Siapakah manusia yang dimaksud dengan sebutan Ulul albab?

Ulul albab

Ulul albab adalah sekelompok manusia pilihan yang mempunyai kekuatan spiritual, intelektual dan sosial yang tinggi. Komitmen mereka terhadap ajaran Allah SWT yakni ajaran Islam sangat tinggi. Mereka juga tidak mudah terpengaruh godaan perkembangan zaman dan hanyut dalam rayuan hawa nafsu yang melenakan.

Siapakah manusia yang dimaksud dengan sebutan Ulul albab ?

Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai Al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam Al-Qur’an. Namun, sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja. Karena itulah, para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab.

Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal.

Dalam kamus Al-Munawwir, secara etimologi, kata ulul albâb terdiri dari dua suku kata yaitu ûlu merupakan sinonim dari kata dhawu artinya yang empunya (untuk jama’ berjenis laki- laki). Albâb ialah bentuk jama’ dari lubbu yang artinya isi, inti, sari, bagian terpenting. Ia merupakan antonim “kulit”. Menurut Yusuf Qardhawi, dalam konteks ini al-Qur’ân menunjukkan bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik adalah kulit, sedangkan akal adalah isi. Sedangkan secara terminologi, dalam Al-Qur’ân Al-Karim dan Terjemahan, Zaini Dahlan, ulul albâb adalah orang yang berakal cerdik, dapat mengambil pelajaran, berpikir cerdas, orang yang menggunakan akal, orang yang berpikir tajam.

Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT Di antara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan,dan pengetahuan, di samping pengetahuan yang mereka peroleh secara empiris. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 269 berikut ini :

“Allah menganugerahkan Al -Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al- Quran dan As -Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Disebutkan pula dalam Al-Quran Surat Yusuf [12] ayat 111 bahwa Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al- Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

Ulul albab mempelajari sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 7 dijelaskan sebagai berikut :

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang- orang yang berakal”.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang ulul-albab, sekedar untuk membedakan, perlu ditinjau terlebih dahulu beberapa istilah lain dalam bahasa Indonesia yang hampir semakna yaitu sarjana, ilmuwan, intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi atau universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan ialah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin, dan menjadi tukang-tukang profesional.

Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga bukan sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Memang, istilah ini biasa diberi bermacam-macam arti.

Begitu beragamnya definisi intelektual, sehingga Raymond Aron sepenuhnya melepaskan istilah itu. Tetapi James Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership, berkata bahwa intelektual ialah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.

“Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritisi; orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis; orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual,” kata Burns.

Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan- gagasan analitis dan normatifnya. Sedang menurut Edward A. Shils, dalam Internasional Encyclopaedia of the Social Science, tugas intelektual ialah “menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat”.

Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga menguasai sejarah Islam, dia adalah seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus yang dikenal dengan istilah ulul- albab. Al-Quran dan Terjemahannya Departeman Agama Republik Indonesia mengartikan ulul-albab sebagai “orang- orang yang berakal” tidak terlalu tepat. Terjemahan Inggris men of understanding men of wisdom, mungkin lebih tepat.

Sosok ulul albâb merupakan sosok yang ideal yang digambarkan oleh Allah melalui beberapa ayat dan juga mendapat pujian dari Allah SWT. Al-Qur’ân memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum ulul albâb. Bentuk penghargaan tersebut, Allah SWT menyebut ulul albâb beberapa kali dalam

Al-Qur’ân dan diulang pada periode Makkah dan Madinah. Sembilan diantaranya diturunkan pada periode Makkah yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah dan tujuh lainnya diturunkan pada periode Madinah yang sering disebut dengan ayat-ayat Madaniyah. Periodisasi dari turunnya ayat-ayat yang berkaitan dengan ulul albâb memiliki makna tersendiri dan bentuk perhatian Allah SWT yang lebih atas kepribadian ulul albâb.

Ciri-Ciri Ulul Albab

Seperti apakah ciri-ciri orang yang termasuk dalam kelompok ulul albab ini? Ciri-ciri ulul albab menyangkut beberapa aspek kehidupan, baik ritual, sosial, emosional maupun intelektual. Ciri-ciri tersebut antara lain :

  1. Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan.

    Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (Al- Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 190 :

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.

    Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang menunjukkan tanda- tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Illahy, ulul albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya. Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi. Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat Allah semakin bertambah (Jalaluddin Rahmad, 1988, 213).

    Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim [14] ayat 7 berikut ini :

    Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

    Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi. Sebagaimana disebut dalam Al- Qur’an Surat Ar-Rahman [55] ayat 33 berikut ini :

    “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.

  2. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.

    Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. Ia tidak hanya asyik dalam acara ritual atau tenggelam dalam perpustakaan; sebaliknya tampil di hadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidak beresan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, memberikan peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.

    Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] ayat 100 menyebutkan :

    Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”.

  3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang- nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain.

    Ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu mengecek kebenarannya. Dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 18 Allah SWT berfirman :

    “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang- orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

  4. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya; memperingatkan mereka kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan.

    Dia tidak duduk berpangku tangan di labolatorium; dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan; dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidak beresan di tengah-tengah masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim [14] ayat 52 sebagai berikut :

    “(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan- Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”.

    Allah SWT juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar- Ra’du [13] ayat 19-22 berikut ini :

    “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk, dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang- terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”.

  5. Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu.

    Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan. Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat persiapan untuk menyambut kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Hasyr [59] ayat 18 :

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

  6. Rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk di hadapan Allah SWT.

    Ulul Albab senantiasa “membakar” singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi. Ulul Albab sangat dekat dengan Tuhannya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT Surat Az-Zumar [39] ayat 9 berikut ini :

    “(apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu- waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

  7. Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata.

    Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan nafsu angkara murkanya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ [17] ayat 36 :

    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

  8. Mampu memahami substansi dari suatu permasalahan secara mendalam.

    Allah SWT berfirman dalam A-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 179 sebagai berikut :

    “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.

