Surah Al Fatihah : Tafsir Ibnu Al-Qayyim

Penyebutan Ash-Shiraath Al-Mustaqiim dengan Bilangan Tunggal dan Ma’rifat

Lafazh ash-shiraath al-mustaqiim disebutkan dengan bilangan tunggal dan berbentuk ma’rifat dengan dua jenis: Ma’rifat dengan alif lam dan ma’rifat dengan idhafah (kata keterangan). Hal ini menunjukkan kejelasan dan spesifikasinya, bahwa jalan itu adalah satu. Sedangkan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat dibuat banyak, seperti firman Nya,

“Dan bahwa (yang kamiperintahkan) ini adalahjalan-Kuyanglurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikutijalan-jalan (yang lain), karenajalan-jalan itu menceraiberaikan kalian darijalan-Nya.” (Al-An’am: 153).

Allah menunggalkan lafazh ash-shiraath dan sabit-Nya, serta menjama’kan berbagai jalan yang bertentangan dengan jalan Allah itu. Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat sebuah garis bagi kami, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah ’. Kemudian beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri beliau, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang lain)'.

Di atas setiap jalan ada syetan yang mengajak ke jalan itu’. Kemudian beliau membaca firman Allah,

‘Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu men-ceraiberai-kan kalian dari jalan-Nya ’.”

Hal ini terjadi karena jalan yang menghantarkan kepada Allah memang hanya ada satu. Itulah jalan yang karenanya para rasul diutus dan kitab-kitab-Nya diturunkan. Tak seorang pun sampai kepada Allah kecuali melewati jalan ini. Sekiranya manusia datang dari setiap jalan yang ada dan mereka membuka setiap pintu, maka sesungguhnya jalan itu buntu dan semua pintu tertutup, kecuali dari jalan yang satu ini. Itulah jalan yang berhubungan dengan Allah dan yang menghantarkan kepada Allah. Firman Allah,

“Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Akulah (untuk menjaganya). ” (QS. Al-Hijr: 41).

Al-Hasan berkata tentang maknanya, “Jalan yang lurus, yang menghantarkan kepada-Ku.” Ada dua kemungkinan tentang hal ini.

  • Pertama, dimaksudkan sebagai penggantian fungsi antarkata sambung. Kata sambung ‘alaa menggantikan kedudukan ilaa.
  • Kedua, dimaksudkan sebagai penafsiran terhadap makna itu. Hal ini lebih dekat dengan cara yang dilakuka orang-orang salaf. Artinya: Jalan yang menghubungkan kepada-Ku.

Menurut Mujahid, kebenaran itu kembali kepada Allah dan Dialah yang bertanggung jawab terhadap jalan itu, yang tidak dibentangkan di atas sesuatu. Hal ini tak berbeda jauh dengan perkataan Al-Hasan dan bahkan lebih jelas lagi. Inilah pendapat yang lebih benar tentang makna ayat ini. Ada yang berpendapat, kata ‘alaa di sini menunjukkan kewajiban. Artinya, Aku berkewajiban menjelaskan dan memperkenalkannya. Dua pendapat ini mirip dengan dua pendapat lain tentang firman Allah,

“'Dan, hak bagi Allah (menerangkan) Jalan yang lurus. ” (An-Nahl: 9).

Pendapat yang benar ini sama dengan pendapat tentang ayat di dalam surat Al-Hijr, bahwa jalan yang menghantarkan ialah jalan yang lurus, yang kembali kepada Allah dan menghantarkan kepada-Nya. Thufail Al-Ghanawy berkata dalam syairnya,

Semenjak lama mereka berlalu mengikuti jalan
menembus lembah dengan kaki yang terus mengayun

Ada yang berpendapat, kalau memang yang dimaksudkan adalah makna ini, tentunya lebih tepat jika digunakan kata ilaa yang menggambarkan kesudahan tujuan, bukan kata alaa yang berarti merupakan kewajiban. Simak bagaimana firman Allah ketika perjalanan hampir tiba kepada-Nya,

“'Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali , kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka. ”(QS. Al-Ghasyiyah: 25- 26).

“Hanya kepada Kamilah mereka kembali. ”(QS. Luqman: 23).
“Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka. ”(QS. Al-An’am: 60).

Kemudian ketika menghendaki pelaksanaan kewajiban, Allah befirman,

“Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka. ” (QS. Al-Ghasyiyah: 26).

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya. ”(QS. Al- Qiyamah: 17).

“Dan, tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya. ”(QS.Hud: 6).

Ayat-ayat lain yang serupa dengan ini cukup banyak, yang semuanya menggunakan kata sambung alaa. Ada yang berpendapat, digunakan kata sambung ‘alaa ini terkandung rahasia yang amat lembut, yaitu menggugah perasaan tentang keadaan orang yang berjalan di atas ash-shiraath berdasarkan petunjuk, dan itulah yang benar, sebagaimana firman Allah tentang keadaan orang-orang Mukmin,

“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk… ”(QS. Al-Baqarah: 5).

Allah befirman kepada Rasul-Nya,

“Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata. ”(QS. An-Naml: 79).

Allah adalah haq, jalan-Nya haq dan agama-Nya haq. Siapa yang istiqamah di atas jalan-Nya, maka dia berada di atas haq dan petunjuk. Jadi kata sambung ‘alaa dengan kandungan pengertian semacam ini tidak terdapat dalam kata sambung ilaa. Perhatikanlah secara seksama rahasia yang mengagumkan ini. Jika engkau bertanya, “Apa faidah digunakannya kata sambung ‘alaa dalam masalah itu, dan bagaimana agar orang Mukmin tetap unggul dengan kebenaran dan petunjuk?”

Dapat kami jawab sebagai berikut:

Karena di dalamnya terkandung ketinggian dan keunggulan orang Mukmin yang disebabkan oleh kebenaran dan petunjuk, yang disertai keteguhan hati dan istiqamahnya. Maka digunakannya kata sambung alaa justru menunjukkan ketinggian dan keteguhan serta istiqamahnya.

Hal ini berbeda dengan kesesatan dan keraguan, yang menggunakan kata sambung 'fii, yang menunjukkan tindakan pelakunya yang tenggelam di dalam kesesatan itu, seperti firman Allah,

“Karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan. ” (QS. AtTaubah: 45).

“Dan, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. ”(QS. Al-An’am: 39).

"… benar-benar berada dalam keraguan yang mengguncangkan tentang kitab itu. ”(QS. Asy-Syura: 14).

“Dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatanyangnyata. ”(QS. Saba’ : 24).

Jalan kebenaran mengambil jalan yang menanjak, membawa pelakunya kepada Dzat Yang Mahatinggi dan Mahabesar. Sedangkan jalan kesesatan turun ke bawah, membawa orangnya ke tingkatan yang paling bawah.

Tentang firman Allah, “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Akulah (menjaganya)”, ada pendapat ketiga, yaitu perkataan Al-Kasa’y, yang di dalamnya terkandung ancaman dan peringatan, sebagaimana firman-Nya yang lain,

“Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi. ” (Al-Fajr: 14).

Hal ini sama jika engkau katakan, Thariiquka ‘alayya, mamarruka ‘alayya ”(kamu harus mengikuti jalanku), yang engkau katakan kepada seseorang yang tidak bisa lepas darimu. Namun makna kalimatnya tidak pas dengan pengertian ini dan tidak tepat bagi orang yang memperhatikan dengan seksama. Sebab Allah befirman seperti itu sebagai jawaban terhadap Iblis yang berkata,

“Ya Rabbi, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. "(Al-Hijr : 39)

Tidak ada alasan bagi-Ku untuk menyesatkan mereka dan tidak ada jalan untuk itu bagi-Ku. Inilah yang telah ditetapkan Allah. Lalu Dia mengabarkan bahwa ikhlas merupakan jalan yang lurus dan Dia akan menjaganya. Sehingga kamu tidak kuasa untuk mempengaruhi hambahamba-Ku yang mengikuti jalan ini, karena jalan itu Aku jaga. Tidak ada cara bagi Iblis untuk mendekati jalan itu atau pun berada di sekitarnya, karena jalan itu ada dalam penjagaan Allah yang tidak akan dicapai musuhNya.

Hendaklah seseorang memperhatikan sisi dan makna ini serta membandingkannya dengan pendapat-pendapat lain, sehingga dia bisa mengetahui mana yang lebih pas dengan dua ayat itu dan mana yang dekat dengan maksud Al-Qur’an serta perkataan orang-orang salaf. Penyerupaan yang dilakukan Al-Kasa’y dengan firman Allah, “Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi", tidak mampu menyembunyikan perbedaan di antara keduanya, baik makna kalimat maupun pembuktiannya. Maka hendaklah hal ini diperhatikan. Tidak bisa dikatakan sebagai ancaman jika dikatakan: “Ini jalan yang lurus dan Aku berkewajiban menjaganya”, yang ditujukan kepada orang yang tidak mengikuti jalan Allah. Jalan yang diancamkan tidak lurus dan tidak pula disebutkan ancaman dengan jalan Allah yang lurus. Jadi pendapat ini tidak benar.

Sedangkan orang yang menafsirinya sebagai kewajiban, dengan makna: “Aku wajib menjelaskan kelurusan dan pembuktiannya”, benar dari sisi maknanya. Tapi jika ini yang dimaksudkan dari ayat itu, maka perlu dipertimbangkan lagi. Sebab hal itu merupakan hadzf (peniadaan penyebutan kata atau kalimat) yang bukan pada tempat pembuktiannya. Hadzf ini tidak bisa diterima, agar menjadi sesuatu yang dibuktikan jika ada hadzf. Berbeda dengan faktor keterangan jika menjadi sifat, yang merupakan hadzf yang bisa diterima, sehingga tidak perlu ada penyebutan sama sekali.

Jika engkau katakan, “Dia mempunyai hak satu dirham atas diriku”, maka hadzf bisa diketahui secara pasti. Jika yang engkau maksudkan dengan perkataan itu, “Aku harus membayarnya” atau yang serupa dengan ini, namun engkau menghapus yang seperti ini, maka hal itu tidak menjadi masalah. Yang semisal dengan perkataan ini ialah, “Aku harus menjelaskannya”, yang terkandung di dalam ayat di atas. Apa yang dikatakan orang-orang salaf lebih tepat tentang hubungan kalimatnya dan merupakan makna yang lebih pas.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang demikian itu serupa dengan firman Allah,

‘Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesung- guhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia ”(A1-Lail: 12-13).

Lalu dia berkata lagi, “Jadi makna yang sama ada di tiga tempat dalam Al-Qur’an.”

Saya katakan, mayoritas mufasir tidak menyinggung ayat di surat Al-Lail ini selain dari makna wajib. Artinya, Kami berkewajiban menjelaskan petunjuk dari kesesatan. Di antara mereka juga tidak menyebutkan ayat dalam surat An-Nahl kecuali makna ini saja, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Namun dia menyebutkan tiga pendapat di dalam Al-Hijr. Al- Wahidy menyebutkan di dalam Basith-riya, dua makna di dalam surat An-Nahl. Sementara syaikh kami memilih pendapat Mujahid dan Al-Hasan di tiga surat.

Ash-Shiraath Al-Mustaqiim Merupakan Jalan Allah

Ash-Shiraath Al-Mustaqiim merupakan jalan Allah. Allah mengabarkan bahwa jalan itu ada pada-Nya seperti yang sudah kami sebutkan. Dia juga mengabarkan bahwa Dia berada di atas ash-shiraath al-mustaqiim, yang ada di dua tempat dalam Al-Qur’an, di surat Hud dan An-Nahl,

“Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku diatas jalan yang lurus. ”(Hud: 56)

“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? ” ( An-Nahl 76).

Ini merupakan perumpamaan yang diberikan Allah tentang berhala yang sama sekali tidak bisa mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak bisa berpikir, yang menjadi beban di atas pundak orang yang menyembahnya. Berhala itu membutuhkan pertolongan orang yang menyembahnya, sehingga dia harus menggotongnya, lalu meletakkannya, mem- buatnya berdiri tegak dan layanan lain yang harus dilakukannya. Lalu bagaimana mungkin mereka menyamakannya dalam ibadah dengan Allah, yang menyuruh melaksanakan keadilan dan tauhid, yang Maha Berkuasa, Berbicara dan Mahakaya, Dia yang berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim dalam perkataan dan perbuatan-Nya? Firman Allah merupakan kebenaran, petunjuk, nasihat dan hidayah. Perbuatan-Nya merupakan hikmah, keadilan, rahmat dan maslahat. Inilah pendapat yang paling benar tentang ayat selain Ibnu Taimiyah. Kalau pun ada orang lain yang menyebutkannya, toh Ibnu Taimiyah lebih dahulu menyebutkannya.

Kemudian orang-orang sesudahnya mengisahkannya, seperti yang dilakukan Al-Baghawy, itu dan menjadikannya sebagai penafsiran yang juga menetapkan seperti ayat ini. Lalu setelah itu dia berkata, “Menurut Al-Kalby, Dia menunjuki kepada ash-shiraath al-Mustaqiim."

Saya katakan, Allah menunjuki kita kepada ash-shiraath al-Mustaqiim merupakan kewajiban Allah yang memang berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim. Penunjukan itu dilakukan dengan perbuatan dan perkataan- Nya, dan Dia berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim dalam perbuatan dan perkataan-Nya, sehingga hal ini tidak bertentangan dengan perkataan seseorang, “Allah berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim.”

Ada yang berpendapat, yang dimaksudkan di sini adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
menyuruh kepada keadilan, dan beliau berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim. Kami tanggapi, pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama. Sebab Allah berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan Allah. Atas dasar inilah dibuat perumpamaan tentang pemimpin orang-orang kafir, yang bisu dan tuli, yang tidak mampu mendatangkan petunjuk dan kebaikan.

Sementara pemimpin orang-orang yang berbuat kebaikan ialah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang menyuruh berbuat adil dan beliau berada di atas ash-shiraath ai-Mustaqiim. Pendapat yang pertama menjadi perumpamaan bagi sesembahan orang-orang kafir dan sesembahan orang-orang yang berbuat baik. Dua pendapat di atas saling kait-mengait. Sebagian di antara mereka ada yang menyebutkan pendapat yang ini dan yang lain menyebutkan pendapat yang satunya lagi. Tapi kedua-duanya merupakan maksud dari ayat di atas. Ada yang berpendapat, kedua-duanya bagi orang Mukmin dan or- ang kafir. Pendapat ini diriwayatkan Athiyah dari Ibnu Abbas.

Menurut Atha’, yang dimaksud orang yang bisu di sini ialah Ubay bin Khalaf. Sedangkan orang yang menyuruh kepada keadilan adalah Hamzah,Utsman bin Affan dan Utsman bin Mazh’un.

Saya katakan, ayat ini bisa ditafsiri seperti itu, yang tidak bertentangan dengan dua pendapat sebelumnya. Allah berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim, begitu pula Rasul-Nya dan para pengikut Rasul. Kebalikannya adalah sesembahan orang-orang kafir dan para penuntun mereka. Orang kafir bisa menjadi pengikut, yang diikuti dan juga yang disembah. Sebagian salaf ada yang menyebutkan berbagai macam yang lebih tinggi tingkatannya. Sebagian lagi ada yang menyebutkan penuntun. Ada pula yang menyebutkan pihak yang mengabulkan dan yang menerima. Sehingga ayat ini dimungkinkan untuk dimaknai dengan makna-makna itu. Banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang serupa dengan ini.

Adapun ayat dalam surat Hud, sudah jelas dan tidak bisa dimaknai kecuali dengan satu makna saja, bahwa Allah berada di atas ash-shiraath aI-Mustaqiim (jalan yang lurus), dan memang Dia lebih layak untuk berada di atasnya. Semua perkataan Allah adalah kebenaran, petunjuk, hidayah, keadilan dan hikmah.

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. ”(QS. Al-An’am: 115).

Semua perbuatan Allah adalah kemaslahatan, hikmah, rahmat, keadilan dan kebaikan. Keburukan sama sekali tidak masuk dalam perbuatan dan perkataan Allah, karena keburukan keluar dari ash-shiraath al-Mustaqiim. Bagaimana mungkin keburukan masuk dalam perbuatan Dzat yang berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim atau perkataan-Nya?

Keburukan hanya masuk ke dalam perbuatan dan perkataan orang yang keluar dari ash-shiraath al-Mustaqiim. Dalam sebuah doa beliau disebutkan,

“Aku mendengar panggilan-Mu dan keberuntungan dari-Mu. Semua kebaikan ada pada-Mu dan keburukan tidak kembali kepada-Mu.”

Tidak ada gunanya menengok ke penafsiran orang yang menaf- sirinya, yang berkata, “Keburukan tidak didekatkan kepada-Mu atau tidak bisa naik kepada-Mu”. Maknanya lebih tinggi dan lebih besar dari sekedar penafsiran ini. Dzat yang semua asma’-Nya adalah husna (baik), yang semua sifat-Nya adalah kesempurnaan, yang semua perbuatan-Nya adalah hikmah, yang semua perkataan-Nya adalah benar dan adil, mustahil ada keburukan yang masuk ke dalam asma’ dan sifat-sifat-Nya, perbuatan atau perkataan-Nya. Jadi, makna ini pas dengan makna firman Allah,

“…Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus. "(QS. Hud: 56).

Perhatikan penggalan firman-Nya ini setelah firman-Nya,

“Sesungguhnya Aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian… "(QS. Hud: 56).

Dengan kata lain, Dia adalah Rabb-ku, yang tidak menelantarkan dan menyia-nyiakan aku, dan Dia adalah Rabb kalian yang tidak akan memberikan kepada kalian untuk mengalahkan aku, yang tidak akan menghalangi kalian dari aku. Sesungguhnya ubun-ubun kalian ada di Tangan-Nya. Kalian tidak melakukan sesuatu pun tanpa kehendak-Nya. Sesungguhnya ubun-ubun setiap binatang melata ada di Tangan-Nya. Tidak ada yang bisa bergerak kecuali dengan izin-Nya. Dialah yang membolak-balik yang ada pada diri binatang melata itu. Di samping perbuatan-Nya yang menggerakkan mereka, kekuasaan dan ketetapan-Nya, Dia pun berada di atas jalan yang lurus. Dia tidak melakukan apa yang dilakukan-Nya kecuali berdasarkan hikmah, keadilan dan kemaslahatan.

Kalaupun Dia memberikan kekuasaan kepada kalian atas diriku, itu pun ada hikmahnya dan segala pujian atas-Nya. Karena itu merupakan kekuasaan dari Dzat yang berada di atas ash-shiraath al-Mustaqiim, yang tidak berbuat zhalim dan tidak melakukan sesuatu secara sia-sia dan tanpa hikmah.

Beginilah seharusnya makrifat tentang Allah dan bukan makrifat qadariyah model Majusi dan qadariyah model Jabariyah, yang menafikan hikmah, kemaslahatan dan ketetapan berdasarkan alasan. Sesungguhnya Allahlah yang memberikan taufik.

Teman pada Ash-shiraath al-Mustaqiim Bisa Menghilangkan Ketakutan karena Sendirian

Karena orang yang mencari ash-shiraath al-Mustaqiim juga harus mencari sesuatu, maka banyak orang yang justru menyimpang darinya. Orang yang hendak menempuh suatu jalan menginginkan teman baik yang mendampinginya. Sementara itu, jiwa manusia diciptakan takut jika mengalami perpisahan. Sebaliknya, dia senang berada bersama teman yang setia mendampinginya. Karena itulah Allah mengingatkan tentang teman-teman dalam perjalanan ini, yaitu,

"… orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. ” (An- Nisa’: 69).

Jalan ini disertakan dengan teman orang-orang yang menitinya, dan mereka adalah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, agar orang yang mencari hidayah dan meniti jalan itu tidak lagi takut terhadap kesendiriannya ketika hidup di tengah manusia sezamannya, dan agar dia mengetahui bahwa temannya ketika meniti jalan itu adalah mereka yang mendapat nikmat dari Allah. Dengan begitu dia tidak risau karena harus bertentangan dengan orang-orang yang menyimpang dari jalan itu. Pada hakikatnya orang-orang yang menyimpang dari jalan itu merupakan kelompok minoritas dari segi kualitasnya, meskipun mereka mayoritas dari segi kuantitasnya.

Sebagian salaf berkata, “Hendaklah engkau melalui jalan kebenaran dan janganlah khawatir karena minimnya orang-orang yang melalui jalan itu. Jauhilah kebatilan, dan jangan terkecoh karena banyaknya orang yang rusak. Selagi engkau takut karena sendirian, lihatlah teman-teman di masa mendatang dan berminatlah untuk bersua dengan mereka, tundukkan pandangan mata dari selain mereka, karena sedikit pun mereka tidak dapat menolongmu di hadapan Allah. Jika mereka berteriak ketika engkau sedang meniti jalan, tak perlu engkau menengok ke arah mereka. Sebab jika engkau menengok ke arah mereka, maka mereka akan menyambarmu dan menghalang-halangimu.

Saya membuat dua perumpamaan tentang hal ini, dan ada baiknya jika engkau mencermatinya:

Pertama: Seseorang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat di masjid dan dia tidak punya niat yang lain. Di tengah perjalanan ada syetan berupa manusia yang menghadangnya, dengan cara melontarkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Maka dia pun berhenti untuk meladeninya. Boleh jadi syetan yang berupa manusia itu lebih kuat dari dirinya, dapat memaksanya dan menghambat kepergiannya ke masjid, sehingga dia ketinggalan ikut shalat. Atau boleh jadi dia lebih kuat dari orang yang menghalang-halanginya itu. Tapi karena perbuatannya itu dia tidak mendapatkan shaff pertama dan ikut shalat jama’ah secara sempurna.

Jika dia menengok kepada orang itu, dia telah memberi peluang untuk menggodanya dan boleh jadi keinginannya untuk shalat berjama’ah menjadi lemah. Jika dia mempunyai makrifat dan ilmu, tentu dia akan berusaha untuk mempercepat langkah kakinya. Semua diukur dari sedikit banyaknya dia menengok ke arah orang itu. Jika dia berpaling darinya dan menyibukkan diri dengan tujuannya serta takut ketinggalan shalat, maka musuh pun tidak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan apa yang diinginkannya.

Kedua: Kijang lebih gesit daripada anjing. Tapi jika dia merasakan kehadiran anjing, justru dia menengok ke arahnya sehingga dia pun kalah gesit, sehingga anjing bisa menerkamnya. Maksudnya, dengan adanya seorang teman bisa menghilangkan ketakutan karena sendirian dan teman itu bisa menganjurkannya untuk terus berjalan dan bersua dengan mereka.

Inilah di antara faidah doa qunut,

  1. “Ya Allah, berilah aku petunjuk bersama orang-orang yang Engkau beri petunjuk”. Artinya, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan jadikanlah aku sebagai teman bagi mereka dan bersama mereka. Ini merupakan faidah pertama.

  2. Adapun faidah kedua, hal itu merupakan tawasul kepada Allah dengan nikmat Allah dan kebaikan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang diberi-Nya nikmat, yaitu nikmat hidayah yang diberikan kepada orang-orang yang mendapat hidayah. Maka jadikanlah bagiku bagian dari nikmat ini dan jadikanlah aku salah seorang di antara mereka yang mendapat nikmat. Ini merupakan tawasul kepadan Allah dengan kebaikan-Nya.

  3. Adapun faidah ketiga, sebagaimana yang dikatakan peminta-minta kepada orang yang dermawan, “Berilah aku shadaqah sebanyak shadaqah yang engkau berikan kepada orang-orang lain. Ajarkanlah kepadaku seperti yang engkau ajarkan kepada orang lain, dan berbuat baiklah kepadaku seperti kebaikanmu kepada orang lain."

