Tunjukkan Segala Sesuatu Padaku Apa Adanya

Pepatah “Hati menjadi saksi bagi hati yang lain,” mengacu pada sebuah realitas yang tersembunyi. Jika semua realitas terungkap secara terbuka, apa perlunya kata-kata diucapkan? Demikian juga, ketika hati sudah menjadi saksi, lantas apa gunanya kesaksian lisan?

Wakil Amir berkata,

“Sungguh, hati dapat memberikan kesaksian. Tetapi, hati memiliki tugasnya sendiri, telinga juga memiliki peran sendiri, mata juga demikian, dan begitu pula dengan lisan. Dengan demikian, ada kebutuhan laten terhadap semuanya agar dapat menambah guna."

Maulana Rumi berkata:

“Jika hati bisa khusyuk secara total, maka semua anggota badan yang lain akan gugur di dalamnya dan lisan tidak lagi dibutuhkan lagi "

Contohnya adalah Laila. Laila bukanlah sebuah sosok spiritual, ia adalah seorang perempuan yang punya raga dan bernafas, ia berasal dari air dan tanah. Tapi kecintaan Majnun pada Laila telah membuatnya begitu terampas dan terkuasai sehingga ia tidak lagi membutuhkan mata untuk melihat Laila, tidak pula membutuhkan telinga untuk mendengar suaranya. Hal ini dikarenakan Majnun tidak merasa Laila adalah raga yang terpisah dari dirinya, dan itulah yang membuatnya terus berteriak:

Bayanganmu dalam pandanganku,
namamu mengikat lidahku.

Kenanganmu dalam hatiku,
ke mana harus kukirim kata-kata yang kurangkai ini?

Husain Ibn Manshur al-Hallaj.

Jadi, wujud jasmaniah memiliki satu kekuatan luar biasa yang mampu membuat asmara dalam diri manusia memasuki sebuah keadaan di mana ia tidak melihat dirinya berada dalam raga yang terpisah dari sang kekasih. Semua indranya terserap: penglihatan, pendengaran, penciuman, dan yang lainnya. Tak ada anggota badan yang meminta jatah untuk dirinya sendiri dan terpisah dari yang lainnya, semua wujud menyatu. Jika setiap indra memainkan peran mereka masing-masing sepenuhnya, maka semuanya akan luruh dalam satu pengalaman dan tidak akan menginginkan yang lain lagi. Jika masih ada salah satu indra yang meminta tugas terpisah dari tugas indra lainnya, maka itu menunjukkan bahwa indra tersebut tidak mengambil tugasnya yang hakiki dan sempurna. Indra itu mengambil tugas yang kurang, dan dari sini bisa dipahami bahwa ia tidak benar-benar masuk ke dalam misi itu. Sementara indra lain mulai mencari tugas mereka masing-masing, dan semuanya menjadi terbagi.

Dari sudut pandang esensi, semua indra melihat pada satu hal, tetapi jika dilihat dari sudut pandang bentuk luarnya, masing-masing mereka berbeda satu sama lain. Ketika satu indra bergerak masuk menuju kehidmatan, maka semua indra yang lain akan menyusul dan melebur di dalamnya. Sama halnya ketika seekor lalat terbang ke atas dengan menggerakkan sayap-sayapnya, kepalanya, dan semua anggota badannya secara terpisah, tetapi ketika ia tenggelam ke dalam madu, maka semua anggota badannya menjadi satu dan masing-masing tidak bergerak sama sekali.

Penenggelaman membuat orang yang tenggelam itu menjadi tidak lagi ada di sana. Tidak ada lagi usaha yang tersisa dan tidak ada lagi perbuatan serta gerakan. Mereka tenggelam dalam air. Semua laku yang muncul dari dirinya bukan lagi menjadi miliknya, tapi menjadi laku air. Jika orang itu masih bisa memukul dan menendang air itu dengan tangan dan kakinya, maka itu bukan tenggelam namanya. Demikian juga jika mereka berteriak, “Aku sedang tenggelam,” ini juga tidaklah disebut tenggelam.

