Bagaimana golongan manusia apabila dilihat karena ibadahnya ?

Apabila dilihat dari ibadah dan isti’aanah (mencari pertolongan), manusia bisa dibagi menjadi empat macam golongan:

Pertama: Golongan yang paling baik dan paling utama ialah ahli ibadah dan isti’aanah, memohon pertolongan kepada Allah dengan ibadah itu.

Ibadah kepada Allah merupakan puncak tujuan mereka dan tuntutan mereka kepada-Nya agar menolong mereka untuk beribadah dan agar memberikan taufiq kepada mereka untuk melaksanakan ibadah itu. Karenanya permohonan yang paling utama terhadap Allah ialah pertolongan untuk mendapatkan ridha-Nya.

Inilah yang diajarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau kasihi, Mu’adz bin Jabal, dengan bersabda,

“Wahai Mu’adz, demi Allah aku benar-benar mencintaimu, maka janganlah engkau lupa mengucapkan di akhir setiap shalat, ‘Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah secara baik kepada-Mu’.

” Doa yang paling bermanfaat ialah memohon pertolongan untuk mendapatkan ridha-Nya, dan anugerah yang paling utama ialah pengabulan Allah terhadap permohonan ini. Semua doa yang ma’tsur berkisar pada hal ini dan menolak kebalikannya, penyempurnaannya dan kemudahan sebab-sebabnya. Maka perhatikanlah hal ini baik-baik.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kuperhatikan doa yang paling bermanfaat. Ternyata adalah memohon pertolongan untuk mendapatkan ridha-Nya. Kemudian aku memperhatikan di dalam Al-Fatihah ada pada iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin. ”

Kedua: Kebalikan dari golongan pertama, ialah orang-orang yang meninggalkan ibadah dan isti’aanah serta berpaling dari keduanya.

Kalaupun ada di antara mereka yang memohon kepada Allah dan memohon pertolongan, maka permohonannya itu untuk memperoleh bagian dan syahwatnya, bukan untuk mendapatkan ridha-Nya dan memenuhi hak-Nya. Memang semua yang ada di langit dan di bumi memohon kepada Allah, baik wali dan musuh-musuh-Nya, dan Allah pun mengabulkan kedua-duanya. Makhluk yang paling dibenci Allah adalah musuh-Nya, Iblis. Namun begitu, ketika Iblis meminta suatu keperluan, Dia mengabulkannya dan memberikan kesenangan kepadanya. Tetapi karena apa yang di- mintanya itu bukan untuk mendapatkan ridha-Nya, maka hal itu justru menambah kesengsaraannya dan membuat dirinya semakin jauh dari Allah serta tertolak dari sisi-Nya.

Beginilah yang terjadi pada setiap orang yang memohon pertolongan kepada Allah untuk sesuatu hal, namun tidak dimaksudkan sebagai penolong untuk menambah ketaatan kepada-Nya, yang membuat dirinya jauh dari keridhaan-Nya dan memutuskan hubungan dengan-Nya. Hendaklah orang yang berakal memperhatikan hal ini pada dirinya dan juga pada diri orang lain. Hendaklah dia mengetahui bahwa pengabulan Allah bagi orang yang memohon kepada-Nya, bukan karena kehormatan orang yang memohon.

Tapi seorang hamba memohon keperluan dan Allah mengabulkan baginya, namun apa yang dimohonkan itu justru terkandung kehancuran dan kesengsaraan bagi dirinya. Pengabulan Allah ini justru karena kehinaannya di Mata-Nya, dan doa yang tidak dikabulkan justru karena kehormatannya di Mata Allah dan karena cinta-Nya kepada orang yang doanya tidak dikabulkan.

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan melindunginya dan bukan karena kebakhilan. Yang demikian ini dilakukan Allah terhadap hamba-Nya karena Dia menghendaki kehormatannya dan karena cinta serta kasih sayang kepadanya. Tapi karena kebodohannya, dia mengira Allah tidak mencintai dan tidak memuliakannya. Dia melihat Allah mengabulkan kebutuhan orang lain, lalu dia pun berburuk sangka kepada Rabb-nya.

Ini merupakan ketakutan hati yang tidak disadarinya. Orang yang terpelihara dari ketakutan ini ialah yang dipelihara Allah. Pada diri manusia ada bashirah. Tandanya ialah bagaimana dia memahami takdir dan bagaimana batinnya mencela takdir itu. Dikatakan dalam syair,

Orang yang lemah pikirannya akan menyia-nyiakan kesempatan lalu dia mencela takdirjika urusannya lenyap menghilang

Demi Allah, jika akibatnya dikuak dan rahasianya tersibak, tentu dia masih saja mencela takdir, lalu berandai-andai sekiranya keadaannya begini dan begitu. Tapi apa kiatku, sementara urusan tidak kembali padaku?

