Siapakah Sutan Takdir Alisjahbana?

Sutan Takdir Alisjahbana adalah tokoh Nasional terkemuka yang istimewa dalam sejarah kesustraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Sutan Takdir terlebih dahulu dikenal sebagai seorang sastrawan tapi kemudian pada tahun 1930-an ia menampilkan diri sebagai orang yang paling tegas dan kritis, suatu penampilan yang kemudian serta merta merupakan awal dari sesuatu ‘polemik kebudayaan’, dan dari inilah ia semakin dikenal oleh masyarakat sebagai budayawan yang gigih memperjuangkan kebudayaan Indonesia, meskipun kemudian melahirkan beberapa konsep dan pemikiran yang sangat kontras yang sulit diterima dan banyak yang mempertentangkan serta menolaknya, namun ia tetap kokoh dengan pendiriannya. Tidak hanya itu saja, ia dikenal juga oleh masyarakat Indonesia sebagai seorang cendikiawan terkemuka, seorang ilmuwan dan filsuf sekaligus pembaharu linguistik - tata bahasa baru Indonesia.

Masa-masa Awal

Sutan Takdir Alisjahbana atau kemudian ia biasa dikenal dengan sebutan STA. Nama ‘Sutan Takdir’ adalah nama sejak ia kecil sedangkan nama ‘Alisjahbana’ adalah diambil dari nama sukunya. Sutan Takdir lahir di Natal, Tapanuli Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908. Sutan Takdir Alisjahbana merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Inderapura Putera bungsu dari Raja Pagaruyung. Pada awalnya keluarga Sutan Takdir Alisjahbana bertempat tinggal di Minangkabau, akan tetapi kemudian pindah ke Natal dan pada akhirnya dibuang ke Bengkulu oleh pemerintah Kolonial Belanda. Karena itulah Sutan Takdir Alisjahbana pernah menganggap dirinya berasal dari Minangkabau. Ia lahir di Natal dan di besarkan di Bengkulu.

Ayah Sutan Takdir bernama Sutan Alisjahbana dengan gelar Sutan Arbi yang di Bengkulu diberi gelar Raden Alisjahbana. Ia mempunyai banyak pekerjaan diantaranya menjadi kepala sekolah di Kerkap, penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu) dan juga ahli dalam reparasi jam. Selain itu, ayah Sutan Takdir juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang andal. Sedangkan kakek Sutan Takdir atau orang tua ayahnya bernama Sutan Mohammad Zahab, seorang ulama terkemuka yang lama tinggal di Makkah dan dikenal sebagai seorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makam kakeknya tertumpuk buku-buku yang sering ia saksikan terbuang begitu saja.

Sebagai cucu dari seorang ulama besar yang terkemuka dan anak dari seorang Imam Masjid, tentu waktu kecil Sutan Takdir tidak pernah lepas dari ajara-ajaran agama Islam seperti; mengaji al-Qur’an atau belajar al-Qur’an. Pernah suatu ketika Sutan Takdir masih kecil disuruh mengaji al-Qur’an, bersama sepupunya. Dia sebenarnya pergi mengaji dari rumahnya, namun di tengah perjalanan ke tempat mengaji ia malah kemudian pergi ke tempat lain seperti mencari udang, bermain dan lain-lain, tapi ketika pulang kerumahnya ia bersama sepupunya lagi sehingga keluarganya tidak ada yang mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh Sutan Takdir. Kebiasaan-kebiasaan inilah Sutan Takdir waktu kecil hampir setiap hari ia lakukan sehingga ada yang mengatakan bahwa sampai ia dewasa Sutan Takdir Alisjahbana tidak bisa membaca al-Qur’an.