Ambilah ungkapan masyhur ini: “Aku adalah Allah.” Sebagian orang mengganggap ungkapan tersebut sebuah pernyataan besar yang tak berdasar. Tapi sebenarnya, ungkapan itu adalah wujud kerendahan hati yang besar. Karena orang yang berkata: “Aku adalah hamba Allah,” berarti percaya akan adanya dua eksistensi yang berbeda, dirinya sendiri dan Allah SWT. Sementara mereka yang berkata “Aku adalah Allah,” berarti ia telah meniadakan diri dan mendamparkan dirinya pada angin. Mereka berkata “Aku adalah Allah” berarti bahwa “Aku bukan apa-apa, Allah adalah segalanya, tidak ada wujud kecuali diri-Nya. Aku sepenuhnya tidak ada, aku hampa.

Di sini, kerendahan hati adalah yang paling besar. Inilah yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Jika seseorang mempersembahkan ibadahnya kepada Allah untuk menghormati keagungan-Nya, maka ibadah mereka masih tetap ada. Meskipun ini demi Allah semata, mereka masih melihat dirinya sendiri, perbuatannya, dan juga Allah. Mereka tidak bisa dikatakan tenggelam ke dalam air, sebab orang yang tenggelam dalam air adalah orang yang tak lagi bergerak dan bertindak karena semua gerakannya adalah gerakan air.

Jika ada seekor singa yang sedang memburu kijang dan kijang itu melesat melarikan diri, maka di sini berarti ada dua eksistensi yang tampak, singa dan kijang. Namun ketika singa itu berhasil menerkam si kijang dan mencabik-cabik dengan cakarnya, dan karena begitu takutnya kijang pada singa, kijang menjadi kehilangan kesadaran dan jatuh di hadapan sang raja hutan, maka pada saat seperti ini, yang ada hanya eksistensi singa, sementara eksistensi kijang telah terhapus dan hilang dengan sendirinya.

Penenggelaman sejati adalah ketika Allah memberikan rasa takut kepada para wali-Nya. Perasaan takut di sini tidak seperti rasa takut manusia kepada singa, macan, dan pada kezaliman, melainkan rasa takut akan perpisahan dengan-Nya. Dia menunjukkan kepada mereka bahwa rasa takut itu berasal dari Allah, sebagaimana rasa aman, kehidupan yang damai dan kebahagian, makan, minum, dan tidur yang semuanya juga berasal dari Allah. Dia menunjukkan kepada para wali dalam bentuk khusus yang hanya bisa dilihat oleh mata yang awas dan terbuka, dalam bentuk singa, macan, atau api. Dengan demikian, para wali akan segera mengetahui bahwa wujud singa dan macan yang ia lihat itu sama sekali bukanlah wujud yang berasal dari dunia ini, tetapi wujud dari dunia gaib. Binatang itu dibentuk dalam sebuah wujud dan memperlihatkan keindahan yang luar biasa. Demikian juga perkebunan, sungai, pohon, istana, makanan, minuman, jubah kehormatan, burak, kota, tempat tinggal dan berbagai jenis keajaiban lainnya—mereka (para wali) mengetahui bahwa semua itu bukanlah wujud dari dunia ini. Allah menampakkan dan mengungkapnya dalam sebuah wujud khusus agar wali itu bisa melihatnya. Dengan begitu, bisa dipahami sepenuhnya bahwa rasa takut, rasa aman, kebahagiaan, dan setiap tampakan spiritual itu berasal dari Allah semata.

Sekarang, semakin jelas bahwa rasa takut akan perpisahan dengan Allah ini tidak sama dengan rasa takut yang ada dalam diri makhluk-Nya, karena rasa takut itu berasal perenungan dan pengalaman dan bukan karena adanya dalil atau bukti. Hal itu dikarenakan Allah SWT menunjukkannya dalam bentuk yang pasti, bahwa segala sesuatu itu berasal dari-Nya. Bisa jadi para filsuf mengetahui hal ini, tapi mereka mengetahuinya melalui bukti, sementara bukti itu tidak permanen. Kebahagian yang didapat dari bukti tidaklah abadi, sehingga kamu bisa berkomentar tentang bukti itu: “Ia menyenangkan, hangat, dan mekar.”

Ketika kenangan tentang bukti itu berlalu, maka ketegangan dan kehangatannya juga berlalu. Misalnya seseorang mengetahui dengan bukti bahwa rumah ini dibangun oleh seorang tukang. Dengan bukti, ia juga mengetahui bahwa tukang itu memiliki dua mata, ia tidak buta, ia memiliki kemampuan untuk membangun suatu konstruksi bangunan, ia mampu, ia ada dan bukan tidak ada, ia hidup dan tidak mati, sebelumnya ia juga pernah membangun rumah. Orang itu mengetahui semuanya, tapi melalui bukti. Sementara bukti tidaklah abadi, dan bisa dilupakan dengan sangat mudah.