    Secara substansi, ayat ini menegaskan melalui ketetapan hukum qishash terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi manusia. Karena bagaimanapun juga ketika seseorang mengetahui bahwa hukuman bagi pembunuh akan dibunuh, maka mereka akan mempertimbangkan ketika akan membunuh. Ulul albâb dalam konteks ini merupakan sosok kepribadian yang mampu memahami substansi dari suatu permasalahan. Mereka mampu melihat sisi positif dari perintah pelaksanaan hukuman qishash. Albâb menurut Al-Harali adalah sisi terdalam akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat diindera, mereka juga mampu menyaksikan Rabb-nya melalui ayat-ayat-Nya.

  9. Mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa terdahulu.

    Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Yusuf [12] ayat 111 berikut ini :

    “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

    Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi melihat pada kisah Nabi Yusuf AS tersebut merupakan salah satu kisah penting bagi mereka yang berakal dan berpikiran tajam yaitu ulul albâb. Karena itulah kisah ini disebut sebagai qashasha al-khabara yang berarti menyampaikan berita dalam bentuk yang sebenarnya. Kata ini diambil dari perkataan qashasha al-atsara wa iqtashashahu yakni menunjukkan kisah ini menuturkan cerita secara lengkap dan benar-benar mengetahui.

  10. Memiliki kejernihan pikiran dan kelembutan hati untuk bertaqwa kepada Allah SWT

    Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq [65] ayat 10 :

    “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu”.

    Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini berfungsi sebagai penjelas atau tempat bagi ulul albâb. Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa keilmuan yang menghiasi jiwa mereka dikarenakan kejernihan pikiran mereka. Sedangkan menurut Az-Zamarkasyi dalam tafsirnya Al-kasafu ‘an Haqâiqi Tanzil wa’uyuni fi wujuhi ta’wil seakan-akan Allah menyiapkan siksa bagi mereka yang ingkar dan tidak beriman. Ulul albâb yaitu orang-orang yang beriman yang memiliki kelembutan hati untuk bertaqwa kepada Allah dengan menghidari segala hukuman-Nya.

  11. Mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.

    Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah [2] ayat 269 berikut ini :

    “Allah menganugerahkan al- hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As- Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

    Pada ayat ini dijelaskan oleh Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Dhilalil Qur’an bahwa orang yang berhak mengambil manfaat dari hikmah adalah kaum ulul albâb yaitu mereka yang meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan memberikan kepada masing-masing yang berhak. Maka bagi mereka telah mendapatkan kemuliaan dari Allah dari sisi ilmu pengetahuan.

Sumber : Azizah Herawati, Kontekstualisasi konsep Ulul albab di era sekarang, Penyuluh agama ahli muda magelang

Dalam bahasa Arab Uulul Albaab berasal dari dua kata, yakni uulu dan albaab. Dari kata ulu ini tersirat makna bahwa tidak semua orang memiliki. Dalam Al-Quran disebutkan juga orang-orang yang memiliki beberapa hal seperti kekuatan atau Ulu Al-Ba’s, sebagaimana firman Allah Swt:

“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana” (Qs.al-Isra’ : 5).

Atau yang memiliki kekayaan (Ulu Al-Fadhl), sebagaimana firman Allah Swt:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. al-Nur : 22)

Begitu juga kata Ulu Al-Amr yang artinya “(orang) memiliki atau memegang urusan”, .

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. An-Nisa’: 59)

Kata lain yang relevan dengan pembahasan kita ini adalah Ulu Al-Ilm, artinya orang yang memiliki ilmu atau memiliki ilmu pengetahuan, firman Allah Swt yang berbunyi:

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al-Imran : 18).

Dari ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang disebut “memiliki sesuatu itu” adalah mereka yang memiliki kelebihan atau keunggulan. Dalam sosiologi dikenal pengertian orang-orang yang memiliki kelebihan atau keunggulan (nation of superiority) yang disebut dengan elite (elit).

Kata albab, berasal dari kata lub, yang membentuk kata al-lubb yang artinya “otak” atau pikiran, isi tiap-tiap sesuatu, akal, cerdik, hati, intellect. Kata albab adalah bentuk jamak dari lubb.
Menurut Ma’luf, kata lubb adalah “yang murni” dan yang pilihan dari sesuatu. Lubb sering dipakai pada apa-apa yang dimakan di dalamnya dan dibuang kulitnya.

Dari term lubb, “isi” merupakan antonim dari “kulit”. Di sini Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia terdiri dari dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik adalah kulit sedangkan akal adalah isi.

Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa lubb secara bahasa bermakna bagian yang terbaik atau utama dari segala sesuatu, akal yang jernih dan bermakna pula qalbu. Lubb adalah tempat cahaya tauhid, cahaya yang paling sempurna dan kekuasaan yang terbesar. Lubb adalah akal yang sangat jernih serta mendapatkan penyeimbangan dan pembentukan dari cahaya hidayah Allah Swt.

Begitu pula lafazh albab dari lubb ini terdapat pada hadits-hadits an-nabawi seperti yang dikemukakan oleh Wensink dari kitab Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Hadits An-Nabawi, sebanyak 15 kali. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada bab haidh yaitu : Abu Sa’id Al-Khudri bercerita katanya:

“Pada hari raya Idhul Adha atau hari raya Idhul Fitri Rasulullah Saw keluar rumah pergi ke tempat shalat. Beliau lalu ketempat wanita shalat dan disitu beliau bersabda: “hai kaum wanita ! bersedekahlah kalian semua, karena saya melihat, kaum wanitalah yang banyak di antara penduduk neraka”.

Mereka bertanya: sebab apa ya Rasulallah?

Jawab Rasulallah Saw:

“karena kamu sekalian banyak yang mencerca orang dan ingkar kepada suami. Saya tidak melihat diantara orang-orang yang kurang akal dan agamanya, yang lebih merusakkan hati laki-laki yang cermat, selain dari pada kamu sekalian” (Bukhari J.I : 205).

Arti lafazh lubb dalam hadits di atas yaitu orang-orang yang berakal. Bahwa orang-orang yang mempunyai lubb adalah mereka yang berfikir dengan akalnya sehingga tidak mencerca orang dan taat kepada suami sebagai kewajibannya.

Bila kata ulu disatukan dengan kata albab mempunyai arti: yang memiliki sesuatu yang murni, akal yang bersih dari cela, atau sesuatu yang cemerlang dari akal dan qalbu. Uulul Albaab, suatu ungkapan Al- Quran tentang kaum intelektual beriman, berpandangan jauh kedepan dan bertanggung jawab, orang bijak (hikmah) yang mempunyai cakrawala pemikiran yang dalam.

