Wahyu dan Naprista

Photo by sohel ansari DX from Pexels

Cara duduk, tatapan mata, dan ekspresi wajah Wahyu memancarkan kelelahan setelah seharian menginterogasi seorang pelaku kasus pembunuhan berantai. Dirinya menatap dunia luar yang gelap gulita dengan mata kosong, larut dalam pikirannya yang sedalam samudra. Pria itu tak bergerak bagai batu bahkan ketika aku duduk di sebelahnya.

Meski sudah malam, Wahyu takkan pulang dari kantor. Dia tinggal di gudang belakang kantor. Kenapa? Pria ini memang unik, selalu ingin dapat kasus terbaru, selalu ingin siaga menjaga masyarakat. Sementara itu, aku harus diam di kantor karena memang jadwalku untuk jaga malam. Tak ada yang tahu kapan kejahatan akan terjadi.

“Yu?” panggilku pelan.

Efeknya luar biasa. Pria itu terkejut setengah mati. Matanya terbelalak. “Naprista!!” katanya kesal.

“Aku nggak salah kok. Aku ngomongnya pelan loh!”

Wahyu menghela nafas panjang, lalu kembali memandang ke luar jendela kantor.

“Capek, ya?” tanyaku memulai percakapan di malam yang sunyi ini. “Mau bagaimana lagi, pelaku yang tadi susah diajak bekerja sama. Kamu pasti lelah menginterogasi pria egois seperti itu.”

Pertanyaanku membuat Wahyu menoleh, memandangku tepat di mata. “Egois?”

Aku mengangguk. “Dia membunuh untuk kesenangannya sendiri loh.”

“Jadi kalau kamu nggak membunuh untuk kesenanganmu sendiri kamu nggak egois?” tanya Wahyu dengan intens. Nada bicaranya tinggi.

Dahiku berkerut. Jujur, aku bingung. “Hm, aku nggak merasa egois.”

Wahyu kembali menatap jendela kosong. “Kalau begitu jangan menuduh sembarangan orang lain egois. Kamu sendiri nggak yakin dirimu egois atau nggak.”

Aku salah. Seharusnya aku tak mengajak Wahyu mengobrol ketika dia sedang lelah. Pembicaraan ini hanya akan membuatku marah. “Baik. Aku yakin aku bukan orang yang egois.”

Wahyu kembali menatapku ragu. “Apa buktinya?”

“Buktinya aku jadi polisi. Aku jadi polisi supaya aku bisa membantu orang lain. Meskipun pekerjaanku seumur hidup hanya membuat surat kehilangan kartu ATM, aku senang. Yah, kalau bisa membantu ibu-ibu yang kecurian dompet di pasar aku lebih senang lagi sih.” Kataku tersenyum membayangkan raut wajah ibu-ibu yang menemukan dompetnya kembali.

Wahyu tertawa. “Jadi kamu tipe orang yang merasa senang setelah berbuat baik? Kalau begitu bukankah akhirnya kamu berbuat bagi untuk dirimu sendiri, supaya kamu yakin kalau kamu baik? Apakah kamu yakin kamu berbuat baik bukan untuk merasa senang?”

Jujur hatiku tersulut. Tenang, tenang. Kataku pada diri sendiri. Wahyu itu seniorku. Aku tak bisa sembarang marah padanya. “Kamu sendiri, memangnya kenapa jadi polisi?” Nada menantang gagal kusembunyikan.

“Aku? Sederhana saja. Soalnya aku suka memecahkan kasus. Aku memang egois. Aku jadi polisi untuk memenuhi hasratku sendiri. Kamu tahu kan? Perasaan bahagia ketika kasus terpecahkan? Ketika ada momen, ‘aha!!’ dalam pikiranmu?”

Dahiku kembali berkerut sembari aku memaksakan senyum. Aku menggeleng.

Wahyu menghembuskan nafas pasrah. “Alasan kedua aku jadi polisi karena aku senang menginterogasi. Kamu tahu kan? Perasaan larut dalam cerita seseorang begitu dalamnya hingga kamu bisa melihat dari sudut pandangnya, berpikir dengan pola pikirnya, dan merasakan apa yang dia rasakan? Lalu ketika akhirnya kamu menemukan bahwa kamu benar-benar memahami orang itu, dan timbul kesadaran akan seberapa besarnya potensi kejahatan dalam dirimu? Menginterogasi penjahat itu menyenangkan buatku karena membuka banyak sekali sisi diriku yang sebelumnya tak pernah kuketahui-karena aku tak pernah berada di posisi seperti itu. Rasanya aku jadi semakin mengenal siapa diriku sebenarnya, dengan membuka batas-batas ruang hitam dalam pikiranku.”

Sayang sekali orang ini eksentrik, padahal wajahnya ganteng. Ketampanannya itu jadi tersia-siakan. Kalau saja dia sedikit normal, Wahyu pasti sudah menikah.

Pria itu kembali menghela nafas mengeluh. “Kembali ke pembicaraan tadi. Aku hanya ingin mengingatkanmu kalau kita ini bukan hakim. Kalau saja kamu berada di posisi bapak itu, lahir dengan kondisi begitu, apakah kamu akan berbuat lain?”

Aku tak berniat membalas Wahyu dengan terbuka, aku kesal karena digurui. “Iya, maaf. Aku takkan bicara seperti itu lagi.” Yang penting pria ini berhenti berbicara.

Wahyu menerima permintaan maafku tanpa selidik, aku jadi lega. “Lagipula alasan kenapa kita tak egois karena menolong orang sudah tak bisa kuterima lagi. Aku meragukan cinta alturistik pada manusia.”

Salah. Kamu salah, Wahyu. Kataku dalam hati. Aku teringat pada seorang pria, yang tak kukenal, yang kutemui hanya hari itu saja. Pria itu kehilangan kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan demi menolong nyawaku. Dialah yang menginspirasiku untuk menjadi polisi. Aku selamanya berhutang padanya. Dia telah membuktikan padaku bahwa pertolongan yang alturistik itu ada. Dan aku akan tunjukkan bahwa kamu salah. Aku tidak mengatakannya, karena akan kutunjukkan melalui pekerjaanku ini. Janjiku dalam hati.