Para pecinta yang melayani Tuhannya mengetahui tukang itu, dan mereka melihatnya dengan mata keyakinan. Mereka telah makan roti dan garam bersama-sama serta berkumpul bersama-sama. Meski demikian, tukang itu tidak pernah menghilang dari pikiran dan pandangan mereka. Orang-orang semacam ini fana (lebur) ke dalam Tuhannya. Bagi mereka, dosa bukanlah dosa dan kejahatan bukanlah kejahatan. Karena mereka sudah takluk dan menghilang ke dalam Sang Maha Benar.

Seorang raja memerintahkan semua pelayannya agar masing- masing memegang cangkir dari emas, untuk menyambut seorang tamu yang akan segera tiba. Sang raja juga memerintahkan pelayan kesayangannya untuk melakukan hal serupa. Ketika sang raja menampakkan wajahnya, pelayan kesayangan raja itu kehilangan kendali dan tak sadarkan diri setelah melihat sang raja, cangkir pun jatuh dari tangannya dan pecah. Ketika pelayan lain melihat kejadian itu, mereka berkata, “Mungkin kita juga harus melakukannya,” mereka pun menjatuhkan cangkir-cangkir mereka dengan sengaja.

“Mengapa kalian melakukan hal itu?” tegur sang raja.

“Karena pelayan kesayangan baginda melakukan hal demikian.” Jawab mereka.

“Dasar bodoh!” teriak raja. “Bukan dia yang melakukan hal itu, tapi aku.”

Secara kasat mata, semua perilaku hamba itu adalah dosa. Tapi justru dosa itulah yang merupakan bentuk ketaatan, bahkan melampaui ketataan dan perbuatan dosa. Tujuan hakiki dari mereka semua adalah pelayan kesayangan raja itu. Para pelayan yang lain hanyalah pengikut sang raja, dan dengan demikian berarti mereka adalah pengikut dari pelayan kesayangan itu, karena ia sudah menjadi esensi dari sang raja yang, meski tampilan luarnya memakai wujud budak, hatinya dipenuhi dengan kecantikan sang raja.

Allah SWT berfirman:

“Jika bukan karena engkau (Muhammad), tak akan kuciptakan alam semesta.”

Dalam riwayat yang lain tertulis: “Jika bukan karenamu, tak akan kucipta surga,” dan “Jika bukan karenamu, neraka tak akan kucipta.”

Kata “Akulah Allah” menunjukkan wujud-Nya sendiri. Dengan demikian, ini berarti “Aku menciptakan alam semeseta karena diri-Ku sendiri.”

Inilah “Akulah Tuhan” dalam bahasa dan simbol yang lain. Walaupun kata-kata para wali agung muncul dalam ratusan bentuk yang berbeda, bagaimana mungkin kata-kata mereka berbeda sementara Allah itu satu dan jalan yang ditempuh juga satu? Meskipun kata-kata itu tampak bertentangan dalam bentuk luarnya, namun esensinya adalah sama. Perbedaan antara mereka hanya dalam bentuk luarnya saja, sementara esensinya tetap satu. Ini sama dengan perumpamaan seorang raja yang memerintahan prajuritnya untuk mendirikan tenda. Salah seorang dari mereka menjalin tali, sementara yang lainnya memancangkan pasak, dan orang yang ketiga membuat penutupnya, prajurit keempat menjahit, yang kelima merobek, dan yang keenam menyulam dengan jarum. Meski yang dilakukan oleh para prajurit itu berbeda-beda bentuk luarnya, akan tetapi secara esensi mereka bersatu dan mengerjakan satu misi. Seperti itulah kondisi-kondisi yang terjadi di dunia ini.