Uulul Albaab (cendekiawan beriman) bukan saja mereka yang berpengetahuan tapi juga mempunyai kebijakan dan kearifan dalam membaca fenomena masyarakat dan fenomena alam.

Yusuf Qardhawi mengutip dari tafsir Nuzhmudh Dhurar karya imam Al-Baqa’i berkata: “uulul albaab yaitu akal-akal yang bersih, serta pemahaman yang cemerlang yang terlepas dari semua ikatan fisik sehingga mampu menangkap ketinggian takwa dan ia pun menjaga ketakwaan itu”.

Karakteristik Uulul Albaab dalam Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran

Jika dicari dengan indeks Al-Quran, ada 16 ayat yang menggunakan kata Uulul Albaab. Tidak ada satu ayat pun yang secara lugas memberi definisi tentang Uulul Albaab. Tapi, dari apa yang disampaikan Al-Quran kita bisa mengidentifikasi ciri-ciri yang melekat pada sosok Uulul Albaab.

Dalam penjelasan tafsir Fi Zhilaali Al-Quran, Uulul Albaab itu tidak hanya yang berpikir tentang alam fisik, botani, dan sejarah. Merekapun ternyata mempunyai ciri-ciri yang berkaitan tidak hanya dengan aktivitas pikirnya, melainkan juga dengan amal konkretnya. Kata Uulul Albaab dalam surat Ar-Raad, ternyata ada keterangannya pada ayat 19-22. Secara ringkas, Uulul Albaab adalah orang dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Orang Yang Mempunyai Pengetahuan atau Orang Yang Tahu.

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” QS. Ar- Raad : 19

Menurut Sayyid Qutb (J.VII : 47) Lawan atau kebalikan dari orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan (wahyu) dari Tuhanmu itu benar bukanlah orang yang tidak mengetahui hal ini. Tetapi, lawan atau kebalikannya ialah orang yang buta. Namun kebutaannya ini adalah kebutaan mata hati, tumpulnya penalaran, tertutupnya kalbu, redupnya sinar makrifah di dalam ruh, dan terpisahnya dari sumber cahaya, sehingga…… “ Hanyalah orang-orang yang berakallah saja yang dapat mengambil pelajaran”.

Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah. Seperti disebutkan dalam Al-Quran:

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)

Termasuk dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu ialah kesenangannya mentafakuri ciptaan Allah di langit dan di bumi. Allah menyebutkan tanda Uulul Albaab ini sebagai berikut:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Qs. Al Imron : 190-191).

Jadi dalam karakter pada ayat di atas adalah mereka orang yang memiliki akal dan hati yang mengerti, mengingat kebenaran lantas mengambil pelajaran, dan menyadari petunjuk-petunjuknya lantas merenungkannya.

2. Orang Yang Memenuhi Perjanjian Dengan Allah Swt dan Tidak Akan Ingkar.

Dari Janji Tersebut (yaitu beriman, berbuat baik dan menjauhi yang keji dan mungkar).
Dijelaskan dalam firman Allah Swt. :

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian Quran surah ar-Raad : 19-20

Janji Allah Swt disini mutlak, meliputi semua macam perjanjian; janji terbesar yang menjadi pokok pangkal semua perjanjian ialah janji iman. Pakta terbesar yang menjadi tempat bertumpunya semua pakta (perjanjian) ialah perjanjian untuk setia menunaikan segala konsekuensi iman ini. Dari perjanjian ketuhanan ini dilanjutkanlah dengan perjanjian kepada sesama musia, baik terhadap rasul maupun terhadap orang lain, baik yang masih ada hubungan kekerabatan maupun tidak, perseorangan maupun kolektif. Maka, orang yang memelihara perjanjian yang pertama sudah tentu akan memelihara perjanjian-perjanjian lainnya, karena memelihara itu merupakan suatu kewajiban.

Dari ayat diatas, Jalaluddin Rakhmat mengutip pendapat Muhammad Hijazi pada at-tafsir al-wadhih menyebutkan perjanjian ini disebut mitsaq. Ia mendefinisikannya sebagai “Apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan Tuhannya, antara mereka dengan diri mereka sendiri, dan antara mereka dengan manusia yang lain”.

Seorang intelektual harus memilih komitmennya, kaitannya pada nilai-nilai seorang intelektual muslim ialah ia memilih untuk komitmen dengan nilai-nilai Islam. Memenuhi mitsaq berarti tetap setia pada komitmen yang dipilih.

3. Yang Menyambung Apa Yang Di Perintahkan Oleh Allah Swt Untuk Disambung, (misalnya ikatan cinta kasih).

Dalam Quran surah ar-Raad 21 :

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”

Menyambungkan apa yang diperintahkan Allah Swt, meliputi segala hal, dan bukan hanya silaturrahmi. Termasuk didalamnya “menggabungkan iman dan amal cinta kepada Allah Swt dengan cinta kepada manusia”. Demikianlah sifat-sifat mereka secara garis besar. apa saja yang diperintahkan Allah Swt supaya disambung, mereka sambung, yaitu ketaatan yang paripurna, istiqamah yang berkesinambungan, dan berjalan di atas sunnah sesuai dengan aturan-Nya dengan tidak menyimpang dan tidak berpaling. Yang dimaksud ialah sikap yang mutlak yang tidak berbelok-belok, ketaatan mutlak yang tidak berpaling, dan hubungan mutlak yang tidak putus-putus. (Sayyid Qutb)

4. Takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena takut kepada hasil perhitungan yang buruk.

Tanda Uulul Albaab yang ini ada pada surat Ar-Raad: 21. seperti yang tertulis di atas. Gaya bahasa ayat ini menyinarkan ketaatan yang sempurna itu kedalam perasaan dan hati yang bersangkutan sebagaimana dilukiskan, “Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”. Yaitu takut kepada Allah dan takut kepada siksaan yang buruk dan menyedihkan pada hari pertemun yang menakutkan. Mereka itulah Uulul Albaab yang memikirkan hisab (perhitungan) sebelum datangnya yaumul hisab.

