Apa Makna Umat Muslim Sebagai Umat Pertengahan atau Ummatan Wasathan?

Mengapa Allah Swt menyebut umat Muslim sebagai umat pertengahan? Apakah makna umat pertengahan itu?

Allah Swt, dalam al-Quran, menggunakan ungkapan “ummatan wasatha” bagi umat Muslim. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda terkait dengan apa yang dimaksud dengan umatan wasatha ini.

Pada kebanyakan penafsiran Syiah dan Sunni disebutkan bahwa umattan wasatha disamakan dengan keadilan yaitu pertengahan dan sikap moderat. Artinya Kami telah menjadikan umat Muslim itu sebagai umat pertengahan dan moderat.

Sebagian ahli tafsir meyakini bahwa ummatan wasatha artinya umat terbaik yang dipilih oleh Allah Swt.

Sebagian ahli tafsir Syiah memandang bahwa ummatan wasatha bermakna perantara antara Rasulullah Saw dan umat Muslim serta membatasi personifikasinya pada para Imam Maksum.

Pandangan-pandangan ini saling berdekatan; karena itu sebagian ahli tafsir memandangnya masing-masing memiliki kemungkinan benar.

Penyebutan kalimat ummatan wasathan secara bergandeng di dalam Alqur’an hanya sekali yaitu sebagaimana terdapat dalam QS al-Baqarah (2); 143.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu,”.

Ibnu Jarir al-Tabariy sebelum menafsirkan ayat di atas, ia memberikan pengantar dengan menjelaskan bahwa; Allah swt berfirman: sebagaimana Kami telah memberikan petunjuk kepada kalian orang-orang beriman dengan mengutus Nabi Muhammad saw dan menurunkan Alqur’an sebagai pedoman hidup. Lalu Kami mengkhususkan kalian untuk berkiblat kepada kiblat Nabi Ibrahim dan Kami beri kelebihan kepada kalian dengan kelebihan yang tidak diberikan kepada umat-umat lain. Maka Kamipun memberi keutamaan kepada kalian yang juga tidak diberi kepada umat selain kalian dengan menjadikan kalian sebagai ‘ummatan wasathan’ .

Menurut al-Tabariy, kata al - ummah berarti sekelompok dari manusia dan atau sebagian dari mereka. Definisi yang disebutkan oleh al-Tabariy ini sama dengan definisi Ibn Mandzur yang mengatakan bahwa umat; adalah jama’ah atau kaum di kalangan manusia. (Ibn Mandzur, 1999). Adapun kata al - wasath, dalam bahasa Arab, berarti al-khiyar, yang maknanya adalah pilihan. Ia menambahkan bahwa al-wasath dalam ayat di atas berarti; bahagian yang terletak di antara dua ujung. Karena itu orang Arab akan berkata: ‘kedudukan fulan di antara kaumnya adalah wasath’ , jika mereka bermaksud mengangkat derajat orang tersebut.

Lebih jauh, al-Tabariy mengatakan bahwa Allah swt menyebutkan umat Muhammad saw sebagai ‘ummatan wasathan’ tak lain karena konsep keseimbangan mereka dalam beragama, dimana mereka bukanlah seperti orang-orang Nashara yang sangat berlebihan dalam kehidupan kependetaan (tarahhub) serta berlebihan dalam penghormatan kepada Nabi Isa a.s, mereka juga bukanlah seperti orang-orang Yahudi yang justru sangat menyepelekan agama Tuhannya, dengan merubah ayat-ayat-Nya, mendustakan dan membunuh Rasul-Rasul-Nya.

Akan tetapi umat Muhammad saw adalah umat yang berada pada posisi di antara kedua golongan di atas. Karena itu, Allah swt menyebut mereka dengan ‘ wasathan’ karena pada dasarnya urusan yang paling disukai Allah swt adalah yang pertengahan.

Al-Tabariy juga mentakwil al-wasath dengan al-‘adl. Dan kata inipun semakna dengan kata al-khiyar yang disebut sebelumnya. Sebab hanya orang-orang adil (bersikap seimbang) yang disebut orang-orang terpilih di antara manusia.

Selanjutnya, al-Thabariy mengemukakan empat belas riwayat yang menjelaskan mengenai makna dari al-wasath. Tiga belas riwayat memaknainya dengan al-‘adl.

Dari Abi Shalih, dari Abi Said, dari Nabi Saw tentang firmanNya: (wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan), ia berkata: ‘udulan’ (orang-orang yang adil).

Adapun riwayat yang terakhir, memberi makna al- wasath dengan mengatakan bahwa mereka adalah: umat yang berada ditengah-tengah antara Nabi saw dan umat yang lainnya.

