Siapakah Sosok Liem Sioe Liong?

image
Lien Sioe Liong, seorang konglomerat Orde Baru.

Seperti apakah sosok Liem Sioe Liong?

“Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang.”

Itulah filosofis bisnis Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, pemilik konglomerasi terbesar di Indonesia di akhir abad 20. Ia merambah hampir semua sektor usaha. Imperium bisnisnya merambah ke berbagai sektor. Dan beragam gelar disandangnya: Raja Bank, Raja Semen, dan Raja Akuisisi.

Tapi ia menolak kalau dikatakan menerobos semua sektor. “Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi, kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?”* katanya.

Kenyataan bicara lain. Semua bidang nyaris memang menjadi area bisnisnya - mulai dari sabun, minyak goreng, mie instan, paku, ban sepeda, pengilang karet, kerajinan, makanan, pengusahaan hutan, televisi, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian.

Liem adalah sosok yang dikenal dekat dengan Soeharto. Beberapa perusahaannya merupakan patungan dengan kerabat Soeharto. Itulah sebabnya ia banyak menuai kritikan dan komentar sinis. Tapi bagaimana pun, Liem adalah sosok pengusaha etnis Cina yang merantau dari desa Ngu Na, Fukien, Cina, untuk banting tulang mencari peruntungan di Indonesia. Ia memperoleh keberhasilannya dengan kerja keras dan penuh pengorbanan.

Liem dilahirkan tanggal 16 Juli 1916. Pada 1938, saat berusia 22 tahun ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju ke Kudus, Jawa Tengah. Ia menyusul abangnya Liem Sioe Hie yang bekerja di toko Liem Kiem Tjay, pamannya. Pada 1940 adiknya, Liem Sioe Kong, bergabung. Mereka merintis usaha di bidang perdagangan hasil bumi. Tetapi ketika memasuki zaman pendudukan Jepang, bisnisnya berantakan. Bahkan ketika Jepang hengkang pun, modal Liem ludes karena uang Jepang tidak laku. Modalnya habis. Ketika pemerintah menerbitkan uang baru, setiap orang menerima satu rupiah uang baru itu. Karena keluarga Liem ada delapan orang, jadi mereka mendapat 8 rupiah. Itulah modal awal mereka.

Liem kemudian masuk menjadi anggota Cong Siang Hwee, perkumpulan pedagang Cina, yang membantu perjuangan RI. Dari sinilah keadaan mulai membaik ketika ia dikenalkan dengan pemimpin tentara saat mendampingi Hasan Din, tokoh Muhammadiyah dari Jakarta yang merupakan ayah Fatmawati, dan juga mertua Bung Kamo. Ia dipercaya untuk memasok kebutuhan tentara. Dari sanalah ia memasuki era baru dalam perjalanan bisnisnya.

Liem mengenal Soeharto ketika ia memasok kebutuhan logistik untuk keperluan Divisi Diponegoro di Semarang, Jawa Tengah, 1950. Bisnisnya benarbenar melejit setelah Soeharto menjadi penguasa di negeri ini. Berbagai konsesi, fasilitas, dan kemudahan diperolehnya dengan alasan untuk mengembangkan perekonomian domestik.

Pada 1970-an, PT Tarumatex, perusahaan tekstilnya menerima kredit murah dan mendapat kontrak US$1,7 juta tanpa tender untuk memasok pakaian militer. CV Waringin mendapat lisensi ekspor (karet dan kopi) melebihi kuota. Menteri perdagangan kala itu, Sumitro Djojohadikusumo memberikan monopoli impor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar kepada PT Mega, milik Liem. Ketika bermitra dengan Djuhar Sutanto alias Lim Wen Chiang, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono (saudara sepupu Presiden Soeharto), berbagai bidang dikuasainya. Sebut saja PT Bogasari Flour Mils (1969), PT Indocement (1972), dan PT Indomobil (1971). Dengan menggandeng Mochtar Riady alias Lee Mo Sing - pemilik grup Lippo - ia membangun BeA. Meski Mochtar kemudian keluar, pondasi BCA cukup kukuh.

Liem kern bali diuji. Pada kerusuhan Mei 1998, tepatnya pada tanggal 14, massa menghancurkan kediamannya. Rumah tua bermodel sederhana dan berkaca antipeluru di Jalan Gunung Sahari VI No.12, Jakarta Pusat itu pun dilalap api kemarahan massa. Bahkan potret Liem Sioe Liong dan istrinya (Lie Las Nio) diarak ke jalanan dan dibakar massa. Kedekatan Liem dengan penguasa Orde Baru yang terkenal korup, merupakan penyebabnya.

Menurut kepercayaan masyarakat Cina, itu pertanda buruk. Hal itu terbukti, ketika BCA diserbu nasabah untuk menarik simpanannya. Bank terbesar di Indonesia itu pun kekeringan dana tunai, sehingga harus minta bantuan Bank Indonesia. Hanya dalam tempo serninggu, pada tanggal 28 Mei 1998, BCA jatuh ke tangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sekitar 70 perusahaannya juga menjadi rnilik pemerintah lantaran Om Liem - begitu panggilannya - tak mampu membayar kewajibannya kepada pemerintah, akibat melambungnya kurs dollar yang secara otomatis membengkakkan utangnya.

Tapi, Liem bangkit. Meski sudah tua dan sakitsakitan, mentalnya sudah teruji sejak mengembangkan bisnisnya di Hongkong, 1970-an. Lewat First Pacific Investment, Liem dan anaknya Anthony Salim mengambil perusahaan dagang milik konglomerat Belanda, Hagemeier. First Pacific ini pula yang mengakuisisi saham Liem di PT Indofood, salah satu mesin uang Grup Salim yang masih eksis di Indonesia. Kini, diyakini Liem memutar uangnya di lingkup regional dan internasional melalui berbagai perusahaannya yang didaftarkan di mancanegara.