Memohon Petunjuk ke Ash-shlraath al-Mustaqiim Merupakan Permohonan Yang Paling Agung

Memohon petunjuk ke ash-shiraath al-Mustaqiim kepada Allah merupakan permohonan yang paling agung dan mendapatkannya merupakan pemberian yang paling mulia. Karena itulah Allah mengajari hamba-hamba-Nya, bagaimana cara memohon hal ini dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan pujian dan pengagungan di hadapan-Nya, lalu menyebutkan ubudiyah dan tauhid kepada mereka.

Inilah dua macam tawasul untuk mendapatkan apa yang mereka pinta, yaitu: Tawasul dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya, dan tawasul kepada-Nya dengan beribadah atau menyembah-Nya. Jika dua tawasul ini menyertai doa, maka hampir-hampir doa itu tidak tertolak. Dua tawasul ini menguatkan dua hadits tentang al- ismul-a’zham (asma yang paling agung), yang diriwayatkan Ibnu Hibban di dalam Shahlh-nya, Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzy.

Pertama: Hadits Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata,

“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mendengar seseorang memanjatkan doa, seraya mengucapkan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa aku bersaksi, Engkau adalah Allah yang tiada Ilah selain Engkau, Yang Esa dan Yang menjadi tempat meminta segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan yang tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya Maka beliau bersabda, ‘Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, dia telah memohon kepada Allah dengan asma ’-Nya Yang paling agung, yang apabila dipanjatkan doa dengannya, maka Dia akan mengabulkan dan apabila dipinta dengannya, maka Dia akan memberi’. ”

Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits shahih. Ini merupakan tawasul kepada Allah dengan mengesakan-Nya dan kesaksian orang yang berdoa kepada-Nya dengan wahdaniyah serta penetapan sifat-Nya yang ditunjukkan dengan asma’ Ash-Shamad, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, “Yaitu orang berilmu yang sempurna ilmunya dan orang berkuasa yang sempurna kekuasaannya.”

Dalam sebuah riwayat darinya disebutkan, “Artinya adalah tuan yang memiliki kesempurnaan dalam segala kedu-
dukan. ” Menurut Abu Wa’il, artinya adalah tuan yang tinggi kedudukannya. Menurut Sa’id bin Jubair, artinya orang yang sempurna dalam segala sifat, perbuatan dan perkataannya. Permisalan dan keserupaan dinafikan dari-Nya dengan perkataannya, “Yang tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. Seperti inilah terjemah aqidah Ahlus-Sunnah dan tawasul dengan iman dan kesaksian dengannya merupakan asma’ yang paling agung.

Kedua: Hadits Anas,

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mendengar seseorang memanjatkan doa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji bagi-Mu, tiada llah melainkan Engkau, Yang banyak karunianya, Yang menciptakan langit dan bumi, Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai
Yang Maha hidup lagi Maha Berdiri sendiri’. Maka beliau bersabda, ‘Dia telah memohon kepada Allah dengan asma ’-Nya yang paling agung.”

Jadi ini merupakan tawasul kepada Allah dengan asma’ dan sifat- sifat-Nya. Surat Al-Fatihah telah mengombinasikan dua macam tawasul, yaitu tawasul dengan pujian dan pengagungan-Nya, serta tawasul kepada-Nya dengan ubudiyah dan mengesakan-Nya. Kemudian disusul permohonan yang paling penting dan hasrat yang paling mendatangkan keberuntungan, yaitu hidayah, setelah dua tawasul itu. Maka orang yang memanjatkan doa dengannya layak dikabulkan.

Serupa dengan hal ini ialah doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang biasa beliau panjatkan ketika beliau dalam keadaan berdiri untuk shalat malam, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhary di dalam Shahih-nya, dari hadits Ibnu Abbas,

Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta siapa pun yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah yang menegakkan langit dan bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah Yang Maha benar, janji-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, hari kiamat itu benar dan Muhammad itu benar. Ya Allah, aku berserah diri kepada Mu, kepada-Mu aku beriman dan bertawakal, kepada-Mu aku kembali, karena-Mu aku bermusuhan dan kepada-Mu aku mengadu. Maka ampunilah bagiku apa yang kumajukan dan apa yang kuakhirkan, apa yang kurahasiakan dan apa yang kunyatakan. Engkau adalah Ilahku yang tiada Ilah melainkan Engkau.

Pencakupan Surat Al-Fatihah atas Tiga Jenis Tauhid

Surat Al-Fatihah mencakup tiga macam tauhid sebagaimana yang sudah disepakati para rasul. Tauhid itu sendiri ada dua jenis:

  • Tauhid al-ilmy. Satu jenis tauhid dalam ilmu dan keyakinan, berkaitan dengan pengabaran dan makrifat
  • Tauhid al-qashdy al-irady. satu jenis lagi dalam kehendak dan tujuan. berkaitan dengan tujuan dan kehendak.

Tauhid yang kedua ini juga ada dua macam: Tauhid dalam Rububiyah dan tauhid dalam Uluhiyah. Jadi inilah tiga macam itu. Inti tauhid ilmu pada penetapan sifat-sifat kesempurnaan dan penafian penyerupaan dan permisalan, pembebasan dari aib dan kekurangan. Yang demikian ini dapat dibuktikan dengan dua hal: Yang global dan yang rinci. Yang global ialah penetapan pujian bagi-Nya. Sedangkan yang rinci ialah penyebutan sifat Ilahiyah dan Rububiyah, rahmat dan kekuasaan.

Inti asma’ dan sifat berkisar pada empat hal ini. Adapun cakupan pujian berdasarkan hal itu ialah mencakup pujian Dzat yang dipuji dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan keagungan-Nya, disertai kecintaan, keridhaan dan ketundukan kepada-Nya. Selagi sifat-sifat kesempurnaan yang dipuji semakin banyak, maka pujian kepadanya semakin sempurna.

Selagi sifat- sifat kesempurnaannya berkurang, maka pujian kepadanya juga semakin berkurang selaras dengan kadarnya. Karena itulah segala puji bagi Allah dengan pujian yang tidak bisa dibilang oleh selain-Nya, karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya dan karena banyaknya. Atas dasar inilah tak seorang pun di antara makhluk-Nya bisa membilang pujian kepada-Nya, karena Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan yang tidak bisa dibilang selain-Nya. Karena itu Allah mencela sesembahan orang-orang kafir, dengan cara meniadakan sifat-sifat kesempurnaan dari sesembahan itu. Allah mencelanya bahwa sesembahan itu tidak bisa mendengar dan melihat, tidak bisa bicara dan memberi petunjuk, tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat.

Semacam ini pula sesembahan golongan Jahmiyah, sama seperti celaan terhadap patung-patung, yang kemudian mereka nisbatkan kepada-Nya. Tapi Allah Mahatinggi dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim dan ingkar, dengan ketinggian yang besar. Allah befirman mengisahkan kekasih-Nya, Ibrahim AJaihis-SaJam, saat mendebat ayahnya,

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?”(Maryam: 42).

Sekiranya Ilah Ibrahim seperti sesembahan ayahnya dan serupa dengannya, tentu Azar, ayahnya akan berkata,

“Sesembahanmu pun seperti itu pula. Maka bagaimana mungkin kamu mengingkari aku?”

Tapi meskipun ayah Ibrahim musyrik, toh dia lebih tahu tentang Allah daripada golongan Jahmiyah. Begitu pula orang-orang kafir Quraisy. Meskipun mereka musyrik, toh mereka mengakui sifat-sifat Allah Yang Maha Pencipta dan ketinggian-Nya atas makhluk. Firman-Nya,

“Dan, kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anaklembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkanjalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zhalim. ” (QS. Al-A’raf: 148).

Sekiranya Allah yang menjadi Ilah makhluk seperti keadaan sesembahan itu, maka tidak ada gunanya mengingkari perbuatan mereka dan menunjukkan bukti kebatilan sesembahan mereka. Jika ada yang berkata, “Toh Allah tidak berbicara dengan hamba-hamba-Nya.”

Maka dapat ditanggapi sebagai berikut: Allah berbicara dengan mereka. Di antara mereka ada yang diajak bicara oleh Allah dari balik tabir. Ada pula yang tanpa perantara. Ada pula yang Allah berbicara dengan sebagian di antara mereka lewat lisan utusan-Nya dari jenis malaikat, yaitu para nabi. Sementara Allah berbicara dengan seluruh manusia lewat lisan rasul-rasul-Nya. Allah menurunkan kalam-Nya kepada mereka, yang disampaikan para rasul dari-Nya. Para rasul itu mengatakan, “Ini adalah kalam Allah yang difirmankan-Nya dan Dia memerintahkan kami untuk menyampaikannya kepada kalian.”

Berangkat dari sinilah orang-orang salaf berkata, “Siapa yang mengingkari Allah berbicara, berarti dia telah mengingkari risalah semua rasul. Sebab hakikat dari risalah itu ialah menyampaikan kalam Allah yang disampaikan kepada hamba-hamba-Nya. Ketiadaan kalam-Nya adalah ketiadaan risalah.”

Allah befirman di dalam surat Thaha tentang As-Samiry,

“Kemudian Samiry mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata, ‘Inilah tuhan kalian dan tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan?” (QS. Thaha: 88-89).

Jawaban dari pertanyaan ini ialah, bahwa Dia berbicara dan juga berbicara dengan pihak lain. Firman Allah,

“Dan, Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban ataspenanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan dan dia berada pula di atasjalan yang lurus?” (An-Nahl: 76).

Al-Qur’an menjadikan penafian sifat kalam sebagai kepastian kebatilan Ilahiyah. Hal ini logis menurut pertimbangan fitrah dan akal yang sehat serta kitab-kitab samawi, bahwa orang yang tidak memiliki sifat-sifat kesempurnaan tidak bisa menjadi Ilah, pengatur dan Rabb. Bahkan dia tercela dan kurang, tidak layak mendapat pujian, tidak di dunia dan tidak pula di akhirat. Pujian di dunia dan di akhirat hanya layak diberikan kepada Dzat yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, yang karena itu dia layak dipuji. Oleh karena itulah orang-orang salaf menamakan kitab-kitab yang mereka susun tentang As-Sunnah dan penetapan sifat-sifat Allah, ketinggian-Nya atas makhluk-Nya, kalam dan pembicaraan-Nya, dengan “Kitab Tauhid”. Penafian sifat-sifat itu, pengingkaran dan pengufurannya merupakan pengingkaran terhadap Allah Yang Maha Pencipta. Tauhid-Nya ialah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan dan membebaskan-Nya dari penyerupaan dan kekurangan.

Sementara golongan Mu’thilah menjadikan pengingkaran sifat dan pengguguran penciptanya sebagai tauhid. Mereka juga menjadikan penetapannya bagi Allah sebagai penyerupaan dan penitisan. Mereka menamakan sesuatu yang batil dengan sebutan kebenaran, karena kesenangan kepadanya dan sebagai hiasan yang mereka buat-buat. Mereka menyebut kebenaran dengan nama kebatilan, untuk menghindar darinya.

Sementara mayoritas manusia tidak memiliki kritikan orang yang biasa mengritik, meskipun jalan sudah jelas.

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.’’ (Al-Kahfi : 17).

Orang yang layak dipuji tidak akan dipuji karena sesuatu yang tidak ada pada dirinya dan sikap diamnya, kecuali kalau memang peniadaan aib dan kekurangan menjamin adanya penetapan kebalikannya, yang berupa sifat-sifat kesempurnaan yang tetap dan pasti. Jika tidak, maka itu hanya sekedar peniadaan yang memang tidak layak untuk dipuji dan juga bukan merupakan kesempurnaan.

Begitu pula pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri yang tidak mempunyai anak. Hal ini menjamin kesempurnaan sifat shamad-Nya, kekayaan-Nya dan kerajaan-Nya dan bahwa segala sesuatu menyembah-Nya. Jika dia mempunyai anak, berarti menafikan kesempurnaan itu, sebagaimana firman-Nya,

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, Allah mempunyai anak’. MahasuciAllah; Dialah Yang Mahakaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. "(Yunus: 68).

Pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri tentang tidak adanya sekutu, menjamin kesendirian-Nya dalam Rububiyah, dan llahiyah, keesaan-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, yang selain-Nya tidak disifati dengan sifat-sifat itu, hingga dia menjadi sekutu bagi-Nya. Sekiranya tidak ada sifat-sifat kesempurnaan itu, maka segala wujud bisa lebih sempurna dari- Nya. Sebab yang wujud lebih sempurna daripada yang tidak wujud.

Karena itulah Allah tidak memuji Diri-Nya dengan sesuatu yang tidak ada, kecuali jika menjamin penetapan kesempurnaan, sebagaimana Dia memuji Diri- Nya dengan keberadaan-Nya yang tidak mati. Hal ini menjamin kesempurnaan hidup-Nya. Allah memuji Diri-Nya sebagai Dzat Yang tidak mengantuk dan tidak pula tidur, untuk menjamin perbuatan-Nya yang mengurus (hamba) secara terus-menerus. Allah memuji Diri-Nya bahwa tidak ada yang tersembunyi dari-Nya meskipun hanya seberat dzarrah di langit maupun di bumi, tidak pula yang lebih kecil maupun yang lebih dari dzarrah itu, karena kesempurnaan ilmu-Nya dan peliputan-Nya. Allah memuji Diri-Nya bahwa Dia tidak menzhalimi siapa pun, karena kesempurnaan keadilan dan kemurahan-Nya. Allah memuji Diri-Nya bahwa Dia tidak dapat dilihat pandangan mata, karena kesempurnaan keagungan-Nya, yang dapat melihat namun tidak dapat dilihat, sebagaimana Dia yang bisa diketahui namun tidak ada ilmu yang meliputi-Nya. Jika tidak, maka penafian pandangan bukan merupakan kesempurnaan.

Sebab sesuatu yang tidak ada tidak dapat dilihat, sehingga keberadaan sesuatu yang tidak dapat dilihat bukan kesempurnaan sedikit pun. Kesempurnaan hanya ada pada keberadaannya yang tidak bisa dilihat pandangan mata, karena keagungan di dalam Diri-Nya dan ketinggian-Nya untuk diketahui makhluk. Begitu pula Allah yang memuji Diri-Nya yang tidak lalai dan tidak lupa, karena kesempurnaan ilmu-Nya.

Setiap peniadaan di dalam Al-Qur’an, sehingga Allah tidak memuji Diri-Nya, maka itu merupakan kontradiksi penetapan kebalikannya dan karena untuk menjamin kesempurnaan penetapan kebalikannya. Maka dapat diketahui bahwa hakikat pujian itu mengikuti penetapan sifat-sifat kesempurnaan, dan peniadaannya merupakan penafian pujian, dan penafian pujian mengharuskan penetapan kebalikannya.

Lima Sifat di dalam Al-Fatihah Yang Menunjukkan Tauhid Asma’ dan Sifat

Pembuktian lima asma’ ini ialah asma’ Allah, Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik.

Hal ini didasarkan kepada dua hal: Dasar Pertama: Asma’ ini menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan- Nya. Asma’ ini juga merupakan sifat-sifat. Atas dasar inilah semuanya menjadi husna (baik). Sebab sekiranya itu hanya sekedar lafazh yang tidak ada maknanya, maka itu tidak bisa disebut husna dan tidak pula menunjukkan kepada pujian dan kesempurnaan, sifat mendendam dan marah lebih dominan daripada sifat rahmat dan ihsan serta yang menjadi keba-
likannya, sehingga akan diucapkan dalam doa,

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku, karena Engkau Maha Pembalas. Ya Allah, berilah aku, karena Engkau Maha Pemberi mudharat dan yang menahan”, atau lain-lainnya.

Penafi’an makna-makna Al-Asma’ Al-Husna bagi Allah merupakan pengingkaran yang paling besar. Allah befirman,

“Dan, tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. ”(QS. Al-A’raf: 180).

Sekiranya asma’ itu tidak menunjukkan kepada makna dan sifat- sifat, maka Dia tidak boleh mengabarkannya berdasarkan sumber-sumbernya. Tapi Allah mengabarkan tentang Diri-Nya beserta sumber-sumbernya dan menetapkannya bagi Diri-Nya serta menetapkannya bagi Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberirezki Yangmempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh. ”(Adz-Dzarivat: 58).

Dengan begitu dapat diketahui bahwa Al-Qawy itu termasuk asma’-Nya, yang berarti Dia disifati dengan kekuatan. Begitu pula firman Allah,

“Maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. "(Fathir: 10).

Yang mulia ialah yang memiliki kemuliaan. Sekiranya tidak ada penetapan kekuatan dan kemuliaan, maka Dia tidak akan memiliki asma’ yang kuat dan yang mulia. Begitu pula firman-Nya,

“Maka ketethuileth sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu”. (Hud: 14).

“Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. ”(An-Nisa’: 166).

“Dan, mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah.”(Al- Baqarah: 255).

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia menurunkan neraca dan meninggikannya, mengangkat kepada-Nya amal malam hari sebelum siang hari dan amal siang hari sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya, yang sekiranya Dia membukanya, maka keagungan Wajah-Nya akan membakar apa pun pandangan dari makhluk-Nya atau yang tertuju kepada-Nya.”

Beliau menyebutkan sumber pengambilan asma’ Al-Bashir. Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha,

“Segala puji bagi Allah gang pendengaran-Nya meliputi segala suara.”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits istikharah,

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuasaan dengan kekuasaan-Mu.”

Allah berkuasa dengan kekuasaan-Nya. Allah befirman kepada Musa,

“Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku.” (Al-A’raf: 144).

Jadi Allah berbicara dan juga berbicara dengan pihak lain dengan suatu perkataan. Dia adalah Mahaagung yang mempunyai keagungan. Di dalam Ash-Shahih disebutkan,

“Allah befirman, ‘Keagungan adalah jubahku dan kekuasaan adalah selendangku.”

Allah adalah Maha Bijaksana yang memiliki ketetapan hukum.

Firman-Nya,

“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha tinggi lagi Maha besar. ” (Al-Mukmin; 12).

Kaum Muslimin sudah sepakat bahwa siapa yang bersumpah dengan hidup Allah, pendengaran, penglihatan, pandangan, kekuatan, kemuliaan, keagungan-Nya, maka sumpahnya itu sah dan menjadi jaminan. Sebab ini merupakan sifat-sifat kesempurnaan yang bersumber dari asma’-Nya. Di samping itu, sekiranya asma’-Nya tidak meliputi makna dan sifat-
sifat, maka tidak ada artinya ada pengabaran dengan perbuatan-perbuatannya, sehingga tidak bisa dikatakan, “Dia mendengar, melihat, mengetahui, berkuasa dan berkehendak.” Sesungguhnya penetapan hukum-hukum sifat merupakan cabang dari penetapannya. Jika tidak ada asal sifat, mustahil ada penetapan hukumnya.

Di samping itu, sekiranya asma’-Nya tidak memiliki makna dan sifat-sifat, tentunya asma’ itu menjadi benda mati seperti halnya bendera semata, yang tidak diletakkan untuk sesuatu yang diberi nama itu dengan pertimbangan suatu makna yang menyertainya. Semua itu sama dan tidak ada perbedaan antara hal-hal yang ditunjukkan. Yang demikian ini merupakan isapan jempol semata dan kebohongan yang nyata.

Siapa yang menjadikan makna nama “Yang berkuasa” sama dengan makna nama “Yang mendengar dan melihat”, begitu pula makna nama “Yang Maha Pemberi taubat” sama dengan makna nama “Yang membalas”, makna nama “Yang memberi” sama dengan makna nama “Yang Menahan”, berarti dia telah membohongi akal, bahasa dan fitrah. Penafian makna asma’ Allah merupakan penyimpangan yang paling besar.

Penyimpangan itu sendiri ada dua macam. Salah satu di antaranya ialah penyimpangan di atas. Sedangkan satunya lagi ialah memberi nama patung-patung dengan asma’ itu sebagaimana mereka menyebut patung-patung itu sebagai sesembahan. Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, “Mereka menyimpangkan asma’ Allah dari makna yang semestinya lalu mereka menamakan patung-patung mereka dengan asma’ itu, lalu mereka menambahi dan mengurangi. Mereka mengambil nama Lata dari nama Allah, Uzza dari Al-Aziz, Manat dari Mannan.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna “ Yul-hiduuna fi asma ’ihi”, menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama- nama-Nya, artinya berbuat dusta kepada-Nya.

Ini merupakan tafsir berdasarkan makna. Namun hakikat itiJi /ilhaad di sini ialah menyimpangkannya dari kebenaran yang terkandung di dalamnya dan memasukkan ke dalamnya apa yang bukan merupakan bagian darinya serta mengeluarkan darinya hakikat-hakikat maknanya. Inilah hakikat ilhaad.

Siapa yang melakukannya, berarti dia telah berbuat dusta terhadap Allah. Ibnu Abbas menafsiri ilhaad di sini dengan dusta, atau itu merupakan tujuan orang yang berbuat ilhaaddalam asma’ Allah. Jadi, jika seseorang memasukkan ke dalam makna-makna asma’ itu sesuatu yang bukan bagian darinya, mengeluarkan makna dari hakikatnya atau sebagian di antaranya, berarti dia telah menyimpang dari kebenaran. Inilah hakikat ilhaad. Ilhaad juga berarti menentang atau mengingkarinya, entah dengan menentang maknanya dan meniadakannya, entah dengan menyimpangannya dari kebenaran dan mengeluarkannya dari kebenaran dengan berbagai takwil yang batil, atau entah dengan menjadikannya sebagai nama makhluk yang diciptakan, seperti ilhaadorang-orang yang berpaham penitisan.

Mereka menjadikan asma’ Allah sebagai nama benda-benda alam ini, baik yang tercela atau yang terpuji. Sampai-sampai pemimpin mereka, ( Dia adalah Abu Sa’id Al-Kharrraz, yang berkata tentang Rabb-nya, “Dialah yang diberi nama Abu Sa’id Al-Kharraz.”)’ berkata,

“Dia (Allah) yang diberi nama dengan segala nama yang terpuji menurut akal, syariat dan kebiasaan, dengan segala nama yang tercela menurut akal, syariat dan kebiasaan.”

Allah Mahatinggi dari apa yang dikatakan orang-orang yang menyimpang dengan ketinggian yang besar.

Dasar Kedua: Satu nama dari asma’ Allah, sebagaimana ia me nunjukkan kepada dzat dan sifat yang diambilkan darinya secara persis, maka ia juga menunjukkan dua makna lain yang menjadi kandungan dan keharusannya, sehingga ia menunjukkan kepada sifat itu sendiri sebagai kandungannya, juga menunjukkan kepada dzat yang terlepas dari sifat itu, dan juga menunjukkan sifat lain yang menjadi keharusannya.

Nama As-Samii ’ menunjukkan kepada Dzat Rabb dan pendengaran-Nya secara persis, kepada Dzat itu sendiri dan kepada pendengaran itu sendiri sebagai kandungan, juga menunjukkan kepada nama Al-Hayyu (Yang Maha hidup) dan sifat hidup sebagai keharusan. Begitu pula yang terjadi dengan seluruh asma’ dan sifat Allah. Tetapi manusia saling berbeda dalam mengetahui keharusan dan ketiadaannya. Dari sinilah acap kali terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam sekian banyak asma’ dan sifat serta hukum. Siapa yang mengetahui bahwa perbuatan berdasarkan pilihan merupakan keharusan kehidupan, dan bahwa pendengaran dan penglihatan merupakan keharusan kehidupan yang sempurna, dan bahwa semua kesempurnaan merupakan keharusan kehidupan yang sempurna pula, tentu akan menetapkan asma’ dan sifat Allah serta perbuatan-Nya, yang justru diingkari orang yang tidak mengetahui keharusan hal itu dan tidak mengetahui hakikat kehidupan dan keharusannya.

