Apa Hikmah Melakukan Ibadah Haji?

Haji

Haji adalah ibadah wajib yang harus dilakukan oleh umat muslim apabila mampu, dan dilakukan sekali seumur hidup.

Apa hikmah melakukan ibadah haji ?

Islam telah membuat beberapa aturan guna menguatkan rasa persatuan dan menanamkan semangat bekerja sama. Diantaranya, dengan memerintahkan sholat berjama’ah setiap waktu, memerintahkan untuk shalat jum’at sekali seminggu. Dan disunnahkan pula untuk shalat hari raya 2 kali setahun. Semua itu untuk menguatkan rasa persatuan antara beberapa golongan yang berdekatan.

Pada umumnya rasa persatuan itu belum cukup jika tidak dihadiri oleh segala utusan, baik dari Barat dari Timur, dari Selatan dan dari Utara. Dengan tidak memandang bangsa dan warna. Mereka hendaklah berpakaian sama, berkumpul suatu saat dalam satu tempat. Yaitu Padang Arafah dan Mina, dengan tidak membedakan kaya dan miskin, mulia, hina, raja ataupun hamba. Dalam pertemuan yang amat besar itulah mereka dapat mengenal satusama lain dan bertambah teguhlah rasa persatuan diantara mereka.

Mereka dapat bermusyawarah membuktikan segala kepentingan bersama, baik yang bersangkutan dengan aturan dan susunan penghidupan mereka, seperti keadaan perdagangan, perusahaan industri, teknik pertanian/hutikultural di negeri masing-masing dan lain-lain. Dengan ringkas, segala kemaslahatan dunia akhirat dapat dirembuk dan diatur ditempat itu oleh segala urusan masing-masing. Allah SWT berfirman di dalam surat Al-Hajj: 27-28:49

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (Q.S. Al-Hajj: 27- 28)

Berdasarkan ayat diatas haji merupakan kongres besar dan pertemuan orang-orang mukmin dari penjuru dunia. Mengumandangkan Asma-asma Allah. Dari sinilah kita bisa melihat berbagai suku bangsa bersatu melaksanakan perintah-perintah-Nya, secara serempak dan disiplin. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, tidak pandang bulu dihadapan Allah SWT, apakah ia raja maupun hamba sahaya, baik ilmuan maupun negarawan, berbagai disiplin ilmu berkumpul di tanah suci dengan mengenakan pakaian ihram. Inilah gambaran padang mahsyar yang digambarkan oleh khalid-Nya di Padang Arafah ketika berwukuf.

Pada hakikatnya, setiap perbuatan yang dilakukan dalam berbagai tahap tersebut mengandung peringatan dan pelajaran bagi yang mau menerima, dan dorongan bagi setiap orang-orang yang benar-benar ikhlas menuju kebenaran, serta pengenalan dan isyarat bagi setiap pelaku yang tanggap dan cerdas.

Maka sebaiknyalah apabila telah terbuka pintu-pintunya dan diketahui kandungannya, akan tersingkaplah sebagian rahasia-rahasianya bagi yang berhaji, sehingga membantunya merasakan kejernihan dalam hatinya, kesucian dalam batinnya serta kekayaan dan keluasan dalam wawasannya.

Nuansa haji ini kita hayati secara akal sehat, ternyata kita kecil dihadapan Allah SWT. Kebesaran rizki-rizkinya yang telah dianugerahkan kepada kita dengan jelas bisa bertemu langsung dengan berbagai suku bangsa. Kita juga dapat menyaksikan bukti nyata dari sejarah yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Maka berakhirlah risalahnya disini, dan telah disempurnakan agamanya yang telah tersusun rapi di dalam kitab suci Al- Qur’an.

Referensi : Nogarsyah Moede Gayo, Haji dan Umrah, (Jakarta: PandomMedia Nusantara, tt), hlm.

Hikmah ibadah haji adalah nilai-nilai positif atau manfaat yang terkandung di dalam ibadah haji yang akan didapat oleh orang yang melaksanakannya secara benar dan ikhlas kepada Allah. Setiap bentuk peribadatan Islam memiliki nilai dan manfaat tersendiri.

Nilai atau manfaat haji yang paling menonjol adalah sebagai mu’tamar tahunan. Ibadah haji yang dilakukan setahun sekali oleh umat Islam yang datang dari berbagai belahan bumi merupakan pertemuan akbar bagi umat Islam sedunia. Dalam pertemuan itu mereka bisa saling ta’aruf dan bertukar menukar informasi tentang keadaan kaum muslimin di negeri masing-masing.