Ketika kamu melihat sebuah masalah dengan benar, kamu akan melihat semua makhluk di bumi ini melakukan hal yang sama, beribadah kepada Tuhan. Yang fasik dan yang saleh, pendosa dan yang taat, setan dan malaikat. Misalnya para raja hendak mengetes hamba-hambanya dengan cara yang berbeda-beda, sehingga bisa melihat mana yang teguh dari mereka dan mana yang tidak, yang baik dan yang buruk, serta yang setia dan yang pembangkang. Untuk itu, sang raja membutuhkan seorang pengganggu dan penghasut untuk mengetes keteguhan hati dan keikhlasan para hambanya. Tanpa adanya pengganggu dan penghasut ini, bagaimana mungkin keteguhan hati dan keikhlasan seorang hamba dapat ditentukan? Jadi, pengganggu dan penghasut ini sedang melayani raja, karena atas kehendak raja mereka bertindak. Dia mengirimkan angin untuk menunjukkan yang teguh dari yang tidak teguh, untuk memisahkan lalat dari pohon dan taman sehingga lalatnya akan pergi dan elang tetap tinggal.

Sorang raja memerintahkan budak perempuannya untuk merias diri dan kemudian menawarkan diri mereka kepada para pelayan laki-laki untuk menguji apakah mereka amanah atau penghianat. Meskipun secara lahiriah perbuatan para budak perempuan itu adalah sebuah kemaksiatan, namun sesungguhnya mereka sedang mengabdi kepada raja mereka.

Para hamba-hamba Tuhan yang sejati melihat sendiri di dunia ini, tidak dengan bukti atau sekedar ikut-ikutan tetapi dengan pengamatan dan penglihatan langsung tanpa selubung atau tabir, bahwa semua manusia, yang baik maupun yang buruk, mempersembahkan ibadah dan ketaatan mereka kepada Allah.

“Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. an-Isra’: 44)

Dengan demikian menurut para wali itu, dunia ini sendiri adalah kiamat, karena kiamat berarti bahwa semua orang melaksanakan ibadah kepada Allah dan tak melakukan hal lain selain beribadah kepada-Nya. Mereka melihat esensi tersebut di dunia ini. Ada sebuah ungkapan: “Sekali pun selubung itu tersingkap, keyakinanku tidak akan bertambah.” Alim, secara kebahasaan bermakna ‘lebih unggul dari arif.’ Allah sendiri disebut ‘Alim , dan tidak seharusnya Allah disebut ‘Arif . Sementara arti dari kata arif itu sendiri adalah orang yang tidak tahu dan kemudian menjadi tahu. Oleh karena itu, hal semacam ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah. Namun dari segi pemakaiannya, arif lebih utama dari alim karena arif bermakna orang yang mengetahui dunia tanpa adanya bukti, ia mengetahuinya dengan pengamatan dan melihat langsung. Orang semacam inilah yang disebut arif.

Dikatakan bahwa “Satu orang alim lebih utama dari seratus zahid.” Bagaimana bisa satu orang alim bisa lebih utama dari seratus orang zuhud? Bagaimanapun juga, para zahid mempraktikkan kezuhudannya melalui media ilmu, sebab zuhud tanpa ilmu adalah hal yang mustahil.

Lantas apa itu zuhud? Zuhud adalah berpaling dari dunia dan berfokus pada ketaatan dan akhirat. Puncaknya, ia harus mengetahui dunia, kejelekan dunia, dan ketidakabadian dunia. Ia pun harus mengetahui kelembutan akhirat, kekekalan, dan keabadiannya. Selain itu, ia harus senantiasa berusaha sekuat tenaga agar selalu berada dalam ketaatan sembari selalu mengatakan: “Bagaimana aku bisa menjadi orang yang taat, dan apakah taat itu?” ketahuilah bahwa semua itu adalah ilmu. Dari sini bisa kita pahami bahwa zuhud tanpa ilmu adalah mustahil, sebab orang yang zahid itu harus memahami ilmu zuhud terlebih dahulu. Dengan demikian, maka pernyataan bahwa orang alim lebih utama dari seratus zahid harus diteliti kembali atau maknanya tidak akan bisa dipahami.

Terdapat sebuah ilmu lain yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia setelah ia terlebih dahulu memiliki keduanya, ilmu dan zuhud. Ilmu ini merupakan buah dari keduanya. Dan bisa dipastikan bahwa orang yang memiliki ilmu ini baru dinamakan orang alim yang lebih utama dari seratus zahid.