Begitu pula untuk semua sifat Allah. Nama Al- Azhiim (Maha agung) bagi Allah merupakan keharusan yang diingkari orang yang tidak mengetahui keagungan Allah dan keharusannya. Begitu pula nama Al-Aly, Al-Hakiim dan semua asma’-Nya. Di antara keharusan nama Al-Aly ialah ketinggian yang mutlak dan segala ungkapannya. Dia memiliki ketinggian yang mutlak dari segala wujud, ketinggian kekuasaan, ketinggian penundukan dan ketinggian Dzat. Siapa yang mengingkari ketinggian Dzat, berarti telah mengingkari keharusan nama-Nya, AI-AIy.

Begitu nama Azh-Zhaahir, yang di antara keharusannya ialah tidak ada sesuatu pundi atas-Nya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Dan Engkau adalah Yang Zhaahir, yang tiada sesuatupun di atas- Mu.’’ Bahkan Allah berada di atas segala sesuatu. Siapa yang mengingkari keunggulan Allah ini berarti telah mengingkari keharusan nama-Nya, Azh-Zhaahir.

Tidak benar jika yang Azh-Zhaahir hanya sekedar memiliki keunggulan kekuasaan, seperti jika dikatakan, “Emas mengungguli perak dan mutiara mengungguli kaca.” Sebab keunggulan ini tidak berhubungan dengan penampakan, tetapi boleh jadi yang diungguli justru lebih tampak dari apa yang mengungguli. Tidak benar pula jika itu hanya sekedar penampakan penundukan dan kemenangan semata. Allah adalah Azh-Zhaahir dengan penundukan dan kemenangan, karena Azh-Zhaahir kebalikan dari Al-Baathin, yang tidak ada sesuatu yang menandinginya, sebagaimana Al-Awwalu yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, kebalikan dari Al-Aakhiru, yang tiada sesuatu pun sesudah-Nya.

Begitu pula nama Al-Hakiim, yang di antara keharusannya ialah penetapan tujuan-tujuan yang terpuji dan terarah berkat perbuatan-perbuatan-Nya, peletakan-Nya terhadap segala sesuatu pada tempatnya dan menempatkannya pada sisi yang paling baik. Pengingkaran terhadap hal ini sama dengan pengingkaran terhadap nama ini dan keharusan- keharusannya. Begitu pula yang terjadi dengan seluruh Al-Asma’ Al-Husna Allah.

Nama Allah Menunjukkan kepada Seluruh Asma’ dan Sifat

Jika dua dasar ini sudah ditetapkan, maka nama Allah menunjukkan kepada seluruh Al-Asma’ Al-Husna dan sifat-sifat yang tinggi berkat tiga bukti. Nama ini menunjukkan Hahiyah-Nya yang mencakup penetapan sifat-sifat llahiyah bagi-Nya, disertai penafian terhadap kebalikan-kebalikannya.

Sifat-sifat llahiyah ialah sifat-sifat kesempurnaan yang terlepas dari penyerupaan dan permisalan, dari aib dan kekurangan. Karena itulah Allah menambahkan seluruh Al-Asma’ Al-Husna ke nama yang agung ini, sebagaimana firman-Nya,

“Hanya milik Allah Al-Asma ’ Al-Husna. "(Al-A’raf: 180).

Ada yang berpendapat, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, As- Salam, Al-Aziz, Al-Hakim adalah asma’ Allah, dan tidak dikatakan, bahwa Allah adalah termasuk asma’ Ar-Rahman dan tidak termasuk asma’ Al- Aziz dan lain-lainnya.

Maka dapat diketahui bahwa nama Allah mencakup seluruh makna Al-Asma’ Al-Husna, menunjukkan kepadanya secara global. Al-Asma’ Al-Husna merupakan rincian dan penjelasan dari sifat-sifat llahiyah, yang dari sinilah terbentuk nama Allah. Nama Allah menunjukkan keberadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah. Makhluk menyembah-Nya karena cinta, pengagungan dan ketundukan, kembali kepada-Nya ketika didesak kebutuhan dan kepasrahan. Yang demikian ini mengharuskan kesempurnaan Rububiyah dan rahmat-Nya, yang keduanya mencakup kesempurnaan kekuasaan.

Pujian, llahiyah, Rububiyah, rahmat dan kekuasaan-Nya mengharuskan seluruh sifat kesempurnaan-Nya. Sebab mustahil ada penetapan semua itu bagi orang yang tidak hidup, tidak mendengar, tidak melihat, berkuasa, tidak berbicara, tidak dapat berbuat apa yang dikehendakinya serta tidak bijaksana dalam perbuatan-perbuatannya. Sifat keagungan dan keindahan lebih khusus daripada nama Allah. Sedangkan sifat perbuatan, kekuasaan, kesendirian dalam memberi manfaat dan mudharat, memberi dan menahan, berkehendak, kesempur- naan kekuatan serta menangani urusan makhluk, lebih khusus daripada nama Rabb.

Sifat ihsan, kemurahan hati, kebajikan, belas kasih, karunia dan santun, lebih khusus daripada nama Ar-Rahman. Hal ini diulang pemberitaannya dengan ketetapan sifat, adanya pengaruh dan kaitan sebab-akibat.

Ar-Rahman adalah Dzat yang sifatnya rahmat. Ar-Rahim adalah Dzat yang menyayangi hamba-hamba-Nya. Karena itu Allah befirman,

"Dan, adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. "(Al-Ahzab: 43).

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. ”(At-Taubah: 117).

Di sini tidak disebutkan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya dan tidak pula Maha Penyayang kepada orang-orang Mukmin, meskipun di dalam nama /Ar-Rahman, dengan bentuk kata fa ’lan, ada keluasan sifat ini dan penetapan seluruh maknanya yang disifatkan.

Tidakkah engkau tahu orang-orang mengatakan ghadhban untuk orang yang marah besar, atau nadman, hairan, sakran, lahfan, bagi seseorang yang mengalami keadaan seperti masing-masing kata ini? Jadi bentuk fa ’lan menunjukkan keluasan dan pencakupan. Karena itu Allah seringkali menggabungkan istiwa :Nya di atas ‘Arsy dengan nama ini, seperti firman-Nya,

"(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. ” (Thaha: 5). “

"Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah. ”(A1-Furqan: 59).

Allah bersemayam di atas ‘Arsy dengan nama Ar-Rahman. Sebab

‘Arsy itu dikelilingi makhluk dan yang dibuat luas membentang. Rahmat juga mengelilingi makhluk, yang luas bagi mereka, sebagaimana firman-Nya, “Dan, rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. ”(A1-A’raf: 156).

Allah bersemayam di atas makhluk yang paling luas, dengan sifat yang amat luas. Karena itu rahmat-Nya juga meliputi segala sesuatu. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Hurairah RadhiyallahuAnhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tatkala Allah menetapkan takdir makhluk, Dia menulis di dalam Kitab, yangada di sisi-Nya dan diletakkan di atas Arsy: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”

Dalam suatu lafazh disebutkan,

“Ia diletakkan di sisi-Nya di atas Arsy.”

Perhatikan kekhususan Al-Kitab ini dengan penyebutan rahmat dan yang diletakkan di sisi-Nya di atas ‘Arsy. Hal ini sejalan dengan firman-Nya,

“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaha: 5).

Dan firman-Nya,

“Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah. ”(Al-Furqan: 59).

Pintu yang lebar sudah dibukakan di hadapanmu untuk mengetahui Rabb, selagi pintu itu tidak ditutup karena kemalasan dan kelemahan. Sifat adil, menyempitkan, membentangkan, merendahkan, meninggikan, memberi, menahan, memuliakan, menghinakan, menundukkan, menghukumi dan lain sebagainya, lebih khusus dengan nama Al-Maliku, yang dikhususkan-Nya dengan hari pembalasan (kiamat), yaitu pembalasan dengan adil. Karena hanya Aliahlah yang memutuskan perkara pada hari itu, dan hari itu adalah hari yang pasti terjadi, begitu pula saat- saat sebelumnya seperti hari berbangkit. Saat itulah puncaknya, dan hari-hari di dunia mempunyai beberapa tahapan untuk sampai ke sana. Perhatikan kaitan penciptaan dan perintah dengan tiga asma’ ini: Allah, Rabb dan Ar-Rahmarr, bagaimana dari tiga asma’ ini muncul penciptaan, perintah, pahala dan siksa? Bagaimana pula makhluk di- himpunkan dan dibeda-bedakan? Jadi makhluk itu memiliki himpunan dan perbedaan.

Nama Rabb memiliki himpunan yang mencakup seluruh makhluk.Dia adalah Rabb segala sesuatu dan Penciptanya, yang berkuasa ter- hadapnya dan tak ada sesuatu pun yang keluar dari Rububiyah-Nya. Apapun yang ada di langit dan di bumi menjadi hamba bagi-Nya, ada dalam genggaman-Nya dan di bawah kekuasaan-Nya. Mereka berhimpun dengan sifat Rububiyah dan berbeda-beda dengan sifat Uluhiyah. Yang menyembah Dia semata adalah orang-orang yang berbahagia, yang menetapkan ketaatan bagi-Nya, bahwa Allah adalah yang tiada Ilah selain Dia. Ibadah, tawakal, berharap, takut, mencintai, kembali, bersandar, merendah dan tunduk tidak layak dilakukan kecuali bagi-Nya.

Di sinilah manusia berbeda-beda dan mereka terpisah menjadi dua golongan:

  • Satu golongan adalah orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan
  • Satu golongan lagi adalah orang-orang yang mengesakan, yang berada di surga.

llahiyahlah yang membeda-bedakan mereka, sebagaimana Rububiyah telah menghimpunkan mereka.

  • Agama, syariat, perintah dan larangan termasuk sifat llahiyah.
  • Penciptaan, pengadaan, pengurusan dan perbuatan termasuk sifat Rububiyah.
  • Pahala dan siksa, surga dan neraka termasuk sifat kekuasaan.

Dialah yang menguasai hari pembalasan. Allah memerintahkan mereka dengan llahiyah-Nya. Allah menolong, memberi taufiq, memberi petunjuk dan menyesatkan dengan Rububiyah-Nya. Allah memberi pahala dan menyiksa dengan kekuasaan dan keadilan-Nya. Masing-masing dari perkara-perkara ini tidak terlepas dari yang lain. Sedangkan rahmat merupakan keterkaitan dan sebab yang ada antara Allah dengan hamba-Nya. llahiyah berasal dari mereka bagi-Nya, sedangkan Rububiyah berasal dari-Nya bagi mereka. Rahmat merupakan sebab yang menghubungkan antara Allah dengan hamba-Nya.

Dengan rahmat itu Dia mengutus para rasul kepada mereka, menurunkan kitab-kitab-Nya kepada mereka, menunjuki mereka dengannya, menempatkan mereka di tempat tinggal yang diisi pahala-Nya, melimpahkan rezki, afiat dan nikmat kepada mereka. Antara mereka dan Dia ada sebab ubudiyah, dan antara Dia dengan mereka ada sebab rahmat. Penyertaan Rububiyah-Nya dengan rahmat-Nya seperti penyertaan bersemayamnya di atas ‘Arsy dengan rahmat-Nya.

Jadi firman-Nya, “(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy”, sesuai dengan firman-Nya, “Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.’’ Cakupan dan keluasan Rububiyah Allah, yang membuat apa pun tak ada yang keluar dari Rububiyah-Nya, lebih maksimal daripada cakupan dan keluasan rahmat. Rahmat dan Rububiyah-Nya meliputi segala sesuatu. Keberadaan Allah sebagai Rabb bagi semesta alam menunjukkan ketinggian-Nya di atas makhluk-Nya, keberadaan-Nya di atas segala sesuatu, yang insya Allah akan dijelaskan di bagian mendatang.

Disebutkannya Nama-nama Ini Setelah Al-Hamdu

Disebutkannya nama-nama ini setelah al-hamdu (pujian) dan keberadaan al-hamdu dengan segala kandungan dan konsekuensinya, menunjukkan bahwa Allah adalah yang terpuji dalam llahiyah-Nya, terpuji dalam Rububiyah-Nya, terpuji dalam rahmat-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, dan Dia adalah Ilah yang terpuji, Rabb yang terpuji, Maha Pemurah yang terpuji dan penguasa yang terpuji. Dengan begitu Dia mempunyai semua bagian-bagian kesempurnaan: Kesempurnaan dari segi nama ini sendiri, kesempurnaan dari nama lain, dan kesempurnaan dari pengaitan yang satu dengan yang lain.

Sebagai misal adalah firman Allah, “Dan Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji”, atau, “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”, atau, “Dan Allah Mahakuasa ”, atau, “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kaya merupakan sifat kesempurnaan. Pujian merupakan sifat kesempurnaan. Penyertaan kekayaan-Nya dengan pujian-Nya merupakan kesempurnaan pula. llmu-Nya merupakan kesempurnaan.

Penyertaan ilmu dengan bijaksana merupakan kesempurnaan pula. Kekuasaan-Nya merupakan kesempurnaan. Ampunan-Nya merupakan kesempurnaan. Penyertaan kekuasaan dengan ampunan merupakan kesempurnaan. Begitu pula ampunan setelah kekuasaan, “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Mahakuasa ”, atau penyertaan ilmu dengan kelemahlembutan, ‘Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Para malaikat penyangga ‘Arsy ada empat: Dua malaikat yang mengucapkan, “Mahasuci engkauya Allah dan dengan puji-Mu, bagi-Mu segala pujian atas kesantunan-Mu setelah ilmu-Mu”, dan dua malaikat yang mengucapkan, “Mahasuci Engkau ya Allah dan dengan puji-Mu, bagi-Mu segala puji atas ampunan-Mu setelah kekuasaan-Mu. ”

Tidak semua orang yang berkuasa mau memaafkan dan tidak setiap orang yang bisa memaafkan mau memaafkan berdasarkan kekuasaan. Tidak orang yang mengetahui adalah penyantun dan tidak setiap penyantun adalah mengetahui. Tidak ada sesuatu yang disertakan kepada yang lain, yang lebih bagus daripada penyertaan kesantunan kepada ilmu, penyertaan ampunan kepada kekuasaan, penyertaan kekuasaan kepada pujian, penyertaan keperkasaan kepada rahmat.

“Dan, sesungguhnya Rabbmu benar-benarDialah YangMaha Perkasa lagi Maha Penyayang. ”(Asy-Syu’ara’: 9).

Dari sinilah muncul perkataan Al-Masih Alaihis-Salam,

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118).

Perkataan yang demikian ini lebih baik daripada perkataan, “Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Atau perkataan, “Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya sumber ampunan-Mu adalah dari keperkasaan”.

Yang demikian itu mencerminkan kesempurnaan kekua- saan dan yang berasal dari hikmah, yang juga merupakan kesempurnaan ilmu. Orang yang mengampuni karena lemah dan bodoh tentang kejahatan pelaku tindak kejahatan, bukan orang yang berkuasa, bijaksana dan mengetahui. Yang demikian itu tidak terjadi melainkan karena kelemahan. Engkau tidak mengampuni kecuali melainkan karena kekuasaan yang sempurna dan ilmu yang sempurna serta hikmah, yang dengan hikmah itu Engkau meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Hal ini lebih baik daripada penyebutan Al-Ghafuur Ar-Rahiim dalam keadaan seperti ini, karena menunjukkan kepada penyebutan pemaparan per-
mintaan ampunan pada saat yang tepat.

Sekiranya Al-Masih berkata, “Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, maka yang demikian ini termasuk memohon belas kasihan dan pemaparan permintaan ampunan bagi or- ang yang tidak layak menerimanya. Hal ini tidak berlaku bagi orang yang kedudukannya semacam Al-Masih, apalagi ada kedudukan pengagungan, kedudukan pembalasan dari orang yang mengangkat putra bagi Allah atau menjadikan sesembahan selain-Nya. Jadi disebutkannya keperkasaan dan kebijaksanaan di sini lebih tepat daripada disebutkan rahmat dan ampunan.

Hal ini berbeda dengan perkataan Al-Khalil, Ibrahim Alaihis-Salam,

“Dan, jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasukgolonganku, dan barangsiapa mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "(Ibrahim: 35-36).

Ibrahim tidak mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Sebab kedudukannya adalah kedudukan memohon belas kasihan dan pemaparan doa. Dengan kata lain, jika Engkau mengampuni dan merahmatinya, dengan memberikan taufik untuk kembali dari syirik ke tauhid, dari kedurhakaan ke ketaatan, seperti yang disebutkan dalam hadits,

“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

Di sini terkandung bukti yang akurat bahwa asma’ Allah diambilkan dari beberapa sifat dan makna yang menunjangnya, dan bahwa setiap asma’ selaras dengan apa yang disebutkan bersamanya dan yang menyertainya, baik dari perbuatan maupun perintah-Nya. Hanya Aliahlah yang memberikan taufik kepada kebenaran.

Beberapa Tingkatan Hidayah Yang Khusus dan Umum

Tingkatan Pertama:

Tingkatan pembicaraan Allah kepada hamba- Nya tanpa perantara, bahkan juga pembicaraan dari manusia dengan Allah. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling tinggi, sebagaimana Allah telah berbicara kepada Musa bin Imran Alaihis-Salam, yang memiliki tingkatan lebih tinggi daripada nabi kita. Allah befirman,

"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. ”(An- Nisa’: 164).

Di awal ayat ini Allah menyebutkan wahyu-Nya kepada Nuh dan beberapa nabi sesudahnya. Kemudian mengkhususkan Musa di antara mereka dengan suatu pengabaran bahwa Allah berbicara kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini lebih khusus daripada kemutlakan wahyu yang disebutkan di awal ayat ini. Kemudian hal ini dikuatkan lagi dengan penggunaan mashdar yang hakiki dari kallama, yaitu taklim. Hal ini untuk menyanggah anggapan yang mengada-ada dari golongan Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud dengan pembicaraan ini adalah ilham atau isyarat atau definisi untuk suatu makna kejiwaan dengan sesuatu yang langsung. Penguatan dengan mashdar ini dimaksudkan untuk mewujudkan penisbatan dan menghilangkan kiasan.

Al-Farra’ berkata, “Orang-orang Arab menyebut sesuatu yang sampai kepada manusia dengan sebutan perkataan, entah dengan cara bagaimana pun perkataan itu sampai. Tapi hal itu tidak dikuatkan dengan mashdar. Jika dikuatkan dengan mashdar, maka tiada lain itu adalah hakikat perkataan, seperti kata iraadah. Jika dikatakan, Fulan araada iraadatan” artinya dia benar-benar menghendaki hakikat kehendak. Jika dikatakan, “Araada al-jidaar”, tak perlu kata iraadah, karena perkataan ini dimaksudkan sebagai kiasan dan bukan hakikat. Jadi itu memang perkataan Allah. Firman-Nya,

“Dan, tatkala Musa datang untuk (munajatdengan Kami)pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah befirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Rabbku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’.” (Al’ A’raf: 143).

Pembicaraan ini berbeda dengan pembicaraan pertama yang saat itu Allah mengutusnya kepada Fir’aun. Dalam pembicaraan yang kedua ini Musa meminta untuk dapat melihat Allah dan bukan pada pembicaraan yang pertama, yang pada saat itu Musa diberi lembar-lembar Al-Kitab.

Pembicaraan yang kedua ini berasal dari janji Allah kepadanya. Sedangkan pembicaraan yang pertama tidak diawali dengan perjanjian. Saat itu Allah befirman,

“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (dimasamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. ”(A1-A’raf: 144).

Artinya menurut ijma’ ulama, Aku berbicara langsung denganmu. Allah juga telah mengabarkan di dalam Kitab-Nya bahwa Musa berseru dan bermunajat kepada-Nya. Berseru dari jarak yang jauh, sedangkan bermunajat dari jarak yang dekat. Orang-orang Arab berkata, “Jika lingkarannya besar, maka itu namanya seruan.”

Bapaknya, Adam berkata saat berdebat dengannya, “Engkau adalah Musa yang dipilih Allah dengan perkataan-Nya dan yang menulis Taurat bagimu dengan Tangan-Nya.” Ini pula yang biasa diucapkan orang-orang yang mencari syafaat darinya kepada Allah. Begitu pula yang disebutkan di dalam hadits Isra’ tentang riwayat Musa di langit keenam atau ketujuh, karena ada perbedaan riwayat, “Yang demikian itu merupakan karunianya karena perkataan Allah.” Sekiranya pembicaraan ini terjadi seperti yang dialami para nabi yang lain, maka pengkhususan bagi Musa yang disebutkan di dalam berbagai hadits ini tidak punya makna apa pun, dan Musa tidak akan disebut /Kaliimu Ar-Rahman (Orang yang berbicara langsung dengan Allah Yang Maha Pemurah). Firman Allah,

“Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yangDia kehendaki. ”(Asy-Syura: 51).

Jadi ada perbedaan antara berbicara dengan perantaraan wahyu, berbicara dengan cara mengirim seorang utusan dan berbicara dari belakang tabir.

Tingkatan Kedua:

Tingkatan wahyu yang dikhususkan bagi para nabi. Frrman Allah,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya. ”(An-Nisa’: 163).

“Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir… ”(Asy-Syura: 51).

Allah menjadikan wahyu di dalam ayat ini sebagai bagian dari bagian-bagian pembicaraan, sementara menjadikan wahyu di surat An-Nisa’ hanya satu macam pembicaraan. Hal ini atas dua pertimbangan:

  • Itu merupakan satu-satunya bagian pembicaraan yang khusus, tanpa perantaraan.
  • Merupakan bagian dari pembicaraan yang bersifat umum, yang maksudnya adalah penyampaian makna dengan beberapa cara.

Wahyu itu sendiri menurut pengertian bahasa ialah pemberitahuan yang cepat dan tersembunyi. Kata kerjanya ialah wahaa auhaa.

Tingkatan Ketiga:

Pengiriman utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia, lalu ia mewahyukan kepadanya dari Allah menurut apa yang diperintahkan-Nya untuk disampaikan kepadanya.

Tiga tingkatan ini khusus bagi para nabi dan bukan bagi selain mereka. Utusan dari jenis malaikat ini bisa berwujud seorang laki-laki di hadapan utusan dari jenis manusia, sehingga utusan dari jenis manusia dapat melihatnya secara nyata dan juga berdialog dengannya. Adakalanya dia melihatnya dalam bentuk asli sebagaimana ia diciptakan. Adakalanya malaikat masuk ke dalam dirinya dan mewahyukan kepadanya apa yang harus diwahyukan, kemudian keluar berlepas diri darinya. Ketiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Tingkatan Keempat:

Tingkatan tahdits (pengabaran). Hal ini berbeda dengan tingkatan wahyu yang khusus dan juga berbeda de-
ngan tingkatan para shiddiqin, seperti yang terjadi pada diri Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu Anhu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya ada orang-orang di umat-umat sebelum kalianyang mendapatpengabaran. Sekiranyayangdemikian itu terjadidi tengah umat ini, maka dia adalah Umar bin Al-Khaththab.”

Aku pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,

“ Sudah ada ketetapan bahwa mereka itu adalah orang-orang di tengah umat-umat sebelum kita. Keberadaan mereka di tengah umat ini diberi catatan dengan huruf in yang menggambarkan kalimat bersyarat. Padahal umat ini merupakan umat yang paling baik, karena kebutuhan berbagai umat sebelum kita kepada umat kita, sementara umat ini tidak membutuhkan mereka karena kesempurnaan nabi dan risalahnya. Allah tidak membuat umat ini, sepeninggal beliau membutuhkan muhaddats (seseorang yang mendapat pengabaran atau mulham (orang yang diberi ilham), tidak pula orang yang pandai mengungkap rahasia dan tabir mimpi. Pemberian catatan ini terjadi karena kesempurnaan umat ini dan kecukupannya dan bukan karena kekurangannya.”