Dengan demikian, menurut Ibn Jarir al-Tabariy konsep ‘ ummatan wasathan’ adalah masyarakat yang seimbang, memiliki sifat yang berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrim, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmani seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, dan kecenderungan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi. Atau dengan kata lain , ummatan wasathan adalah masyarakat yang hidup seimbang karena posisinya di tengah-tengah dan mampu memilah serta memilih yang terbaik dari segala yang saling bertentangan.

Jika ditelaah lebih jauh, maka dapat dikatakan bahwa penafsiran ulama yang muncul setelah al-Tabariy mengenai kalimat ‘ummatan wasathan’ adalah merujuk kepada apa yang telah dikemukakan oleh al-Tabariy di atas.

Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad Abduh, tetapi ia menambahkan jika kata al-wasath sama maknanya dengan al - khiyar.

Mengapa Allah swt lebih memilih menggunakan kata al-wasath daripada al- khiyar?.

Dengan panjang lebar ia menjelaskan bahwa paling tidak ada dua sebab, yaitu:

  • Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Dan sebagai saksi maka ia harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional), lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.

  • Kedua; bahwa penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah maupun muamalah.(Muhammad Abduh, 2002)

Sedang Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam tafsir al-Munir berkata; al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau intisari sesuatu, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat/perbuatan yang terpuji. Karena semua sifat yang terpuji adalah selalu bermuara pada sikap pertengahan, contohnya, keberanian merupakan sikap pertengahan dari sifat pengecut dan nekad. Tetapi ia juga menambahkan bahwa disebut juga sebagai al-khiyar (terbaik) karena ia mampu memadukan antara ilmu dan amal.(Wahbah al-Zuhayli, 1991).

Dengan maksud yang sama namun dengan penjelasan yang berbeda, M. Quraish Shihab mengatakan bahwa konsep ummatan wasathan, adalah masyarakat yang moderat yakni tidak tenggelam dalam kehidupan materialisme, tidak juga membumbung tinggi dalam kehidupan spiritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.(M. Quraish Shihab, 2000)

Selain kalimat ummatan wasathan , Alqur’an juga menyebutkan sebuah istilah untuk sebuah kelompok masyarakat yang memiliki makna kurang lebih sama yaitu; ummatan muqtashidah. Kalimat tersebut terdapat pada QS. Al-Maidah (5); 66.

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

Menurut Ahmad Mustafa al-Maragi, kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan dengan ummatan wasatan, karena keduanya mengandung makna moderat dan ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelihara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah-tengah berbagai komunitas di sekitarnya yang telah menyimpang.

Bedanya, cakupan ummah muqtashidah adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), yang berprilaku pertengahan dalam melakukan ajaran agamanya, dan kelompok pertengahan itulah yang cepat menerima kebenaran dan menyambut upaya-upaya perbaikan atau pembaharuan. Sedangkan ummah wasath adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam yang berada di antara dua komunitas Yahudi dan Nashrani.(A. Mustafa al-Maraghi, 1998).

Menurut Hamka Ummatan wasatan artinya umat yang pilihan lagi adil, dan juga bermakna umat yang pertengahan, yaitu pertegahan dalam segala pembawaanya, tidak melampaui dan tidak keterlaluan dalam menganut kepercayaannya, demikian juga akhlak dan amalannya, segala-galanya di tengah-tengah meliputi soal dunia dan akhirat.

Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, Islam dipersepsikan mengandung ajaran-ajaran moderat di dalamnya. Dalam sebuah ayat al-Qur`an umat Islam disebut sebagai ummatan wasathan, yaitu umat moderat yang tidak ekstrem kanan maupun kiri. Dijelaskan lagi bagaimana kedudukan ummat Muhammad di dalam menegakkan jalan lurus yang dikehendakinya itu.

Berkatalah ayat: “ Dan demikianlah, telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah”

Dalam struktur ajarannya, Islam selalu memadukan kedua titik ekstremitas yang saling berlawanan. Sebagai contoh, ajaran Islam tidak semata memuat persoalan ketuhanan secara esoterik (akidah), melainkan juga hal-hal lain menyangkut kemanusiaan dengan beragam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih detainya, komponen Islam mencakup tiga dimensi ajaran, yaitu al- ahkam al-i’iqadiyyah (ajaran tauhid), al-ahkam al-khuluqiyyah (ajaran etika dan moralitas), dan al-ahkam al-`amaliyyah (aturan praktis keseharian).

Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Qashash ayat 77 berikut ini.

“Dan carilah dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadamu akan negeri akhirat, dan janganlah engkau melupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.”

