Mengenal Lebih Dekat Tan Malaka
Ibrahim Datuk Tan Malaka, lahir tahun 1894 dan meninggal 16 April 1949 di Blitar, Jawa Timur. Dia merupakan pemimpin Komunis Indonesia yang bersaing dengan Sukarno untuk mengendalikan gerakan nasionalis Indonesia. Tan Malaka adalah seorang Minangkabau (orang Sumatra) dan guru sekolah. Ketika dia kembali dari sekolah di Eropa pada tahun 1919, dia mulai mendukung doktrin Komunis. Komunis telah bekerja dengan kelompok nasionalis terkemuka yaitu Sarekat Islām (Asosiasi Islam), tetapi pada tahun 1921 mereka berpisah dan bergerak ke arah aksi revolusioner. Mereka masih berusaha untuk membawa serta cabang-cabang lokal Sarekat Islam. Tahun berikutnya Tan Malaka berusaha mengubah pemogokan pegawai pegadaian pemerintah menjadi pemogokan umum, tetapi upaya itu gagal, dan pejabat Belanda memerintahkannya untuk meninggalkan Hindia Belanda.
Tan Malaka mewakili Indonesia pada Kongres Keempat Komintern (Komunis Internasional) pada tahun 1922, ketika ia ditunjuk sebagai agen Komintern untuk Asia Tenggara dan Australia. Dia menentang pemberontakan yang didukung Komunis pada tahun 1926 dan disalahkan oleh pendukungnya atas kegagalan pemberontakan. Namun, tahun berikutnya dia mengorganisasi sebuah kelompok di Bangkok yang disebut Partai Republik Indonesia; tujuannya adalah untuk mengembangkan kader bawah tanah untuk bekerja di Indonesia. Partai memperoleh kekuatan, tetapi dengan sedikit keberhasilan yang terlihat dalam melemahkan pemerintahan kolonial.
Tan Malaka kembali ke Jawa pada tahun 1944, selama pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah itu bersaing memperebutkan kekuasaan melawan Presiden Indonesia Sukarno. Sukarno selalu mengungguli Tan Malaka, dibuktikan dengan membawa Sutan Sjahrir ke kekuasaan sebagai perdana menteri. Tan Malaka menanggapi dengan menciptakan koalisi dengan nama Persatuan Perdjuangan (Persatuan Perjuangan) untuk menentang setiap penyelesaian negosiasi dengan Belanda, yang kemudian disukai Sjahrir. Ketika Sjahrir mengundurkan diri pada Februari 1946, Tan Malaka diminta untuk membentuk Kabinet. Namun, anggota koalisi gagal mencapai kesepakatan dan Sjahrir dipanggil kembali. Tan Malaka kemudian mencoba kudeta namun terperangkap dalam rencana orang lain dan ditangkap pada 6 Juli 1946. Dia ditahan selama dua tahun tanpa pengadilan. Pada pembebasannya dia mendukung partai politik baru, Partai Murba (Partai Proletar). Pada waktu itu Belanda dan Indonesia berperang untuk menguasai negara. Pada saat yang sama Sukarno dan Mohammad Hatta adalah tahanan Belanda dan banyak pemimpin Komunis telah terbunuh. Pada bulan Desember 1948 Tan Malaka mengajukan tawaran untuk mengendalikan revolusi Indonesia. Dari kota Kediri, Jawa Timur yang tetap berada di tangan Indonesia, Tan Malaka memproklamirkan dirinya sebagai kepala Indonesia. Ketika Belanda menyerang Kediri, ia melarikan diri tetapi dalam beberapa bulan ditangkap dan dieksekusi oleh para pendukung Sukarno. Tan Malaka adalah kekuatan yang kuat dan bergerak dalam penciptaan Indonesia tetapi, setelah 1966 dan pembantaian Komunis, namanya menjadi gerhana.
Kita masih bisa membaca perjuangan Tan Malaka selama hidupnya melalui karya-karyanya. Tan Malaka menulis beberapa karya politik; yang paling terkenal adalah otobiografi Dari Pendjara ke Pendjara (“Dari Penjara ke Penjara”).
Selain itu berikut karya-karya yang ditulis oleh Tan Malaka
• MADILOG
Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) adalah sebuah karya besar dari Tan Malaka. Madilog adalah buku yang di tulis dalam persembunyiannya dari kejaran tentara Jepang di Cililitan. Buku ini di tulis selama kurang lebih 3 jam per hari dan memakan waktu 8 bulan. Inti dari buku ini adalah menguraikan masalah materalisme, dialektika, dan logika. Pada dasarnya madilog bukanlah pandangan hidup tetapi lebih kepada cara berpikir yang menurut Tan Malaka harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
• GERPOLEK
Gerpolek atau Gerilya, Politik, Ekonomi merupakan buku yang dikonsep dan ditulis oleh Tan Malaka ketika dirinya meringkuk di penjara Madiun. Buku ini mengusulkan pendirian sistem ekonomi yang didasarkan pada produksi oleh rakyat untuk menghadapi gempuran Belanda. Jenderal Sudirman memandang bahwa Gerpolek adalah buku strategi militer. Tan Malaka menuliskan bahwa Gerpolek adalah sebuah senjata untuk membela Proklamasi 17 Agustus dan melaksanakan kemerdekaan yang 100 persen. Ide Merdeka 100 persen yang disampaikan Tan Malaka adalah bagaimana Indonesia bisa menentukan takdirnya sendiri tanpa harus ada campur tangan negara lain dan tidak bisa ditoleransi.
• MERDEKA 100 PERSEN
Pemikiran “Merdeka 100 Persen” di sampaikan Tan Malaka untuk menanggapi sikap pemerintahan Presiden Soekarno terhadap Jepang dan Belanda pasca-proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Saat itu, Tan Malaka melihat pemerintah yang dipimpin Soekarno hanya menghamba kepada penjajah. Dia melihat pemerintah hanya berharap kedaulatan dan kemerdekaan diberikan oleh penjajah, bukan direbut lewat perang dan perjuangan.