Muhaddats adalah orang yang diberitahu tentang sesuatu di dalam hatinya, sehingga kejadiannya persis seperti apa yang diberitakannya.

Syaikh kami berkata, “Shiddiq lebih sempurna daripada muhaddats, karena dengan kesempurnaan shiddiqiyah dan keikutsertaannya dia tidak membutuhkan pemberitahuan, ilham dan pengungkapan. Dia telah menyerahkan segenap hati, rahasia, zhahir dan batinnya kepada Rasul, sehingga dia tidak membutuhkan selain beliau.”

Tingkatan Kelima:

Tingkatan pemberian pemahaman. Allah befirman,

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan keputusanyang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikanpengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masingmereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. ”(A1-Anbiya’: 78-79).

Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini dan memuji keduanya

dengan ilmu dan hikmah. Sementara Sulaiman dikhususkan dengan pemahaman dalam peristiwa ini. Ali bin Abu Thalib pernah ditanya, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengkhususkan kamu sekalian dengan sesuatu tanpa manusia yang lain?” Maka dia menjawab,

“Tidak. Tapi demi yang menumbuhkan butir tanaman dan yang menghembuskan angin, melainkan hanya pemahaman yang diberikan Allah kepada seorang hamba tentang Kitab-Nya dan apa yang ada di alam Mushaf ini. Di dalamnya ada akal, yaitu diyat, pembebasan tawanan dan seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena membela orang kafir.”

Dalam surat yang dikirimkan Umar bin Al-Khaththab kepada Abu Musa Al-Asy’ary, tercantum perkataannya,

“Dan pemahaman yang kusampaikan kepadamu.”

Pemahaman merupakan nikmat Allah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya dan merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hatinya, yang dengan cahaya itu dia bisa mengetahui dan mengenal apa yang tidak dikenali orang lain, dapat memahami nash yang tidak dipahami orang lain, padahal keduanya sama-sama menghapalnya dan memahami dasar maknanya.

Pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya merupakan tema shiddi-qiyah dan maklumat perwalian kenabian. Karena pemahaman ini pula terjadi keragaman tingkatan-tingkatan ulama, hingga seribu orang disetarakan dengan satu orang. Perhatikan pemahaman Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dan orang-orang yang hadir ketika itu dari kalangan orang-orang yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya, tentang surat An-Nashr, karena hanya dialah yang memahami surat ini, bahwa surat ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya tentang kematian dirinya dan pengabaran tentang kedatangan ajalnya.

Umar menerima jawaban Ibnu Abbas ini, karena dia dan sahabat lain memang tidak mengetahuinya. Padahal saat itu Ibnu Abbas adalah orang yang paling muda di antara mereka. Di mana letak pengabaran ajal beliau di dalam surat ini kalau bukan karena pemahaman yang khusus? Masalah ini menyusut hingga beberapa tingkatan yang mencerminkan kesempitan pemahaman mayoritas manusia, sehingga meskipun sudah ada nash, orang membutuhkan yang selainnya dan tidak menggunakan nash menurut haknya. Adapun menurut hak orang yang paham, maka dia tidak membutuhkan selain nash kalau memang sudah ada nash.

Tingkatan Keenam:

Tingkatan penjelasan yang bersifat umum, yaitu penjelasan kebenaran dan membedakannya dari yang batil berdasarkan dalil-dalil, saksi-saksi dan tanda-tandanya, sehingga kebenaran itu seakan menjadi sesuatu yang bisa disaksikan hati, seperti mata yang dapat melihat obyek benda yang dapat dilihat. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya. Allah tidak mengadzab atau menyesatkan seseorang melainkan setelah kebenaran ini sampai ke hatinya. Firman Allah,

"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatukaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka Nngga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus merekajauhi. ”(At-Taubah: 115).

Penyesatan ini merupakan hukuman bagi mereka dari Allah, setelah Allah memberi penjelasan kepada mereka, namun mereka tidak mau menerima penjelasan itu dan tidak mau mengamalkannya. Karena itulah Allah menyiksa mereka dengan cara menyesatkan mereka dari petunjuk. Sekali-kali Allah tidak menyesatkan seorang pun kecuali setelah adanya penjelasan ini. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, tentu engkau bisa mengetahui rahasia qadar. Berbagai macam keraguan dan syubhat mengenai masalah ini bisa sirna dari pikiranmu dan engkau bisa mengetahui hikmah Allah, mengapa Dia menyesatkan orang yang disesatkan-Nya dari hamba-hamba-Nya. Allah mengungkap masalah ini tidak hanya di satu tempat saja, seperti firman-Nya,

"Maka tatkala mereka berpaling (detri kebenaran), Allah mema- lingkan hati mereka. ”(Ash-Shaff: 5).

“Dan mereka mengatakan, ‘Hati kami tertutup ’. Bahkan sebenar- nya Allah telah menguncimati hati mereka karena kekafirannya. ” (An-Nisa’: 155).

Pada ayat yang pertama disebut kufur ‘inaad, dan pada ayat yang kedua disebut kufur thab’. Firman Allah yang lain,

“Dan (begitupula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. ”(A1-An’am: 110).

Allah menyiksa mereka dengan cara meninggalkan keimanan kepada Al-Qur’an pada saat seharusnya mereka meyakininya. Caranya, Allah memalingkan hati dan penglihatan mereka, sehingga mereka tidak mengikuti petunjuknya. Perhatikan secara seksama masalah ini, karena itu merupakan masalah yang sangat besar. Firman Allah,

“Dan, adapun kaum Tsamudmaka mereka telah Kami beripetunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. ” (Fushshilat: 17).

Ini merupakan petunjuk setelah ada penjelasan dan bukti. Penjelasan ini merupakan syarat dan bukan sekedar alasan. Sebab jika tidak disertai petunjuk lain bersamanya, tidak akan terjadi kesempurnaan petunjuk, yaitu petunjuk taufiq dan ilham.

Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang didengar dan dibaca, penjelasan dengan ayat-ayat yang disaksikan dan dilihat. Kedua-duanya merupakan dalil dan ayat-ayat (bukti kekuasaan) tentang tauhid Allah, asma’, sifat dan kesempurnaan-Nya serta kebenaran apa yang dikabarkan dari-Nya. Karena itulah Allah menyeru hamba-hamba-Nya dengan ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca, agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan. Allah juga menganjurkan agar mereka memikirkan yang ini dan yang itu. Karena penjelasan inilah Allah mengutus para rasul, menyampaikannya kepada mereka dan kepada para ulama sesudah mereka. Setelah itu Allah menyesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah befirman,

“Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, Dialah Yang Mahakuasa lagi Maha Bijaksana. "(Ibrahim: 4).

Para rasul yang menjelaskan dan Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dengan kekuasaan dan hikmah-Nya.

Tingkatan Ketujuh:

Penjelasan bersifat khusus, yaitu penjelasan yang mendatangkan petunjuk khusus, atau penjelasan yang disertai pertolongan, taufiq dan pilihan, pemutusan sebab-sebab kehinaan dan materinya dari hati, sehingga tidak ada petunjuk yang lolos darinya sama sekali. Allah befirman tentang tingkatan ini,

“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya. ”(An-Nahl: 37).

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberipetunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. ”(Al-Qashash: 56).

Penjelasan yang pertama disebut syarat dan yang kedua disebut alasan.

Tingkatan Kedelapan:

Tingkatan pendengaran. Allah befirman,

‘Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan, jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). "(Al-Anfal: 23).

“Dan, tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yangpanas, dan tidak (pula) sama orang orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapayang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. Kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan. "(Fathir: 19-23).

Mendengar semacam ini lebih khusus daripada mendengar hujjah dan apa yang disampaikan. Sebab yang demikian itu dapat terjadi pada diri mereka dan karenanya ditegakkan hujjah atas mereka. Tetapi itu hanya sekedar membuat telinga bisa mendengar. Yang dimaksud di sini ialah membuat hati bisa mendengar. Perkataan mempunyai lafazh dan makna.

Perkataan itu mempunyai hubungan ke telinga dan hati serta terkait dengan keduanya. Mendengar lafazhnya merupakan bagian telinga dan mendengar hakikat makna dan maksudnya merupakan bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang menjadi bagian hati dari diri or- ang-orang kafir, dan hanya menetapkan pendengaran lafazh yang menjadi bagian telinga, dalam firman-Nya,

Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main. ”(Al-Anbiya’: 2).

Mendengar semacam ini tidak mendatangkan manfaat apa pun kecuali penegakan hujjah atas pendengarnya atau pengaruh yang diterima darinya. Adapun maksud pendengaran dan hasilnya serta apa yang dituntut darinya tidak akan terwujud jika disertai canda hati, kelalaian dan keberpalingannya. Bahkan pendengarnya bisa keluar seraya mengatakan kepada orang lain yang hadir bersamanya,

‘“Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah yang dikunci mati hati mereka oleh Allah. "(Muhammad: 16).

Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa tingkatan ini hanya bisa memperoleh hasil lewat telinga. Sedangkan tingkatan pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada tingkatan pemahaman jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman bisa lebih khusus daripada tingkatan ini jika dilihat dari sisi lain, yaitu jika ia berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, keharusan, kontekstual dan isyarat-isyaratnya. Inti tingkatan pendengaran ialah menyampaikan maksud dengan seruan ke hati. Pendengaran ini disusuli dengan pendengaran penerimaan.

Jadi di sana ada tiga tingkatan: Pendengaran telinga, pendengaran hati dan pendengaran penerimaan serta pemenuhan.

Tingkatan Kesembilan:

Tingkatan Ilham. Allah befirman,

“Dan, jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepadajiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.’’ (Asy-Syams: 7-8).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al Khuza’y ketika dia masuk Islam,

“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan lindungilah aku dari kejahatan diriku’.”

Pengarang Al-Manazil menjadikan ilham merupakan kedudukan muhaddatsin (orang-orang yang mendapat pengabaran). Menurutnya, ilham di atas kedudukan firasat, karena boleh jadi firasat itu terjadi hanya sesekali waktu dan pelakunya sulit memilih waktu tertentu dan firasat itu pun tidak bisa ditundukkan. Sementara ilham tidak terjadi kecuali dalam kedudukan yang agung.

Saya katakan, tahdits (pengabaran) lebih khusus daripada ilham. Sebab ilham bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung dari iman mereka. Setiap orang Mukmin diilhami petunjuk Allah, yang dengan ilham itu dia memperoleh iman. Adapun tentang pengabaran, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

“Sekiranya yang demikian itu terjadi di tengah umat ini, maka dia adalah Umar bin Al-Khaththab.”

Artinya, dia termasuk orang-orang yang mendapat pengabaran. Pengabaran ini merupakan ilham khusus, semacam wahyu yang diberikan kepada selain para nabi. Hal ini bisa terjadi terhadap orang-orang mukallaf, seperti firman Allah,

“Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah ia’. ”(A1-Qashash: 7).

“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia, ‘Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku ’. ”(A1-Maidah: 111).

Juga bisa terjadi terhadap selain yang mukallaf, seperti firman-Nya,

‘‘Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, dipohon-pohon, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’. ”(An-Nahl: 68).

Semua ini merupakan wahyu ilham. Adapun tentang pengarang Al-Manazil yang menjadikan ilham di atas kedudukan firasat, maka dia berhujjah bahwa boleh jadi firasat itu sesekali waktu seperti yang telah di- sampaikan di atas. Sesuatu yang terjadi sesekali waktu tidak mempunyai hukum. Boleh jadi pelakunya juga kesulitan mengendalikan firasat ini dan tidak bisa menundukkannya. Sementara ilham tidak terjadi kecuali dalam kedudukan yang agung, yakni dalam kedudukan yang dekat dengan Allah.

Yang pasti dalam masalah ini, bahwa masing-masing di antara firasat dan ilham dibagi menjadi umum dan khusus, dan masing-masing di antara keduanya bisa di atas keumuman yang lain. Keumuman masing-masing seringkali terjadi. Sementara yang khusus terjadi sesekali waktu. Tetapi perbedaan yang benar, bahwa firasat bisa berkait dengan satu jenis usaha dan hasil. Sedangkan ilham merupakan anugerah yang murni, yang tidak bisa diperoleh dengan usaha sama sekali.

Tingkatan Kesepuluh:

Tingkatan mimpi yang menjadi kenyataan. Hal ini termasuk bagian-bagian nubuwah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Mimpi yang benar merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian dari nubuwah. ”

Ada yang berpendapat tentang sebab hal ini, yang menjadi sebab pengkhususan apa yang disebutkan di sini, bahwa permulaan wahyu ialah berupa mimpi yang benar. Hal ini terjadi selama setengah tahun. Kemudian beralih ke wahyu yang nyata selama dua puluh tiga tahun, semenjak beliau diutus sebagai rasul hingga wafat. Karena itulah penisbatan rentang waktu wahyu yang diturunkan dalam mimpi merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian. Pendapat ini bisa diterima sekiranya tidak ada riwayat lain yang shahih, yang menyebutkan bahwa mimpi yang benar ini merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian.

Al-Fatihah Mencakup Dua Macam Kesembuhan: Kesembuhan Hati dan Kesembuhan Badan

Cakupan surat Al-Fatihah terhadap kesembuhan hati merupakan cakupan yang paling sempurna. Sementara inti penyakit hati dan deritanya terfokus pada dua pokok: Kerusakan ilmu dan kerusakan maksud. Penyakit ini disusul dengan dua penyakit mematikan, yaitu kesesatan dan amarah.

Kesesatan merupakan akibat dari kerusakan ilmu dan amarah merupakan akibat dari kerusakan maksud.

Dua penyakit ini merupakan induk seluruh penyakit hati. Petunjuk ash-shiraath al-mustaqiim menjamin kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon petunjuk ini merupakan doa yang paling wajib dipanjatkan setiap hamba dan harus dia lakukan setiap siang dan malam serta pada setiap shalat, mengingat urgensi dan kebutuhannya kepada petunjuk yang memang harus dicarinya.

Tidak ada yang bisa menggantikan kedudukan permohonan ini. Mewujudkan iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin dari segi ilmu, ma’rifat, amal dan keadaan menjamin kesembuhan dari penyakit kerusakan hati dan maksud. Kerusakan maksud berkaitan dengan tujuan dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang terputus, yang lemah dan fana, meng-
gapainya dengan berbagai macam sarana yang menghantarkan kepadanya, maka masing-masing dari dua jenis maksudnya itu sama-sama rusak.

Inilah keadaan setiap orang yang maksudnya adalah selain Allah dan menyembahnya dari kalangan orang-orang musyrik dan yang mengikuti hawa nafsunya, yaitu mereka yang tidak mempunyai maksud di belakang itu. Yang juga termasuk golongan ini ialah para penguasa dan pemimpin yang menjadi panutan, yang menegakkan kekuasaannya dengan cara apa pun, yang benar atau batil. Jika datang kebenaran yang menghadang jalan kekuasaannya, maka dia melindasnya dan menendang dengan kedua kakinya.

Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka mereka mengenyahkannya seperti binatang jalang yang suka menerkam. Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka mereka menahannya di tengah jalan lalu meniti jalan lain. Mereka selalu siap untuk mengenyahkan kebenaran itu menurut kesanggupan. Jika tidak ada lagi kesanggupan itu, mereka siap menyodorkan uang kepadanya dan kesempatan untuk berpidato, mereka menjauhkannya dari hukum dan penerapannya.

Jika datang kebenaran yang mendukung mereka, maka seketika itu pula mereka meloncat ke arahnya dan mendatanginya dengan patuh, bukan karena kebenaran itu merupakan kebenaran, tetapi karena kesesuaian maksud dan hawa nafsu mereka dengan kebenaran itu. Firman Allah,

"Dan, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka?
sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim. ”(An-Nur: 48-50).

Dengan kata lain, maksud mereka itu rusak, baik tujuan maupun sarananya. Jika tujuan yang mereka cari itu gagal, melemah dan bahkan kemudian berakhir, berarti mereka hanya mendapatkan kerugian yang amat besar. Mereka adalah orang-orang yang amat menyesal dan merugi jika yang benar menjadi benar dan yang batil menjadi batil, jika faktor-
faktor yang menunjang pencapaian tujuan terputus dan mereka pun yakin akan ketinggalan dari prosesi keberuntungan dan kebahagiaan.

Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Yang tampak lebih jelas ialah pada diri seseorang yang melalui jalan ini dan ketika menghadap Allah. Kedatangan dan kehadirannya di Barzakh menjadi keras. Semuanya akan terungkap pada hari kiamat, karena semua hakikat akan tersibak. Saat itulah orang-orang yang benar akan beruntung dan orang-orang yang batil akan merugi. Saat itulah mereka baru menyadari bahwa ternyata mereka adalah para pendusta, mereka adalah orang-orang yang tertipu dan terkecoh.

Tapi orang yang mengetahuinya saat itu, tidak lagi dapat terbantu oleh ilmunya, begitu pula keyakinannya. Begitu pula keadaan orang yang mencari tujuan tertinggi dan puncak obyek pencarian, tetapi dia tidak dapat mencapainya dengan sarana yang menghantarkannya ke tujuan itu, namun dia menggunakan sarana yang dikiranya dapat menghantarkan dirinya. Ini juga termasuk pemutus tujuan yang paling besar. Keadaannya tak berbeda jauh dengan keadaan di atas. Tujuan keduanya sama-sama rusak. Tidak ada kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaaka na 'budu wa iyyaaka nasta ’iin.

Komposisi obat ini ada enam macam:

  1. Ibadah kepada Allah bukan kepada selain-Nya.
  2. Dengan perintah dan syariat-Nya.
  3. Bukan dengan hawa nafsu.
  4. Bukan dengan pendapat, konsep, gambaran dan pemikiran manusia.
  5. Dengan memohon pertolongan untuk beribadah kepada-Nya.
  6. Bukan dengan diri hamba, kekuatan dan keadaannya, juga bukan dengan selain-Nya.

Inilah partikel-partikel iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Jika seorang dokter yang lemah lembut dan bisa mendeteksi jenis penyakit, meramunya serta menyerahkannya kepada pasien, tentu dia akan sembuh total. Kalau pun tidak sembuh total, berarti ada salah satu atau lebih dari komposisinya yang ketinggalan.

Hati bisa terjangkiti dua macam penyakit ganas, yang jika keduanya tidak dideteksi, tentu akan melemparkannya ke kebinasaan, dan itu pasti, yaitu riya’ dan terkabur. Adapun obat riya’ ialah iyyaaka na ’budu dan obat terkabur ialah iyyaaka nasta ’iin. Seringkah saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata,

"Iyyaaka na ’budu menghilangkan riya’ dan iyyaaka nasta ’iin menghilangkan terkabur.”

Jika seseorang bisa disembuhkan dari penyakit riya’ dengan iyyaaka na ’budu, dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaaka nasta ’iin, dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan ihdinaa ash-shiraath al- mustaqiim, berarti dia sembuh dari segala penyakit dan derita, berarti dia berada dalam pahala afiat, mendapatkan kenikmatan yang sempurna, dia termasuk orang-orang yang dianugerahi nikmat dan bukan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang-orang yang tujuannya rusak, yang mengetahui kebenaran namun menyimpang darinya, serta orang-orang yang sesat, yaitu mereka yang ilmunya rusak, yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengenalnya.

Sudah selayaknya jika suatu surat yang mencakup dua kesembuhan ini mampu menyembuhkan setiap penyakit. Karena itu ketika Al-Fatihah mencakup kesembuhan ini, yang lebih besar dari dua macam kesembuhan maka ia lebih layak untuk menyembuhkan penyakit yang lebih ringan.

Hal ini akan saya jelaskan di bagian mendatang. Tidak ada sesuatu yang lebih dapat menyembuhkan hati yang memikirkan Allah dan kalam-Nya, yang memahami tentang Allah dengan pemahaman yang khusus, selain dari memahami makna-makna surat ini.

Rahasia dalam Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin

Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa berakhir pada dua penggal kalimat ini, yang keduanya merupakan poros ubudiyah dan tauhid. Sehingga ada yang berkata,

“Allah menurunkan seratus kitab dan empat kitab. Dia menghimpun makna-maknanya di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dia menghimpun makna-makna tiga kitab ini di dalam Al-Qur’an. Dia menghimpun makna-makna Al-Qur’an di dalam surat-surat pendek. Dia menghimpun makna-makna surat pendek di dalam Al-Fatihah. Dia menghimpun makna-makna Al-Fatihah di dalam iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin."

Ini merupakan dua kalimat yang dibagi antara Rabb dan hamba menjadi dua paroh. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaaka na ’budu dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaaka nasta ’iin. Rahasia makna-makna ini akan dijelaskan di tempatnya tersendiri, insya Allah.

Adapun terkait dengan makna ibadah berdasarkan surah Al Fatihah dapat didiskusikan disini, serta golongan-golongan manusia dilihat dari ibadahnya dapat dilihat disini

Dua Dasar untuk Mewujudkan Iyyaaka Na’budu

Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka seorang hamba belum bisa dianggap melaksanakan iyyaaka na ’budu kecuali dengan dua dasar yang pokok, yaitu:

  1. Mengikuti Rasulullah.
  2. Ikhlas kepada Dzat yang disembah.

Berdasarkan dua dasar ini pula manusia dapat dibedakan menjadi empat golongan:

Pertama: Orang yang ikhlas kepada Dzat yang disembah dan juga mengikuti (Rasulullah).

Mereka inilah orang yang melaksanakan iyyaaka na ’budu dengan sebenar-benarnya. Semua amal mereka semata karena Allah, perkataannya karena Allah, pemberiannya karena Allah, penahanannya karena Allah, cintanya karena Allah, amarahnya karena Allah.

Mu’amalahnya karena mengharapkan Wajah Allah semata, zhahir mau- pun batin. Mereka tidak menghendakinya karena manusia, tidak untuk mendapatkan imbalan dan pujian, tidak untuk mencari kedudukan di tengah mereka dan sanjungan, tidak untuk mendapatkan simpati di hati mereka dan agar tidak dicela. Bahkan adakalanya mereka menganggap manusia seperti para penghuni kubur yang tidak kuasa memberi manfaat dan mudharat, kematian dan kehidupan.

Amal yang dimaksudkan untuk manusia, untuk mencari kedudukan di tengah mereka, karena pertimbangan manfaat dan mudharat dari mereka, tidak akan dilakukan orang yang memiliki ma’rifat, tapi hal ini akan dilakukan orang yang tidak mengetahui diri sendiri dan Rabtnnya. Siapa yang mengetahui manusia, maka dia akan menempatkan mereka pada kedudukan masing-masing, dan siapa yang mengetahui Allah akan mengikhlaskan perbuatan dan perkataan, pemberian dan penahanan, cinta dan benci kepada-Nya.

Dia tidak bermu’amalah dengan seorang makhluk selain Allah kecuali karena kebodohannya tentang Allah dan makhluk. Jika dia mengetahui Allah dan juga mengetahui manusia, tentu dia akan mementingkan mu’amalah dengan Allah daripada mu’amalah dengan manusia. Di samping itu, semua amal dan ibadahnya sesuai dengan perintah Allah, sejalan dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Inilah amal yang diterima Allah dari pelakunya, dan untuk ini pula Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan kematian dan kehidupan. Firman-Nya,

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. ”(Al-Mulk: 2).

