Apa Makna dari Shirotol Mustaqim?

shirotol mustaqim

Shirath secara etimologi bermakna jalan lurus yang terang. Adapun menurut istilah, yaitu jembatan terbentang di atas neraka Jahannam yang akan dilewati oleh manusia ketika menuju Surga.

Shirotol mustaqim diterjemahkan sebagai jalan yang lurus. Yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan mana yang terdekat dan termudah bagi seseorang untuk wushul menuju Allah. Adalah keadaan insan itu berbeda-beda.

Maka dalam keragaman keadaan inilah setiap orang memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda pula.

Saudara mesti mengenali situasi dan kondisi masing-masing, dan keadaan masing-masing.

Sebagai contohnya, ada yg kaya dan ada pula yang miskin. maka jalan terdekat dan paling lurus bagi si kaya dan miskin itu pula berbeda. Yang kaya, maka jalan terdekat kepadaNYA adalah melalui syukur dan wujud-wujud syukur itu didzahirkannya dalam banyak bersedekah dan menolong orang yang susah. bagi yang miskin jalan yang paling dekat dan lurus itu adalah melalui banyak-banyak bersabar dan qona’ah, menerima keadaan dan kekurangannya dengan baik.

Bagi yang pandai, jalan yang paling lurus baginya adalah memanfaatkan kepandaiannya bagi banyak umat manusia. Bagi yang bodoh, jalan yang paling lurus baginya adalah belajar dan belajar menuntut ilmu agar bisa menjadi pandai dan bisa bermanfaat bagi orang banyak.

Mana jalan yang terdekat bagimu menujuNYA, itulah jalan yg lurus bagimu, untuk engkau tempuh. Adalah keadaanmu masing-masing itu berbeda-beda.
Bebanmu masing-masing pun beda-beda, dan Allah hanya membebanimu berdasarkan kemampuan optimalmu untuk menerima beban

Mursyid Syeikh Muhammad Zuhri (Abah FK)

Shirothul mustaqim juga bermakna Islam. Bermakna, Nabi Muhammad dan kedua sahabatnya, Abu Bakr ash-Shidiq dan Umar bin Khothob, juga bermakna, al-Qur’an.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, semua makna tersebut saling melengkapi. Karena barangsiapa menganut Islam, maka ia mengikuti Nabi Muhammad dan kedua sahabat utamanya, dan berpegang teguh kepada kitab suci al-Qur’an, tali Alloh yang kokoh.
Shirothul mustaqim selalu dimintakan setiap muslim dalam sholatnya, yakni ketika membaca surat al-Fatihah, ihdinash shirothol mustaqim, ya Alloh tunjukkanlah kami jalan lurus.

Lalu ketika makna shirothul mustaqim itu Islam, kenapa yang sudah muslim masih meminta Islam dalam sholat? Bahkan ada yang wajib lima waktu? Jawabnya, karena petunjuk/hidayah Islam sangat universal, mencakup segala sisi kehidupan dunia akhirat. Dan petunjuk/hidayah yang diminta itu, setidaknya, ada dua sisi.
Pertama, hidayah ilmu. Hidayah/petunjuk yang bisa didapat dari siapa saja dan dari mana saja. Seperti para sahabat nabi yang diajarkan al-Qur’an dan hadits yang Alloh wahyukan kepada nabiNya. Sampai seterusnya para pewaris nabi bisa memberi ilmu/hidayah ini kepada orang lain.

Tetapi ada juga hidayah sisi kedua, yaitu hidayah taufiqiyah. Hidayah yang menjadi hak prerogatif Alloh subhanahu wa ta’ala yang memberikannya kepada yang dikehendaki.

Alloh berfirman, QS. al-Qoshosh:56.

“Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak dapat memberi hidayah/petunjuk sekalipun kepada orang yang engkau cintai, tetapi hanya saja yang memberi petunjuk kepada yang dikehendakiNya. Dialah yang Maha mengetahui orang yang mendapat petunjuk.”

Sampai seseorang tidak akan mengerjakan sholat secara berjamaah ketika tidak mendapat hidayah ini, atau hanya sekedar sholat tidak tepat waktu. Jadi inilah alasan kenapa seorang muslim terus saja meminta petunjuk shirothul mustaqim kepada Alloh dalam setiap sholatnya.

Semoga Alloh memberi kita semua petunjuk.

Para Ulama telah banyak membahas dan menjelaskan tentang makna Al-Ṣirāṭ Al -Mustaqīm. Sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Kathīr rahimahullah menuki lathar(perkataan) para sahabat dan tabi‟in ketika menjelaskan Al-Ṣirāṭ Al -Mustaqīm. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa Al-Ṣirāṭ Al - Mustaqīm adalah Islam, ada yang menyatakan Al-Ṣirāṭ Al - Mustaqīm adalah Al- Ḥaq (kebenaran), lainnya lagi berkata bahwa Al- Ṣirāṭ Al - Mustaqīm adalah Nabi Muhammad S.A.W. dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar rodhiallahu an‟hu.

Kemudian Ibn Kathīr rahimahullah berkata, semua pendapat tersebut di atas adalah benar, bahkan saling melengkapi. Karena setiap yang mengikuti Nabi Muhammad S.A.W. dan kedua sahabatnya berarti telah mengikuti kebenaran, dan barangsiapa yang mengikuti kebenaran, maka ia telah mengikuti Islam, dan barangsiapa yang mengikuti Islam berarti ia telah mengikuti Al-Qur’an yaitu Kitabullah yang teguh dan jalan-Nya yang lurus.

Imam Al- Shaukānī (W: 1250 H) seorang ulama dari negeri Yaman pengarang kitab Tafsīr Fatḥ al - Qadīr menginterpretasikan ayat-ayat al- Ṣirāṭ al - Mustaqīm dengan al-irshād /petunjuk, al-Taufīq, al - Ilhām dan al - Dilālah, beliaupun mengatakan bahwa hidayah menuju al- Ṣirāṭ al - Mustaqīm adalah Islam.