Orang yang berakal akan memusuhi dirinya dan orang yang bodoh akan memusuhi takdir yang menimpanya. Janganlah engkau meminta hal tertentu kepada Allah, yang engkau pun tidak tahu bagaimana kesudahannya. Jika engkau harus memohon kepada-Nya, maka kaitkanlah permintaan itu berdasarkan syarat ilmu-Nya, yang di dalamnya terkandung kebaikan dan dahulukan permohonan pilihan terbaik (istikharah) ketika engkau memohon. Istikharah dengan lisan ini bukan tanpa ma’rifat, tetapi istikharah orang yang tidak mengetahui tentang kemaslahatan dirinya dan tanpa kekuasaan serta tidak tahu rincian-rinciannya, tidak kuasa mendatangkan manfaat dan mudharat kepada dirinya.

Bahkan jika urusan diserahkan kepada dirinya sendiri, tentu dia akan binasa dan kacau. Jika Allah memberikan kepadamu apa yang diberikan-Nya kepadamu, maka engkau tetap harus memohon agar Dia menjadikannya sebagai penolong untuk ketaatan kepada-Nya dan untuk mendapatkan ridha-Nya, tidak menjadikannya sebagai pemutus hubungan antara dirimu dengan-Nya dan tidak menjauhkanmu dari ridha-Nya. Jangan mengira bahwa anugerah-Nya karena kemuliaan hamba di sisi-Nya dan penahanan-Nya karena kehinaan hamba di sisi-Nya. Tetapi pemberian dan penahanan-Nya merupakan cobaan, untuk menguji hamba-hamba-Nya. Allah befirman,

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya, maka dia berkata, Rabbku menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian). ”(Al-Fajr: 15-16).

Artinya, tidak setiap orang yang Kuanugerahi dan Kuberi nikmat, berarti Aku memuliakannya dan itu bukan karena kemuliaannya dihadapan-Ku, tetapi itu merupakan ujian dan cobaan dari-Ku, apakah dia bersyukur kepada-Ku sehingga Aku memberinya yang lebih banyak lagi, ataukah dia kufur kepada-Ku sehingga aku merampasnya kembali darinya untuk Kuberikan kepada selainnya? Tidak setiap orang yang Kuuji dan Kusempitkan rezkinya, Kujadikan rezkinya pas-pasan dan tidak ada kelebihannya, merupakan kehinaan di hadapan-Ku. Tetapi itu merupakan ujian dan cobaan dari-Ku baginya, apakah dia bersabar, sehingga aku memberinya sekian kali lipat dari apa yang tidak didapatkannya, berupa kelapangan rezki, ataukah dia marah, sehingga bagian yang diperolehnya hanya kemarahan itu?

Allah membantah orang yang mengira bahwa keluasan rezki merupakan kemuliaan, sedangkan kemiskinan merupakan kehinaan, dengan befirman,

“Aku tidak pernah menguji hamba-Ku dengan kekayaan karena kemuliaannya di hadapan-Ku, dan Aku tidak mengujinya dengan kemiskinan karena kehinaannya di hadapan-Ku.”

Maka Allah memberitahukan bahwa kemuliaan dan kehinaan tidak berkisar pada masalah harta, keluasan rezki dan ukurannya. Dia melapangkan rezki bagi orang kafir bukan karena kemuliaannya dan membatasi rezki orang Mukmin bukan karena kehinaannya. Tapi Dia memuliakan siapa yang dimuliakan-Nya karena ma’rifat, cinta dan ketaatan kepada-Nya. Dia menghinakan orang yang dihinakan-Nya karena berpaling dari-Nya dan mendurhakai-Nya. Bagi-Nya segala puji atas keadaan ini dan itu, dan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji.

Jadi, kebahagiaan dunia dan akhirat kembali kepada iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta ’iin.

Ketiga: Golongan yang mempunyai sebagian jenis ibadah tanpa isti’aanah.

Mereka ada dua macam:

  1. Golongan Qadariyah yang mengatakan bahwa Allah telah berbuat segala apa pun yang telah ditakdirkan-Nya pada hamba, dan tidak ada pertolongan yang menyisa pada apa yang ditakdirkan-Nya untuk diperbuat-Nya. Allah telah menolong hamba dengan menciptakan berbagai alat dan keselamatannya, mengenalkan jalan, mengutus pada rasul dan memberinya kekuasaan untuk berbuat. Sehingga tidak ada takdir yang menyisa setelah pertolongan ini, yang bisa diminta lagi. Bahkan Allah telah menyamaratakan antara para wali-Nya dan musuh-Nya dalam pertolongan ini. Dia menolong yang ini sebagaimana Dia menolong yang itu. Tetapi para wali-Nya memilih iman bagi dirinya, sedangkan musuh-musuh-Nya memilih kufur bagi dirinya, tanpa taufiq tambahan dari Allah kepada golongan pertama, yang mengharuskan mereka beriman, dan tanpa penelantaran kepada golongan kedua, yang mengharuskan mereka kufur. Prinsip golongan ini, mereka mempunyai bagian yang terkurangi dalam ibadah, tanpa disertai isti’aanah. Mereka dipasrahkan kepada diri mereka sendiri, jalan isti’aanah dan tauhid sudah tertutup bagi mereka. Ibnu Abbas berkata, “Iman kepada takdir merupakan aturan tauhid. Siapa yang beriman kepada Allah dan mendustakan takdir-Nya, berarti pendustaannya itu berseberangan dengan tauhidnya.”