Allah menjadikan apa yang ada di muka bumi sebagai hiasan, agar Allah menguji mereka, siapakah yang paling baik amalnya. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Artinya yang paling ikhlas dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa yang paling ikhlas dan yang paling benar itu?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika ia benar dan tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas ialah yang bagi Allah, dan yang benar ialah yang berdasarkan As-Sunnah.”

Makna inilah yang disebutkan dalam firman Allah

“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amalyang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya. ” (Al-Kahfi: 110).

“Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan. ”(An-Nisa’: 125).

Allah tidak menerima amal kecuali jika ia ikhlas karena mengharap Wajah-Nya dan mengikuti perintah-Nya. Selain itu, maka ia tertolak, dan akibatnya akan kembali kepada pelakunya sebagai sesuatu yang sia-sia laiknya debu yang beterbangan. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Setiap amal yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak.

” Setiap amal yang tidak mengikuti perintah, maka justru akan semakin menjauhkan pelakunya dari Allah. Sebab Allah disembah hanya berdasarkan perintah-Nya, bukan berdasarkan pendapat dan hawa nafsu.

Kedua: Orang yang tidak ikhlas karena Allah dan tidak pula mengikuti.

Amalnya tidak sesuai dengan syariat dan tidak pula ikhlas bagi Dzat yang disembah, seperti amal orang-orang yang mencari muka di hadapan manusia dan untuk pamer, dengan cara yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling dibenci Allah. Mereka inilah yang paling layak mendapat sebutan dari firman Allah,

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. ” (Ali Imran: 188).

Mereka gembira karena bid’ah, kesesatan dan syirik yang dilakukan, dan mereka suka dipuji karena dianggap sebagai orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dan ikhlas. Golongan ini banyak dilakukan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu, keadaannya yang miskin dan ahli ibadah, padahal mereka menyimpang dari ash-shiraath al-mustaqiim.

Mereka melakukan bid’ah dan kesesatan, riya’, sombong dan suka dipuji atas sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan, yaitu mengikuti syariat, ikhlas dan ilmu. Mereka adalah orang-orang yang dimurkai dan sesat.

Ketiga: Orang yang ikhlas amalnya namun tidak mengikuti perintah.

Seperti para ahli ibadah yang bodoh, yang meniti jalan zuhud dan menyukai kemiskinan. Siapa pun yang menyembah Allah tidak menurut perintahNya dan meyakini kedekatannya dengan Allah, juga termasuk golongan ini, sama seperti orang yang mendengar siulan dan tepukan, lalu menganggapnya sebagai kedekatan dengan Allah, atau menganggap pengasingan diri seraya meninggalkan shalat jamaah dan jum’at sebagai kedekatan diri dengan Allah, atau menganggap puasa siang yang dilanjutkan pada malam hari sebagai kedekatan diri dengan Allah, atau menganggap puasa ketika semua orang tidak puasa, sebagai kedekatan diri dengan Allah. Masih banyak contoh lain.

Keempat: Orang yang amalnya mengikuti perintah namun dimaksudkan untuk selain Allah

Seperti ketaatan orang yang suka pamer atau seperti orang yang berperang karena riya’, memamerkan kekesatriaan dan keberanian, atau seperti orang yang menunaikan haji agar namanya disebut-sebut manusia, atau membaca Al-Qur’an dengan niat yang sama. Amal mereka ini pada zhahirnya adalah shalih dan diperintahkan, namun tidak ikhlas, sehingga ia tidak diterima. Firman Allah,

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. ”(A1-Bayyinah: 5).

Setiap orang tidak disuruh melainkan beribadah kepada Allah menurut apa yang diperintahkan-Nya dan ikhlas kepada-Nya dalam ibadah itu. Mereka inilah ahli iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin.

Empat Golongan Yang Berada pada Kedudukan Iyyaaka Na’budu

Orang-orang yang ada pada kedudukan iyyaaka na ’budu memiliki empat cara dalam kaitannya dengan ibadah yang paling afdhal dan paling bermanfaat, serta paling laik untuk diprioritaskan dan dikhususkan. Dalam hal ini mereka ada empat golongan:

Pertama: Mereka melaksanakan ibadah yang paling bermanfaat dan paling afdhal, meskipun paling sulit dan paling berat bagi jiwa.

Menurut mereka, karena ini merupakan sesuatu yang paling jauh dari hawa nafsu, dan sekaligus merupakan hakikat beribadah. Masih menurut mereka, pahala tergantung dari taraf kesulitannya. Untuk itu mereka meriwayatkan sebuah hadits yang tidak ada dasarnya,

“Amal yang paling utama ialah yang paling sulit.”

Mereka ini adalah orang-orang yang giat beribadah namun berbuat semena-mena terhadap diri sendiri. Masih menurut mereka, jiwa manusia bisa menjadi lurus hanya dengan cara ini. Sebab tabiat jiwa adalah malas dan meremehkan serta lebih suka berada di dunia. Maka jiwa itu tidak bisa menjadi lurus kecuali dengan menyusahkannya dan membebaninya dengan hal-hal yang sulit.

####Kedua: Golongan yang menyatakan, ibadah yang paling afdhal ialah mengosongkan diri dari beban kehidupan.

Zuhud di dunia, meminimkan diri darinya sebisa mungkin, tidak mengalihkan perhatian darinya, tidak ambil pusing dengan segala sesuatu yang menjadi bagian dari dunia.

Mereka ada dua macam:

  1. Orang-orang awam, yang mengira bahwa hal ini merupakan tujuan. Karena itu mereka menuju ke sana, mengamalkannya dan mengajak orang lain kepadanya. Menurut mereka, ini lebih baik daripada derajat ilmu dan ibadah. Mereka melihat zuhud di dunia sebagai tujuan segala ibadah dan pangkalnya.

  2. Orang-orang yang khusus, yang melihat cara ini sebagai maksud untuk selainnya. Maksudnya ialah menempatkan hati pada Allah, menghimpun hasrat pada-Nya, mengosongkan hati untuk mencintaiNya, kembali dan tawakal kepada-Nya serta menyibukkan hati dengan keridhaan-Nya. Mereka melihat ibadah yang afdhal ialah kebersamaan dengan Allah, senantiasa mengingat-Nya dengan hati dan lisan, sibuk dengan muraaqabahNya, menyingkirkan segala apa yang dapat menceraiberaikan hati. Mereka juga ada dua macam.

    Pertama, orang-orang yang memiliki ma’rifat dan juga melaksanakan ittibaa ’. Jika datang perintah dan larangan, maka perhatian mereka langsung tertuju kepadanya, meskipun harus meninggalkan rasa kebersamaan hati dengan Allah.

    Kedua, orang-orang yang menyimpang, yang berkata bahwa maksud dari ibadah ialah kebersamaan hati dengan Allah. Jika datang sesuatu yang memisahkan hati itu dari Allah, maka ia tidak peduli dengannya. Boleh jadi di antara mereka ada yang berkata, “Wirid dituntut dari setiap orang yang lalai dan alpa bagaimana dengan hati yang wirid selalu mengisi waktunya?”

    Golongan yang kedua ini juga ada dua macam:

    • Pertama, orang-orang yang meninggalkan kewajiban dan fardhu karena kebersamaan hati itu.

    • Kedua, orang-orang yang tetap mengerjakan kewajiban dan fardhu, meninggalkan sunat dan nafilah dan tidak menggali ilmu yang bermanfaat karena kebersamaan hati dengan Allah.

Di antara mereka ada yang bertanya kepada seorang syaikh yang memiliki ma’rifat,

“Jika mu’adzin mengumandangkan adzan, padahal aku sedang dalam kebersamaan hati dengan Allah, maka jika aku bangkit dan keluar, maka aku akan meninggalkan kebersamaan hati itu, namun jika aku tetap mempertahankan keadaanku, maka aku juga tetap dalam kebersamaan hati dengan Allah. Lalu mana yang afdhal menurut hakku?”

Syaikh yang ditanya menjawab, “Jika mu’adzin mengumandangkan adzan padahal engkau sedang berada di bawah ‘arsy, maka bangkitlah dan penuhilah orang yang menyeru kepada Allah. Setelah itu kembalilah ke tempatmu semula.”

Hal ini harus dilakukan karena kebersamaan dengan Allah itu merupakan bagian roh dan hati. Sementara memenuhi mu’adzin merupakan hak Allah. Siapa yang mendahulukan bagian roh daripada hak Rabb-nya, maka dia tidak termasuk ahli iyyaaka na ’budu.

Ketiga: Orang-orang yang melihat ibadah yang paling bermanfaat dan afdhal ialah yang di dalamnya terdapat manfaat yang berantai.

Mereka melihat ibadah ini lebih baik daripada ibadah yang manfaatnya terbatas. Karena itu mereka melihat tindakan menyantuni orang-orang miskin, menyibukkan diri dengan kemaslahatan manusia, memenuhi kebutuhan mereka, membantu mereka dengan harta dan kedudukan adalah lebih baik.

Mereka aktif melakukan hal ini dan berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Semua makhluk adalah keluarga Allah. Orang yang paling dicintai-Nya ialah yang paling bermanfaat di antara mereka bagi keluarganya. "(Diriwayatkan Abu Ya’la).

Mereka juga berhujjah, bahwa amal ahli ibadah hanya terbatas untuk dirinya sendiri, sedangkan amal orang yang memberi manfaat merambah kepada orang lain. Maka bagaimana mungkin dia disamakan dengan yang lain?

Mereka berkata, “Karena itulah maka kelebihan orang yang berilmu daripada ahli ibadah seperti kelebihan rembulan daripada seluruh bintang.”

Menurut pendapat mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu,

“Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat dirimu, lebih baik bagimu daripada keledai yang paling bagus. ”

Kelebihan ini karena manfaat yang meluas. Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, tanpa ada sedikit pun dari pahala-pahala mereka yang dikurangi.”

Mereka juga berhujjah kepada sabda beliau,

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia."

“Sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampunan oleh siapa yang berada di langit dan di bumi, hingga ikan paus di laut dan semut di liangnya. ”

Mereka juga berhujjah bahwa jika ahli ibadah meninggal, maka amalnya terputus. Sementara orang yang mendatangkan manfaat, maka manfaat amal yang dinisbatkan kepadanya masih tetap berlanjut. Mereka juga berhujjah bahwa para nabi diutus hanya untuk berbuat bajik kepada manusia, menunjuki dan mendatangkan manfaat kepada mereka, di dunia dan di akhirat. Mereka tidak diutus untuk mengisolir diri, memutuskan hubungan dengan manusia dan menakut-nakuti mereka.

Karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengingkari beberapa orang yang ingin mengasingkan diri hanya untuk beribadah dan tidak mau bergaul dengan manusia. Menurut mereka, bertebaran untuk melaksanakan perintah Allah, memberikan manfaat kepada manusia dan berbuat baik kepada mereka, lebih baik daripada kebersamaan hati dengan Allah tanpa melakukan hal-hal itu.

Keempat: Orang-orang yang berkata bahwa ibadah yang afdhal ialah beramal menurut keridhaan Allah di setiap waktu, sesuai dengan waktu yang semestinya dan tugasnya.

Ibadah yang afdhal saat berjihad ialah jihad itu sendiri, meskipun harus meninggalkan wirid, meninggalkan shalat malam dan puasa pada siang hari. Bahkan kalau perlu bisa meninggalkan kesempurnaan shalat fardhu seperti yang biasa dilakukan dalam keadaan aman.

Ibadah yang afdhal ketika kedatangan tamu ialah memenuhi hak tamu dan melayaninya, dengan meninggalkan wirid yang sunat. Begitu pula yang terjadi ketika harus memenuhi hak istri dan keluarga.

Yang afdhal pada waktu-waktu sahur ialah mendirikan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir dan istighfar.

Yang afdhal saat mengajari murid dan orang yang bodoh ialah memusatkan perhatian dan kesibukan dalam pengajaran ini.

Yang afdhal pada waktu adzan ialah meninggalkan semua pekerjaannya, termasuk wirid, dan sibuk menyahuti suara adzan.

Yang afdhal pada waktu shalat lima waktu ialah bersungguh-sungguh dan melakukan persiapan sesempurna mungkin, lalu bersegera untuk mengerjakan di awal waktu, pergi untuk melaksanakannya secara berjama’ah (di masjid). Jaraknya semakin jauh, maka nilainya semakin baik.

Yang afdhal ketika ada keperluan dan uluran pertolongan dengan kedudukan, tangan atau harta, ialah sibuk mengulurkan bantuannya dan mementingkan hal ini daripada wirid dan mengasingkan diri untuk beribadah.

Yang afdhal pada waktu membaca Al-Qur’an ialah menghimpun hati dan hasrat untuk memperhatikan dan memahaminya, sehingga seakan-akan Allah berbicara langsung denganmu, sehingga hatimu ter- konsentrasi untuk memahami dan memperhatikannya, berhasrat melaksanakan perintah-perintah-Nya. Hal ini lebih baik daripada kebersamaan hati dengan Allah bagi orang yang datang Al-Kitab kepadanya dan mendapatkan kesempatan untuk mendalaminya.

Yang afdhal pada waktu wuquf di Arafah ialah menggiatkan doa, dzikir tadharru '(merendahkan diri) tanpa berpuasa yang bisa melemahkan semangatnya untuk itu.

Yang afdhal pada sepuluh hari Dzul-Hijjah ialah memperbanyak ibadah, apalagi takbir, tahlil dan tahmid. Hal ini lebih baik daripada jihad yang tidak melelahkan.

Yang afdhal pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan ialah pergi ke masjid dan i’tikaf di sana tanpa harus merintangi diri untuk bercampur dengan orang lain. Bahkan i’tikaf ini lebih baik daripad mengajari manusia dan membacakan Al-Qur’an. Begitulah menurut pendapat banyak ulama.

Yang afdhal pada saat sakitnya teman atau meninggalnya ialah menjenguknya dan menghadiri jenazahnya serta mengiringinya ke kuburan. Hal ini harus diprioritaskan daripada engkau menyendiri untuk beribadah dan melaksanakan shalat jama’ah.

Yang afdhal pada waktu mendapat musibah dan gangguan dari manusia ialah melaksanakan kewajiban sabar dan tetap bergaul bersama mereka tanpa melarikan diri. Orang Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dan tidak mendapat gangguan mereka.

Yang afdhal ialah bergaul dengan manusia dalam kebaikan. Yang demikian ini lebih baik daripada menghindari mereka dalam kebaikan dan menghindari mereka dalam kejahatan. Hal ini lebih baik daripada bergaul dengan mereka dalam kejahatan. Jika diyakini pergaulannya dapat mengenyahkan kejahatan itu atau meminimkannya, maka yang afdhal ialah bergaul dengan mereka.

Yang afdhal di setiap keadaan dan waktu ialah mementingkan keridhaan Allah dan melaksanakan kewajiban pada waktu itu sesuai dengan tugas dan keharusannya.

Mereka inilah ahli ibadah yang tak mengenal batas. Sementara golongan-golongan sebelumnya adalah ahli ibadah yang terbatas dan terikat. Jika salah seorang di antara mereka keluar dari satu jenis ibadah yang berkait dengannya dan dia meninggalkannya, maka dia melihat dirinya seakan-akan telah membangkang dan meninggalkan ibadahnya.

Dia menyembah Allah hanya dengan satu pola. Sementara ahli ibadah yang tidak terikat tidak mempunyai tujuan dalam ibadahnya itu sendiri yang lebih dia pentingkan daripada yang lain. Tapi tujuannya ialah mencari ridha Allah, di mana pun dan bagaimana dia berada. Inilah inti ibadahnya.

Dia senantiasa berpindah-pindah di berbagai tingkatan ibadah. Setiap kali etape yang dilaluinya bertambah, maka dia berbuat menuruti jalannya hingga dia beralih ke etape berikutnya dan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Begitulah yang dia lakukan dalam perjalanannya hingga akhir perjalanan.

Jika engkau melihat para ulama, maka engkau melihatnya ada bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, maka engkau melihatnya ada bersama mereka. Jika engkau melihat para mujahidin, maka engkau melihatnya ada bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli dzikir, maka engkau melihatnya ada bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan shadaqah, engkau melihatnya ada bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang menyatukan hati pada Allah, engkau melihatnya ada bersama mereka. Inilah hamba yang tidak terikat, yang tidak dimiliki gambar-gambar, yang tidak terikat tali, yang amalnya tidak rnenuruti kemauan nafsu dan kesenangannya, yang melemahkan ibadahnya. Tapi dia menuruti kemauan Rabb-nya.

Inilah orang yang merealisir iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin dengan sebenarnya dan melaksanakannya. Dia mengenakan pakaian yang sudah tersedia dan makan sedikit serta menyibukkan diri dengan hal-hal yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan waktunya. Dia tidak dikuasai oleh isyarat dan tidak beribadah menurut ikatan serta tidak dikuasai gambar.

Dia bebas merdeka, berada bersama perintah di mana pun dia berada dan kemana pun organ tubuhnya menghadap. Dia seperti air hujan yang tidak terlalu deras, yang mendatangkan manfaat di mana pun ia berada, atau seperti pohon korma yang daunnya tidak pernah rontok, yang semua bagiannya bermanfaat, termasuk pula durinya. Dia memiliki sifat keras di hadapan orang-orang yang menentang perintah Allah dan marah jika ada pelanggaran terhadap hal-hal yang disucikan Allah. Dia milik Allah bagi Allah dan bersama Allah. Dia beserta Allah tanpa makhluk dan beserta manusia tanpa nafsu. Bahkan jika dia sedang beserta Allah, dia menghindar dari manusia, dan jika sedang beserta makhluk, dia menepis hawa nafsunya.

Dia menjadi asing di tengah manusia dan paling takut di antara mereka. Amat besar kesenangan dan ketentramannya jika menghadap kepadaNya dan hanya kepada-Nya dia memohon pertolongan dan bertawakal.

Empat Golongan Manusia dalam Manfaat Ibadah, Hikmah dan Tujuannya

Pertama: Orang-orang yang menafikan hikmah dan illah, yang mengalihkan perintah kepada kehendak.

Mereka beribadah hanya sekedar melaksanakan perintah, tanpa menganggapnya sebagai sebab untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat serta sebab untuk keselamatan. Dia beribadah hanya karena perintah dan menuruti kehendak semata, seperti yang mereka katakan tentang penciptaan,

“Allah tidak menciptakan makhluk karena suatu illah dan tidak pula untuk suatu tujuan yang dikehendaki-Nya serta tidak pula ada hikmah yang kembali kepadanya.”

Pada makhluk tidak ada sebab yang mendatangkan akibat, tidak ada kekuatan dan tabiat. Api bukan merupakan sebab panas, air bukan sebab yang mendinginkan dan yang menumbuhkan tanaman. Di dalamnya tidak ada kekuatan dan tabiat yang mengharuskannya begitu. Panas dan dingin bukan karena api dan air, tapi itu karena berlakunya kebiasaan penyertaan yang memang harus terjadi begitu, bukan karena ada sebabnya dan kekuatannya.

Begitu pula pendapat mereka tentang perintah syariat, yang tidak ada bedanya antara apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Tetapi kehendaklah yang mengharuskan adanya perintah dan larangan. Melaksanakan perintah bukan merupakan sifat kebaikannya dan melaksanakan larangan bukan merupakan sifat keburukannya.

Dasar ini mempunyai kelaziman dan cabang-cabang yang semuanya rusak. Hal ini sudah kami uraikan di dalam kitab kami yang cukup tebal, dengan judul Miftahu Daris-Sa ’adah wa Mathlab Ahlil-Ilm wal-Iradah. Di sana kami jelaskan enam puluh sisi kerusakan dasar ini… Masalah ini juga kami singgung dalam kitab kami Safarul-Hijratain wa Thariqus-Sa ’adatain. Mereka tidak mendapatkan manisnya ibadah. Mereka tidak bisa menikmatinya dan ibadah itu tidak menjadi kesenangan hati mereka.

Perintah tidak menjadi kegembiraan hati mereka, tidak menjadi santapan roh dan kehidupan mereka. Karena itu mereka menyebutnya sebagai beban. Artinya, mereka dibebani dengan ibadah itu. Sekiranya seseorang menyebutkan rasa cinta kepada seorang raja umpamanya, yang perintah raja itu merupakan beban baginya, seraya mengatakan, “Aku mengerjakannya karena beban”, maka tak kan ada seorang pun yang mencintainya.

Karena itulah banyak di antara mereka yang mengingkari cinta hamba terhadap Rabb-uya. Mereka berkata, “Hamba hanya mencintai pahalaNya dan kenikmatan yang diciptakan baginya, bukan karena dia mencintai Dzat-Nya.”

Mereka juga menjadikan cinta kepada makhluk-Nya serupa dengan itu. Padahal hakikat ibadah ialah kesempurnaan cinta. Mereka juga mengingkari hakikat ibadah dan intinya. Padahal hakikat Ilahiyah ialah keberadaan-Nya sebagai sesembahan yang dicintai dengan segenap cinta, yang disertai ketundukan dan pengagungan. Mereka mengingkari keberadaan-Nya sebagai Dzat yang dicintai, yang berarti pengingkaraan terhadap llahiyah-Nya. Pemimpin mereka, Al-Ja’d bin Dirham, yang hukuman kematiannya difatwakan Khalid bin Al-Qasry pada Idul-Adha, beranggapan bahwa Allah tidak pernah berbicara dengan Musa dengan suatu pembicaraan dan tidak mengambil Ibrahim sebagai kekasih-Nya.

Pengingkarannya ini terjadi karena keberadaan Allah sebagai Dzat yang dicintai dan mencintai, meskipun dia tidak mengingkari kebutuhan Ibrahim kepada-Nya, yang dianggap sebagai persahabatan menurut golongan Jahmiyah, karena semua makhluk menjadi teman Allah.

Kami sudah menjelaskan lebih dari delapan puluh sisi kerusakan pendapat mereka ini dan pengingkaran mereka terhadap cinta Allah, di dalam kitab kami Qurrah Uyunil-Muhibbin wa Raudhah Qulubil-Arifin. Di sana kami jelaskan keharusan ketergantungan cinta dengan kekasih yang pertama, yang ditilik dari dalil naqli dan aqli, rasa dan fitrah, dan bahwa tidak ada kesempurnaan bagi manusia tanpa hal itu, sebagaimana tidak adanya kesempurnaan bagi badan kecuali dengan roh dan kehidupan, atau tidak ada kesempurnaan bagi mata kecuali dengan cahaya penglihatan, tidak pula bagi telinga kecuali dengan pendengaran. Sementara permasalahannya lebih tinggi dari sekedar gambaran itu.

Kedua: Golongan Qadariyah, yang menetapkan satu jenis dari hikmah, illah tidak berlaku bagi Rabb dan tidak kembali kepada-Nya, tapi kembali kepada kemaslahatan’ makhluk dan manfaatnya.

Menurut pendapat mereka, berbagai ibadah disyariatkan dengan beberapa nilai, berupa pahala dan nikmat yang diterima hamba. Pahala itu mirip dengan pemenuhan upah yang diberikan kepada pekerja. Karena itu Allah menjadikannya sebagai pengganti, sebagaimana firman-Nya,

“Dan, disenikan kepada mereka, ‘Itulah surga yang diwariskan kepada kalian, disebabkan apa yang dahulu kalian kerjakan ’. ”(Al-A’raf: 43).

“Masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan. "(An-Nahl: 32).

“Tiadalah kalian dibalasi melainkan (setimpal) dengan apa yangdahulu kalian kerjakan. ”(An-Naml: 90).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya,

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini hanyalah amal-amal kalian yang Kucatat bagi kalian, kemudian Aku mencukupkan pahalanya bagi kalian.’’