Sebagai ajaran universal yang tak mengenal penyekatan dalam bentuk apa pun, Islam tentunya dapat merefleksikan nilai-nilai kebebasan sejauh disertai tanggung jawab baik secara moral maupun hukum. Dengan ungkapan lain, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab dalam setiap titah dan perbuatan. Jenis dan ragam kebebasan dalam Islam bisa berupa kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkarya.

Watak dan karakteristik lain yang melekat pada Islam adalah al- wasathiyyah atau at-tawazun (moderat), yakni jalan tengah di antara dua kutub yang saling berlawanan. Misalnya jalan tengah antara spiritualisme ( ruhaniyyah ) dan materialisme ( maddiyah ).

Jika dilihat di dalam tafsir-tafsir al-Qur`an, maka din al-wasath (median or moderate religion) atau ummatan wasathan (moderate people) tidak digunakan untuk merujuk pada posisi tengah antara liberal dan radikal (teroris), namun digunakan untuk menyatakan agama-agama yang berada di tengah-tengah agama Kristen dan Yahudi atau yang “lembuh” dan “keras”. Makna baru wasath (tidak liberal dan tidak radikal) telah terjadi sebagai justifikasi setelah istilah Islam moderat beredar.

Ada beberapa ciri dasar Islam moderat yang menjadi landasan pengambilan sikap dalam kehidupan, yaitu: tidak menerima akal, apabila hal itu berseberangan dengan nash , memiliki sikap luwes dalam beragama, tidak pernah menguduskan turats (khazanah pemikiran lama) jika jelas-jelas ada kekurangannya dan tidak pernah meremehkan apabila di dalamnya ada keindahan hidayah, bersifat lentur dan senantiasa adatatif dalam sarana namun tetap ajeg sepanjang menyangkut masalah prinsip, tidak pernah melakukan ijtihad dalam masalah qathi dan jelas dalam agama, tidak setuju dengan taklid berlebihan sehingga menutup pintu ijtihad, tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu dan tidak berani menghalalkan sesuatu yang jelas haram.

Islam senantiasa mengajarkan untuk bersikap seimbang. Konsep “ummatan wasathan” ini sungguh bijaksana, sebab hidup selalu majemuk. Tidak akan ada kemampuan untuk memanunggalkan hidup dalam satu rupa. Dengan kemajemukan ini, maka diperlukan sikap yang arif melalui sikap moderat. Radikalisasi pemikiran akan berarti melawan kemajemukan serta menghindar dari kenyataan. Dan ini tentu justru akan melahirkan mudarat yang lebih banyak daripada manfaat. Karena itu, sikap ummatan wasathan seperti diwejangkan Al-Qur`an tentunya merupakan sikap terbaik yang perlu dipegang erat-erat oleh setiap muslim.

Karakter aswaja yang toleran dan akomodatif tersebut mengerucut dalam sikap tawasuth atau wasathiyyah, yang sering di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia sebagai moderasi. Menurut KH. Afifuddin Muhajir, wasathiyyah sebenarnya memiliki arti lain, yakni al-waqi’iyyah/realistis. Ini bukan sikap pasrah dan menyerah pada keadaan, melainkan mempertimbangkan kenyataan yang ada dan tidak bersikap mutlak-mutlakan, tapi sambil tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.

Dan ada dua ummat yang datang sebelum ummat Muhammad, yaitu ummat Yahudi dan ummat Nasrani. Terkenallah di dalam riwayat perjalanan ummat- ummat itu bahwasanya ummat Yahudi terlalu condong kepada dunia, kepada benda dan harta, sehingga di dalam catatan Kitab Suci mereka sendiri, kurang sekali diceritakan dari soal akhirat. Lantaran itulah maka sampai ada di antara mereka yang berkata bahwa kalau mereka masuk neraka kelak, hanyalah beberapa hari saja, tidak akan lama.

Sebaliknya dari itu adalah ajaran Nasrani yang lebih mementingkan akhirat saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sampai mendirikan biara- biara tempat bertapa, dan menganjurkan pendeta-pendeta supaya tidak kawin.

Tetapi kehidupan rohani yang sangat mendalam ini akhirnya hanya dapat dituruti oleh golongan yang terbatas, ataupun dilanggar oleh yang telah menempuhnya, sebab berlawanan dengan tabiat kejadian manusia. Terutama setelah agama ini dipeluk oleh bangsa Romawi dan diakui menjadi agama kerajaan.