  2. Golongan yang melakukan ibadah dan wirid, tetapi bagian mereka berkurang dalam tawakal dan isti’aanah. Hati mereka tidak cukup lapang untuk dikaitkan dengan sebab-sebab takdir dan menyatu dalam cakupannya. Hati tanpa takdir seperti orang mati yang tidak berpengaruh apa-apa, atau bahkan seperti sesuatu yang tidak ada dan tidak punya wujud. Sementara takdir seperti halnya roh yang menggerakkannya, yang membutuhkan penggerak pertama. Kekuatan bashirah mereka tidak bisa disambungkan dari yang bergerak kepada penggerak, dari sebab kepada akibat, dari alat kepada pelaku. Hasrat mereka melemah dan terbatas. Bagian mereka menjadi bekurang dari iyyaaka nasta ’iin, dan mereka tidak mendapatkan rasa beribadah dengan tawakal dan isti’aanah. Jika mereka merasa- kannya dengan wirid dan berbagai kewajiban, maka mereka mendapatkan bagian dari taufiq dan pengaruh, tergantung pada isti’aanah dan tawakalnya. Mereka mendapatkan kehinaan dan kelemahan, tergantung dari isti ’aanah dan tawakalnya. Jika seorang hamba tawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal untuk melenyapkan sebuah gunung dari tempatnya, dan ia juga diperintah untuk melenyapkannya, tentu dia mampu melenyapkannya.

Jika engkau bertanya, “Lalu apa makna tawakal dan isti’aanah itu?”

Dapat saya jawab sebagai berikut: Tawakal ialah keadaan hati yang muncul karena pengetahuannya tentang Allah, kesendirian-Nya dalam penciptaan, pengurusan, pemberian manfaat dan mudharat, pemberian dan penahanan, bahwa apa pun yang dikehendaki-Nya akan terjadi, meskipun manusia tidak menghendakinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi meskipun manusia menghendakinya. Hal ini mengharuskan manusia untuk bersandar kepada Allah, pasrah, thuma’ninah dan yakin kepada-Nya dengan kecukupan-Nya tentang apa yang dia pasrahkan kepada-Nya. Semua tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, dikehendaki maupun tidak dikehendaki manusia.

Keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan kedua orang tuanya yang menyerahkan urusan kepada mereka, suka atau tidak suka. Lihatlah hatinya yang tidak mau menengok kepada selain kedua orang tuanya. Beginilah keadaan orang yang tawakal, dan inilah keadaan orang dengan Allah. Allah memberinya kecukupan dan ini pasti terjadi. Firman-Nya,

“Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Aliah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. ”(Ath-Thalaq: 3).

Artinya mencukupinya. AI-Hasb artinya yang mencukupi.

Jika seperti ini keadaan orang yang bertakwa, berarti dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang keempat.

Keempat: Golongan orang yang mempersaksikan kesendirian Allah dalam memberikan manfaat dan mudharat.

Bahwa apa yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak berada dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya untuk mendapatkan kesenangan, syahwat dan tujuan-tujuannya. Maka Allah menurunkannya dan memberikannya kepadanya.

Tapi dia tidak mendapatkan hasil apa pun, baik harta, kekuasaan maupun kedudukan di tengah manusia, pengaruh maupun kekuatan. Yang demikian ini termasuk penguasa yang nyata. Sementara harta tidak mendorongnya kepada Islam dan kedekatan kepada Allah. Kekuasaan, kedudukan dan harta diberikan kepada orang yang baik maupun yang buruk, orang Mukmin maupun kafir.

Siapa yang menjadikan sebagian dari kekuasaan, kedudukan dan harta sebagai bukti kecintaan Allah dan ridha-Nya kepada orang yang diberi-Nya, bahwa dia termasuk orang yang mendekatkan diri kepada Allah, maka dia adalah orang yang paling bodoh dan orang yang paling tidak mengetahui Allah serta agama-Nya, tidak bisa membedakan antara apa yang dicintai dan diridhai-Nya dengan apa yang dibenci dan dimurkai-Nya.

Keadaan ini merupakan bagian dari kehidupan dunia. Seperti halnya kekuasaan dan harta, jika menolong orangnya untuk taat kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya, maka dia akan disatukan dengan para penguasa yang adil dan baik. Jika tidak, maka kekuasaan dan harta itu justru akan menjadi bencana bagi orangnya dan menjauhkannya dari Allah, lalu dia akan dimasukkan ke dalam golongan para penguasa yang zhalim dan orang kaya yang jahat.