Sutan Takdir Alisjahbana adalah tokoh Nasional terkemuka yang istimewa dalam sejarah kesustraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Sutan Takdir terlebih dahulu dikenal sebagai seorang sastrawan tapi kemudian pada tahun 1930-an ia menampilkan diri sebagai orang yang paling tegas dan kritis, suatu penampilan yang kemudian serta merta merupakan awal dari sesuatu ‘polemik kebudayaan’, dan dari inilah ia semakin dikenal oleh masyarakat sebagai budayawan yang gigih memperjuangkan kebudayaan Indonesia, meskipun kemudian melahirkan beberapa konsep dan pemikiran yang sangat kontras yang sulit diterima dan banyak yang mempertentangkan serta menolaknya, namun ia tetap kokoh dengan pendiriannya. Tidak hanya itu saja, ia dikenal juga oleh masyarakat Indonesia sebagai seorang cendikiawan terkemuka, seorang ilmuwan dan filsuf sekaligus pembaharu linguistik - tata bahasa baru Indonesia.
Masa-masa Awal
Sutan Takdir Alisjahbana atau kemudian ia biasa dikenal dengan sebutan STA. Nama ‘Sutan Takdir’ adalah nama sejak ia kecil sedangkan nama ‘Alisjahbana’ adalah diambil dari nama sukunya. Sutan Takdir lahir di Natal, Tapanuli Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908. Sutan Takdir Alisjahbana merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Inderapura Putera bungsu dari Raja Pagaruyung. Pada awalnya keluarga Sutan Takdir Alisjahbana bertempat tinggal di Minangkabau, akan tetapi kemudian pindah ke Natal dan pada akhirnya dibuang ke Bengkulu oleh pemerintah Kolonial Belanda. Karena itulah Sutan Takdir Alisjahbana pernah menganggap dirinya berasal dari Minangkabau. Ia lahir di Natal dan di besarkan di Bengkulu.
Ayah Sutan Takdir bernama Sutan Alisjahbana dengan gelar Sutan Arbi yang di Bengkulu diberi gelar Raden Alisjahbana. Ia mempunyai banyak pekerjaan diantaranya menjadi kepala sekolah di Kerkap, penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu) dan juga ahli dalam reparasi jam. Selain itu, ayah Sutan Takdir juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang andal. Sedangkan kakek Sutan Takdir atau orang tua ayahnya bernama Sutan Mohammad Zahab, seorang ulama terkemuka yang lama tinggal di Makkah dan dikenal sebagai seorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makam kakeknya tertumpuk buku-buku yang sering ia saksikan terbuang begitu saja.
Sebagai cucu dari seorang ulama besar yang terkemuka dan anak dari seorang Imam Masjid, tentu waktu kecil Sutan Takdir tidak pernah lepas dari ajara-ajaran agama Islam seperti; mengaji al-Qur’an atau belajar al-Qur’an. Pernah suatu ketika Sutan Takdir masih kecil disuruh mengaji al-Qur’an, bersama sepupunya. Dia sebenarnya pergi mengaji dari rumahnya, namun di tengah perjalanan ke tempat mengaji ia malah kemudian pergi ke tempat lain seperti mencari udang, bermain dan lain-lain, tapi ketika pulang kerumahnya ia bersama sepupunya lagi sehingga keluarganya tidak ada yang mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh Sutan Takdir. Kebiasaan-kebiasaan inilah Sutan Takdir waktu kecil hampir setiap hari ia lakukan sehingga ada yang mengatakan bahwa sampai ia dewasa Sutan Takdir Alisjahbana tidak bisa membaca al-Qur’an.