Merasa takut hanya kepada Allah seperti tersirat dalam QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10.

Dalam Quran surah al-Baqarah 197 :

“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.

Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas bahwa: Takutlah terhadap hukuman, siksaan dan azab-Ku yaitu bagi orang yang menyalahi, tidak melaksanakan perintah-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai pemikiran dan pemahaman. (as-Shobuni : 179) Perbekalan yang biasa dikenal orang adalah makanan dan minuman. Kemudian mengapa dalam ayat ini dikatakan bahwa perbekalan adalah taqwa, dan itu adalah sebaik- baik bekal? Itulah yang dipikirkan Uulul Albaab kaum yang dipanggil untuk bertaqwa.

Hasbi As-Shidieqy menguraikan ayat diatas yaitu “berikhlaslah kepada-Ku wahai orang yang berakal, dengan menunaikan segala rupa fardhu yang aku wajibkan dan menjauhi segala yang Aku haramkan, supaya kamu terlepas dari apa yang kamu takuti yaitu siksa neraka dan azab-Ku. Supaya kamu memperoleh apa yang kamu cari, yaitu keridhaan- Ku dan rahmat-Ku.” (Hasbi as-Shidieqy)

Orang-orang yang berakal dan mau berfikir (Uulul Albaab) diperintahkan untuk berikhlas kepada Allah Swt melakukan kewajiban-kewajiban dan menjauhi apa yang diharamkan kepada mereka, dengan demikian mereka akan selamat dari kemurkaan dan siksaan Allah Swt yang pedih. Mereka akan selamat memperoleh apa-apa yang dicita-citakan selama ini, yaitu: kebahagiaan mendapat keridhaan dan rahmat Allah Swt.

Allah Swt juga berfirman:dalam surah at-Thalaq 10-11 :

“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang- orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah menurunkan peringatan kepadamu, (dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.”

Ayat ini menghimbau siapa yang sempurna dan sehat akal pikirannya. Hendaklah berhati-hati bertakwa kepada Allah Swt, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. orang yang bertaqwa kepada Allah Swt jiwanya akan terang sehingga mengerti dan menyadari tentang bahaya yang haram, memahami keuntungan yang halal, haq dan baik.
Karena itu orang-orang yang berakal dan beriman harus bertakwa kepada Allah Swt.

Karena-Nya telah lama menurunkan peringatan yaitu Al-Quran yang memperingatkan segala sesuatu untuk menjadi pegangan hidup dengan mengamalkan serta mematuhi isinya. Dalam Munasabah ayat berikutnya Allah Swt menerangkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul untuk membaca dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadanya, yang didalamnya terdapat bermacam-macam persoalan dan hukum. Ayat-ayatnya sangat jelas dan mudah dipahami bagi orang yang mau memikirkannya dan menggunakanya, agar dapat petunjuk dan keluar dari kegelapan dan menuju cahaya yang terang benderang.

Redaksi ini menurut Al-Maraghi (ditujukan kepada ”Uulul Albaab" dimaksudkan untuk menjelaskan kepada mereka nilai tuntutan dan petunjuk yang diturunkan kepada mereka. Hal ini terwujud dalam diri Rasulullah Saw yang menjadi bentuk perwujudan keimanan yang hidup dalam sunnah dan sirahnya, dan ia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya” Dalam ayat ini Allah Swt menerangkan juga bahwa orang yang senantiasa memperhatikan keingkaran dan pembangkangan mereka untuk mengikuti ajaran-ajaran para rasul yang berasal dari Allah Swt. Bagi mereka itu telah disediakan azab yang keras di kemudian hari, oleh karena itu orang-orang yang berakal dan beriman harus bertakwa kepada-Nya, karena Allah Swt telah menurunkan peringatan yaitu Al-Quran yang memperingatkan segala sesuatunya untuk menjadi pegangan dengan mengamalkan serta mematuhi isinya.

Keempat karakter Uulul Albaab yang selanjutnya ada di dalam firman Allah Swt surah ar-Raad : 22 : “Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”

5. Yang Sabar Karena Ingin Mendapat Ridha Allah Swt.

Sabar itu bermacam-macam. Sabar memiliki konsekuensi- konsekuensi. Yaitu sabar atas semua beban perjanjian-perjanjian di atas (seperti beramal, berjihad, berdakwah, berijtihad dan sebagainya), sabar dalam menghadapi kenikmatan dan kesusahan serta kesulitan (karena sedikit sekali orang yang dapat bersabar didalam menghadapi kenikmatan sehingga tidak sombong dan tidak kufur), dan sabar dalam menghadapi kebodohan dan kejahilan manusia yang sering menyesakkan hati. (Sayyid Qutb)

Mereka bersabar atas nikmat dan cobaan-Nya, serta bersabar dengan menerima qadha dan qadar-Nya, menyerah kepada kehendak- Nya, dan menerima segalanya dengan senang hati. Dan semuanya dilakukannya semata hanya untuk mencari ridha Allah Swt. (Sayyid Qutb)

6. Menegakkan Shalat.

Mendirikan shalat ini juga termasuk memenuhi perjanjian dengan Allah Swt. Dan sekaligus lambang penghadapan diri secara tulus dan sempurna kepada Allah Swt. Juga merupakan hubungan yang jelas antara hamba dengan Tuhan, yang tulus dan suci. Sehingga tidak ada satupun gerakan dan ucapan selain Allah Swt. (Sayyid Qutb)

7. Membelanjakan Rizki yang Diperoleh Untuk Kemanfaatan Orang Lain, Baik Secara Terbuka Maupun Sembunyi-Sembunyi.

Maksudnya ialah menginfakkan hartanya dengan baik seperti zakat, shadaqah, dan lain-lain. Infak (zakat) ini juga untuk membersihkan jiwa orang yang zakat dari penyakit bakhil, dan membersihkan hati orang yang menerima dari penyakit hasad atau iri hati. Dan infak ini juga menjadikan kehidupan masyarakat muslim sebagai masyarakat yang suka tolong menolong dan memiliki kepedulian sosial yang mulia atas dasar mencari keridhaan Allah Swt. (Sayyid Qutb)

Infak ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang- terangan. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga kehormatan dan harga diri. Karena kalau dilakukan secara terang- terangan dapat menyinggung perasaan (orang yang menerima). Akan tetapi, ada kalanya perlu dilakukan secara terang-terangan agar perbuatan itu dapat diteladani atau di ikuti oleh yang lain, sebagai bukti pelaksanaan syariat, dan sebagai bukti kepatuhan terhadap aturan yang berlaku. Masing-masing ada tempatnya dalam kehidupan.