Firman Allah,

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. ”(Az-Zumar: 10).

Menurut pendapat mereka, Allah menyebutnya jazaa, ajr, tsawaab {upah, pahala, balasan), karena Dia membalasi orang yang beramal karena amalnya. Dengan kata lain, balasan itu kembali kepadanya dari amalnya.

Menurut pendapat mereka, sekiranya tidak karena kaitannya dengan amal, maka penyebutannya dengan ganjaran, balasan atau pahala tidak memiliki makna apa pun. Menurut pendapat mereka, yang demikian ini ditunjukkan oleh timbangan.

Kalau tidak karena kaitan pahala dan siksa dengan amal dan keberadaan ibadah itu seperti harga bagi ibadah itu, maka timbangan tidak akan memiliki makna apa pun. Allah telah befirman,

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. ”(Al-A’raf:8-9).

Inilah dua golongan yang saling bertolak belakang dengan perbedaan yang mencolok. Golongan Jabariyah tidak menjadikan amal berkait dengan pahala sama sekali. Mereka membolehkan Allah menyiksa orang yang menghabiskan umurnya untuk menaati-Nya dan melimpahkan nikmat kepada orang yang menghabiskan umurnya untuk mendurhakai-Nya.

Dua orang ini di mata Allah sama saja. Mereka juga membolehkan Allah meninggikan orang yang sedikit amalnya sejajar dengan orang yang banyak amalnya, lebih besar dan lebih mulia derajatnya. Semuanya kembali kepada kehendak tanpa harus ada illah dan sebab, tidak pula hikmah yang mengharuskan ada pengkhususan pahala untuk orang ini dan siksa bagi orang itu.

Sementara golongan Qadariyah mengharuskan perhatian sesuatu yang lebih bermaslahat dan menjadikan itu semua semata karena amal dan sebagai balasan bagi amal itu. Sampainya pahala kepada hamba tanpa disertai amal adalah sesuatu yang sulit, meskipun kemungkinannya ada pemberian shadaqah terhadapnya tanpa harga apa pun.

Maka Allah memusuhi mereka karena kebodohan mereka tentang Allah dan memperdayai mereka, karena mereka menganggap kebaikan dan karunia yang diberikan Allah kepada hamba-Nya mirip dengan shadaqah yang diberikan hamba kepada hamba lain. Sampai-sampai mereka berkata, “Sesungguhnya pemberian Allah kepada hamba sebagai upah atas amalnya, lebih disukai hamba dan lebih baik baginya daripada karunia yang diberikan Allah kepada hamba tanpa ada amal yang diperbuatnya.”

Pendapat ini berbeda total dengan pendapat Jabariyah, yang tidak menganggap amal sama sekali tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap pahala.

Dua golongan ini sama-sama sesatnya dan menyimpang dari ash shiraath al-mustaqiim, sebagaimana fitrah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, seperti yang disampaikan para rasul dan yang karenanya kitab-kitab diturunkan, bahwa amal-amal itu merupakan sebab yang mendatangkan pahala dan siksa.

Kedua akibat ini merupakan kelaziman seperti kelaziman semua sebab dan akibat. Amal-amal shalih berasal dari taufiq Allah, karunia dan anugerah-Nya serta merupakan shadaqah terhadap hamba-Nya. Allahlah yang menolong hamba dan memberinya taufiq untuk beramal shalih, menciptakan di dalam dirinya kehendak dan kekuasaan untuk amal shalih itu, membuatnya menyenangi amal shalih, menghiasi hatinya dengan amal shalih dan membuatnya benci kepada kebalikannya.

Meskipun begitu, semua ini bukan merupakan harga dari pahala dan balasan-Nya, juga bukan karena kekuasaannya sendiri. Tapi tujuannya (selagi hamba memiliki usaha dalam hal ini dan berada dalam puncak kesempurnaannya), agar dia terdorong untuk bersyukur kepada Allah atas sebagian nikmat yang diberikan kepadanya. Sekiranya Allah menuntut hamba menurut hak-Nya, niscaya senantiasa ada syukur yang tersisa atas nikmat itu yang belum disyukuri.

Karena itulah sekiranya Allah menyiksa penghuni langit dan bumi, tentu Dia bisa menyiksa mereka dan Dia tidak zhalim terhadap mereka. Namun sekiranya Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka daripada amal mereka, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Karena itulah beliau menafikan masuknya seseorang ke surga karena amal, sebagaimana sabda beliau,

“Sekali-kali amal salah seorang di antara kalian tidak bisa memasukkan ke surga.”

Dalam suatu lafazh disebutkan,

“Sekali-kali karena amalnya, tidak akan memasukkan salah seorang di antara kalian ke surga.”

Dalam lafazh lain disebutkan,

“Sekali-kali amal salah seorang di antara kalian tidak akan memasukkan ke surga ”.

Mereka bertanya,

“Tidakpula engkau wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab,

“Tidak pula aku, kecuali jikalau Allah melimpahi aku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”

Sementara Allah menetapkan masuknya surga dengan amal, sebagaimana firman-Nya,

“Masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan. ”(An-Nahl: 32).

Tidak ada pertentangan antara ayat dan hadits di atas. Sebab penyebutan penafian dan penetapan bukan atas dasar satu makna. Yang dinafikan adalah penuntutan hak hanya berdasarkan amal dan keberadaan amal sebagai harga dan imbalan dari amal itu.

Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan Qadariyah, yang beranggapan bahwa pemberian pahala merupakan permulaan yang menjamin pengulangan karunia. Golongan ini merupakan makhluk yang paling tidak tahu tentang Allah dan yang tabirnya paling tebal dengan Allah. Mereka layak menjadi Majusi umat ini. Sebagai bukti kebodohan mereka tentang Allah yang paling sederhana, bahwa mereka tidak mengetahui bahwa penghuni langit dan bumi-Nya berada dalam nikmat-Nya.

Kesenangan, kegembiraan, suka cita dan kenikmatan berkat kesenangan dan kegembiraan yang berasal dari nikmat yang diberikan Allah, pemimpin dan penolong mereka yang sebenarnya. Hidup mereka menjadi senang karena nikmat ini. Orang yang paling agung kedudukannya di hadapan-Nya dan yang paling dekat dengan-Nya ialah yang paling tahu tentang nikmat ini dan yang paling layak mengakuinya, paling layak mengingatnya, paling layak mensyukurinya dan paling layak mencintai-Nya karena nikmat itu.

Bukankah seseorang tidak membolak-balikkan dirinya melainkan dia berada dalam nikmat-Nya?

'Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar’. ”(Al-Hujurat:17).

Membebankan nikmat makhluk merupakan kekurangan karena satu makhluk setara dengan makhluk lain. Jika seorang makhluk merasa telah memberi nikmat kepada makhluk lain, maka dia menyombongkan diri dan melihat orang yang diberinya nikmat berbeda dengan dirinya. Itu pun tidak mampu merambah kepada setiap makhluk.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mempunyai nikmat atas umatnya. Para sahabat pernah berkata,

“Allah dan Rasul-Nya lebih berhak memberi nikmat.”

Memang bukan merupakan kekurangan jika orang tua memberi nikmat kepada anaknya. Hal ini bukan merupakan aib. Begitu pula yang dilakukan majikan kepada budaknya. Maka bagaimana dengan Rabb semesta alam, yang semua makhluk berbolak-balik di lautan nikmat-Nya dan yang semata berada dalam shadaqah-Nya, tanpa ada pengganti apa pun dari mereka?

Sekiranya amal mereka merupakan sebab dari kemurahan dan karuniaNya yang mereka terima, toh Dia adalah Maha Pemberi nikmat atas mereka, dengan memberikan taufiq bagi sebab itu dan yang menunjuki mereka, menolong dan menyempurnakannya bagi mereka. Inilah makna yang menetapkan masuknya surga dalam firman Allah,

“Disebabkan apa yang telah kalian kerjakan”.

Huruf ba di dalam bimaa merupakan ba’ as-sababiyah (huruf ba’ yang menunjukkan sebab), yang menyanggah golongan Qadariyah dan Jabariyah, yang menganggap tidak adanya hubungan antara amal dan balasan, amal bukan merupakan sebab bagi balasan.

Puncak dari amal itu hanya sekedar tanda. Masih menurut pendapat mereka, amal itu juga tidak tertolak, karena penundaan balasannya dalam kebaikan dan keburukan. Berarti tidak ada yang menyisa selain dari urusan yang alami dan kehendak.

Berbagai nash menggugurkan pendapat dua golongan ini. Berbagai argumentasi logika dan fitrah juga menggugurkan pernyataan dua golongan ini dan menjelaskan kepada siapa yang mempunyai hati dan akal, seberapa jauh pendapat Ahlus-Sunnah, golongan yang adil dan pertengahan, yang menetapkan keumuman kehendak Allah, kekuasaan, penciptaan-Nya terhadap hamba dan amal-amal mereka, hikmah-Nya yang sempurna, yang meliputi kaitan sebab dan akibat, serta implementasinya menurut syariat, qadar dan pengaitan antara keduanya di dunia dan di akhirat.

Masing-masing dari dua golongan yang menyimpang ini meninggalkan satu jenis kebenaran dan melanggar satu jenis kebatilan, bahkan berbagai jenis kebatilan. Allah menunjuki Ahlus-Sunnah, meskipun mereka saling berselisih dalam sebagian kebenaran dengan seizin-Nya.

“Dan, Allah selalu memberipetunjuk orangyang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. ”(Al-Baqarah: 213).

"Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar. ”(Al-Jumu’ah: 4).

Ketiga: Orang-orang yang beranggapan bahwa faidah ibadah ialah untuk melatih jiwa, menyiapkannya untuk pengguyuran ilmu ke dalamnya, mengeluarkan kekuatannya dari kekuatan jiwa yang memiliki sifat kebuasan dan kebinatangannya.

Jika jiwa ini dikosongkan dari ibadah, maka ia termasuk jenis jiwa binatang buas. Maka ibadah mengeluarkannya dari tabiat dan kebiasaannya serta merubahnya mirip dengan akal yang murni. Dengan begitu ia menjadi sadar dan siap menerima imbasan gambaran-gambaran ilmu dan ma’rifat. Inilah yang dikatakan dua kelompok dari golongan ini:

  • Para filosof yang lebih dekat kepada nubuwah dan syariat, yang mengatakan tentang qudum-nya alam, tentang tidak adanya pembelahan bintang dan tidak adanya pelaku yang pilihan.
  • Orang-orang sufi dari kalangan Islam yang dekat ke paham filsafat. Mereka menganggap bahwa ibadah itu merupakan latihan untuk menyiapkan jiwa dan membebaskannya serta memisahkannya dari alam nyata, lalu ma’rifat akan turun kepada jiwa itu.

Di antara mereka ada yang tidak menyukai ibadah kecuali menurut makna ini. Jika sudah sampai ke tataran ini, maka dia mendapat kewenangan untuk memilih sendiri jenis wiridnya. Di antara mereka ada pula yang mengharuskan pelaksanaan wirid dan kewajiban-kewajiban yang lain serta tidak boleh meninggalkannya. Mereka ini ada dua kelompok:

  • Orang-orang yang mengharuskannya karena untuk memelihara aturan dan melaksanakan tatanan.

  • Orang-orang yang mengharuskan wirid karena menjaga statusnya sebagai orang yang wirid dan takut terhadap penurunan jiwa karena ia meninggalkan wirid ke keadaannya semula yang termasuk binatang.

Inilah garis akhir langkah kaki para teolog yang sedang meniti jalan perilaku dan puncak perpisahan mereka dengan hukum ibadah dan apa yang disyariatkan karenanya. Tidak ada yang didapatkan di dalam kitab-kitab mereka selain dari tiga jalan ini, entah dengan cara memadukan di antara ketiganya atau dengan cara mencari penggantinya.

Keempat: Golongan Muhammadiyah Ibrahimiyah. Mereka adalah para pengikut dua kekasih ini,

Muhammad dan Ibrahim. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan hikmah Allah dalam perintah, syariat dan penciptaan-Nya, yang menyadari apa yang terkandung di dalam ibadah kepada-Nya dan apa yang dikehendaki Allah dengan ibadah itu. Tiga golongan yang pertama terpisah dari golongan ini, karena mereka memiliki hal-hal yang serupa dengan kebatilan dan kaidah-kaidah yang rusak, atau mereka memiliki sesuatu di balik itu.

Mereka merasa senang karena memiliki pendapat yang mustahil dan mereka merasa puas karena menciptakan hayalan. Sekiranya mereka tahu apa yang ada di belakangnya, yaitu sesuatu yang lebih besar dan lebih agung, tentunya mereka tidak ridha dengan sesuatu yang lainnya. Tapi akal mereka terlalu pendek untuk mengetahuinya, mereka tidak mendapatkan cahaya nubuwah dan tidak pula merasakannya, sehingga mereka mau berusaha mencarinya.

Mereka melihat apa yang ada pada diri mereka lebih baik daripada kebodohan dan meskipun mereka juga melihat pertentangannya dengan golongan selain mereka dan kerusakan pendapatnya sendiri. Dari sinilah terangkum pemikiran untuk mementingkan apa yang mereka miliki daripada yang lain. Ini merupakan bencana bagi setiap golongan. Orang yang mendapat afiat ialah yang mendapat afiat dari Allah.

Harap diketahui, bahwa rahasia ubudiyah, puncak dan hikmahnya hanya bisa diketahui orang yang mengetahui sifat-sifat Rabb dan tidak menggugurkannya, mengetahui makna Ilahiyah dan hakikatnya, mengetahui makna eksistensi-Nya sebagai Ilah, bahkan Dialah Ilah yang haq dan selain-Nya adalah batil, dan bahkan lebih batil dari yang batil. Hakikat Ilahiyah hanya layak menjadi milik-Nya, dan ibadah merupakan keharusan, pengaruh dan konsekuensi Uahiyah-Nya. Kaitan ibadah dengan Ilahiyah seperti kaitan sifat dengan yang disifati, seperti kaitan sesuatu yang diketahui dengan ilmu, seperti kaitan yang dikuasai dengan kekuasaan, atau seperti suara dengan pendengaran, ihsandengan rahmat, pemberian dengan kedermawanan. Siapa yang mengingkari hakikat Ilahiyah dan tidak mengetahuinya, maka bagaimana mungkin dia memiliki pengetahuan yang benar tentang hikmah ibadah, tujuan dan maksudnya serta apa yang disyariatkan karenanya?

Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui bahwa ibadah itulah tujuan yang dikehendaki dari penciptaan, yang karenanya mereka diciptakan, yang karenanya para rasul diutus, yang karenanya kitab-kitab diturunkan, yang karenanya surga dan neraka diciptakan? Membebaskan makhluk dari ibadah ini sama dengan menisbatkan kepada Allah sesuatu yang tidak laik bagi-Nya. Yang demikian ini tidak mungkin bagi Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan sebenar-benarnya dan tidak menciptakan keduanya secara sia-sia dan main-main, yang tidak menciptakan manusia untuk main-main dan tidak membiarkannya terlantar dan terabaikan. Firman-Nya,

“Maka apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kamimenciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (Al-Mukminun: 1 15).

Dengan kata lain, tanpa tujuan apa pun dan tanpa hikmah, bukan untuk beribadah kepada-Ku dan agar Aku membalasi bagi kalian. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

“Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ”(Adz-Dzariyat: 56).

Ibadah adalah tujuan penciptaan jin, manusia dan semua makhluk. Firman-Nya,
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?’’ (Al Qiyamah: 36).

Dibiarkan begitu saja artinya diabaikan. Menurut Asy-Syafi’y, artinya tidak diperintah dan tidak dilarang. Menurut yang lain, artinya tidak diberi pahala dan tidak disiksa. Yang benar adalah dua-duanya. Sebab pahala dan siksa merupakan akibat dari perintah dan larangan. Perintah dan larangan merupakan tuntutan ibadah dan kehendaknya. Hakikat ibadah adalah memperhatikan perintah dan larangan ini. Firman Allah,

“Dan, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. "(Ali Imran: 191).

“Dan, tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. ”(Al-Hijr: 85).“

Dan, Allah menciptakan langit dan bumidengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya. ” (Al-Jatsiyah: 22).

Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi dengan benar, yang mencakup perintah dan larangan-Nya, pahala dan siksa-Nya. Jika langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya diciptakan untuk itu, dan yang demikian merupakan tujuan penciptaan, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan, bahwa Allah tidak mempunyai illah dan tidak ada hikmah yang dimaksudkan?

Dengan kata lain, yang demikian itu hanya sekedar untuk mengupah hamba, sehingga Dia tidak membebankan pahala kepada mereka dengan nikmat, atau hanya sekedar mempersiapkan jiwa untuk pengetahuan yang logis dan melatihnya untuk menentang kebiasaan.

Hendaklah orang yang berakal bisa membedakan antara pendapatpendapat ini dengan apa yang dibuktikan wahyu yang jelas, agar para penganut pendapat-pendapat ini tahu bahwa mereka tidak layak membuat ketetapan tentang Allah, dan yang ternyata mereka tidak mengetahuiNya dengan sebenar-benarnya pengetahuan.

Allah menciptakan makhluk, agar mereka semata hanya menyembah-Nya, ibadah yang menghimpun kesempurnaan cinta kepada-Nya, dengan disertai ketundukan, ketaatan dan kepatuhan kepada perintahNya.

Pangkal ibadah ialah mencintai Allah, dan bahkan menunggalkanNya dengan kecintaan dan menumpahkan seluruh cinta bagi Allah, tidak mencintai selain-Nya bersama-Nya. Cinta hanya karena Allah dan demi Allah, seperti cinta para nabi, rasul, malaikat dan wali-wali-Nya. Cinta kita kepada mereka juga merupakan kesempurnaan cinta kepada Allah dan bukan cinta beserta-Nya, seperti cinta orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, sehingga mereka mencintainya seperti cinta mereka kepada Allah.

Kalau memang cinta kepada Allah menjadi hakikat ubudiyah dan rahasianya, maka itu hanya bisa diwujudkan dengan mengikuti perintahNya dan menjauhi larangan-Nya. Ketika mengikuti perintah dan menjauhi larangan inilah tampak jelas hakikat ububidyah dan cinta. Karena itu Allah menjadikan ittibaa 'Rasul-Nya sebagai panji ubudiyah dan saksi bagi orang yang menyatakan cinta itu. Firman Allah,

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintaiAllah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian "(Ali Imran: 31).

Allah menjadikan ittibaa ’Rasul-Nya sebagai sesuatu yang disyaratkan bagi cinta mereka kepada Allah dan sekaligus sebagai syarat bagi cinta Allah kepada mereka. Adanya sesuatu yang disyaratkan tidak akan terwujud tanpa adanya syarat dan perwujudannya. Maka dapat diketahui bahwa penafian cinta jika ada penafian ittibaa Penafian cinta mereka kepada Allah merupakan kelaziman dari penafian ittibaa’ mereka kepada RasulNya, dan penafian ittibaa’ merupakan sesuatu yang pasti dari penafian cinta Allah kepada mereka. Jadi mustahil ada penetapan cinta mereka kepada Allah, dan penetapan cinta Allah kepada mereka tanpa adanya ittibaa’ Rasul-Nya.

Hal ini membuktikan bahwa ittibaa’ Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya serta mematuhi perintahnya. Yang demikian itu tidak cukup dalam ubudiyah sehingga menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai hamba daripada selain keduanya. Dia tidak mempunyai sesuatu pun yang lebih dia cintai daripada Allah dan Rasul-Nya. Selagi dia mempunyai sesuatu yang lebih dia cintai daripada keduanya, maka itu namanya syirik yang sama sekali tidak diampuni Allah dan tidak diberi-Nya petunjuk. Firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri- istri kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihaddijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. ”(At-Taubah: 24).

Siapa pun yang mementingkan ketaatan kepada seseorang di antara mereka yang disebutkan ini daripada ketaatan kepada Allah dan RasulNya, atau mementingkan perkataan seseorang di antara mereka daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, atau mementingkan keridhaan seseorang di antara mereka daripada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, atau lebih mementingkan rasa takut kepada seseorang di antara mereka, harapan dan tawakal daripada rasa takut, harapan dan tawakal kepada Allah dan Rasul-Nya, atau mementingkan muamalah dengan salah seorang di antara mereka daripada muamalah dengan Allah, maka dia termasuk orang yang tidak menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.

Jika dia mengatakannya dengan lisannya, maka dia telah berdusta dan mengabarkan kebalikan dari apa yang semestinya dia katakan. Begitu pula orang yang mementingkan hukum seseorang daripada hukum Allah dan Rasul-Nya. Apa yang lebih dia pentingkan itu adalah sesuatu yang lebih dia cintai daripada Allah dan Rasul-Nya. Tapi boleh jadi ada kerancuan bagi orang yang mementingkan perkataan seseorang atau hukumnya atau ketaatan kepadanya atau keridhaannya, dengan anggapan karena orang itu tidak menyuruh, tidak menetapkan hukum dan tidak berkata kecuali seperti yang dikatakan Rasul, sehingga dia pun menaatinya dan berhukum kepadanya serta menerima perkataan-perkataannya.

Orang semacam ini dimaafkan selagi hanya sebatas itulah yang memang bisa dia lakukan. Tapi jika dia mempunyai kesanggupan untuk menelusuri hingga kepada Rasul dan mengetahui bahwa selain orang yang mengikuti beliau lebih layak secara mutlak atau dalam urusan tertentu dan dia tidak mau menengok kepada Rasul yang lebih layak diikuti, maka inilah yang perlu ditakuti dan masuk dalam ancaman yang diperingatkan. Jika dia menghalalkan siksaan terhadap orang yang bertentangan dengannya dan tidak setuju dengannya untuk mengikuti gunanya, maka dia termasuk orang yang zhalim. Allah telah menjadikan takaran bagi masing-masing orang.

Empat Kaidah lyyaaka Na’budu

Iyyaaka na ’budu didirikan pada empat kaidah: Mewujudkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya serta apa yang diridhai, berupa perkataan lisan, hati, amal hati dan jawarih (anggota badan).

Ubudiyah merupakan sebutan yang menyeluruh untuk empat tingkatan ini. Orang yang melaksanakan iyyaka na’budu dengan sebenar-benarnya ialah yang melaksanakan empat tingkatan ini. Perkataan hati ialah meyakini apa yang disampaikan Allah tentang Diri-Nya, tentang asma’, sifat, perbuatan, malaikat dan perjumpaan dengan-Nya, sebagaimana yang disampaikan para rasul-Nya.

Perkataan lisan ialah pengabaran dari dirinya tentang hal itu, seruan kepada-Nya dan melebur dengannya, menjelaskan kebatilan bid’ah yang bertentangan dengannya, mengingat-Nya dan menyampaikan perintahperintah-Nya. Amal-amal hati seperti cinta kepada Allah, tawakal, menyandarkan diri kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, memurnikan agama dengan melaksanakan agama-Nya, sabar dalam melaksanakan perintahperintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya menurut kesanggupan, ridha kepada-Nya, menolong karena-Nya dan bermusuhan karena-Nya pula, tunduk dan patuh kepada-Nya, thuma’ninah kepada-Nya dan lain sebagainya dari berbagai amal hati, yang fardhunya lebih fardhu daripada amal-amal jawarih, yang sunatnya lebih disukai Allah daripada sunatnya jawarih.

Amal-amal jawarih tanpa jawarih, boleh jadi tanpa manfaat dan boleh jadi sedikit manfaatnya.
Amal-amal jawarih seperti shalat, jihad, mengayunkan kaki ke shalat Jum’at dan jama’ah, membantu orang yang lemah, berbuat bajik kepada makhluk dan lain sebagainya.

