Survival: Berbagai Cara untuk Memanen Air dari Udara

https://i0.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2018/01/memanen-air-udara.jpg?w=461&ssl=1

Air merupakan komponen terpenting bagi kehidupan. Kebutuhan air dalam tubuh sangat besar, karena hampir 60% tubuh manusia dewasa tersusun dari air. Mengingat pentingnya air bagi tubuh maka dianjurkan untuk meminum air 8 gelas / 2 liter tiap hari. Akan tetapi jumlah air bersih dari waktu ke waktu semakin menipis. Telah banyak penelitian dan proyek yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan memanen air dari udara.

Air di udara umumnya berada dalam bentuk kabut dan awan. Kabut merupakan kumpulan tetes-tetes air yang sangat kecil yang melayang-layang di udara. Kabut mirip dengan awan, perbedaannya adalah awan tidak menyentuh permukaan bumi sedangkan kabut menyentuh permukaan bumi. Pada suhu 30ºC uap air yang terkandung di udara sebanyak 30 gr/m3. Oleh karena itu, uap air dalam kabut dapat dimanfaatkan sebagai sumber air alternatif.

  1. Secara tradisional atau konvensional
    Untuk memanen air dari kabut ternyata tidak serumit yang dibayangkan, alat yang digunakan menyerupai sebuah jaring besar. Dengan tiang setinggi 4 meter, lebar 8 meter, dan jaring yang terbuat dari anyaman plastik yang kemudian disambungkan ke pipa-pipa kecil atau langsung ke suatu wadah besar. Namun tentu saja yang patut di ingat adalah air hanya bisa dipanen dari kabut alami bukan kabut karena asap. Prinsip dari alat ini yaitu dengan menangkap butiran-butiran air yang terkandung dalam kabut dan mengalirkan air tersebut ke tabung penyimpanan yang sudah disiapkan.

  2. Secara teknologi modern
    Pengambilan uap air di udara juga dapat dilakukan dengan teknologi terbaru yang terinspirasi dari Kumbang Gurun Namib, Kaktus, dan Tanaman Pitcher4. Para ilmuwan menciptakan material dengan permukaan yang dapat menjerap air. Prinsipnya sederhana yaitu dengan pengembunan uap air, akan tetapi pengembunan yang dilakukan jauh lebih efektif dibanding metode konvensional. Mekanisme kerja pada permukaan material ini yaitu dengan mengkondensasikan tetesan air atau dengan proses shielding (isolasi), tetapi tidak ada material alami yang bekerja dengan kedua mekanisme tersebut.

Para peneliti di Harvard University, yang dipimpin oleh Joanna Aizenberg dan Kyoo-Chul Park, mengkonfirmasikan bahwa mereka dapat menghasilkan material sintetis yang permukaannya mengkombinasikan kedua mekanisme kerja tersebut, yakni kondensasi dan shielding. Para peneliti menciptakan permukaan dengan gundukan asimetris berukuran milimeter. Gundukan dimodelkan berdasarkan pengamatan terhadap kumbang gurun Namib. Gundukan atau benjolan pada kumbang tersebut membantu serangga mengumpulkan air pada kondisi iklim gurun yang kering. Tim peneliti Harvard tersebut mencoba membuat dan juga mempelajari keasimetrisan duri kaktus yang efisien dalam transpor air. Di sisi lain, para peneliti juga mengambil pelajaran dari permukaan halus molekuler tanaman pitcher sehingga mendapat inspirasi untuk melapisi (nanocoating) permukaan gundukan baik dengan minyak atau polidimetilsiloksan agar tetesan air bergerak lebih cepat. Kombinasi antara ketiga sistem alam tersebut akan meningkatkan kemampuan material dalam proses pemanenan air dari udara4.

