Usaha, Keberuntungan, Kesialan, dan Kesempatan: Penjelasan dari Sudut Pandang Budaya Romawi

qvot

Fortunam trahit quisquis contendit, sed labem poscit quisquis nil agit” adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang saya ciptakan sendiri; cenderung singkat, tetapi cukup sarat makna. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat ini kurang lebih memiliki arti demikian:

“Siapapun yang berjuang dan berusaha [untuk meraih mimpinya], ia menarik hati keberuntungan; tetapi siapapun yang tidak melakukan apa-apa [untuk meraih mimpinya], ia mengundang kesialan.”

Saya merasa bahwa ungkapan ini pantas diikutsertakan dalam Lomba Cipta Quotes 2.0 Dictio.id. Mengapa? Saya pikir, kutipan ini dapat menawarkan sudut pandang baru tentang tema “Berjuang Meraih Mimpi” kepada mereka yang membacanya.

Di bagian pertama kutipan ini, saya menulis demikian:

Fortunam trahit quisquis contendit…
“Ia menarik hati keberuntungan, siapapun yang berusaha [untuk meraih mimpinya]…”

Di bagian ini, saya memberikan pemikiran saya bahwa, di samping usaha kita sendiri, ada suatu hal yang lebih besar yang turut membantu kita: di sini, hal yang saya sebut sebagai fortuna, “keberuntungan” atau “nasib baik” (kata fortuna memiliki hubungan etimologis dengan kata fortune dalam bahasa Inggris). Tetapi, keberuntungan tidak datang dengan sendirinya, ditandai dengan “syarat” bahwa sang penerima keberuntungan perlu berusaha sendiri terlebih dahulu sebelum keberuntungan memihak dirinya.

Sebenarnya, konsep ini memang sudah ada di benak orang-orang Romawi sejak dulu—mengingatkan saya akan satu kutipan dari puisi epik karya seorang penyair Romawi, Publius Vergilius Maro:

Audentes fortuna iuvat.
—Aeneid, buku X, baris ke-248

yang artinya sangat mirip dengan pendapat saya: “keberuntungan memihak orang-orang berani”.

Di bagian kedua dari kalimat ini, saya menulis demikian:

… sed labem poscit quisquis nil agit
"Tetapi ia mengundang kesialan, siapapun yang tidak melakukan apapun [untuk meraih mimpinya]

Berkebalikan dengan bagian pertama, bagian ini menjelaskan apa yang akan terjadi bila seseorang hanya berangan-angan tetapi tidak berusaha: “memanggil kesialan”. Walaupun terdengar sedikit ekstrem (apakah benar seseorang akan mengundang kesialan jika tidak berusaha meraih mimpinya?), saya rasa istilah labes “kesialan” cukup pantas digunakan di sini, mengingat bahwa kesempatan yang terbuang—dan belum tentu akan datang lagi sepanjang sisa hidup—dapat terhitung sebagai “nasib buruk”, dan bisa mengingatkan pendengar (atau pembaca) untuk segera bangkit dan bergerak sebelum hal itu terjadi.

Pemikiran ini lagi-lagi mengingatkan saya akan tulisan seorang penyair Romawi lain, Decimus (atau Decimius) Magnus Ausonius, tentang berlalunya waktu dan kesempatan:


Conquerimur, Natura, brevis quod gratia florum,
Ostentata oculis ilico dona rapis.

Collige virgo rosas, dum flos novus et nova pubes,
Et memor esto aevum sic properare tuum.
—De Rosis Nascentibus

(…
Kami mengeluh, wahai Alam, oleh karena singkatnya keindahan bunga-bunga,
Sesaat ditunjukkan ke mata kami, pada saat itu pula keindahan mereka kau ambil.

Wahai gadis, kumpulkanlah mawar-mawar segar selama masih baru masa mudamu,
Dan ingatlah bahwa demikian pula waktumu berlalu.
—Tentang Mawar-mawar yang Merekah)

Jadi, melalui ungkapan saya ini, saya ingin menelusuri pendapat bahwa kita tidak pernah berusaha sendiri. Saat kita telah memulai sesuatu dengan berusaha, semesta akan mendukung usaha tersebut, dan mereka yang tidak mau berusaha tidak akan mendapatkan apa-apa selain waktu dan kesempatan yang terlewat begitu saja secara percuma. Kutipan ini berperan sebagai pengingat bahwa, dalam perjalanan dan perjuangan meraih mimpi, ada keseimbangan antara usaha milik mereka yang bertujuan mewujudkan cita-citanya, dan peran agung semesta yang tidak hanya tinggal diam melihat usaha itu.

oleh Stanislaus Flaviflorius Joshua


Sebagai catatan sampingan, saya menggunakan lukisan Pollice Verso (“ibu jari terbalik”) karya Jean-Léon Gérôme di tahun 1872 di poster. Lukisan ini menggambarkan seorang gladiator murmillo yang telah menang melawan seorang gladiator retarius dalam sebuah pertandingan di Colosseum pada zaman Romawi.
Lukisan ini, lambang SPQR (Senatus Populusque Romanus, “Senat dan Rakyat Romawi”, motto dari zaman Republik Romawi) di poster, dan kutipan-kutipan sastra Latin klasik dalam penjelasan di atas bersesuaian dengan pelafalan Latin yang saya gunakan. Saya mengucapkan kutipan saya menggunakan pelafalan Latin Klasik yang kemungkinan besar digunakan pada zaman Romawi, ketimbang pelafalan gerejawi/gaya Italia yang lebih lazim digunakan saat ini.