Iyyaaka na ’budu mengikuti hukum empat kaidah ini dan ikrar kepadanya. Sedangkan iyyaaka nasta ’iin merupakan tuntutan pertolongan atas hukum-hukum itu dan taufiq baginya. Sedangkan ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim mencakup pengakuan terhadap dua perkara ini secara detail, ilham untuk melaksanakannya dan meniti jalan orang-orang yang berjalan kepada Allah dengan dua perkara itu.

Semua rasul hanya menyeru kepada iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin. Mereka semua menyeru kepada tauhidullah dan penyembahan kepada-Nya, semenjak yang pertama hingga yang terakhir. Nuh berkata kepada kaumnya,

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Uah bagi kalian selain-Nya. ”(Al-A’raf: 59).

Begitu pula yang dikatakan Hud, Shalih, Syu’aib dan Ibrahim. Firman Allah,

“Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), danjauhilah thaghut’. ” (An-Nahl: 36).

“Dan, Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada illah melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku’. ” (Al Anbiya’: 25).

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Rabb kalian, maka bertawakallah kepada-Ku. ”(Al-Mukminun: 51-52).

Ubudiyah Sebagal Sifat Makhluk Yang Paling Sempurna

Allah menjadikan ubudiyah sebagai sifat makhluk-Nya yang paling sempurna. Maka firman-Nya,

“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dantidak (pula enggan) malaikat-malaikatyang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. ”(An-Nisa’: 172).

“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Rabbmu tidaklah mereka merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud. ”(Al A’raf : 206).

Hal ini menjelaskan bahwa sikap yang sempurna ialah seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

“Dan, kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi.”(Al Anbiya’:19).

Begitulah yang terjadi, lalu dilanjutkan lagi dengan firman-Nya,

“Dan, malaikat-malaikatyang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. ”(Al-Anbiya’: 19-20).

Ini merupakan dua kalimat yang sempurna dan berdiri sendiri. Dengan kata lain, siapa pun yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, sebagai hamba dan milik-Nya. Kalimat ini dilanjutkan dengan kalimat berikutnya, bahwa para malaikat yang ada di sisi-Nya tidak angkuh untuk menyembah-Nya, tidak merasa berat dan tidak pula merasa letih lalu mereka menghentikannya.

Jika dikatakan, “Hasara wa istahsara ” artinya jika payah dan letih. Tetapi ibadah dan tasbih mereka seperti hembusan napas Bani Adam. Kalimat yang pertama merupakan sifat bagi hamba Rububiyah-Nya, dan yang kedua merupakan sifat bagi hamba llahiyah-Nya. Firman-Nya,

“Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati… ” (Al-Furqan:63).

“Dan, ingatlah hamba Kami Daud. ”(Shad: 17).

“Dan, ingatlah hamba Kami Ayyub. "(Shad: 41).

“Dan, ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaa dan Ya ’qub.’’ (Shad: 45).

Firman Allah tentang Sulaiman,

“Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya). ”(Shad: 30).

Firman Allah tentang Al-Masih,

“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian). "(Az-Zukhruf: 59).

Allah menjadikan tujuan penciptaan Al-Masih adalah ubudiyah dan bukan Ilahiyah seperti yang dikatakan musuh-musuh Allah, orang-orang Nasrani. Al-Masih disifati sebagai makhluk yang paling mulia dan ditinggikan derajatnya dengan ubudiyah. Maka firman Allah,

‘Dan, jika kamu sekalian (tetap) dalam keraguan tentangAl-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad)… ”(Al-Baqarah: 23).

“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya. ”(Al-Furqan:1).

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an). ”(Al-Kahfi: 1).

Penyebutannya dengan sebutan ubudiyah di dalam ayat ini saat di- turunkannya Al-Kitab dan tantangan agar mereka mendatangkan yang serupa dengannya. Firman-Nya yang lain,

“Dan, bahwa tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahNya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya. ”(Al-Jin: 19).

Penyebutannya dengan sebutan ubudiyah di dalam ayat ini pada saat beliau beribadah kepada-Nya. Firman-Nya yang lain,

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. ”(Al-Isra’: 1).

Penyebutannya dengan sebutan ubudiyah di dalam ayat ini pada saat isra’. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Janganlah kalian menyanjungku sebagaimana orang-orang Nasrani menyanjung Al-Masih putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah, ‘Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”

Di dalam hadits lain disebutkan,

“Aku adalah seorang hamba yang makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan, dan aku duduk sebagaimana hamba sahaya duduk. ”

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Abdullah bin Amr, dia berkata,

“Aku membaca di dalam Taurat sifat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai berikut: Muharhmad adalah Rasul Allah, hambaKu dan rasul-Ku. Aku memberinya nama Al-Mutawakkil. Dia tidak keras dan kasar, tidak biasa berteriak-teriak di pasar-pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa, tetapi dia memaafkan dan mengampuni.”

Allah menyampaikan kabar gembira yang mutlak kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. "(Az-Zumar: 17-18).

Allah juga menjadikan keamanan yang mutlak bagi mereka semua, sebagaimana firman-Nya,

“Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula kalian bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orangorang yang berserah diri. ”(Az-Zukhruf: 68-69).

Allah membebaskan kekuasaan syetan terhadap hamba-hamba Allah secara khusus dan menjadikan kekuasaannya hanya terhadap orang yang berpaling dari Allah dan mempersekutukan Nya. Firman-Nya,

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu or- ang-orangyang sesat. ”(Al-Hijr: 42).

“Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orangyang beriman dan bertawakalkepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. "(An-Nahl: 99-100).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan ihsan sebagai ihsan ubudiyah yang berada di atas beberapa tingkatan agama. Beliau bersabda ketika ditanya tentang ihsan,

“Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Keharusan Iyyaaka Na’budu bagi Setiap Hamba Hingga Saat Kematiannya

Firman Allah,

“Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). "(Al-Hijr: 99).

Para penghuni neraka berkata,

“Dan, kami adalah mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian. "(Al-Muddatstsir: 46-47).

Al- Yaqin di sini ialah kematian atau ajal menurut ijma’ para mufasir. Di dalam Ash-Shahih disebutkan tentang kisah kematian Utsman bin Mazh’un Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Adapun Utsman, telah datang kematian kepadanya dari Rabbnya. Hamba tidak terbebas dari ubudiyah selagi dia masih berada di daruttaklif {dunia). Bahkan di Barzakh pun masih ada kewajiban ubudiyah lain atas dirinya, yaitu ketika dua malaikat bertanya-tanya kepadanya, “

Siapa yang dia sembah dan apa yang dikatakannya tentang Rasul Allah?” Dua malaikat itu mencari-cari jawaban darinya. Dia juga mempunyai kewajiban ubudiyah lain pada hari kiamat, pada hari Allah menyeru semua makhluk untuk bersujud. Maka orang-orang Mukmin bersujud, sedangkan orang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika mereka sudah masuk ke tempat pemberian pahala dan siksa, maka kewajiban sudah terputus.

Maka ubudiyah orang-orang yang mendapat pahala ialah tasbih yang menyertai setiap hembusan napas mereka, dan mereka tidak merasa letih dan payah. Siapa yang beranggapan bahwa orang yang sudah sampai ke tingkatan tertentu, maka dia terbebas dari ibadah, sesungguhnya dia adalah orang zindiq, kufur kepada Allah dan Rasul-Nya.

Yang benar, dia sampai ke tingkatan kufur kepada Allah dan keluar dari agama-Nya. Selagi hamba berada pada manzilah-manzilah ubudiyah, maka ubudiyahnya justru lebih besar dan kewajibannya lebih banyak daripada kewajiban orang lain. Karena itu kewajiban yang dibebankan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga seluruh rasul, lebih besar daripada kewajiban yang dibebankan kepada umat mereka.

Kewajiban yang dibebankan kepada UIuI-Azmi lebih besar daripada kewajiban yang dibebankan kepada selain mereka. Kewajiban yang dibebankan kepada orang yang berilmu lebih besar daripada kewajiban yang dibebankan kepada selain mereka. Masing-masing menurut tingkatannya.

Ubudiyah Yang Bersifat Umum dan Khusus

Ubudiyah ada dua macam: Umum dan khusus.

1. Ubudiyah yang umum

Ubudiyah yang umum ialah ubudiyah semua penghunilangit dan bumi kepada Allah, yang baik maupun yang buruk, yang Mukmin maupun yang kafir. Ini merupakan ubudiyah penundukan dan kepemilikan. Firman Allah,

“Dan, mereka berkata, ‘Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak ’. Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan, tidak layak bagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. ” (Maryam: 88-93).

Penyebutan hamba ini termasuk orang yang Mukmin dan orang yang kafir di antara mereka. Firman Allah yang lain,

“Dan (ingatlah) suatuhari (ketika)Allah menghimpun mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), ‘Apakah kalianyangmenyesatkan hamba-hambaKu itu, atau mereka sendirikah yang sesat darijalan (yang benar)?’ ” (Al-Furqan: 17).

Mereka tetap disebut hamba meskipun mereka sesat. Tapi itu merupakan penamaan yang terikat dengan isyarat. Sedangkan yang mutlak tidak disebutkan kecuali untuk golongan yang kedua, yang akan dijelaskan di bagian mendatang insya Allah. Firman-Nya yang lain,

“Katakanlah, ‘Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang gaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya’. ”(Az-Zumar: 46).

“Dan, Allah tidak menghendaki berbuat kezhaliman terhadap hamba-hamba-Nya.”(Al-Mukmin: 31).

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hambahamba(Nya). "(Al-Mukmin: 48).

Hal ini mencakup ubudiyah yang khusus dan yang umum.

2. Ubudiyah ketaatan dan cinta serta mengikuti perintah.

Firman Allah,

“Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula kalian bersedih hati. ”(Az-Zukhruf: 68).

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. ”(Az-Zumar: 17-18).

“Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. ”(Al-Furqan: 63).

Allah befirman tentang Iblis,

“Dan, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40).

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tiada kekuasaan bagimu terhadap mereka. ” (Al-Hijr: 42).

Semua makhluk adalah hamba Rububiyah-Nya. Sedangkan orang yang taat dan yang menolong-Nya adalah hamba llahiyah-Nya. Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan pengaitan hamba-hamba kepada-Nya kecuali mereka yang taat kepada-Nya. Adapun pensifatan hamba RububiyahNya dengan ubudiyah, tidak disebutkan kecuali berdasarkan salah satu dari lima sisi:

  • Dalam bentuk nakirah (tanpa lam ta’rif) seperti firman-Nya,

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. ” (Maryam: 93).

  • Dalam bentuk ma’rifah (dengan lam ta’rif), seperti firman-Nya,

“Dan, Allah tidakmenghendaki berbuatkezhaliman terhadap hambahamba-Nya. ”(A1-Mukmin: 31).

  • Terikat dengan isyarat atau yang serupa dengannya, seperti firmanNya,

“Apakah kalian yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikan yang sesat dari jalan (yang benar)?” (Al Furqan-.17).

  • Mereka disebutkan dalam keumuman hamba-hamba-Nya. Mereka terangkat dalam penyebutan bersama orang-orang yang taat kepadaNya, seperti firman-Nya,

“Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya. ”(Az-Zumar: 46).

  • Mereka disebutkan dengan disifati menurut perbuatan mereka sendiri, seperti firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Kuyang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah’. "(Az-Zumar: 53).

Ada yang berpendapat, mereka disebut hamba-hamba-Nya, karena mereka tidak putus asa dari rahmat-Nya dan mereka kembali kepada-Nya serta mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah kepada mereka, sehingga mereka menjadi hamba Ilahiyah dan ketaatan. Ubudiyah dibagi menjadi umum dan khusus, karena asal makna lafazh itu adalah merendahkan diri dan tunduk.

Jika dikatakan, “Thariqmu ’abbad” (jalan yang diratakan), ialah jika jalan itu dibuat mudah untuk ditapaki telapak kaki. Jika dikatakan, “Fulan ‘abbadahu al-hubb "(Fulan diperbudak cinta), jika cinta itu menundukkan dirinya. Tetapi wali-wali Allah tunduk kepada-Nya karena suka cita dan karena patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Sementara musuh-musuh-Nya tunduk kepada-Nya karena dipaksa dan terpaksa.

Yang mirip dengan pembagian ubudiyah kepada umum dan khusus, ialah pembagian qunut kepada umum dan khusus, begitu pula sujud. Allah befirman tentang qunut yang khusus,

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharap rahmat Rabbnya?” (Az-Zumat: 9).

Allah befirman tentang Maryam,

"Dan, adalah dia termasuk orang-orang yang taat. ” (At-Tahrim: 12).

Masih banyak ayat lain yang serupa. Adapun qunut yang bersifat umum seperti firman-Nya,

“Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, semua tunduk kepada-Nya. ”(A1-Baqarah: 116).

Firman Allah tentang sujud yang khusus,

“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Rabbmu tidaklah mereka merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya danhanya kepada-Nyalah mereka bersujud. ”(Al-A’raf: 206).

“Apabila dibacakan ayat-ayat Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Maryam: 58).

Allah befirman tentang sujud yang umum,

“Hanya kepada Aliahlah sujud (patuh) segala apa yang dilangit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. "(Ar Ra’d: 15).

Karena itulah sujud yang terpaksa itu tidak termasuk sujud yang disebutkan dalam firman Allah berikut,

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?”(Al-Hajj: 18).

Allah mengkhususkan sebagian besar manusia dengan sujud di ayat ini, sementara membuat sujud mereka bersifat umum di dalam surat AnNahl: 249, yaitu sujud merendahkan diri dan tunduk. Sebab setiap orang tentu tunduk kepada Rububiyah-Nya dan patuh kepada kekuasaan Nya.

Tingkatan-tingkatan Iyyaaka Na’budu dari Segi Ilmu dan Amal

Ubudiyah mempunyai beberapa tingkatan dari segi ilmu dan amal. Adapun tingkatan-tingkatannya dari segi ilmu ada dua macam:

  1. Ilmu tentang Allah
  2. Ilmu tentang agama-Nya.

Ilmu tentang Allah ada lima tingkatan:

  1. Ilmu tentang Dzat-Nya.
  2. Ilmu tentang sifat-sifat-Nya.
  3. Ilmu tentang perbuatan-perbuatan-Nya.
  4. Ilmu tentang asma’-Nya.
  5. Ilmu tentang pembebasan-Nya dari hal-hal yang tidak laik bagiNya.

Ilmu tentang agama-Nya ada dua tingkatan:

  1. Agama yang bersifat syar’iyah, yaitu jalan lurus yang bisa menghantarkan kepada-Nya.

  2. Agama yang bersifat pembalasan, yang mencakup pahala dan siksa. Yang juga termasuk dalam ilmu ini ialah ilmu tentang para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.

Tingkatan-tingkatan ubudiyah dari segi ilmu juga ada dua tingkatan lain:

  1. Tingkatan Ashhaabul-Yamiin, yaitu mereka yang mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib dan sunat, meninggalkan yang haram, melakukan yang mubah dan sebagian yang makruh serta meninggalkan sebagian yang dianjurkan.

  2. Tingkatan As-Saabiquun Al-Muqarrabuun, yaitu mereka yang mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib dan sunat, meninggalkan yang haram dan makruh, berzuhud dalam hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat dalam kehidupan akhirat mereka 1, menghindari apa yang dikhawatiri mudharatnya.

    Orang-orang yang khusus di antara mereka menjadikan yang mubah menurut hak mereka menjadi ketaatan dan taqarrub karena niat 2. Menurut hak mereka, tidak ada hal mubah yang seimbang kedua sisinya. Tapi setiap amal mereka berat timbangannya. Sementara selain mereka meninggalkan yang mubah dan menyibukkan diri dengan ibadah. Mereka melakukan yang mubah sebagai ketaatan dan taqarrub. Dua tingkatan ini mempunyai beberapa derajat yang hanya Allahlah yang dapat menghitungnya.


1 Zuhud dalam sesuatu hanya berlaku jika ada pengabaikan terhadap keadaan sesuatu itu. Karena itu tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an kecuali dalam urusan orang-orang yang menjual Yusuf. Tidak mungkin bagi orang Mukmin untuk melihat sesuatu yang dihalalkan Allah sebagai sesuatu yang remeh, karena itu merupakan nikmat. Meremehkan nikmat dan memandang rendah terhadap nikmat sama dengan kufur nikmat. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah berzuhud dalam hal mubah yang dihalalkan Allah. Tapi beliau makan apa yang ada dan mengenakan pakaian seadanya dari yang halal dan baik. Beliau membenci zuhud dalam hal yang halal secara sengaja, seperti kebencian beliau terhadap orang yang zuhud dalam masalah daging, wanita, tidur malam dan makan pada siang hari, karena mereka mengerjakannya secara sengaja. Orang-orang sufi adalah yang paling mengingkari nikmat Allah karena itu mereka adalah orang yang paling dibenci di sisi Allah, karena mereka berzuhud dalam nikmat Allah, meremehkan dan memandang rendah kepadanya. Tokoh mereka berpendapat, bahwa nikmat Allah adalah batil dan sia-sia. Segala kebaikan ada dalam zuhud dan menghindari nikmat. Karena itu hidup mereka sulit di dunia dan juga di akhirat. Adapun orang-orang Mukmin yang mengikuti petunjuk melihat bahwa semua nikmat adalah benar dan ada hikmahnya. Allah tidak menciptakan sesuatu pun secara sia-sia dan main-main. Mereka senantiasa memanfaatkannya dan memuji Penciptanya, berbuat baik dengan nikmat itu, meletakkannya pada tempat yang semestinya di setiap waktu dan tempat yang sesuai dan menurut porsinya, mengukurnya berdasarkan kebaikan dan keindahan. Sebab nikmat itu berasal dari Allah, dan apa pun yang berasal dari-Nya adalah kebaikan dan keindahan. Maka dengan begitu Allah menambahkan kebaikan bagi mereka. Firman-Nya,

“Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik? ’ Katakanlah, 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat ” (Al-A’raf: 32).

2 Yang dimaksudkan Ibnu Qayyim dengan niat di sini ialah bisikan hati dan mengarahkan hasrat dan tujuannya ketika mendapatkan nikmat dan karunia ini, bahwa nikmat itu berasal dari Rabb mereka Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, yang tidak memberikan nikmat ini kepada hamba-hamba-Nya melainkan untuk mengembangkan mereka dan menumbuhkan kebaikan di tengah mereka serta menambahkan unsur-unsur kemanusian yang mulia, sehingga hidup mereka meningkat dengan nikmat itu, sehingga mereka merambat naik menapaki tanjakan kebaikan, kebajikan, petunjuk dan hikmah, agar mereka menjadi orang-orang yang baik. Mereka dalam setiap keadaan dan kondisi adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah Yang Maha Pemurah, dengan segala ketaatan, ketundukan, cinta dan kepasrahan diri. Ketika di kebun mereka adalah ahli ibadah. Di tempat perniagaan mereka adalah ahli ibadah. Di tempat tidur bersama istrinya, mereka adalah ahli ibadah. Begitulah, mereka tidak terlihat pada sesuatu pun dari apa yang dianugerahkan Allah kepada mereka melainkan sesuatu itu merupakan unsur baru dari berbagai unsur pendidikan dan ihsan. Sehingga apa pun yang mereka terima dari Allah menambah kecintaan, ketundukan, ketaatan dan kepasrahan kepada-Nya. Yang dimaksudkan niat di sini bukan makna yang biasa berlaku seperti yang disebutkan di berbagai kitab fiqih, yang maksudnya adalah ibadah menurut kebiasaan dan menurut rupanya, seperti yang biasa diungkapkan orang- orang yang bodoh, semacam ucapan, “Nawaitu lillahi … " Yang mereka maksudkan dari niat ini, bahwa niat yang pas ketika makan, menetap atau lain-lainnya dari hal-hal yang mubah menurut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu menjadikan hal yang mubah sebagai ibadah berdasarkan kebiasaan dan apa yang telah disyariatkan memiliki hukum yang menyisa dari ibadah yang disyariatkan Allah bagi Rasul-Nya. Ini merupakan pintu yang seringkali imasuki syetan sambil membawa bid’ah, untuk disusupkan ke dalam hati mayoritas manusia dan amal-amal mereka, sehingga bencana pun menyebar ke mana-mana. Sampai-sampai ada yang menyeret mereka kepada syirik dan paganisme. Yang harus diketahui orang Mukmin dan yang harus dijadikan pegangan hatinya, bahwa amal dan keadaan manusia sebagaimana layaknya juga menjadi milik Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Amal itu berasal dari beliau seperti amal lain yang juga berasal dari orang lain. Sebab Allah telah befirman, "Katakanlah, 'Aku hanyalah manusia biasa seperti kamu sekalian '. ” Jadi tidak boleh ada pencampuradukan antara risalah dengan amal dan keadaannya. Risalah berasal dari sisi Allah, yang dijadikan Allah sebagai agama kita, yang di dalamnya dijadikan sebagai teladan yang baik. Ini merupakan masalah yang perlu dicermati, karena ini masalah yang cukup rumit, yang tidak banyak dipaham orang, sehingga banyak di antara mereka yang salah saat membuat pengompromian. Haya Allahlah yang melimpahkan taufiq dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Lingkaran Ubudiyah Berputar pada Lima Belas Kaidah

Siapa yang menyempurnakannya, berarti dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan ubudiyah. Penjelasannya, bahwa ubudiyah ini dibagi atas hati, lisan dan jawarih. Atas masing masing dari tiga bagian ini ada ubudiyah yang mengkhususkannya. Sementara hukum-hukum bagi ubudiyah ada lima: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Lima hukum ini berlaku bagi masing-masing dari hati, lisan dan jawarih. Yang wajib bagi hati ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati wajibnya hati ialah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, inaabah (kembali kepada Allah), takut, berharap, pembenaran yang pasti dan niat dalam ibadah. Inilah ukuran yang ditambahkan kepada ikhlas, karena ikhlas adalah penunggalan yang disembah dan terbebas dari selain-Nya.

Niat ibadah mempunyai dua tingkatan:

  1. Membedakan ibadah dari kebiasaan.
  2. Membedakan sebagian tingkatan-tingkatan ibadah dari sebagian yang lain.

Tiga bagian di atas merupakan sesuatu yang wajib. Begitu pula yang berlaku untuk shidq (jujur). Perbedaan antara shidq dengan ikhlas, bahwa seorang hamba itu mempunyai sesuatu yang dituntut dan sesuatu yang dicari. Ikhlas adalah menunggalkan apa yang dituntut darinya, sedangkan shidq adalah menunggalkan tuntutannya.

Maksud ikhlas, hendaknya apa yang dituntut tidak terbagi-bagi. Sedangkan shidq, hendaknya tuntutan tidak terbagi-bagi. Shidq adalah mengeluarkan usaha, sedangkan ikhlas ialah menunggalkan apa yang dituntut. Umat menyepakati wajibnya amal-amal ini atas hati ditilik dari keseluruhannya.

Begitu pula pemurnian dan ketulusan dalam ibadah. Inti agama berkisar pada hal ini. Maksudnya ialah berusaha menempatkan ubudiyah pada pola yang disukai Rabbdaw yang diridhai-Nya. Dasar hal ini adalah wajib dan kesempurnaannya merupakan tingkatan muqarrabiin. Begitu pula dengan setiap hal wajib bagi hati, yang memiliki dua sisi:

  • Wajib mustahaq (yang layak dimiliki), yaitu tingkatan ashha-abul-yamiin,
  • Kesempurnaan mustahab (yang dianjurkan), yaitu tingkatan muqarrabiin.