8. Menolak Kejahatan dengan Kebaikan.

Maksudnya, mereka membalas kejahatan dengan kebaikan dalam pergaulan sehari-hari, bukan dalam urusan agama. Karena membalas kejelekan dengan kebaikan itu akan melemahkan keburukan jiwa yang bersangkutan, mengarahkanya kepada kebaikan, memadamkan api permusuhan, dan dapat menolak gangguan setan. Dengan demikian, kejelekan dan keburukan itu akan tertolak. Tetapi, kalau dibalas dengan kebaikan justru akan menambah keberaniannya berbuat jahat, maka tidak ada tempat untuk membalasnya dengan kebaikan, agar kejahatan dan keburukan tidak semakin merajalela dan semakin menjadi-jadi. Karena pengarahan Qur’aniah dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, dengan dimusyawarahkan oleh para Uulul Albaab, lantas diambil tindakan yang lebih baik dan lebih cepat. Mereka dengan kedudukan yang tinggi itu mendapat tempat kesudahan yang baik, yaitu surga ‘and sebagai tempat tinggal dan tempat menetap.

“(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun 'alaikum bima shabartum (artinya: keselamatan atasmu berkat kesabaranmu )”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Qs. Ar-Raad: 23-24.)

Keadaan mereka layaknya sebuah festival atau reuni dimana mereka saling bertemu, mengucapkan salam, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan dan menggembirakan serta penuh dengan penghormatan. (Sayyid Qutb)

Sedangkan dipihak lain adalah orang- orang yang tidak memiliki akal pikiran yang sehat dan tidak mau mengingat Allah Swt serta tidak memiliki mata hati untuk memandang. Maka, keadaan mereka bertentangan dengan Uulul Albaab.

“Orang- orang yang merusak janji Allah Swt setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah Swt perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). Allah Swt meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Qs. Ar-Raad: 25-26).

9. Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain.

Uulul albaab memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18) ;

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah Swt petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Itulah sebagian dari sifat mereka. Mereka mendengar perkataan yang telah mereka dengar. Lalu qalbu mereka memungut bagian tuturan yang baik dan membuang sisanya. Sesungguhnya Allah Swt mengetahui kebaikan yang ada pada jiwa mereka. Maka, Dia menunjukkan mereka untuk menyimak dan merespon perkataan yang baik. Petunjuk itu adalah petunjuk Allah Swt. (Sayyid Qutb)

Allah Swt memberikan sifat kepada mereka tiga hal: bertauhid kepada Allah Swt atau menjauhi thaghut, kembali kepada Allah Swt, dan mengikuti perkataan yang paling benar (wahyu). (Qardhawi) Yaitu bahwa perkataan-perkataan yang mereka dengarkan, mereka memperhatikan baik-baik, pasang telinga menyalakan mata dan sambut dengan penuh kesadaran, lalu mengikuti mana yang sebaiknya.

Hamka mengutip satu tafsir dari Ibnu Abbas: “didengarkannya ada kata-kata yang baik dan ada yang tidak baik untuk di dengar. Maka yang dipegangnya ialah yang baik, sedang yang tidak baik didengar itu tidak dipercakapkannya” (Hamka)

Begitu pula Hasbi As-Shidieqy mengutip ayat di atas dengan meguraikan, Ya Muhammad, gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menjauhi diri dari penyembah selain Allah Swt dan kembali kepada Tuhan, serta mau mendengarkan perkataan yang benar, lalu mengikuti mana yang lebih utama untuk diterima dan mana yang dapat menunjuk kepada kebenaran, bahwa mereka akan diberikan oleh Allah Swt nikmat yang kekal di dalam surga (jannatun na’im). Merekalah orang-orang yang ditaufiqkan oleh Allah Swt kepada kebenaran, bukan orang-orang yang berpaling dari kebenaran dan menyembah berhala. Orang itulah yang mempunyai akal yang sejahtera dan fitrah yang sehat yang tidak dapat ditundukkan oleh hawa nafsu. Karena itu senantiasa mereka memilih mana yang lebih baik untuk agama dan dunianya. (Hasbi as- Shidiqiy)

Setelah itu, Allah Swt memuji mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang kritis dalam beragama, mereka dapat menbedakan antara yang baik dan yang lebih baik, dan antara utama dengan yang lebih utama. Orang-orang yang mendengarkan perkataan yang baik dan mengerjakan yang baik dari perkataan itu adalah orang yang mendapat taufiq dari Allah Swt dan selalu menggunakan akal pikirannya.(al- Maraghi J.23 : 287) Hamka mengutip dari tafsir Al-Kasyaaf yaitu Zamahsyahriy menguraikan tafsir ayat ini: maksud ayat ini adalah mendidik mereka agar mereka dalam hal agama hendaklah kritis, dapat memilih diantara yang baik dengan yang lebih baik. Yang utama dengan yang sangat utama, termasuk didalamnya dalam memilih suatu pendirian mazhab, diantara dua yang bagus mana yang lebih kokoh, mana yang lebih kuat ketika diuji, mana yang lebih jelas dalil dan alasannya, dan sekali-sekali jangan jadi orang yang hanya taqlid (menurut saja dengan tidak memakai pertimbangan akal sendiri). (Hamka )

Uulul albaab itulah yang termasuk golongan ahli fikir dan akal yang sempurna yaitu mereka yang dapat memahami pembicaraan orang yang merupakan petunjuk dari Allah Swt dan Rasul-Nya.