Pernah diceritakan oleh salah satu putri Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu Tamaliya Alisjahbana dalam sebuah seminar Internasional Seabad Sutan Takdir Alisjahbana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Ia menceritakan ketika masa kecil ayahnya pernah dan sering diejek oleh teman-temannya, karena Sutan Takdir terlahir dengan empat jari di tangan kirinya. Karena ejekan inilah, sehingga membuat Sutan Takdir merasa malu dan selalu menyembunyikan tangannya di kantongnya atau ditutup dengan saputangan. Hampir setiap hari teman-temannya mengejeknya. Namun dari ejekan inilah, ia kemudian merasa termotivasi untuk bersemangat dalam bekerja, dua kali lebih keras daripada anak-anak lain. Memang setiap manusia pasti mempunyai kelemahan dan kekurangan yang melekat pada dirinya, seperti halnya juga yang terjadi pada Sutan Takdir Alisjahbana, ketidak lengkapan jari tangan kirinya membuat teman-temannya mengejeknya. Namun Sutan Takdir malah tidak putus asa dan melemahkan diri, akan tetapi dari ejekan ini pula yang membuat Sutan Takdir mempunyai semangat yang menggelora dan termotivasi bahwa dirinya lebih mampu dalam melakukan sesuatu dengan baik dibandingkan dengan teman-teman yang telah mengejeknya.

Tidak hanya pada waktu itu saja semangat dari Sutan Takdir bergejolak, namun sampai ia tua pun masih bersemangat dalam berkerja, berjuang dan berkarya. Sehingga dari sikap inilah kemudian lahirlah karya-karyanya yang sangat banyak. Terdapat hampir lebih dari 30 buah karyanya yang sudah diterbitkan, mulai dari roman, novel, sajak, filsafat, kebudayaan dan sebagainya. Semangat dan kecerdasan Sutan Takdir memang sejak kecil sudah ia miliki, terbukti pada saat berumur 13 tahun ia sudah mampu mendirikan organisasi yang bernama Jong Sumateranen Bond di Muara Enim 1921, sekaligus dialah yang menjadi ketuanya. Baru kemudian pada tahun 1928, setelah menamatkan pendidikan di sekolah guru pribumi di Bengkulu, ia mengikuti ayahnya ke Palembang. Pada waktu itu ayahnya berprofesi sebagai guru dan menjabat sebagai kepala sekolah, dan ia pun mengikuti jejaknya untuk menjadi guru. Namun ia memilih menjadi guru bukan karena profesi guru menarik baginya, melainkan supaya bisa bekerja dan mendapat gaji.

Dunia Kepenulisan

Sutan Takdir sebenarnya tidak tertarik untuk menjadi guru karena ia lebih berminat dalam dunia tulis-menulis, tanpa memberitahu ayahnya ia kemudian melamar bekerja sebagai pengarang pada majalah Pandji Postaka. Dan ia pun diterima menjadi redaktur kepala. Ia merasa sangat senang karena akan memperoleh kesempatan menulis di majalah tersebut. Perjalanan hidup Sutan Takdir tidaklah berakhir di Palembang, ia kemudian merantau ke tanah Jawa untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Namun sebelum ke Jakarta Sutan Takdir terlebih dahulu menetap di Bandung dan berekolah di Hogere Kweekschool, baru kemudian setelah lulus ia pergi ke Jakarta dan kursus di Hoofdacte Cursus.

Setelah beberapa bulan di Jakarta, Sutan Takdir melihat sebuah iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dan dia diterima setelah melamar. Di dalam biro itulah Sutan Takdir kemudian bertemu dengan intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Selama ia bekerja di Balai Pustaka, Sutan Takdir tidak pernah berhenti untuk mengarang dan selama itu pula ia sering menulis untuk berbagai media seperrti Pewarta Deli dan Soera Oemoem. Kemudian tahun 1933 bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane, Sutan Takdir mendirikan majalah Pujangga Baru dan dia yang menjadi ketuanya. Atas inisiatif Sutan Takdir melalui Pujangga Baru, maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama dan pada tahun 1947 sehabis perang Sutan Takdir menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia. Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah Bahasa Indonesia, tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dalam berbentuk buku yang kemudian diberi judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ). Sementara itu, karangan-karangan Sutan Takdir yang pernah ditulis pada masa Jepang akhirnya diterbitkan oleh Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Sutan Takdir juga pernah merintis penerbitan majalah Pembangoenan. Di waktu yang sama, ia kemudian mendirikan percetakan yang bernama “Poestaka Rakjat” dan penerbit Kebangsaan Poestaka Rakjat. Yang kemudian Pada 22 Desember 1963, nama Poestaka Rakjat kemudian berubah menjadi nama “Dian Rakyat” yang bertahan hingga sekarang.