Sabar juga wajib hukumnya menurut kesepakatan umat. Al-Imam Ahmad berkata, “Allah menyebutkan kata sabar di sembilan puluh tempat di dalam Al-Qur’an dan bahkan lebih. Sabar juga mempunyai dua sisi: Wajib mustahaq dan kesempurnaan mustahab."

Selanjutnya Ibnu Qayyim menyebutkan bagian wajib yang di- perselisihkan, hingga perkataannya: Maksudnya, hendaknya penguasa anggota tubuh, yaitu hati, melaksanakan ubudiyahnya karena Allah.

Adapun yang haram atas hati ialah: Takabur, riya’, ujub, dengki, lalai dan nifaq. Yang haram ini ada dua macam: Kufur dan kedurhakaan.

Yang kufur seperti keragu-raguan, nifaq, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam: Besar dan kecil. Yang besar ialah: Riya’, ujub, takabur, membanggakan diri, sombong, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, senang dan gembira karena orang-orang Muslim mendapat gangguan dan musibah, suka jika kekejian menyebar di tengah mereka, dengki kepada mereka karena mereka mendapat karunia dari Allah, mengharapkan lenyapnya karunia itu dari mereka.

Yang demikian ini lebih diharamkan daripada zina, minum khamr dan lain-lainnya dari dosa-dosa besar yang nyata. Tidak ada kebaikan bagi hati dan badan kecuali dengan menjauhi semua itu dan bertaubat darinya. Jika tidak, maka itu adalah hati yang rusak. Jika hati rusak, maka
badan pun ikut rusak pula.

Bencana ini terjadi karena kebodohan tentang ubudiyah hati dan meninggalkan pelaksanaannya.
Tugas iyyaaka na ’budu terhadap hati sebelum jawarih. Jika hal ini tidak diketahui dan tidak dilaksanakan, maka hati akan dipenuhi dengan kebalikannya. Ini tidak boleh tidak. Seberapa jauh pelaksanaannya, maka sejauh itu pula hati terbebas dari kebalikannya.

Masalah-masalah ini dan lainnya yang serupa merupakan dosa kecil menurut haknya. Tapi bisa menjadi dosa besar tergantung dari kekuatan dan ukurannya.

Yang juga termasuk dosa kecil ialah bernafsu terhadap hal-hal yang haram dan mengangan-angankannya. Keragaman derajat-derajat syahwat, besar dan kecilnya, tergantung pada keragaman derajat orang yang bernafsu terhadapnya. Bernafsu terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Bernafsu terhadap bid’ah adalah kefasikan. Bernafsu terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika dia meninggalkannya karena Allah padahal dia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan kedurhakaan itu, maka dia akan mendapat pahala.

Jika dia meninggalkan kedurhakaan karena memang tidak mampu mengerjakannya, yang jika dia mempunyai kemampuan tentu akan mengerjakannya, maka dia disiksa seperti siksaan yang dijatuhkan kepada orang yang mengerjakannya. Hal ini terjadi karena masing-masing memposisikan dirinya dalam hukum pahala dan siksa, meskipun tidak memposisikan dirinya pada hukum syariat. Karena itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Jika dua orang Muslim saling berhadapan sambi! menghunus pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh berada di neraka ”,

Mereka bertanya, “Ini bisa berlaku bagi pembunuh wahai Rasulullah. Lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?”

Beliau menjawab,

“Karena yang dibunuh itu pun berambisi membunuh rekannya.”

Beliau menempatkan korban pada posisi pembunuh, karena dia pun berambisi melakukan dosa tanpa keputusan hukum. Yang serupa dengan ini dalam masalah pahala dan hati cukup banyak. Dengan begitu dapat diketahui apa yang sunat dan apa yang mubah bagi hati.

Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam. Yang wajib ialah

  • Mengucapkan syahaadatain dan membaca apa yang harus dibaca dari AlQur’an, yaitu yang menjadi ukuran sahnya shalat
  • Mengucapkan dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti perintah membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud, perintah mengucapkan Rabbanaa wa lakal-hamdu setelah i’tidal, perintah tasyahud dan takbir
  • Menjawab salam. Tentang mengawalinya ada dua pendapat.
  • Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang bodoh, Menunjuki orang yang tersesat,
  • Menyampaikan kesaksian yang diperlukan dan berkata jujur.

Yang sunat bagi lisan ialah :

  • Membaca Al-Qur’an,
  • Senantiasa berdzikir,
  • Membicarakan ilmu yang bermanfaat dan segala implikasinya.

Yang haram bagi lisan ialah:

  • Segala ucapan yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, seperti ucapan bid’ah yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, mengajak kepadanya dan menganggapnya sesuatu yang baik.
  • Menuduh, mencela orang Muslim, menyakitinya dengan perkataan, perkataan dusta, kesaksian palsu,
  • Mengatakan terhadap Allah tanpa didasarkan kepada pengetahuan, dan yang terakhir ini perkataan yang paling diharamkan.

Yang makruh bagi lisan ialah :

  • Mengatakan sesuatu yang apabila ditinggalkan justru lebih baik daripada mengatakannya, meskipun tanpa ada akibat siksa yang ditanggung.

Orang-orang salaf berbeda pendapat, apakah ada perkataan mubah yang memiliki dua sisi yang sama dan berimbang? Ada dua pendapat tentang masalah ini, seperti yang disebutkan Ibnul-Mundzir dan lain-lainnya. Salah satu di antaranya, bahwa apa pun yang dikatakan seseorang tidak
lepas dari dua kemungkinan, entah merupakan pahala ataukah merupakan siksa atas dirinya. Tidak ada perkataan tanpa mendatangkan pahala atau siksa. Mereka berhujjah dengan hadits yang masyhur,

“Setiap perkataan anak Adam merupakan dosa atas dirinya dan bukan merupakan pahala baginya, kecuali jika perkataan itu merupakan dzikir kepada Allah dan yang menolongnya.”

Mereka juga berhujjah bahwa semua perkataan akan ditulis. Sementara tidak ada yang ditulis kecuali baik dan buruk. Ada satu golongan yang berpendapat, perkataan itu ada yang mubah, bukan merupakan pahala baginya dan bukan merupakan siksa atas dirinya, seperti yang berlaku dalam gerakan anggota tubuh. Menurut mereka, sebab banyak perkataan yang tidak berkait dengan perintah dan larangan, dan inilah keadaan sesuatu yang hukumnya mubah.

Yang pasti, gerakan lisan dengan perkataan tidak bisa menjadi seimbang dua sisinya, tapi ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan. Sebab lisan mempunyai keadaan yang berbeda dengan seluruh anggota tubuh lainnya. Jika anak Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuh mengerubuti lisan seraya berkata, “Bertakwalah kepada Allah, karena kami hanya bersamamu. Jika engkau lurus, maka kami pun lurus, dan jika engkau bengkok, maka kami pun bengkok.”

Mayoritas faktor yang menyebabkan muka manusia ditelungkupkan di neraka (pada hari kiamat) ialah karena akibat lisannya. Jika yang pertama kali dilontarkan lisan adalah sesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah timbangan yang berat. Jika tidak, maka itu adalah timbangan yang memberatkan.

Hal ini berbeda dengan gerakan seluruh anggota tubuh yang lainnya. Pelakunya bisa mengambil manfaat dari gerakannya dalam hal yang mubah, yang sama dua sisinya, karena dia mendapatkan dari timbangan yang berat dan manfaatnya, sehingga penggunaannya diperbolehkan untuk hal-hal yang bermanfaat baginya, sementara tidak ada yang mendatangkan mudharat baginya di akhirat.

Adapun gerakan lisan berupa perkataan yang tidak bermanfaat baginya, bisa mendatangkan mudharat. Maka perhatikanlah baik-baik masalah ini.

Jika ada yang bertanya, “Adakalanya lisan bergerak dengan suatu perkataan yang di dalamnya ada manfaat di dunia, mubah dan seimbang dua sisinya, sehingga hukum gerakannya sama dengan hukum gerakan itu. Bagaimana hal ini?”

Dapat dijawab sebagai berikut: Gerakan lisan dengan perkataan semacam itu menjadi berat timbangannya jika memang dibutuhkan. Jika tidak dibutuhkan, maka timbangannya menjadi memberatkan dan tidak bermanfaat, sehingga ia menjadi dosa atas dirinya dan bukan menjadi pahala baginya.

Jika ada yang bertanya, “Jika perbuatan bisa menjadi seimbang dua sisinya, maka lisan bisa menjadi sarana untuk itu. Sebab hukum sarana mengikuti maksud. Bagaimana hal ini?”

Dapat dijawab sebagai berikut: Tidak mesti begitu. Bisa jadi sesuatu itu hukumnya mubah dan bahkan wajib. Sementara sarananya adalah sesuatu yang makruh, seperti hukum memenuhi ketaatan yang dinadzarkan adalah wajib. Padahal sarananya, yaitu nadzar adalah makruh dan dilarang.

Begitu pula sumpah yang makruh adalah sesuatu yang memberatkan, sementara memenuhinya adalah wajib atau dengan kafarat. Begitu pula meminta kepada makhluk pada saat membutuhkan adalah sesuatu yang makruh, namun mubah baginya memanfaatkan apa yang diberikan ketika meminta.

Contoh-contoh semacam ini banyak sekali. Sarana bisa mengandung kerusakan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan, sementara apa yang menjadi tujuan dari sarana itu bukan termasuk sesuatu yang makruh atau haram.

Lima macam ubudiyah ini juga berlaku untuk jawarih, yang berarti ada dua puluh lima tingkatan. Sebab indera ada lima. Atas setiap indera ada lima macam ubudiyah.

Atas pendengaran ada kewajiban mendengarkan dan menyimak apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya, yaitu mendengarkan Islam, iman dan kewajiban-kewajibannya. Begitu pula mendengarkan Al-Qur’an dalam shalat ketika imam menyaringkan bacaannya, mendengarkan khutbah Jumat menurut pendapat yang paling kuat menurut para ulama.

Diharamkan mendengarkan suara kufur dan bid’ah, kecuali jika di sana terkandung kemaslahatan yang kuat, seperti dimaksudkan untuk membantahnya atau memberikan kesaksian yang memberatkan terhadap orang yang mengucapkannya, atau untuk menambah kekuatan iman dan As-Sunnah, dengan mengetahui kebalikannya yang berupa kufur, bid’ah dan lain-lainnya. Diharamkan pula menguping rahasia orang yang hendak menghindar darimu secara diam-diam dan dia tidak suka jika engkau mengetahuinya, selagi tidak mengandung hak Allah yang harus dilaksanakan atau menyakiti orang Muslim dan harus diperingatkannya.
Begitu pula mendengarkan suara wanita lain mahram yang dikhawatiri akan mendatangkan cobaan lewat suaranya, selagi tidak ada keperluan kepadanya, seperti untuk kesaksian, dalam muamalah, permintaan fatwa, proses pengadilan, pengobatan dan lain sebagainya. Begitu pula mendengarkan alat musik, tabuh-tabuhan dan hal-hal yang tidak berguna, seperti seruling, tambur, dan sejenisnya. Tapi dia tidak perlu menutup telinga jika mendengarkan suara-suara itu, sementara dia tidak bermaksud mendengarnya. Kecuali jika dia khawatir atas keberadaannya di tempat itu dan menyimaknya, maka dia harus meninggalkan tempat dan harus menghindari hal-hal yang bisa menyeretnya kepada hal-hal yang diperingatkan.

Serupa dengan pengharaman ini ialah larangan sengaja mencium wewangian. Jika angin membawa aromanya sehingga dia membauinya, maka dia tidak perlu menutup hidungnya. Begitu pula pandangan secara tiba-tiba, yang hukumnya bukan haram bagi yang memandang. Tapi pandangan yang kedua menjadi haram baginya jika disengaja.

Adapun pendengaran yang dianjurkan seperti mendengarkan ilmu yang memang dianjurkan, bacaan Al-Qur’an, dzikir kepada Allah dan mendengarkan apa pun yang disukai Allah, tapi hukumnya bukan fardhu.

Yang hukumnya makruh adalah kebalikannya, yaitu mendengarkan apa pun yang dibenci Allah, namun tidak ada siksa bagi pelakunya. Sedangkan yang mubah sudah jelas.

Pandangan yang wajib ialah memandang Mushaf dan kitab-kitab ilmu yang membantunya dalam mempelajari yang wajib, pandangan yang membantu pemilahan antara yang halal dari yang haram dalam hal-hal yang harus dimakan, dinafkahkan dan disimak, dalam amanat-amanat yang harus disampaikan kepada yang berhak, sehingga bisa dilakukan pemilahan, dan lain sebagainya.

Pandangan yang haram ialah memandang wanita lain mahram yang disertai syahwat dan juga tanpa syahwat kecuali jika diperlukan, seperti laki-laki pelamar yang memandang wanita yang hendak dilamarnya, orang yang menawar barang dagangan, yang bermu’amalah, pemberi kesaksian, hakim, dokter dan mahram.

Pandangan yang dianjurkan ialah memandang kitab-kitab ilmu dan agama yang menambah iman dan ilmu, memandang Mushaf, memandang wajah para ulama yang shalih dan kedua orang tua, memandang ayat-ayat Allah yang dapat disaksikan, agar dia mendapat bukti atas tauhidNya dan hikmah-Nya.

Pandangan yang makruh ialah pandangan yang berlebih-lebihan tanpa ada kemaslahatannya. Pandangan mempunyai takaran yang berlebih seperti halnya lisan. Berapa banyak pandangan yang berlebih-lebihan yang kemudian sulit untuk dihindarkan dan sulit dicarikan penyembuhnya. Sebagian orang salaf berkata, “Banyak orang yang tidak menyukai pandangan yang berlebih-lebihan, sebagaimana mereka tidak menyukai perkataan yang berlebih-lebihan.”

Pandangan yang mubah ialah memandang sesuatu yang tidak ada mudharatnya dan tidak ada pula manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Rasa yang wajib ialah mencicipi makanan dan minuman ketika terpaksa harus memakan atau meminumnya dan dikhawatirkan akan mengakibatkan kematian. Jika dia tidak memakannya hingga mengakibatkan kematian, maka dia mati dalam keadaan durhaka dan sama seperti
bunuh diri.

Al-Imam Ahmad dan Thawus berkata, “Siapa yang terpaksa memakan bangkai, namun dia tidak memakannya hingga meninggal, maka dia masuk neraka.”

Yang termasuk hukum ini ialah menelan obat yang diyakini dapat menyelamatkannya dari kebinasaan. Ini menurut pendapat yang lebih kuat. Jika disangkakan akan mendatangkan kesembuhan dengan obat itu, apakah hal ini dianjurkan dan mubah ataukah yang afdhal meninggalkannya?

Ada perbedaan pendapat tentang hal ini antara orang-orang salaf dan khalaf. Merasakan yang diharamkan ialah merasakan khamr dan racun yang bisa mematikan. Merasakan makanan yang dilarang berlaku untuk puasa wajib.

Merasakan yang makruh ialah merasakan hal-hal yang syubhat, makan melebihi kebutuhan, merasakan makanan secara langsung, yaitu makanan yang langsung dimakan pelakunya tanpa mengundangmu untuk makan, atau seperti makan makanan di perjamuan, walimah yang dimaksudkan untuk pamer. Di dalam As-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang makanan orang-orang yang berlomba-lomba.

Yang termasuk makruh ialah merasakan makanan orang yang menjamumu, karena dia merasa malu terhadap engkau dan bukan karena ketulusan hatinya.

Merasakan yang dianjurkan ialah merasakan makanan yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah menurut perkenan dari Allah, makan bersama tamu agar dia senang, memakan makanan orang yang mengundangmu.Sebagian fuqaha ada yang mewajibkan memakan makanan walimah yang memang harus dipenuhi undangannya, seperti yang diperintahkan pembawa syariat.

Merasakan yang mubah ialah merasakan sesuatu yang di dalamnya tidak ada dosa dan tidak pula mendatangkan pahala.

Penciuman yang wajib ialah yang membantu jalan untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, seperti mencium sesuatu, apakah sesuatu itu baik atau buruk, apakah sesuatu itu mengandung racun mematikan atau tidak berbahaya, atau untuk membedakan antara yang ada manfaatnya dengan yang tidak ada manfaatnya. Yang termasuk hukum ini ialah penciuman ahli penciuman ketika dibutuhkan dalam penetapan hukum.

Penciuman yang diharamkan ialah sengaja mencium wewangian ketika ihram, mencium wewangian dari hasil mencuri dan merampas, sengaja mencium wewangian dari wanita lain mahram yang bisa mendatangkan cobaan di balik perbuatan itu.

Penciuman yang dianjurkan ialah mencium sesuatu yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah dan menguatkan indera serta menyenangkan jiwa untuk ilmu dan amal. Begitu pula menghadiahkan parfum dan wewangian. Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Siapa yang ditawari Raihan, maka janganlah dia menolaknya, karena baunya harum dan ringan bawaannya.”

Penciuman yang makruh ialah mencium wewangian orang-orang yang zhalim, para pelaku syubhat dan lain sebagainya.

Penciuman yang mubah ialah mencium sesuatu yang tidak dilarang Allah dan tidak ada akibatnya, juga yang tidak ada kemaslahatan agamanya serta yang tidak ada kaitannya dengan syariat.

Adapun rabaan yang wajib ialah rabaan suami terhadap istri ketika hendak berjima’ dengannya dan budak wanita yang boleh dijima’.

Rabaan yang haram ialah meraba wanita lain mahram yang tidak halal untuk diraba dan disentuh.

Rabaan yang dianjurkan ialah rabaan yang dapat menahan pandangan mata dan mencegah dirinya dari hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan istri.

Rabaan yang makruh ialah meraba istri ketika ihram untuk mendatangkan kenikmatan. Begitu pula ketika i’tikaf dan ketika puasa, jika dia tidak menjamin keamanan dirinya. Yang termasuk rabaan yang makruh ialah meraba badan mayit bagi orang yang tidak seharusnya memandikannya, karena badannya sama dengan aurat orang hidup yang harus dihormati. Karena itu dianjurkan dibentangkan tabir agar tidak terlihat dan memandikannya dengan kain menurut salah satu pendapat. Meraba paha juga termasuk makruh, apabila kami katakan bahwa paha itu termasuk aurat. Rabaan yang mubah ialah rabaan yang tidak mengandung kerusakan dan kemaslahatan agama.

Tingkatan-tingkatan ini juga berlaku untuk gerakan tangan dan langkah kaki. Contoh-contoh lain cukup banyak.

Mencari penghidupan menurut kesanggupan untuk nafkah diri sendiri dan keluarga juga wajib. Tentang kewajiban mencari penghidupan untuk melunasi hutang diperselisihkan. Yang benar, mencari penghidupan adalah wajib, sehingga memungkinkannya melunasi hutang, dan dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat untuk itu. Tentang kewajibannya mencari harta untuk menunaikan kewajiban haji perlu dipertimbangkan. Pendapat yang kuat berdasarkan dalil ialah wajib, kalau memang itu termasuk dalam kesanggupannya dan agar memungkinkannya melaksanakan ibadah. Namun pendapat yang masyhur, hal itu tidak wajib.

Gerakan tangan yang wajib ialah menolong orang yang dalam keadaan terpaksa, melempar jumrah, mengusapnya ketika wudhu’ dan tayammum.

Gerakan tangan yang haram ialah membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh, merampas harta, memukul orang yang tidak boleh dipukul dan lain sebagainya dari berbagai jenis main-main yang diharamkan berdasarkan nash, main dadu atau yang jauh lebih diharamkan lagi menurut pendapat penduduk Madinah, seperti catur. Begitulah menurut pendapat para ahli hadits semacam Ahmad dan lain-lainnya. Begitu pula menulis bid’ah yang bertentangan dengan As-Sunnah, menyusun kitab hingga berjilid-jilid dan membuat naskah, kecuali disertai dengan bantahan dan penentangannya. Begitu pula menulis sesuatu yang palsu dan kezhaliman, hukum orang jahat, tuduhan dan dakwaan terhadap wanita-wanita lain, menulis sesuatu yang mengandungkan mudharat bagi kaum Muslimin, baik agama maupun dunianya, apalagi jika tulisan itu dimaksudkan untuk mencari uang. Firman Allah,

"Maka kecelakaan besarlah bagimereka, akibat dari apayangditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. ’’(Al-Baqarah: 79).

Begitu pula tulisan mufti tentang suatu fatwa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, kecuali jika hal itu berdasarkan ijtihadnya dan ternyata salah. Dalam hal ini dia terbebas dari dosa.

Gerakan tangan yang makruh ialah seperti main-main dan canda yang bukan termasuk diharamkan, menulis sesuatu yang tidak ada faidah dan manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Gerakan tangan yang dianjurkan ialah menulis apa pun yang bermanfaat bagi agama atau mendatangkan kemaslahatan bagi orang Muslim, berbuat bajik dengan tangannya yang dapat membantu ketrampilannya, membuat kreasi, membantu orang yang menimba air, mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya, atau menahan kendaraannya hingga orang yang dibantunya mengangkat barangnya ke atas kendaraannya, memberikan pertolongan dengan tangannya untuk siapa pun yang memerlukan dan lain sebagainya.

Yang termasuk dalam anjuran ini ialah mengusap Hajar Aswad dengan tangannya ketika thawaf. Ada dua pendapat tentang memeluknya setelah mengusapnya.

Gerakan tangan yang mubah ialah yang tidak ada mudharatnya dan tidak pula pahalanya.

Adapun jalan kaki yang wajib ialah berjalan ke shalat Jum’at dan jama’ah menurut pendapat yang paling kuat, yang didasarkan kepada lebih dari dua puluh dalil dan yang tidak disebutkan di tempat ini saja. Begitu pula berjalan mengelilingi Ka’bah saat thawaf, berjalan sendiri antara Shafa dan Marwah atau dengan ditandu, berjalan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya jika ada seruan kepadanya, berjalan untuk silaturrahim, berbakti kepada kedua orang tua, berjalan ke majlis-majlis ilmu untuk mencari dan mempelajarinya, berjalan untuk menunaikan haji jika jaraknya sudah dekat tanpa ada mudharat yang menimpanya.

Jalan kaki yang haram ialah berjalan untuk mendurhakai Allah, yang hanya dilakukan orang dari golongan syetan. Firman Allah,

“Dan, kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki. ”(Al-Isra’: 64).

Menurut Muqatil, artinya mintalah bantuan kepada mereka dengan pengerahan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki. Setiap orang yang berjalan untuk mendurhakai Allah, maka dia termasuk pasukan Iblis. Begitu pula kaitan lima hukum ini dengan berkendara.

Yang wajib dalam berkendara ialah dalam peperangan, jihad dan haji yang wajib dilakukan.

Yang dianjurkan ialah berkendara dalam hal-hal yang memang dianjurkan, mencari ilmu, silaturrahim, berbakti kepada kedua orang tua. Tentang wuquf di Arafah ada perbedaan pendapat, apakah berkendara di sana lebih afdhal ataukah dengan berjalan kaki? Yang pasti, berkendara di sana lebih baik jika terkandung kemaslahatan, seperti karena mengajarkan manasik dan mengikutinya. Hal ini lebih dapat membantu untuk berdoa dan selagi tidak mendatangkan mudharat bagi hewan yang ditunggangi.

Berkendara yang haram ialah berkendara untuk mendurhakai Allah. Yang makruh ialah berkendara untuk main-main dan yang tak ada manfaat serta kebaikannya.

Yang mubah ialah berkendara yang tidak mendatangkan manfaat dan dosa.

Inilah lima puluh tingkatan pada sepuluh bagian: Hati, lisan, pendengaran, penglihatan, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan berkendara