Manfaat ibadah haji yang seperti itu telah menjadi perhatian para penulis Barat sejak dulu. Misalnya saja Lottop Stodard menulis dalam bukunya The New Morld of Islam menyatakan bahwa melalui ibadah haji umat Islam sedunia bisa bertukar pengalaman dan mengatur strategi bagaimana menyebarkan dakwah islamiyah dan membina persatuan umat. Bahkan setelah mereka kembali menjadi agen perobahan bagi masyarakat muslim.

Dari segi ubudiyah, ibadah haji merupakan cara yang efektif bagi orang muslim untuk mensucikan diri dan bertaqarub kepada Allah. Seorang yang tengah mengerjakan ibadah haji, ia merasakan ketenangan batin dan kenikmatan spritual yang sangat besar. Pengalamannya mengerjakan ibadah haji di tanah suci dengan gerakan-gerakan manasik haji, serta ziarah ruhani ke tempat-tempat bersejarah bagi perkembangan agama Allah, akan sangat berbekas dalam diri seseorang, dan menimbulkan rasa kagum kepada Sang Pencipta. Ketika di Masjidil Haram, mereka menyaksikan Ka’bah Baitullah, mereka melakukan thawaf tujuh keliling, bahkan di antaranya bisa mencium hajar aswad yang ada di dinding Ka’bah itu. Mereka memohon rahmat Allah, berdoa di Multazam, tempat yang sangat mustajab.

Mereka juga melakukan amalan-amalan lain yang dulu dikerjakan oleh Rasulullah Muhammad saw. Kesemuannya itu menimbulkan rasa haru yang sangat mendalam, menghilangkan rasa kesombongannya, luluh bersimpuh di hadapan Tuhan Rabbul Jalil. Pada saat itulah seorang hamba merasakan dirinya sangat hina dan tak berdaya di hadapan Sang Khalik Yang Maha Perkasa. Inilah suasana kebatinan atau pengalaman ruhani yang sangat berkesan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mengerjakan ibadah haji dengan khusuk dan mengharap redla Allah SWT.

Dalam suasana seperti ini seorang hamba berada sangat dekat dengan Tuhannya.
Dalam suasana batin yang bening seperti itu, seorang hamba memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahannya masa lampau, berjanji untuk menjadi hamba yang patuh dan taat kepada Allah, memasrahkan semua yang ada padanya untuk mengabdi kepada Allah, berharap agar Allah mengampuni semua dosa dan kesalahannya.

Rasul menerangkan hal itu:

"Dari Abu Hurairah, katanya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa mengerjakan haji semata-mata karena Allah, tidak berbuat keji dan tidak melakukan perbuatan jahat, maka orang itu bersih kembali seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Al-Bukhari)

Orang yang menunaikan haji ke Baitullah itu adalah mereka berkunjung ke “rumah” Allah, mereka adalah para tamu Allah. Allah SWT menghormati para tamu-Nya itu dengan memberikan rahmat dan ampunan-Nya.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda :

“Orang-orang yang berhaji dan berumrah itu adalah para tamu Allah. Jika mereka mohon kepada-Nya, niscaya Allah memperkenankannya, dan jika mereka memohon ampun kepada-Nya niscaya Allah mengampuninya”. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadis juga dinyatakan bahwa :

“Tamu Allah itu ada tiga, orang-orang yang berhaji, orang-orang yang berumrah, dan orang-orang yang berperang sabil” (HR. Al-Hakim)

Doa Nabi Ibrahim yang diabadikan di dalam surat Al-Baqarah 126 :

… dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Nabi Ibrahim as. sebagai Bapak Monoteisme adalah sosok teladan manusia. Ibadah haji ini sesungguhnya merupakan “monumen teologis” atas pengalaman pergumulan tiga orang hamba Allah, Nabi Ibrahim, Hajar istrinya, dan Ismail puteranya yang mencapai prestasi tertinggi dalam bertauhid kepada Allah SWT. Allah menghargai prestasi mereka bertiga itu dan mengabadikannya sebagai salah satu pilar agama Islam. Prestasi yang telah mereka capai dalam menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah ini adalah :