Sumber : Sri Aliyah, Ulul albab : Dalam tafsir fi zhilali al-Quran, IAIN Raden Fatah Palembang

Menurut Jalaluddin Rahmat (1986), mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yaitu:

  1. Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah ;

    Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. Ali Imran: 190)

  2. Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut ;

    Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah:100)

  3. Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain ;

yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Al-Zumar: 18)

  1. Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat ;

    (Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS. Ibrahim: 52)

    Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
    (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
    dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
    Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (al-Ra’d: 19-22)

  2. Merasa takut hanya kepada Allah

    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah: 197)

    Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, (al-Thalaq: 10)

Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial.

Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.

Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegiatan berdzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental.

Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190.

Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.

Mencermati berbagai pandangan tentang ulul albab sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa karakteristik saintis ulul albab mencerminkan integrasi antara kekuatan wahyu dan kekuatan akal. Saintis ulul albab adalah insan yang dalam dirinya terbina di atas dasar keimanan yang kukuh dan intelektualitas yang tinggi. Integrasi ini mampu melahirkan gagasan-gagasan baru yang kreatif, dinamis dan inovatif, untuk dapat diterjemahkan dalam karya praksis yang positif (amal shaleh). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah misalnya dalam QS. Ali Imran: 190-191.

Ibnu Katsir (1999) mengomentari dua ayat diatas dan menyatakan bahwa komunitas ulul albab adalah komunitas orang yang memiliki kemampuan pemikiran dan intelektualitas yang bersih dan sempurna, sehingga mampu memahami hakikat sesuatu secara benar. Untuk mencapai komunitas strata tersebut dilakukan dengan menggunakan dzikir dan tafakkur, melalui pengamatan, analisis dan melakukan perenungan secara mendalam ketika menyingkap rahasia alam. Predikat ulul albab hanya dicapai oleh orang-orang yang mampu berfikir tentang diri, fenomena alam, kejadian dan kehidupan. Pembentukan insan ulul albab mampu menghadirkan fenomena kehidupan Islam yang kukuh, yang mengintegrasikan unsur ketuhanan (wahyu) dan nilai-nilai rasionalitas inilah yang pernah memposisikan Islam sebagai ikon supremasi peradaban dunia selama beratus- ratus tahun.

Mengomentari berbagai keragaman definisi di atas, Khudhori Soleh dkk. (2008) merangkum makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif. Dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator Berikut;

  1. Memiliki ketajaman analisis;
  2. Memliki kepekaan spiritual;
  3. Optimisme dalam menghadapi hidup;
  4. Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani; individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat;
  5. Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
  6. Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
  7. Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
  8. Berkepribadian kokoh (Khudhori Sholeh dkk, 2008:57)

Sebagai manusia terbaik, ia selalu melakukan kegiatan dan pelayanan terbaik kepada sesama, “khair an-nâs anfa`uhum li an-nâs". Saintis ulul albab dicirikan sebagai seseorang yang berilmu pengetahuan yang luas; mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial secara tepat; Memiliki otak yang cerdas; berhati lembut dan; bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh. Dengan ciri tersebut, saintis ulul albab memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.

Kedudukan Uulul AlBaab Menurut Sayyid Qutb

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Al-Imran: 190-191)

Asbabun nuzul ayat ini diketahui bahwa dalam riwayat dikemukakan bahwa “Orang Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk bertanya: “mukjizat apa yang dibawa Musa kepada kalian?”. Mereka menjawab: tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya. Kemudian mereka bertanya kepada kaum Nashara: mukjizat apa yang dibawa Isa kepada kalian?. Mereka menjawab: “ia dapat menyembuhkan orang buta sejak lahir hingga dapat melihat, menyembuhkan orang penyakit kusta dan menghidupkan orang mati”. Kemudian menghadap Nabi Saw dan berkata: “Hai Muhammad, coba berdo’alah engkau kepada Tuhanmu agar gunung Shafah ini dijadikan emas”.

Lalu Rasulullah Saw berdo’a, maka turunlah ayat tersebut di atas (surat Al-Imran ayat 190) sebagai petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang yang menggunakan akalnya” (diriwayatkan oleh At-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas) (Nurchalis 1997)

“Maksudnya secara filosofi ayat ini memberikan pengertian agar manusia dengan akalnya dapat menggali dan memikirkan hal-hal yang tersurat atau tersirat dalam peristiwa alam semesta”. ( Bayaruddin Hamdan 1986)

Kata intelektual, yang artinya sebanding dengan kata uulul albaab, adalah orang yang memiliki dan menggunakan daya intelek (pikir)-nya untuk bekerja atau melakukan kegiatannya, biasanya orang yang berpendidikan akademis. Secara harfiah intelektual adalah orang yang memiliki intelek yang kuat atau intelegensi yang tinggi. intelegensi adalah kemampuan kognitif atau kemampuan memahami yang dimiliki seseorang untuk berpikir dan bertindak rasional atau berdasar nalar.

Intelektual itu adalah julukan terhadap seseorang atau kelompok tertentu sebagai kehormatan, karena jasa dan peranan dalam memajukan kehidupan manusia.

  • Pada tingkat pertama adalah orang yang mempergunakan kekuatan intelegensinya untuk perubahan sosial.

  • Kedua, kerena sikap dan perbuatannya untuk mencari kebenaran dan keadilan yang universal.

  • Ketiga, karena keberaniannya untuk membela kebenaran.

Karena itu di sini ada tiga unsur yang membentuk kecendekiawanan, yakni pengetahuan, orientasi, dan keberanian yang ada pada seseorang.

Uulul albaab dalam kerangka pembicaraan tentang ayat-ayat Allah Swt pada alam semesta yang kasat mata ini. Di dalamnya terdapat objek untuk dijadikan kajian berfikir dan merenung, kemudian dijelaskan pula bahwa alam semesta itu tidak diciptakan sia-sia, namun diciptakan karena hikmah yang dapat ditangkap oleh kaum uulul albaab.

Uulul albaab adalah orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah darinya, menggambarkan keagungan Allah Swt, dan mau mengingat hikmah utama akalnya. Di samping keagungan karunia-Nya dalam segala hal sikap dan perbuatan. Sehingga mereka bisa berdiri, duduk, berjalan, dan berbaring dan yang lainnya.

Mereka tidak melalaikan Allah Swt dalam sebagian besar waktunya. Mereka tenang dengan mengingat Allah Swt dan tenggelam dalam kesibukan mengoreksi diri secara sadar bahwa Allah Swt selalu mengawasi mereka.