Tahun-tahun Kemudian

Pada masa akhir tahun 1941, setelah Sutan Takdir lulus dari Rechts Hogeschool. Setahun kemudian Jepang menduduki Indonesia dan membentuk Komisi Bahasa Indonesia pada 20 Oktober 1942. Selanjutnya Sutan Takdir duduk sebagai penulis ahli dan pada tahun 1943 Sutan Takdir mendirikan kantor bahasa yang bertugas menyusun, menentukan, serta menyeragamkan istilah-istilah ilmu yang diajarkan di sekolah. Ia juga pernah mengadakan kursus bahasa di luar pengawasan Jepang bersama Poerbatjaraka yang mengajar bahasa Jawa Kuno dan Rasjidi yang mengajar bahasa Arab, sementara Sutan Takdir sendiri mengampu bahasa Indonesia.

Ketika Sutan Takdir pada waktu berusia 21 tahu, bertepatan pada tahun 1929, ia kemudian menikah dengan seorang perempuan yang benama Raden Ajeng Rohani Daha dan dikaruniai tiga anak yaitu, Samiati, Iskandar dan Sofyan. Akan tetapi pernikahannya dengan sang istri tercita hanya berumur 6 tahun, dengan begitu singkat istrinya Raden Ajeng Rohani Daha meninggal pada tahun 1935 di Jakarta. Setelah enam tahun kemudian pada tahun 1941 Sutan Takdir menikah lagi dengan Raden Roro Sugiarti, dan juga dikaruniai dua anak yaitu Mirta, Sri Artaria. Hanya 11 tahun lebih lama dari istri pertama, lagi-lagi Sutan Takdir ditinggal pergi oleh istrinya untuk selamanya, pada tahun 1952 Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika. Berselang satu tahun dari meninggalnya istri kedua, Sutan Takdir akhirnya menikah lagi dengan perempuan bule bernama Dr. Margret Axer dan mempunyai empat anak, diantaranya Tamali, Marita, Marga dan Mario.

Dalam dunia politik Sutan Takdir juga pernah aktif dan ia pernah menjadi anggota Partai yang didirikan oleh Sutan Takdir yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan menjadi anggota Majelis Konstituante Indonesia mewakili PSI. Ia juga menjadi anggota Parlemen dan KNIP (1945-1949), serta DPRD Jakarta Raya (1950-1960). Saat kasus PRRI atau Permesta memanas, Sutan Takdir mengetuai Pengurus Perwakilan Revolusioner Dewan Garuda Sumatera Selatan di Jakarta dan Ketua Dewan Adat Seluruh Sumatera di Padang pada 1957.

Di awal Orde Baru, Sutan Takdir Alisjahbana kemudian aktif di lembaga-lembaga budaya, filsafat, dan seni yang dibentuknya. Ia juga menerbitkan majalah Ilmu dan Budaya, selain menulis dua jilid Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia sebagai buku resmi pengajaran Bahasa Indonesia. Hingga menjelang hari tuanya, Sutan Takdir berperan dalam perkembangan kebudayaan Indonesia, baik sebagai penulis, seniman, jurnalis, juga akademisi.
Dari sosok kepribadiannya, Sutan Takdir memang memiliki kecerdasan kepiawaian dalam berdiskusi dan ia mempunyai kepribadian yang sangat menarik. Menurut I Made Mariasa dalam catatan pribadinya, untuk dapat menyelami ruang kehidupan Sutan Takdir, kita dituntut harus siap berhadapan dengan beraneka ragam macam ’permainan’. Sebagai budayawan, Sutan Takdir sangat mengerti tentang dirinya dan siapa lawan bicaranya. Dalam menghadapi lawan bicaranya ia banyak menggunakan ’topeng’ kehidupan. Ketika lawan bicaranya seorang budayawan ia menggunakan ’topeng budayawan’. Ketika lawan bicaranya ilmuwan ia menggunakan ’topeng ilmuwan’. Ketika lawan bicaranya seorang politikus ia akan menggunakan ’topeng politikus’. Begitu juga jika lawan bicaranya seorang ekonom, atau bahkan agamawan, ia pun akan menggunakan ’topeng ekonom atau agamawan dan lain sebagainya. Topeng-topeng tersebut di ataslah yang mewarnai kehidupan Sutan Takdir Alisjahbana, sehingga ia selalu menjadi ’pemenang’, dan atau untuk dirinya sendiri menjadi sosok yang tidak pernah mengalah.