  1. Ibrahim sebagai hamba Allah telah menunjukkan ketaqwaan dan kepatuhan totalitas dan paripurna kepada Allah;

  2. Ibrahim sebagai kepala keluarga telah menunjukkan keberhasilannya membangun keluarga ideal, keluarga sakinah, keluarga yang bahagia sejahtera dan memperoleh ridla Allah SWT;

  3. Ibrahim sebagai Utusan Allah telah melaksanakan dakwah islamiyah, membina umat manusia, mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar serta menegakkan syi’ar agama Allah;

  4. Pengabdian seorang isteri yang tulus kepada suaminya yang didasari oleh kepasrahannya kepada Allah telah diperagakan secara sempurna oleh Hajar;

  5. Kecintaan ibu kepada anak dan tanggung jawab mengasihi dan mendidik anak juga telah dipraktikkan oleh Ibrahim dan Hajar terhadap Ismail, sebuah kecintaan yang dilandasi oleh taqwa kepada Allah;

  6. Bakti seorang anak kepada orang tua demi melaksanakan perintah Allah juga telah dicontohkan oleh Ismail secara mengagumkan dan patut menjadi teladan.

Dari berbagai peran sukses yang telah diperagakan oleh Ibrahim, Hajar dan Ismail dalam semua dimensi kehidupan, sebagai 'abid atau hamba Allah, sebagai utusan Allah, sebagai khalifah fil ardh, mengandung pesan-pesan moral yang sangat tinggi yang kiranya patut dikenang untuk dijadikan suri teladan manusia sepanjang masa. Nilai–nilai kehidupan seperti itulah yang hendaknya dihayati dan diresapi serta kemudian dipraktikkan dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, dan kehidupan bermasyarakat sepulang dari menunaikan ibadah haji.

Orang yang menghidupkan kembali dan mempraktikkan secara paripurna seluruh jejak langkah Nabi Ibrahim itu adalah Nabi Muhammad saw., keturunan Nabi Ibrahim dari garis Ismail. Rekonstruksi millat Ibrahim secara mini dan simple telah diperagakan oleh Nabi Muhammad dalam bentuk manasik haji. Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk mengikuti tatacara pelaksanaan haji sebagaimana yang telah diajarkan beliau dalam sebuah hadis : " Ambillah dariku tatacara manasik hajimu"

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. dan umat beliau untuk mengikuti jejak langkah Nabi Ibrahim itu melalui firman-Nya dalam surat An- Nisa’ ayat 125 :

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

Dalam surat An-Nahl ayat 123 jauga disebutkan hal itu :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Allah SWT menegaskan kembali perintah-Nya itu di dalam surat Ali-Imran ayat 95:

"Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.

Dengan demikian, dalam ibadah haji yang sekarang dikerjakan oleh umat Islam itu mengingatkan adanya dua tokoh pendiri agama tauhid yang sangat dominan dalam sejarah kehidupan umat manusia, yaitu Nabi Ibrahim as. dan Nabi Muhammad.saw. Karena jasa-jasanya itu Allah SWT memberikan gelar kehormatan yang luar biasa, yaitu khalilullah untuk Nabi Ibrahim as, dan habibullah untuk Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu, kehormatan yang diberikan kepada mereka berdua adalah bahwa nama mereka berdua selalu disebut-sebut disandingkan dengan nama Allah SWT, yakni ketika seorang muslim bershalawat dalam salatnya.

Dari segi sosial budaya, maka ibadah haji yang merupakan muktamar umat manusia sedunia dapat dijadikan sebagai ajang tukar-menukar informasi tentang keadaan umat Islam di negeri masing-masing. Ibadah haji dapat dijadikan sarana memperkokoh persautuan umat Islam sedunia. Dalam melaksanakan ibadah haji. meraka melakukan gerakan yang sama secara bersama-sama dengan niat dan tujuan yang sama pula. Meskipun mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda, suku bangsa, bahasa dan budaya yang bermacam-macam, serta status sosial yang berbeda pula, namun kesemuanya itu tidak bisa dijadikan alasan bagi dirinya untuk merasa lebih mulia dari yang lain. Karena itu, nuansa yang paling kelihatan dalam ibadah haji adalah dimensi vertikal. Semua sama di hadapan Allah, kesamaan itu dilambangkan dengan pakaian ihram yang dikenakan oleh setiap jamaah haji.

Pakaian ihram ini mendidik manusia untuk selalu ingat bahwa dirinya suatu saat akan dikafani dengan kain putih yang sedang dipakainya itu. Tidak ada embel-embel apapun dalam diri manusia di hadapan Tuhan. Mereka semua dalam keadaan telanjang, hanya selembar kain putih tanpa dijahit sebagai pembalut tubuhnya tanpa asesoris dan simbol-simbol kebesaran sebagaimana layaknya yang ada dalam masyarakat.