Perbandingannya adalah seperti seorang petani yang menanam pohom, kemudian pohon ini berbuah. Tentu saja kita tidak bisa membantah bahwa pohon yang berbuah itu lebih utama dari seratus pohon yang tidak berbuah. Bahkan bisa jadi pohon-pohon lainnya tidak pernah berbuah sama sekali, karena ada banyak tahapan pertumbuhan di mana berbagai penyakit bisa saja menyerang. Seorang peziarah yang telah sampai di Ka’bah lebih utama dari peziarah yang masih berada di perjalanan. Orang yang kedua ini masih terus diliputi keraguan apakah dirinya akan sampai ke Ka’bah atau tidak, sementara orang yang pertama telah mencapai tujuannya (Ka’bah). Satu kepastian lebih utama dari seratus keraguan.

Wakil Amir berkata:

“Mereka yang belum sampai kepada tujuannya itu, masih memiliki harapan untuk sampai juga.”

Maulana Rumi menjawab:

“Apalah artinya perbedaan serius antara orang yang berharap dengan orang yang telah meraih tujuannya, dan antara ketakutan dengan keselamatan."

Apakah penting untuk memperbincangkan perbedaan antara keduanya padahal semuanya sudah sangat jelas? Akan lebih penting rasanya jika kita membicarakan keselamatan, sebab ada banyak sekali perbedaan di antara keselamatan yang satu dengan keselamatan yang lain. Hal itu dikarenakan keutamaan Nabi Muhammad Saw. atas nabi-nabi sebelumnya terletak pada misi keselamatan yang diembannya. Jika tidak, maka para nabi juga dalam kondisi selamat, tidak ada rasa takut dalam diri mereka. Keselamatan itu sendiri memiliki beberapa tingkatan.

“Dan telah Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat.” (QS. al-Zukhruf: 32)

Mungkinkah untuk mengindikasikan beragam tahapan dan tingkatan ketakutan, sementara tingkatan keselamatan tidak memiliki indikasi. Dalam dunia ketakutan, setiap manusia bisa memutuskan apa yang akan mereka berikan kepada Allah. Ada yang memberikan raganya, ada yang mendonasikan hartanya; ada yang mengorbankan nyawanya. Satu orang menawarkan ibadah puasanya, sementara yang lainnya menawarkan ibadah salatnya sebanyak tiga belas rakaat dan bahkan empat ratus rakaat. Tahapan-tahapan ini sangat berbeda dan bisa dibedakan dengan mudah. Dengan cara yang sama, ada banyak tahapan perjalanan dari Konya dan Caesarea yang bisa ditentukan dan diketahui: yaitu melewati Kaimaz, Ubrukh, Sultan, dan lain- lain. Sementara tempat-tempat di dasar laut dari Anatolia hingga Alexandria tak dapat ditentukan. Tempat-tempat itu hanya diketahui oleh kapten-kapten kapal, mereka juga tidak pernah membahasnya bersama penduduk darat karena mereka tidak memahaminya.

Amir berkata:

“Bahkan satu perbincangan pun akan ada manfaatnya. Mungkin manusia tidak mengetahui segala sesuatu, tetapi mereka akan mengetahuinya sedikit demi sedikit dan kemudian akan memahami dan mengira-ngira sisanya.”

Maulana Rumi berkata:

“Oh, Demi Allah! Seseorang sedang duduk begadang menembus pekatnya malam, meneguhkan hati untuk berjalan menuju siang. Meski ia tidak tahu bagaimana cara mencapainya, tetapi ia menjadi dekat dengan siang itu karena ia menantinya."

Seseorang lainnya melakukan perjalanan bersama rombongan dalam pekatnya malam dan berteman hujan. Ia tidak tahu sampai di mana ia sekarang, jalan mana yang ia lalui, dan berapa jarak yang telah ia tempuh. Namun ketika siang tiba, ia akan mengetahui hasil perjalanannya dan tahu di mana ia berada sekarang. Semua yang dikerjakan oleh manusia akan dinilai oleh Allah SWT. Bahkan jika kedua matanya tertutup, usaha mereka tidak akan hilang.

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. al-Zalzalah: 7)

Meskipun di dalam begitu gelap dan terselubung sehingga ia tidak dapat melihat seberapa jauh perjalanannya selama ini, namun di akhirat nanti ia akan dapat melihatnya. “Dunia adalah ladang bagi kehidupan di akhirat.” Semua yang ditanam manusia di dunia ini, akan ia panen di akhirat kelak.