Dari uraian tersebut di atas tampak jelas bahwa Sutan Takdir Alisjahbana merupakan sosok pribadi yang kuat, terbuka, utuh dan sangat manusiawi. Bebas, dinamis, maju, bekerja keras tiada kepalang tanggung dan bertanggung jawab adalah semboyan yang ia miliki dalam sosok kepribadiannya. Orang boleh dan dapat bersetuju maupun menentang pendapat teori-teorinya di berbagai bidang ilmu, akan tetapi satu hal agaknya jelas bahwa ia akan selalu siap menerima kritik serta selalu bersiaga. Hal itu terangkum dalam suatu alam pikiran yang spesifik.
Dari perjalanan hidupnya, sungguh Sutan Takdir adalah manusia independen, manusia dinamis, manusia teguh, manusia telaten dan tak pelak adalah manusia girang ceria perkasa. Ia terus bergerak maju, tidak suka berkompromi dan nyaris tak merasa perlu melihat titik henti. Seakan-akan ia ingin mengatasi dengan secara kontinu terus menggerakkan pena dan pikiran untuk membuktikan betapa pikirannya tidak pernah loyo.

Di hari-hari tuanya pun, dengan cara yang mengagumkan dia terus bersemangat, menulis, berpikir, memberikan berbagai tanggapan sambil mengembangkan pusat kebudayaan di Toya Bungkah, Bali. Tak ayal lagi kecintaanya kepada Indonesia, ilmu, dan seni sangatlah luar biasa Hingga akhirnya Pada tahun 1994 merupakan detik-detik terakhir perjalanan karir dan perjuangaan Sutan Takdir, Ibarat pepatah, manusia mati meninggalkan nama, almarhum Sutan Takdir Alisjahbana yang akrab disebut STA atau Takdir masih tetap dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai pribadi dan perjuangannya. Ia meninggalkan warisan sejumlah karya dan pemikiran, khususnya di bidang bahasa dan sastra (esai, novel, roman dan puisi), kebudayaan, filsafat, pendidikan dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam usia 86 tahun ia meninggal dunia karena menderita sakit jantung, pada tanggal 17 Juli 1994 di Jakarta.

Perjalanan Akademik Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana terlahir di lingkungan keluarga terdidik. Tokoh yang terkenal sebagai motor penggerak Pujangga Baru ini tidak pernah lepas dari dunia pendidikan. Mulai sejak kecil ia sudah mendapatkan pendidikan, diantaranya pada tahun 1915 Sutan Takdir bersekolah di Sekolah Dasar Belanda di HIS (Holladsch Inlandsche Scholl) Bengkulu dan lulus pada tahun 1921, Sebelum rampung HIS, tanpa sepengetahuan ayahnya, Takdir mengikuti ujian masuk sekolah guru Kweekschool di Bukittinggi dan lulus pada tahun 1925.

Saat baru berjalan 3 bulan, Takdir pindah ke Lahat, Sumatera Selatan. Tak lama, ia dipindahkan lagi ke Kweekschool Muaraenim. Di situ, Takdir tertarik dengan dunia pergerakan dan membentuk Jong Sumatranen Bond (JIB) cabang Muaraenim. Pada tahun 1925, Takdir dikirim ke Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Bandung dan lulus pada tahun 1928. Setelah lulus dari Bandung pada 1928, Takdir menjadi guru di Palembang, tapi hanya satu setengah tahun.