Pernah diceritakan oleh salah satu putri Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu Tamaliya Alisjahbana dalam sebuah seminar Internasional Seabad Sutan Takdir Alisjahbana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Ia menceritakan ketika masa kecil ayahnya pernah dan sering diejek oleh teman-temannya, karena Sutan Takdir terlahir dengan empat jari di tangan kirinya. Karena ejekan inilah, sehingga membuat Sutan Takdir merasa malu dan selalu menyembunyikan tangannya di kantongnya atau ditutup dengan saputangan. Hampir setiap hari teman-temannya mengejeknya. Namun dari ejekan inilah, ia kemudian merasa termotivasi untuk bersemangat dalam bekerja, dua kali lebih keras daripada anak-anak lain. Memang setiap manusia pasti mempunyai kelemahan dan kekurangan yang melekat pada dirinya, seperti halnya juga yang terjadi pada Sutan Takdir Alisjahbana, ketidak lengkapan jari tangan kirinya membuat teman-temannya mengejeknya. Namun Sutan Takdir malah tidak putus asa dan melemahkan diri, akan tetapi dari ejekan ini pula yang membuat Sutan Takdir mempunyai semangat yang menggelora dan termotivasi bahwa dirinya lebih mampu dalam melakukan sesuatu dengan baik dibandingkan dengan teman-teman yang telah mengejeknya.
Tidak hanya pada waktu itu saja semangat dari Sutan Takdir bergejolak, namun sampai ia tua pun masih bersemangat dalam berkerja, berjuang dan berkarya. Sehingga dari sikap inilah kemudian lahirlah karya-karyanya yang sangat banyak. Terdapat hampir lebih dari 30 buah karyanya yang sudah diterbitkan, mulai dari roman, novel, sajak, filsafat, kebudayaan dan sebagainya. Semangat dan kecerdasan Sutan Takdir memang sejak kecil sudah ia miliki, terbukti pada saat berumur 13 tahun ia sudah mampu mendirikan organisasi yang bernama Jong Sumateranen Bond di Muara Enim 1921, sekaligus dialah yang menjadi ketuanya. Baru kemudian pada tahun 1928, setelah menamatkan pendidikan di sekolah guru pribumi di Bengkulu, ia mengikuti ayahnya ke Palembang. Pada waktu itu ayahnya berprofesi sebagai guru dan menjabat sebagai kepala sekolah, dan ia pun mengikuti jejaknya untuk menjadi guru. Namun ia memilih menjadi guru bukan karena profesi guru menarik baginya, melainkan supaya bisa bekerja dan mendapat gaji.
Dunia Kepenulisan
Sutan Takdir sebenarnya tidak tertarik untuk menjadi guru karena ia lebih berminat dalam dunia tulis-menulis, tanpa memberitahu ayahnya ia kemudian melamar bekerja sebagai pengarang pada majalah Pandji Postaka. Dan ia pun diterima menjadi redaktur kepala. Ia merasa sangat senang karena akan memperoleh kesempatan menulis di majalah tersebut. Perjalanan hidup Sutan Takdir tidaklah berakhir di Palembang, ia kemudian merantau ke tanah Jawa untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Namun sebelum ke Jakarta Sutan Takdir terlebih dahulu menetap di Bandung dan berekolah di Hogere Kweekschool, baru kemudian setelah lulus ia pergi ke Jakarta dan kursus di Hoofdacte Cursus.
Setelah beberapa bulan di Jakarta, Sutan Takdir melihat sebuah iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dan dia diterima setelah melamar. Di dalam biro itulah Sutan Takdir kemudian bertemu dengan intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Selama ia bekerja di Balai Pustaka, Sutan Takdir tidak pernah berhenti untuk mengarang dan selama itu pula ia sering menulis untuk berbagai media seperrti Pewarta Deli dan Soera Oemoem. Kemudian tahun 1933 bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane, Sutan Takdir mendirikan majalah Pujangga Baru dan dia yang menjadi ketuanya. Atas inisiatif Sutan Takdir melalui Pujangga Baru, maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama dan pada tahun 1947 sehabis perang Sutan Takdir menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia. Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah Bahasa Indonesia, tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dalam berbentuk buku yang kemudian diberi judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ). Sementara itu, karangan-karangan Sutan Takdir yang pernah ditulis pada masa Jepang akhirnya diterbitkan oleh Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Sutan Takdir juga pernah merintis penerbitan majalah Pembangoenan. Di waktu yang sama, ia kemudian mendirikan percetakan yang bernama “Poestaka Rakjat” dan penerbit Kebangsaan Poestaka Rakjat. Yang kemudian Pada 22 Desember 1963, nama Poestaka Rakjat kemudian berubah menjadi nama “Dian Rakyat” yang bertahan hingga sekarang.