Siapakah Wakidjo? dan apa perannya dalam dunia musik?

Siapakah Wakidjo? dan apa perannya dalam dunia musik?

Siapakah Wakidjo? dan apa perannya dalam dunia musik?

1 Like

Biografi Wakidjo

Wakidjo dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1938 di Jagalan, Jebres, Surakarta dari ayah Jarot Harjomartojo dan ibu Jemprit. Wakidjo lahir dari keluarga pedagang daging, ayahnya adalah penyembelih hewan dan ibunya penjual daging. Wakidjo merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Adik ke-2 bernama wakiya seorang penggambang yang hebat, adik ke-3 Wakidi seorang pengendhang ulung, dan yang terakhir Mei seorang ibu rumah tangga.

Wakidjo menikah pada tahun 1964 dengan Mulyati pada usia 25 tahun. Akan tetapi mereka harus berpisah karena pernikahannya tidak dikarunia anak. Wakidjo merajut rumah tangganya lagi dengan Giyanti pada tahun 1980 saat berusia 41 tahun. Pernikahan ini dikarunia tiga orang anak yakni: anak pertama perempuan bernama Endah Wahyuningsih, anak ke dua laiki-laki diberi nama Sidik Rohmat Waskito, dan anak bungsu laki-laki bernama Yudika Didik Ska Okfiana.

Pada pertengahan masa sebelum merdeka kegiatan kesenian di jagalan berkembang dengan baik. Juragan daging sering mengadakan hajatan dengan menggelar gamelan,tari, ketoprak, ataupun wayang kulit. Warga jagalan juga mengadakan latihan karawitan. Pada tahun 1948 warga Jagalan membentuk sanggar tari Bima yang beranggotakan masyarakat sekitar. Sanggar ini mengalami kejayaan hampir selama 10 tahun dan akhirnya bubar karena proses regenerasi yang tidak berjalan. Pada awal 1960-an kegiatan kesenian di jagalan kembali semarak dengan adanya sanggar tari yang dibentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Kegiatan kesenian ini kembali menghilang seiring dengan adanya gerakan Gerakan 30 September 1965yang dilakukan oleh PKI.

kecil. Pada usia sekitar enam tahun setiap sore Wakidjomengikuti ayahnya bermain musik keroncong bersama tetangga diperempatan jalan dekat rumahnya. Saat ayahnya bermain gitar Wakidjo pun tertarik dan selalu memperhatikan bagaimana teknik permainannya. Di rumah ia mencoba mempraktekkan apa yang dilihatnya. Ia bernyanyi sambil memainkan gitar bersama ayahnya. Lagu yang sering dinyanyikan adalah Bengawan Solo ciptaan Gesang Martohartono.

Sekitar usia tujuh sampai sembilan tahun, Wakidjo dan adiknya, Wakiyo, sering melihat pergelaran wayang kulit di sekitar lingkungan tempat tinggalnya di Jagalan. Selain itu ia juga sering diajak oleh orang tuanya melihat pertunjukan wayang orang di Sriwedari. Wakidjo sangat senang dengan adegan perang . ia merasa permainan kendang dan gerakan pemain sangat bagus.Adegan-adegan dalam wayang orang tersebut nampaknya begitu membekas di hati Wakidjo. Saat pulang Wakidjo sering bercerita pada adiknya, Wakiyo, kalau suatu saat nanti ia ingin jadi pengendhang atau penari.

Pada usia sembilan tahun Wakidjo duduk di kelas tiga Sekolah Rakyat. Ia sering bermain perang-perangan bersama teman-temannya di halaman rumah. Suasana saat itu sangat meriah karena di sana ada puluhan anak yang sedang bermain perang-perangan sambil berteriak sesuka hatinya. Apa yang dilakukan anak-anak tersebut dilihat oleh Mulyana.16 Kemudian ia memberi tawaran: … Cah kowé tak ajari perang sing bener gelem ra? (Anak-anak kalian saya latih teknik perang yang benar bersedia tidak?). Anak-anak yang sudah memiliki ketertarikan menjawab dengan antusias …gelem (bersedia). Sejak saat itu Wakidjo mulai menyalurkan bakat seni tarinya.

Wakidjo sangat menyukai karawitan. Kesenangannya terhadap karawitan diwujudkan dengan sering menonton pergelaran klenèngan yang ada di kampungnya. Saat menonton klenèngan Wakidjo tidak hanya mendengar dan menyaksikan dari jauh, tetapi selalu berusaha mendekati posisi para pemain gamelan dan duduk tepat di samping pengrawit yang memainkan instrumen kendang. Kertertarikannya tersebut membuat Wakidjo sering menonton pergelaran klenèngan sampai selesai. Setelah pengrawit membubarkan diri, Wakidjo tidak segara pulang akan tetapi tetap berada di tengah gamelan untuk memainkan instrumen yang disenanginya.

Keinginan untuk belajar karawitan mulai tersalurkan dan terbina ketika Wakidjo berusia sepuluh tahun, yakni saat duduk di kelas tiga SR Kanisius Pucang Sawit. Sekolah tersebut menyelenggarakan pelajaran ekstra kurikuler berupa menabuh gamelan. Wakidjo pun mengikuti kegiatan tersebut. Waktu itu guru yang menjadi pelatihnya adalah Mato Sudirjo.