Ketika Pandji Poestaka membuka lowongan redaktur, Takdir melamar tapi ditolak. Ia justru diterima di Balai Poestaka sebagai redaktur di bagian buku Melayu. Pada 1929, ia menerbitkan mingguan Semangat Moeda. Takdir pindah ke Batavia pada 1930 untuk mengikuti Hoofdacte Cursus (Kemahiran Bahasa) dan menjadi redaktur Pandji Poestaka, menggantikan Adinegoro yang hijrah ke Pewarta Deli di Medan. Takdir juga menjadi koresponden dan kolumnis Pewarta Deli dan Soeara Oemoem. Selanjutnya pada tahun 1937-1942 Ia kuliah Rechtschogesschool Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Di samping kuliah di fakultas hukum, pada tahun 1940 sampai 1942 Sutan Takdir kuliah di Letter kundige Fakulteit Fakultas Satra, Jakarta.
Pada tahun 1945 ketika Jepang sudah menjajah Indonesia ia ditahan dan dimasukkan ke sel Tanah Abang karena ia dianggap berbahaya oleh Jepang. Di dalam penjara ada kira-kira 10 orang tahanan, dan orang-orang ini penuh borok. Pendeknya, dalam tempo 3 hari di dalam tahanan, badannya Sutan Takdir sudah penuh dengan nanah hingga melengket kebajunya. Tempat tidur papan penuh kutu busuk dan dari pecahan dinding keluar binatang. Meskipun Sutan Takdir di penjara yang ditempatinya sangatlah kumuh dan menjijikkan tapi ia masih tetap menyempatkan dirinya untuk membaca buku, salah satunya yang ia baca pada waktu di penjara adalah buku filsafat karyanya Immanuel Kant.

Pada permulaan tahun 1958 Sutan Takdir pergi ke Eropa untuk ikut serta dalam Congres for Cultural Fredoom di Paris. Selesai dari kongres ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tetapi ia malah menetap di Jerman bersama keluarganya. Waktu ia tinggal di Jerman Sutan Takdir sering pergi membaca di perpustakaan Universitas di Bonn dan Koln sambil mengikuti beberapa kuliah psikologi, filsafat dan antropologi di kedua Universitas tersebut, dan di tempat ini pula Sutan Takdir mendapat pengetahuan filsafat idealisme Jerman. Dalam tahun 1959, dengan bantuan Rockefeller Foundantion ia mendapat undangan oleh Center for Advanced Study in the Behavioral Scinences di Stanford, California. Sutan Takdir sangat berterimakasih kepada Asia Foundation, karena telah memberi waktu kepadanya setengah tahun lebih lama untuk tinggal di Stanford Amerika Serikat sehingga pada bulan Desember tahun 1960 di Stanford ini pula, Sutan Takdir dapat menyelesaikan salah satu karya bukunya yang berjudul ”Essay of a New Anthropololy Values Forces in Personality, Society and Culture”. Kemudian pada tahun 1988 buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang judulnya menjadi Antropologi Baru Nilai-nilai sebagai Integrasi dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan. Sutan Takdir juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas Nasional Jakarta tahun 1968, Guru Besar dan pengajar di Universitas Malaya Malaysia, Universitas Andalas Padang, serta Akademi Jurnalistik Jakarta. Dan Sutan Takdir meraih gelar ‘Mr’ dari Sekolah Tinggi di Jakarta tahun 1942, dan mendapat gelar kehormatan “Dr Honoris Causa” dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada tahun 1979 serta dari Universiti Sains Penang Malaysia pada tahun 1987

Karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana

SASTRA

  • Fiksi

    • 1929- Tak Putus Dirundung Malang Jakarta: Dian Rakyat (novel)
    • 1932- Dian Tak Kunjung Padam, Jakarta: Dian Rakyat (novel)
    • 1936- Layar Terkembang, Jakarta: Balai Pustaka (novel)
    • 1940- Anak Perawan di Sarang Penyamun, Jakarta: Dian Rakyat (novel)
    • 1970 & 1971- Grotta Azzura, Jakarta: Dian Rakyat (novel tiga jilid)
    • 1978- Kalah dan Menang, Jakarta: Dian Rakyat, (novel)
    • Anak Yang Bodoh, Jakarta: Pustaka Rakyat
  • Non Fiksi