Jalaluddin Rakhmat mengutip pendapat Abdus Salam seorang muslim pemenang nobel di dalam teori unifikasi gaya yang disusunnya, berkata:

“Al-Quran mengajarkan kepada kita dua hal: tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah Swt di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang sekarang disebut sebagai science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah Swt dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu makin bertambah; dalam istilah modern, tasyakur disebut teknologi. Uulul albaab merenungkan ciptaan Allah Swt di langit dan bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa, sehingga karunia Allah Swt ini dilipat gandakan nikmat-Nya."

Munasabah ayat menerangkan bahwa uulul albaab itu selalu dihubungkan dengan aktivitas dzikir yakni berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Pada tingkat yang lebih tinggi itu, pemikir bukan hanya melihat apa adanya, melainkan mampu pula menarik hikmahnya.

Jadi menurut (Qs. Al-Imran: 190-191) dan ayat-ayat lainnya, uulul albaab adalah cendekiawan muslim yaitu mereka kelompok intelektual beriman yang mampu menyatukan kekuatan dzikir dan fikir (mengingat dan penalaran), disamping punya kebijakan (hikmah) dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah dunia dan kemanusiaan.

Karena ketika melihat mengenai cendekiawan muslim timbul konsep tentang pikir dan dzikir. Pikir itu mengarah kepada manusia, alam dan diri sendiri, sedangkan dzikir itu mengarah kepada Tuhan. Perbedaan itu tidak pas untuk menggabungkan pengertian cendekiawan yang memiliki kualitas pikir dan yang ulama’ kualitas dzikir. Cendekiawan muslim itu memiliki kedua-duanya. Karena itu ia bisa seorang yang pada dasarnya kyai atau pada dasarnya cendekiawan, tetapi memiliki kualitas keduanya tersebut.

Kedudukan uulul albaab menurut Sayyid Qutb adalah:

1. Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain.

Kaum uulul albaab memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat Qs. Ibrahim: 52

“(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”

Uulul albaab tidak akan menemukan sasaran-sasaran Al-Quran sebelum:

  1. Menemukan batasan-batasan akidah dalam agama Islam;

  2. Menemukan makna-makna dari “bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Swt dan bahwa muhammad adalah utusan Allah Swt” dalam tataran yang luas dan jauh cakupan dan muatannya;

  3. Memahami maksud dari “beribadah kepada Allah Swt semata”. Kami memberinya batasan dengan ketundukan kepada Allah Swt semata, tidak dalam saat-saat shalat, tetapi dalam segala aspek dan urusan kehidupan. (Sayyid Qutb)

Maka orang-orang yang berakal selalu ingat kepada-Nya. Al- Quran itu adalah penyampaian penjelasan dan keterangan yang cukup bagi semua makhluk-Nya, jenis manusiakah ia atau jin. Hendaklah mereka menjadikan isinya sebagai peringatan serta menarik pelajaran dari padanya, dan lewat Al-Quran itu hendaklah dipelajarinya.
Pada penutup surat Ibrahim disebutkan bahwa Al-Quran dan kandunganya yang berisi penyampaian yang jelas bagi manusia. Peringatan bagi mereka, dengan Al-Quran ini serta penjelasan tentang ke- Esaan Allah Swt.

Untuk tugas inilah rasul-rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, hari kiamat datang, serta adanya surga dan neraka. Agar dengan Al-Quran kaum Uulul Albaab dapat mengambilnya menjadi pengingat dan pemberi pelajaran. merekalah manusia yang paling kompeten untuk mendalami kandungan Al-Quran tersebut serta menghafal dan membacaya. Pembicaraan tentang Al-Quran dengan redaksional seperti itu juga terdapat pada surat Shaad. Allah Swt berfirman:

“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Qs. Shaad: 29)

Jika kekuatan intelektual dipergunakan untuk mengembara di dunia ini, untuk melihat yang tampak dan tidak tertangkap pandangan mata, maka ia mempunyai kompetensi untuk mengembara, memikirkan dan mentadaburi kandungan Al-Quran ini, yang merupakan perwujudan bentuk dunia. Kedua dunia tersebut mengandung ayat-ayat Allah Swt. dunia yang satu mengandung tanda-tanda dari perbuatan-Nya, sedangkan dunia yang lainnya mengandung tanda-tanda dari firman-Nya. Ayat-ayat yang pertama dapat ditangkap dengan berfikir dan bertafakkur, sedangkan ayat-ayat yang kedua dapat dipahami dengan bertadabur dan tazakkur.

  1. Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 100);

  2. “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Swt Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”

Uulul albaab memilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. karena banyak manusia yang memberi perhatian terhadap kuantitas dan jumlah sesuatu. Namun mereka melupakan hal itu yang diperoleh dan bagaimana kualitasnya. (Sayyid Qutb)

Kaum uulul albaab-lah yang memberi perhatian pada kualitas sesuatu. Oleh karena itu mereka akan memberi perhatian pada sesuatu yang baik, meskipun sesuatu itu sedikit. Karenanya, disini Allah Swt memerintahkan kepada mereka untuk bertaqwa dengan harapan agar mendapatkan kemenangan dunia dan akhirat. (Qardhawi)

Bertakwalah kepada Allah Swt hai orang-orang yang berakal lurus dan benar. Kemudian berhati-hatilah agar jangan kalian dikuasai oleh setan. Jadilah orang yang beruntung. Disini orang-orang yang berakal disebutkan secara khusus karena mereka adalah orang-orang yang mengerti serta memahami akibat berbagai perkara setelah memikirkan hakikat dan sifatnya. (al-Maraghi)

Menurut Hamka, “uulul albaab yang mempunyai inti pikiran disuruh takwa kepada Allah Swt. Di sini dipersambungkanlah pikiran cerdas dengan takwa kepada Allah Swt. Karena dengan takwa kepada- Nya fikiran tidak terombang-ambing. Meskipun akal sehat kalau tidak takwa, akal yang sehat itu akan digunakan untuk memakai yang buruk dengan lebih teratur”. (Hamka)

Takwa kepada Allah Swt itu menjadikan kamu orang-orang yang baik. Dan dengan takwa dapat diharapkan kamu mendapatkan kemenangan. Orang-orang yang berakal kuatlah yang dapat menetapkan hukum-hukum yang sejahtera, yang dapat menetapkan mana yang bermanfaat dan mana yang melarat.