Isa as. banyak tertawa, sementara Yahya as. banyak menangis. Yahya kemudian berkata kepada Isa,

“Kau percaya pada semua tipu muslihat halus ini sehingga kau banyak tertawa?”

Isa menjawab,

“Sementara kau telah menutup matamu dari pertolongan dan cinta kasih Tuhan yang subtil, misterius dan agung, sehingga kau banyak menangis?"

Seorang wali Allah hadir dalam percakapan tersebut, ia kemudian bertanya kepada Allah:

“Di antara keduanya, manakah yang memiliki martabat lebih tinggi?”

Allah menjawab,

“Yang paling baik prasangkanya kepada-Ku.” Artinya “Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.”

Semua hamba memiliki imajinasi dan gambaran tentang diri-Ku. Dalam bentuk apapun ia mengimajinasikan-Ku, aku tepat sesuai dengan bentuk itu. Aku adalah hamba bagi khayalan yang memiliki Tuhan, dan aku tidak memikirkan hakikat yang tak memiliki Tuhan. Sucikanlah imajinasi kalian wahai hamba-hamba-Ku. Karena itu adalah tempat kediaman-Ku dan tempat bersemayam-Ku.”

Sekarang, uji dirimu sendiri dengan menangis dan tertawa, berpuasa dan salat, berkhalwat dan berkumpul, dan lain sebagainya. Yang manakah dari semua itu yang lebih bermanfaat bagi kalian? Dan dalam segala hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaanmu, pilihlah pekerjaan-pekerjaan yang bisa membuatmu lebih istiqomah dan memberimu prestasi terbesar.

“Bertanyalah pada hatimu, meskipun yang lain tidak setuju.”

Dalam dirimu terdapat makna, mintalah fatwa pada seorang Mufti agar kamu bisa merengkuh makna itu dan menciptakan sesuatu yang sesuai dengannya. Sama seperti seorang dokter yang mengunjungi pasiennya dan bertanya kepada sang pasien tentang keberadaan dokter ruhaniahnya; karena sebenarnya kau memiliki dokter dalam dirimu, hanya saja keadaan jiwamulah yang menolak untuk menerimanya. Oleh karena itu, dokter fisik tadi bertanya, “Makanan yang kamu makan, bagaimana rasanya? Beratkah? Bagaimana dengan tidurmu?” Demikianlah, dari apa yang dijawab oleh dokter ruhaniah, dokter fisik membuatkan resepnya. Hal ini di karenakan akar masalahnya adalah dokter ruhaniah itu: respons pasien itu sendiri. Ketika dokter ruhaniah ini lemah dan keadaan jiwa sang pasien rusak, maka pasien itu akan melihat segalanya berlawanan dengan yang sebenarnya, kemudian mengatakan hal- hal yang tidak seharusnya; ia berkata, “Gula itu pahit, dan cuka itu manis.” Oleh sebab itu, dia membutuhkan dokter fisik untuk menolongnya sampai ia pulih kembali. Setelah itu ia berkonsultasi sendiri pada dokter ruhaniahnya untuk mendapatkan bimbingan yang dia butuhkan.

Pada dasarnya, setiap insan memiliki kondisi jiwa yang sama. Para wali adalah dokter yang menawarkan pertolongan pada manusia agar keadaan jiwanya stabil serta hati dan agamanya menjadi kuat, seperti yang dikatakan dalam sebuah ungkapan: “Tunjukkan padaku segalanya sebagaimana adanya mereka.” Manusia adalah makhluk yang agung; yang mana dalam diri mereka tertulis segala sesuatu, namun selubung dan kegelapan tidak mengizinkan mereka untuk membaca pengetahuan yang ada dalam diri mereka sendiri. Selubung dan kegelapan itu adalah kesibukan yang bermacam-macam, hasrat- hasrat duniawi, dan keinginan yang berwarna-warni. Tapi meskipun tenggelam dalam berbagai kegelapan dan tertutup oleh banyak selubung, mereka tetap dapat membaca sesuatu dan mengambil kesimpulan darinya. Bayangkan seandainya kegelapan dan selubung- selubung itu tersingkap, betapa berlimpahnya pengetahuan yang akan mereka temukan dalam diri mereka.

