengan para nabi-nabi. (HR. al-Darimi).
Rasulullah saw. membuat perumpamaan antara orang yang mau menenerima ilmu dan tidak mau menerimanya. Nabi SAW., mengibaratkan yang pertama seperti tanah yang berguna bagi manusia, sedangkan yang kedua seperti tanah yang mandul yang tidak berguna.
Bersumber dari Abu Musa al-Asyaâari ra. dari Nabi SAW., perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diperintahkan Allah kepadaku ialah seumpama hujan lebat yang jatuh ke tanah. Diantara tanah itu ada tanah yang bagus yang menerima air, maka ia menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak, dan ada tanah keras yang menampung air, maka Allah memberinya kegunaan bagi manusia untuk minum dan mengairi dan menanam, dan ada pula yang jatuh ke tanah lain, yaitu tanah datar yang licin, yang tidak dapat menampung air dan tidak menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan apa yang diperitahkan Allah kepadaku berguna baginya, maka ia tahu dan mau mengajarkannya, dan perumpamaan orang yang sama sekali tidak peduli dan tidak menerima pentunjuk Allah yang diperintahkan kepadaku. (HR. alBukhari, Muslim dan Ahmad).
Oleh karenanya orang yang mau bersungguh-sungguh belajar ilmu agama sampai ia memahaminya menjadi pertanda bahwa Allah menghendaki kebaikan kepada dirinya.
Bersumber dari Ibnu Abbas ra., sesungguhnya Rasulullah SAW., bersabda:
Barangsiapa yang dikehendaki Allah kepada kebaikan, niscaya Dia memahamkannya dalam urusan agama. (HR. al-Bukhari, Muslim, alTirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Darimi).
Kebaikan akan didapatkan seseorang, manakala dalam mencari ilmu disertai dengan tujuan dan niat yang positif dan bermanfaat bagi manusia dan kehidupan, atau dalam bahasa agamanya, dengan tujuan yang tulus karena Allah. Nabi Muhammad SAW., sangat mencela dan melarang penuntut ilmu yang hanya untuk tujuan popularitas, kekuasaan dan kemegahan duniawi.
Bersumber dari Hudzaifah ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW., bersabda:
Janganlah kalian mencari ilmu untuk menyombongkan diri kepada ulama, atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, atau untuk memalingkan muka manusia kepada kalian. Barangsiapa melakukan itu, ia masuk neraka (HR. Ibnu Majah).
Hasan bin Ali mengingatkan: âSiksaan atas seorang yang berilmu, disebabkan oleh hatinya yang mati, dan hati yang mati disebabkan mencari keuntungan duniawi dibungkus dengan amal akhiratâ. Oleh karenanya Yahya bin Muâadz mengatakan: âWibawa ilmu dan hikmah niscaya hilang, jika keduanya digunakan mencari duniaâ.
Bahkan Saâid bin al-Musayyab menegaskan: âJika kalian melihat seorang berilmu mengitari penguasa, maka ia adalah pencuriâ.
Umar Bin al-Khattab berkata: âJika kalian melihat orang berilmu suka kehidupan duniawi, maka waspadalah untuk agama kalian. Karena orang yang mencintai akan tenggelam di dalamnya.â
Dengan demikian, mencari ilmu yang bermanfaat harus menjadi tujuan bagi setiap manusia, dan hendaknya kita senantiasa berdoâa agar mendapatkannya. Rasulullah SAW., banyak memanjatkan doâa demikian kepada Allah.
Bersumber dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. berdoa:
Ya Allah aku mohon perlindungan kepadamu dari empat perkara; dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari hati yang tidak khusyuâ, dan dari jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak didengar. (HR. Abu Dawud, alNasaâi, dan Ibnu Majah).
Bersumber dari Ummu Salamah ra, bahwasanya Rasulullah saw ketika shalat subuh, setelah salam membaca:
Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rejeki yang baik dan amal yang diterima. (Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., memerintahkan agar kita senantiasa memohon kepada Allah agar diberi ilmu yang bermanfaat. Bersumber dari Jabir bin Abdullah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda:
Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepadaNya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (HR. Ibnu Majah).
Sedemikian tingginya kedudukan ilmu dalam Islam, sehingga Rasulullah SAW., menyebut ilmu termasuk tiga hal yang pahalanya tidak terputus setelah pemiliknya meninggal dunia. Bersumber dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
Ketika seseorang meninggal dunia maka akan terputuslah amalnya, kecuali tiga hal; kecuali sedekah jariah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan kepadanya. (HR. Muslim, al-Tirmidzi, al-Darimi, Abu Dawud, al-Nasaâi, dan Ahmad).
Demikianlah kedudukan ilmu dalam perpektif hadits nabawi. Rasulullah saw. semenjak terutus menjadi Nabi selalu mengingatkan para sahabat dan umatnya untuk selalu menuntut ilmu dan memberi penghargaan yang besar bagi para penuntut ilmu. Namun Rasulullah SAW., juga mengingatkan agar mencari ilmu tetap harus dalam koridor mengharapkan ridla Allah SWT. Hanya ilmu yang bermanfaat di akhirat dan dunia yang menghasilkan RidlaNya.
Manfaat ilmu hanya didapatkan jika disertai dengan niat dan tujuan baik dan benar ketika menuntutnya. Dengan niat baik dan benar, ilmu yang diperoleh diharapkan bermanfaat dan pahalanya tetap mengalir, meskipun pemiliknya telah meninggal dunia, sebagamaimana janji Rasulullah SAW.