Tim peneliti Harvard tersebut menunjukkan bahwa peningkatan sifat suatu bahan dapat dilakukan dengan pendekatan struktur alam yang kompleks, di mana kita dapat mengkombinasikan beberapa sifat spesies mahluk hiduo untuk desain material tertentu yang sangat efisien. Metode pengamatan terhadap alam (biomimetik) atau yang terinspirasi dari alam sangatlah prospektif dalam mengembangkan teknologi yang efektif dan efisien. Tim peneliti Harvard tersebut menggunakan aluminium untuk uji coba modifikasi permukaan. Selain itu, mereka juga menggunakan polimer dan material konduktor.

Teknologi yang lain untuk memanen air yaitu dengan Dutch Rainmaker (DRM)3. Untuk menggerakkan mesin yang bekerja memanen air dari udara, digunakan energi angin, sehingga tidak menambah beban akan kebutuhan energi listrik yang berasal dari fosil. Meski ukuran kincir angin yang digunakan relatif kecil (10-20 kali lebih kecil daripada rata-rata kincir angin di Belanda), dalam kondisi optimalnya DRM dapat memproduksi +7.000 liter air/hari.

Cara kerja teknologi ini relatif sederhana. Turbin angin menggerakkan pompa kalor yang digunakan untuk mendinginkan udara yang mengalir masuk. Pendinginan akan mengurangi kemampuan udara menahan air, sehingga kelebihan air di udara akhirnya memadat dan menjadi titik-titik air; serupa dengan proses terjadinya hujan. Air yang ‘diekstraksi’ ini lantas ditampung dalam kompartemen penyimpanan untuk kemudian digunakan. Volume air yang dihasilkan akan berbeda di tiap daerah, tergantung dari suhu dan kelembaban lingkungan setempat. Sebagai ilustrasi, 1 kg udara dengan suhu 30°C dan kelembaban relatif (RH – Relative Humidity) 50%, mengandung 7 gram air (0.7%), sementara suhu 20°C dan RH 50% mengandung hampir 14 gram air (1.4%).

Teknologi DRM paling baik digunakan di daerah dengan humiditas tinggi (RH >50%) dan temperatur 20-40oC. Terletak di garis Khatulistiwa, udara di Indonesia pada umumnya lembab, dengan rata-rata RH berkisar antara 70-90%, dan temperatur rata-rata >20oC. Kondisi ini berbeda di tiap daerah di Indonesia dan relatif konstan sepanjang tahun karena perubahan yang terjadi mengikuti musim tidak terlalu besar. Dengan kondisi demikian, alat DRM ini cocok untuk diterapkan di Indonesia1,3.

Sejauh ini, DRM telah diaplikasikan di kota Leeuwarden Belanda dan Um Al Himam Kuwait. Kedua tempat tersebut memiliki kondisi topografi dan iklim yang sangat berbeda3. Penerapan DRM di kedua tempat tersebut sukses menghasilkan air yang melimpah. Tanpa perlu disambungkan dengan jaringan energi dan/atau infrastruktur air yang sudah ada, DRM bisa dibangun tepat di daerah yang kekurangan air bersih. Tidak pula perlu membangun instalasi jaringan dan transportasi air yang mahal dan rumit, sehingga, akan sangat bermanfaat bagi daerah terpencil.

DRM juga mengembangkan sistem untuk menanen air dari air (water to water). Pompa kalor yang dihasilkan dari tenaga baling-baling kincir angin, memicu proses evaporasi dari air laut / air berpolusi. Hasilnya, air murni yang bisa digunakan untuk kebutuhan minum, sanitasi atau irigasi.

Sumber:

  1. Anshari . M. 2013. Identifikasi Daerah Rawan Bencana Kekeringan Dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Makalah Program Studi Teknik Geodesi
  2. Laimeheriwa. Analisis Peluang Kejadian Deret Hari Kering Selama Musim Tanam Di Kota Ambon. Jurnal Agrologia.3(2) : 83-90.
  3. KABUT DAN CARA MENDAPATKAN AIR DARINYA. Pada irwansyahalfarisi.blogspot.co.id dan diakses tanggal 19 januari 2018.
  4. SERANGGA DAN TANAMAN MENGINSPIRASI. Pada kedaisains.blogspot.co.id dan diakses tanggal 19 Januari 2018.