Pesan moral yang akan ditanamkan lewat ibadah haji itu adalah hendaknya manusia menyadari bahwa kehidupan manusia di dunia itu dipenuhi dengan berbagai “pakaian” baik berupa jabatan, kedudukan, harta dan perhiasan, yang kesemuanya itu membungkus hakekat dan kesejatian diri manusia. Maka melalui pakaian, gerakan, dan ucapan yang sama pada saat manusia melakukan ibadah haji diharapkan tumbuh kesadaran bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu tidak selamanya, penuh dengan kepalsuan, hanya permainan atau panggung sandiwara, di mana suatu saat jika perannya sudah habis, maka layar pun akan digulung dan manusia kembali ke asalnya, Allah SWT.

Jadi, ibadah haji itu sesungguhnya menyadarkan manusia tentang apa sebenarnya misi dan eksistensi hidup di dunia ini. Karena itu, tepatlan jika Nabi menyabdakan sebagaimana telah penulis sebutkan pada uraian terdahulu, bahwa seorang yang telah pulang dari menunaikan ibadah haji dan umrah itu ibarat bayi, segala dosanya diampuni, dan ia ibarat dilahirkan kembali. Karena itu, sepulang dari menunaikan ibadah haji, orang akan berpandangan yang serba baru tentang dunia ini, tentang harta, keluarga dan segala yang ia miliki. Dia akan memandang bahwa segala yang ada padanya tidak akan ada artinya kecuali jika hal itu disadari sebagai titipan Allah, dan hanya akan memberi manfaat secara hakiki apabila digunakan sepenuhnya untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sumber : Budi Kisworo, Ibadah Haji Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup

Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah (upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memeperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian). Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu (liqa’) dengan Tuhan.

Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, sa’i dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan seorang hamba menuju Tuhannya. Sedangkan musyahadah sebagai titik orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan (hubb) antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai, maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah “wajah” Tuhan. Dalam perspektif sufi kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan puji- pujian manusia tidak lagi bermakna.

Maka tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Ka’bah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi. Dalam pandangan kaum sufi, boleh jadi ada yang melihat ka’bah, wukuf, sa’i dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan di Makkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya, maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya.

Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Makkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilai- nilai religius artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan. Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya.

Di sinilah perlu digaris bawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula simbol atau gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus. Haji yang demikianlah yang pantas mendapat gelar haji yang mabrur, haji yang berhasil melakukan musyahadah dengan Tuhan dan mampu memberikan kebaikaan (birr), menaburkan kedamaian di muka bumi. Maka pantaslah surga sebagai balasannya.

Menurut Awwaludin Pimay (2009:), hikmah dalam berhaji ada 8 hikmah, yaitu sebagai berikut:

  1. Hikmah berpakaian ihrom, Islam memandang bahwa semua manusia adalah sama dan yang membedakannya dihadapan Allah Swt hanyalah ketaqwaannya.

  2. Hikmah thawaf, berputar mengelilingi Ka’bah memberikan makna bahwa kehidupan ini terus berputar. Jatuh bangun, kaya miskin selalu melilit kehidupan manusia silih berganti.

  3. Hikmah sa’i, keharusan usaha secara maksimal untuk mempertahankan kehidupan dengan penuh optimis dan tawakkal kepada Allah.

  4. Hikmah tahallul, jamaah haji agar bersedia berkorban di jalan Allah baik dengan jiwa, raga dan harta.

  5. Hikmah wukuf di padang Arafah, Arafah artinya mengenali. Dengan wukuf di Arafah diharapkan manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya.

  6. Hikmah mabit di Muzdalifah, mabit dan beristirahat di Muzdalifah bagaikan pasukan perang yang sedang menyiapkan tenaga dan senjata untuk berperang melawan musuh yaitu syetan.

  7. Hikmah mabit di Mina, dengan mabit jamaah haji diharapkan mampu meningkatkan kualitas dirinya dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dan mengenali lingkungan dimana ia tinggal.

  8. Hikmah melempar jumroh, dengan melontar jumroh diharapkan agar jamaah haji bertekad memusuhi segala kemaksiatan dengan janji diri untuk melempar jauh-jauh segala kemaksiatan dan kejahatan.