Sampai kepada zaman inipun dapat dirasakan betapa sikap hidup orang Yahudi. Apabila disebut Yahudi, teringatlah kepada kekayaan benda yang berlimpah-limpah, menternakkan uang dan memakan riba. Dan bila membaca pelajaran asli Kristen, sebelum dia berkecimpung ke dalam politik kekuasaan, akan dapatlah ajaran Almasih yang mengatakan bahwasanya orang kaya tidak bisa masuk ke dalam surga, sebagaimana tidak bisa masuk seekor unta kedalam liang jarum. Maka sekarang datanglah ayat ini memperingatkan kembali ummat Muahammad bahwa mereka adalah suatu ummat yang di tengah, menempuh jalan lurus, bukan terpaku kepada dunia sehingga diperhamba oleh benda dan materi, walaupun dengan demikian akan menghisap darah sesama manusia. Dan bukan pula hanya semata-mata mementingkan rohani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua jalan hidup itu. Di dalam ibadat shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya itu, shalat dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku’ dan sujud, tetapi semuanya itu hendaklah dengan hati yang khusyu’.

Nampak pula dalam peraturan zakat dan harta benda. Orang baru dapat berzakat apabila dia kaya raya, cukup harta menurut bilangan nisab. Dan bila datang waktunya hendaklah dibayarkan kepada fakirmiskin. Artinya, carilah harta benda dunia ini sebanyak-banyaknya, dan kemudian berikanlah sebagian daripadanya untuk menegakkan amal dan ibadat kepada Allah dan untuk membantu orang yang patut dibantu.

Nampak pula pada peraturan di hari jumat. Di hari itu dari pagi bolehlah bekerja keras mencari rezeki, berniaga dan bertani dan lain-lain, tetapi setelah datang seruan jumat hendaklah segera berangkat menuju tempat shalat, untuk menyebut dan mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat, segeralah keluar dari mesjid untuk bekerja dan bergiat lagi.

Ini menunjukkan jalan tengah di antara tiga agama yang serumpun. Dalam pada itu secara luas dapat pula ditilik pandangan hidup barat yang dipelopori oleh alam fikiran Yunani yang lebih mementingkan fikiran (filsafat), dan alam fikiran yang dipelopori oleh India purba yang memandang bahwa dunia ini adalah maya semata-mata, atau khayal. Sejak dari ajaran Upanisab sampai kepada ajaran Veda, dari Persia dan India, disambung lagi dengan ajaran Budha Gautama, semua lebih mementingkan kebersihan jiwa, sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani yang menyusahkan.

Bangkitnya Nabi Muhammad Saw di padang pasir Arabia itu, adalah membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu umat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan rohani dan jasmani, karena kesehatan yang satu bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran tetapi dengan menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi khalifah Allah di atas bumi, untuk bekal menuju akhirat, karena kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Selama umat ini masih menempuh Shiratal Mustaqim, jalan yang lurus itu, selama itu pula mereka akan tetap menjadi umat jalan tengah.

Maka berkata ayat selanjutnya: “ Supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia .”

Menurut Imam az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya al-Kasyaf, umat Muhammad sebagai umat yang jalan tengah, akan menjadi saksi atas umat Nabi- nabi yang lain tentang kebenaran risalah Rasul-rasul yang telah disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Dan berkata lanjutan ayat: “ Dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas kamu” yaitu Rasul itu Nabi Muhammad Saw menjadi saksi pula dihadapan Tuhan kelak, sudahkah mereka menjalankan tugas mereka sebagai umat yang menempuh jalan tengah, adakah kamu jalankan tugas kamu itu dengan baik, ataukah kamu campur-adukkan sajakah diantara yang hak dan yang batil, sebab sifat tengahmu itu telah hilang.

Umat Muhammad menjadi umat tengah dan menjadi saksi untuk umat lain, dan Nabi Muhammad Saw menjadi saksi pula atas umatnya itu adakah mereka menjalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik?.

Maka setelah diketahui latarbelakang ini, mudahlah bagi orang yang berfikir mendalam apa sebab kiblat dialih. Peralihan kiblat bukanlah sebab, dia hanya akibat saja dalam hal membangunkan ummat yang baru, ummatan wasatan. Setelah itu, sebagai lanjutan dari ayat, Allah swt menerangkan tentang maksud peralihan kiblat di dalam membangun ummatan wasatan, “ Dan tidaklah kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya.” Yaitu kiblat ke Baitul Maqdis yang satu tahun setengah lamanya Rasul berkiblat ke sana, lalu dialihkan kepada Ka’bah yang ada di Makkah: “Melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumitnya.”.

Referensi :

  • Ahsin W.Al-Hafidz. Kamus Ilmu Al-Qur`an (Jakarta:Amzah, 2005)
  • Abu Yazid. Islam Moderat (Jakarta: Erlangga, 2014)
  • Samson Rahman, Ciri Umat Pertengahan (Koran Republika 21 Juli 2007)
  • Said Aqil Siradj, Membangun Keumatan yang Moderat (Koran harian Media Indonesia, 11 mei 2007)
  • Abdurrahman Wahid, dkk. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015)