Pada akhirnya, semua perilaku seperti menjahit, membangun, bertukang, pandai besi, ilmu, astronomi, kedokteran, dan beragam perilaku manusia lainnya yang tidak dapat dihitung dan dibatasi jumlahnya ini tersingkap dari dalam diri manusia, dan bukan dari batu atau tanah kering. Seekor gagak yang mengajarkan pada manusia tentang tata cara menguburkan mayat juga merupakan pembelajaran bagi manusia yang memperhatikan burung, sebagai bagian dari desakan dari diri dan mendorong mereka untuk mempelajarinya. Dengan demikian, naluri-naluri hewan tidak lain adalah bagian dari manusia, tetapi satu bagian tidak berarti keseluruhan. Hal ini serupa dengan seseorang yang hendak menulis dengan tangan kirinya. Meski hatinya sudah teguh, tangannya gemetar ketika menulis. Namun, tangan itu tetap saja menulis karena ada perintah dari hati.

Ketika Amir datang, Guru kita berujar dengan kata-kata yang agung. Kata-katanya tidak terputus-putus karena dia adalah guru segala ucapan. Kata-kata membanjir darinya tanpa bersela. Di musim dingin, jika ada pepohonan tidak menumbuhkan dedaunan dan buah-buahan, orang tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa pohon itu berhenti bekerja. Pohon itu tetap dan terus-menerus bekerja.

Musim dingin adalah waktu pengumpulan (produksi), sementara musim panas adalah waktu penghamburan (konsumsi). Semua orang melihatnya pada waktu konsumsi, namun tak ada orang melihatnya ketika produksi. Sama halnya ketika seseorang sedang melangsungkan sebuah pesta dan mengeluarkan banyak uang. Semua orang melihat pengeluaran ini, tapi tak seorang pun yang melihat bagaimana dia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mengadakan pesta ini. Padahal yang menjadi akar materinya adalah pengumpulan, karena penghamburan bisa terjadi karena adanya pengumpulan.

Kita bisa hidup dalam harmoni dengan siapapun, bisa berbincang dengan mereka kapan pun, bahkan dalam kebisuan sekalipun, dan dalam ketidakhadiran maupun kehadiran. Sebenarnya kita bisa saling membunuh, kita juga bisa bersatu dan saling mencampuri urusan orang lain. Meski kita bisa saling mempukul dengan kepalan tangan, kita tetap bisa berbincang-bincang dengannya, menjadi satu, dan saling berhubungan erat. Jangan kamu lihat kepalan tangan itu, karena ada anggur yang tersimpan di dalamnya. Kalau kamu tidak percaya, bukalah kepalan tangan itu dan lihatlah perbedaan antara anggur dan mutiara yang indah. Orang-orang ramai membicarakan hal-hal yang sangat detail dan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Kecenderungan Amir kepada kita bukanlah karena kebajikan yang mulia, perkataan-perkataan yang anggun, dan khotbah-khotbah. Hal-hal seperti ini bisa ditemukan di mana-mana, dan berlimpah ruah. Cintanya dan kecenderungannya padaku bukan karena hal-hal itu, melainkan karena ia melihat sesuatu yang lain. Ia melihat sebuah cahaya yang melampaui semua yang tampak dalam pandangan orang lain.

Dikisahkan bahwa seorang khalifah mendatangkan al-Majnun dan bertanya kepadanya:

“Apa yang terjadi padamu, apa yang membuatmu begini? Kau sudah mempermalukan dirimu sendiri, kau pergi dari rumahmu, kau menjadi hancur dan hilang, siapa itu Laila? Bagaimana kecantikannya? Akan ku tunjukkan padamu perempuan-perempuan yang cantik dan menarik. Akan kujadikan mereka sebagai penyelamat kegilaanmu, akan kuberikan mereka semua untukmu.”

Ketika perempuan-perempuan itu tiba, Majnun dan mereka dipersilahkan untuk saling melihat. Lalu Majnun menundukkan kepalanya, melihat ke bawah.

“Sekarang, angkat kepalamu dan lihatlah!” kata Khalifah.

“Aku takut,” jawab Majnun. “Cintaku pada Laila adalah sebuah pedang yang terhunus. Jika kuangkat kepalaku, pedang itu akan menebasnya.”

Demikianlah, Majnun telah tenggelam dalam cinta Laila. Bagaimanapun juga, perempuan-perempuan yang lain juga memiliki mata, bibir, dan hidup. Jadi, apa yang sebenarnya dilihat oleh Majnun dalam diri Laila sampa ia menjadi seperti ini?

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum