Siapakah Sa'id bin Zaid?

Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu adalah ipar Umar bin Al Khaththab. Sebab adik Umar yang bernama Fatimah menikah dengan Sa’id. Sa’id adalah putra Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdil Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu-ay. Jadi, seperti Umar, beliau berasal dari Bani Adi dan bertemu nasabnya dengan nasab Rasulullah pada Ka’ab bin Lu-ay.

Di masa jahiliyah, keluarga Sa’id (Bani Adi) adalah kabilah yang paling sedikit jumlahnya dibanding kabilah-kabilah Quraisy yang lain. Mereka tidak mendapatkan jabatan yang penting pada masa jahiliyah, terutama yang berkenaan dengan Ka’bah dan Baitul Haram. Tapi mereka diberikan tanggungjawab sebagai delegasi dan negosiator antara Quraisy dengan siapa saya yang berselisih dan menggugat mereka dari kabilah-kabilah Arab lainnya. Suatu hal yang menunjukkan ketegaran dan ketabahan mereka.

Sa’id ber-kuniyah dengan Abul A’war, namun dari sekian banyak anaknya, tidak diketahui ada yang bernama Al-A’war. Sa’id berperawakan tinggi besar dan memiliki banyak bulu di tubuhnya, dalam hal ini ia menyerupai Umar. Beliau termasuk salah seorang sahabat Rasulullah yang masuk Islam pertama-tama. Sa’id bersama istrinya, bahkan, lebih dulu masuk Islam daripada Umar.

Nama Sa’id berarti kebagaiaan. Hal itu dibuktikan oleh sejarah yang menyimpan banyak peristiwa dan perbuatannya yang menjamin kebahagiannya di dunia dan akhirat. Ayahnya adalah Zaid bin Amru bin Nufail. Seorang laki-laki yang hidup di tengah keluarganya Bani Adi, dan di tengah kabilah besarnya yaitu Quraisy yang berda dalam keshyirikan dan penyembahan berhala serta kondisi masyarakat jahiliah yang kufur. namun ia bukan gambaran dari mereka. Secara terang-terangan ia memperlihatkan perbedaannya dengan masyarakat, menjauh dari mereka dan menghindari penyembahan tuhan-tuhan meaupun leluhur mereka. Dia menolak untuk mengundi nasib lewat anak panah yang merupakan kebiasaan kaumnya. Ayah Sa’id pernah ditawarkan untuk memeluk agama nasrani dan yahudi, tapi ia menolak dan berpegang kepada agama Ibrahim Alahissalam yang pertama.

Dalam pengawasan dan asuhan laki-laki cerdas dan seorang penganut tauhid murni inilah Sa’id bin Zaid menjalani hari-hari masa kecilnya. Ia mewerisi pikiran dan akhlak ayahnya, serta mengikuti jejak langkahnya hingga tibalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah salallahu alaihi wa salam.

Setelah hijrah ke Madinah, Sa’id mengikuti perang-perang bersama Rasulullah, kecuali Perang Badar. Sebagaimana Sa’ad bin Abil Waqqash, Sa’id dikenal sebagai sahabat Rasulullah yang mustajab ketika berdoa.

Ia merupakan sosok yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Saat perang Badr terjadi, ia sedang ditugaskan oleh Nabi dalam tugas mata-mata ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun secara fisik tidak terjun dalam medan pertempuran tersebut, oleh Nabi salallahu alaihi wa salam ia ditetapkan sebagai Ahlul Badr.

Pada masa ekspansi dan kejayaan pemerintahan Islam, di mana wilayah makin meluas dan makin banyak jabatan yang harus diisi, Sa’id memilih untuk menghindarinya meskipun ia pantas untuk memangku salah satunya. Bahkan dalam banyak pertempuran ia lebih memilih menjadi prajurit biasa. Setelah menaklukkan Damaskus, Sa’id pernah diminta oleh Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memegang jabatan sebagai gubernur di sana, namun ia menolak dan meminta agar Sa’ad memilih orang lain saja.

Sebagaimana jabatan, ia juga menghindari harta dan kemewahan dunia. Sejak masa khalifah Umar, harta kekayaan datang melimpah ruah memenuhi Baitul Mal, sehingga mau tidak mau sahabat-sahabat masa awal seperti Sa’id bin Zaid memperoleh bagian juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah lyang lebih banyak daripada bagian sahabat yang memeluk Islam setelahnya, yaitu setelah Fathu Makkah. Namun setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau uang ia segera menyedekahkannya lagi, dan tidak mengambil kecuali hanya sekedarnya saja.

Sa’id dikaruniai umur yang panjang hingga menyaksikan kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Para ulama berbeda pendapat tentang tahun wafat Sa’id bin Zaid. Ada yang mengatakan tahun 50 H. Ada yang mengatakan tahun 51 H. Ada pula yang mengatakan tahun 52 H. Allah lah yang lebih mengetahuinya.