    • 1941- Puisi Lama (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia Kelasik, bunga rampai,), Jakarta: Dian Rakyat
    • 1946- Puisi Baru (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia Moderen, bunga rampai), Jakarta: Dian Rakyat.
    • 1939- Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan karangan tentang puisi), Jakarta: Dian Rakyat.
    • 1977- Perjuangan Tanggungjawab dalam Kesusasteraan Indonesia (kumpulan karangan tentang Kesusasteraan), Jakarta: Pustaka Jaya.
    • 1978- Amir Hamzah sebagai Penyair dan Uraian sajak Nyanyi Sunyi, Jakarta: Dian Rakyat

SENI

  • 1980- Perempuan di Persimpangan Zaman, Jakarta: Dian Rakyat.

  • 1982- Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab.

  • 1983- Kebangkitan: Suatu Drama Mitos Tentang Bangkitnya Dunia Baru, Jakarta: Dian Rakyat,.

  • 1985- Seni dan Sastra: Ditengah – tengah pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Dian Rakyat.

KUMPULAN PUISI

  • 1935- Tebaran Mega (kumpulan sajak), Jakarta: Pustaka Rakyat.

  • 1978- Lagu Pemacu Ombak, Jakarta: Dian Rakyat, .

  • 1980- Perempuan di Persimpangan Zaman (ditarikan di Balai Seni Toyabungkah, 1980), Jakarta: Dian Rakyat.

  • 1987- Sajak-sajak dan Renungan, Jakarta: Dian Rakyat.

  • 1983- Kebangkitan: Suatu drama Mitos Tentang Bangkitnya Dunia Baru, Jakarta: Dian Rakyat.

KEBUDAYAAN

  • 1950- Soal kebudayaan Indonesia di tangah – tengah Dunia, Jakarta: Pustaka Rakyat

  • 1957- Perjuangan Automoni dan Kedudukan Adat didalamnya, Jakarta: Pustaka Rakyat.

  • 1961- Indonesian: Social and Cultural Revolution, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1988.

  • 1965- The cultural Forces in Asia and International Understanding (Co-editorship with Prof. Eliezer), Kuala Lumpur: University Press.

  • 1967- The Cultural Problems of Malaysia in the context of Southeast Asia (Co-editorship with Prof. Taniagayam And Wang Gungwu), Kuala Lumpur: The Malaysia Society of Orientalist.

  • 1975- Perkembangan Sejarah Kebudayaan di lihat dari Jurusan Nilai – nilai, Jakarta: Idaya.

  • 1983- Socio-cultural Creativity: In the Converging and Restructuring Process of the New Emerging World, Jakarta:Dian Rakyat.

  • 1987- BUMANTARA: T he Integretion of Southeast-Asia and Its Perspectives in the Future, Jakarta: Dian Rakyat.

  • 1989- The Concept of Culture and Civilization: Problems of National Identity and the Emerging World in Anthropology and Sociology, Jakarta: Dian Rakyat.

PENDIDIKAN

  • 1954- Museum Sebagai alat Pendidikan Zaman Baru, Jakarta: Pustaka Rakyat.

  • 1983- Kreativitas (sebagai contoh), Jakarta: Dian Rakyat.

FILSAFAT

  • 1945- Pembimbing ke Filsafat, Jakarta: Pustaka Rakyat & Dian Rakyat

  • 1956- Kerisis Akhlak Pemuda Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

  • 1966- Essay of a New Anthropology: Values as Integrating.

  • 1982- Kelakuan Manusia Ditengah – tengah Alam Semesta, Jakarta: Dian Rakyat

  • 1983- Dasar – dasar Kerisis Alam Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan 13 makalah symposium “Dasar - dasar Kerisis Semesta dan Tanggung Jawab Kita, Universitas Nasional Jakarta, Jakarta: Dian Rakyat.

  • 1986- Forces in Personality, Society and Culture, Kuala Lumpur: University of Malaya, edisi ke 3, 1986. Diterjemahkan: Antropology Baru: Nilai – nilai Sebagai Tenaga Integrasi dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Dian Rakyat, cetakan I, 1988.