Sikap seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang Konselor?

Konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien, hubungan yang terbentuk biasanya bersifat individu ke individu, kadang juga melibatkan lebih dari satu orang suatu misal keluarga klien.

Sikap seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang Konselor ?

Sikap dilihat sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung, oleh karena itu, seorang konselor harus lebih berhati-hati di dalam mengelola sikapnya. Sikap dasar merupakan suatu kondisi fasilitatif pada diri konselor yang dapat membantu terjadinya perubahan pada diri klien. Beberapa sikap dasar konselor adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan.

Istilah penerimaan (acceptance) ekuivalen dengan pengertian penghargaan positif. Penerimaan mengacu pada kesediaan konselor memiliki penghargaan tanpa menggunakan standar ukuran atau persyaratan tertentu terhadap individu sebagai manusia atau pribadi secara utuh. Dengan kata lain, konselor siap menerima klien atau individu yang datang kepadanya untuk konseling tanpa menilai status, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada hakekatnya konselor mempunyai penerimaan apa adanya keadaan klien dan beriskap netral terhadap nilai-nilai yang dipegang klien.

Menurut Brammer, Abrego dan Shostrom (1993) dalam Lesmana (2006) mengemukakan bahwa ada beberapa asumsi dasar yang melandasi sikap penerimaan ini, yaitu:

  • Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas
  • Manusia memiliki hak untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
  • Orang mempunyai kemampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna secara sosial
  • Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri

Dengan demikian jelaslah bahwa seorang konselor harus percaya kliennya mempunyai kemampuan mengaktualisasikan dirinya, dan bertanggung jawab sendiri untuk hidupnya.

2. Pemahaman

Pemahaman (understanding) berhubungan erat dengan empati. Dalam konsep lain pernyataan pemahaman dan empati dijadikan satu yaitu emphatic-understanding.

Pemahaman mengacu pada kecenderungan konselor menyelami tingkah laku, pikiran dan perasaan klien sedalam mungkin yang dapat dicapai oleh konselor (Mappiare, 2002).

Memahami secara empati (emphatic-understanding) merupakan cara seseorang (konselor) untuk memahami cara pandang dan perasan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami orang lain secara obyektif, tetapi sebaliknya dia (konselor) berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan dirinya sendiri. Rogers menyebut hal ini sebagai internal frame of reference (Patterson, 1986:384). Artinya memahami klien berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri

Ada tiga aspek dalam empati menurut Patterson (1980), yaitu:

  • Keharusan bahwa konselor mendengarkan klien dan mengkomu nikasikan persepsinya kepada klien.
  • Ada pengertian atau pemahaman konselor tentang dunia klien
  • Mengkomunikasikan pemahamannya kepada klien

Dengan adanya empati klien merasakan bahwa ada orang lain yang mau dan bersedia memahami dirinya yang sebelumya tidak ia dapatkan.

3. Kesejatian dan keterbukaan

Kesejatian (authenticity) pada dasarnya menunjuk pada keselarasan atau harmoni yang mesti ada dalam pikiran dan perasaan konselor dengan apa yang terungkap melalui perbuatan atau ucapan verbalnya.

Kesejatian memiliki persamaan istilah dengan kongruensi (congruence), keaslian (genuiness), kejujuran (honesty), terbuka (disclosure). Hal tersebut sangat penting dilakukan oleh konselor agar dapat menimbulkan kepercayaan klien. Selain itu diharapkan dengan sikap kesejatian ini klien tidak menunjukkan lagi sikap yang sembunyi, defensif, bersandiwara, palsu dan basa-basi (Latipun, 2004).

Menurut Egan (1986) menguraikan hal-hal yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh konselor untuk menjadi genuineness, secara singkat sebagai berikut:

  • Menghindari berlebihan dalam peran. Helper (konselor) yang genuine tidak berlindung dalam peran konselor, tetapi berhubungan akarab dengan orang lain.
  • Berlaku spontan. Orang yang genuine adalah spontan, tapi tidak lepas kendali atau sembrono dalam hubungan konseling.
  • Berlaku tegas (asertif)
  • Menghindari sikap defensif.
  • Berlaku konsisten. Helper yang genuine menghindari perten- tangan antara nilai-nilai dan perilakunya, antara pemikiran dan kata-katanya dalam berinteraksi dengan klien.
  • Berlaku terbuka. Helper yang genuine mampu melakukan pengungkapan diri, berbagi pengalaman dengan klien.

Sumber :
Mulawarman, Eem Munawaroh, Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor Pendidikan, Universitas Negeri Semarang