Sekolah RakyatKanisius memiliki tradisi senam pagi bernama Taiso. Atas prakarsa Mato Sudirjo, senam Taiso itu kadang-kadang diiringi dengan gamelan. Wakidjo merasa senang saat memainkan kendang untuk mengiringi senam Taiso. Dalam ngendhangi senam Taiso ituWakidjomenggunakan kendang ciblondengan sekaran sederhana atau bisa dikatakan seadanya. Meskipun demikian pengalaman tersebut berguna untuk melatih teknik pembunyian dan interaksi antara gerak dengan kendang.

Kegiatan gamelan di sekolah menambah kecintaan wakidjo terhadap karawitan. Setiap ada pergelaran ia selalu melihatnya. Kegiatan menonton apabila dicermati sebenarnya merupakan suatu proses pembelajaran. Saat menonton secara otomatis ia menghayati rasamusikal yang terkait dengan tempo, irama, laras, dan berbagai bentuk gending. Berbagai aspek tersebut merupakan modal berharga dalam belajar karawitan.
Kurun waktu (1950-2009) Wakidjo menjalani profesi sebagai pengrawit, pelatih, dan guru, antara lain: sebagai pengendhang berbagai jenis seni pertunjukan, sebagai pengrawit RRI Surakarta, terlibat perekaman kaset komersial, sebagai pengrawit keraton, sebagai pelatih, sebagai juri lomba karawitan, dan sebagai dosen tidak tetap ISI Surakarta. Berbagai pekerjaan tersebut tentu memiliki suasana dan tuntutan berbeda-beda. Hal itu membuat tata-cara pergaulan Wakidjo sangat beragam, dan berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kemampuan kesenimanannya.

Kontribusi Wakidjo dalam Kehidupan Karawitan Gaya Surakarta

Perjalanan Wakidjo dalam kehidupan karawitan gaya Surakarta dengan segenap prestasi yang telah ditorehkannya merupakan suatu hal yang sangat membanggakan. Melalui ketekunan dan kreativitasnya Wakidjo telah melahirkan sekaran-sekaran yang menjadi cirikhasnya dan turut memperkaya khasanah kendhangan gaya Surakarta. Penggarapan Wakidjo tersebut telah menyebar ke masyarakat melalui media massa, yaitu radio dan kaset komersial. Selanjutnya penggarapan Wakidjo tersebut menjadi acuan dan ditirukan oleh pengrawit generasi seangkatan maupun di bawahnya. Adapun beberapa nama yang menirukan gaya kendhangan Wakidjo adalah: Daryoko (Klaten), Wakidi (Surakarta), Kuwat (Sragen), Sarno (Wonogiri), Samino (Wonogiri), Harsono (Karanganyar), Slamet (Karanganyar), Hadi Budiono (Purbalingga), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin dimuat satu persatu dalam penelitian ini.

Kehadiran Wakidjo tidak hanya terbatas memperkaya khasanah kendhangan gaya Surakarta. Sebagai seorang pengrawit Wakidjo juga turut berperan dalam mengembangkan dan mensosialisasikan karawitan gaya Surakarta. Peran tersebut dilakukannya melalui kegiatannya sebagai pelatih kelompok karawitan di berbagai daerah di Surakarta dan sekitarnya. Hal itu dapat dibuktikan di daerah Tawangmangu Karangayar banyak pengendhang, penggender, dan pesindhèn yang memiliki kemampuan menyajikan gending-gending karawitan gaya Surakarta dengan baik. Menurut pengakuan Harsono, kemampuan para pengrawit tersebut berkat bimbinganWakidjo saat mengikuti lomba karawitan RRI Surakarta. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ngadi dan Suyat, yang dahulu pernah dilatih Wakidjo. Para pengrawit tersebut selanjutnya menjadi penyangga keberlanjutan karawitan gaya Surakarta di daerahnya masing-masing.

Melihat perjalanan kesenimanan di atas kiranya layak untuk menyertakan Wakidjo sebagai salah satu pengrawit unggulan karawitan gaya Surakarta. Diakui atau tidak, melalui karyakarya maupun partisipasinya sebagai pengrawit, pelatih, dewan juri, pengajar, dan berbagai kegiatan kesenian yang lain, Wakidjo telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan karawitan gaya Surakarta.
Keberhasilan Wakidjo sebagai salah satu pengendhang klenèngan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: bakat, lingkungan pergaulan, sanggar atau perkumpulan seni, lingkungan RRI Surakarta, kedekatan dengan Panuju dan tokohtokoh lain, lingkungan pendidikan seni (ISI Surakarta), dan keterlibatannya dalam kegiatan perekaman gending-gending komersial.

Referensi

Risnandar. 2014. PROSES KREATIF DAN PERAN WAKIDJO DALAM KENDHANGAN GAYA SURAKARTA. Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi”. Volume 14 Nomor 1 : 41-58.