Orang-orang yang berakal sehat selalu menjaga keteguhan iman dan taqwanya betapapun banyak kemaksiatan yang terjadi disekitarnya, sehingga dapat memisahkan yang buruk dari yang baik. Keteguhan iman dan takwa adalah pokok kemenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Uulul Albaab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas uulul albaab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis- lapis.(Dawam Raharjo)

3. Ketahanan di bidang ekonomi.

Ini memerlukan pembangunan ekonomi yang adil dan merata, bahwa keadilan dan pemerataan tersebut harus menyentuh semua pihak secara konseptual dan aktual. Seperti dalam firman Allah surah al-Hasyr : 7

“Apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah Swt kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah Swt, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt amat keras hukumannya”

Ayat ini menjelaskan tentang hukum fai-I secara terperinci. Ia memberikan penjelasan tentang sebab pembagian itu, dan meletakkan kaidah besar dalam sistem ekonomi dan sosial dalam masyarakat muslim. “ supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu… ”

Sebagaimana ia pun meletakkan kaidah besar dalam sistem hukum dan syariat.

“………apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah…….”

Peranan intelektual muslim (uulul albaab) sangat didambakan dalam merumuskan pola-pola praktis dalam rangka pemanfaatan ibadah amaliyah kaum muslim seperti zakat, infaq, shadaqah dan waqaf, yang kesemuanya dapat merupakan sarana ketahanan dibidang ekonomi. Tanpa harus menyebutkan ayat-ayat atau hadits-hadits Nabi, orang-orang yang mempelajari Islam pasti menemukan perhatian besar agama ini kepada ketahanan di bidang ekonomi. Sebab, kerapuhan di bidang ini merupakan bencana sosial yang mengancam eksistensi agama. Karenanya yang paling dibutuhkan adalah perencanaan yang cermat, aktivitas yang berkesinambungan serta kesetiakawanan yang dalam. (Quraish Shihab 2003)

4. Bidang Pertahanan dan Keamanan

Adapun tugas kaum muslimin yang berpijak di atas dua pilar ini adalah tugas utama yang harus mereka laksanakan untuk menegakkan manhaj Allah Swt di muka bumi, dan untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, yang makruf atas yang mungkar, dan yang baik atas yang buruk. Tugas yang karenanya Allah Swt mengorbitkan kaum muslimin dengan tangan dan pengawasan-Nya, serta sesuai manhaj-Nya, inilah yang ditetapkan dalam ayat berikut:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Alimran : 104)

Dalam kehidupan masyarakat, kaum uulul albaab diharapkan dapat berperan sebagai unsur-unsur kontrol sosial (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahiy ‘an al-munkar). Ini dapat dilakukan dengan jalan memberikan perhatian terhadap usaha-usaha ke arah butir-butir berikut: (Quraish Shihab)

  • Mempertebal dan memperkukuhkan iman kaum muslim, sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau faham-faham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama. Juga berusaha agar umat Islam terpanggil untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman mereka atas ajaran Islam. Selain itu, juga meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mereka atas pancasila dalam segala aspek kehidupan.

  • Meningkatkan tata kehidupan umat dalam arti yang luas, dengan menggugah dan mendorong mereka untuk menyadari bahwa agama mewajibkan mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini. Ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras serta kesadaran akan kesinambungan hidup dunia dan akhirat.

  • Meningkatkan pembinaan akhlak umat Islam, sehingga memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dengan itu dapat terwujud etos kerja dan ukhuwah islamiyah dalam rangka mewujudkan kerukunan beragama.

Al-Qur’an berbicara tentang Uulul Albaab atau cendekiawan muslim, Allah Swt memuji mereka dalam banyak ayat. Kata Uulul Albaab dalam Al-Quran terulang sebanyak enam belas kali. Sembilan kali diantaranya terdapat pada ayat Makkiyah dan tujuh lainnya terdapat dalam ayat Madaniyah, di antaranya empat kali dengan redaksi memanggil.

Bentuk Uulul Albaab dalam ayat Makkiyah

Pada penutup surat Yusuf, term Uulul Albaab disebut sebagai kelompok orang yang dapat mengambil ibrah (pelajaran dari sejarah, kisah-kisah Al-Quran, dan hukum-hukum Allah Swt yang terpatri dalam rentetan kejadian, yaitu kaum Uulul Albaab yang dapat membaca realitas). Firman-Nya:

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab- kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Qs. Yusuf: 111)

Pada surat Ar-Ra’du, kaum Uulul Albaab disebut sebagai kelompok orang yang mengetahui, firman-Nya:

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”. (Qs. Ar-raad: 19)

Pada penutup surat Ibrahim disebutkan bahwa Al-Quran dan kandungannya yang berisikan penyampaian yang jelas bagi manusia, peringatan bagi mereka dengan Al-Quran ini serta penjelasan tentang ke- Esaan Allah, firman-Nya:

“(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan- Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”. (Qs. Ibrahim: 52)

Juga redaksional Al-Quran dengan firman-Nya:

“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Qs. Shaad: 29)

Pada ayat lain term Uulul Albaab berkaitan dengan pembicaraan tentang nabi Ayyub as. Allah membalas kesabarannya atas ketentuan Rabbnya, dan mengembalikan keluarganya. Firman-Nya:

“Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Qs. Shaad: 43)

Pada surat Az-Zumar term Uulul Albaab disebut sebanyak tiga kali:

  • Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang yang mendirikan malam mereka, berdiri shalat untuk beribadah kepada Rabb mereka dengan penuh pengharapan. Firman-Nya:

    (untung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az-Zumar: 9)

  • Kedua, dalam konteks pembicaraan tentang hamba-hamba Allah Swt yang menegakkan tauhid, tidak syirik, dan mereka hanya mengharap kepada Allah Swt semata. Firman-Nya:

    “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang- orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Qs. Az-Zumar: 18)

  • Ketiga, dalam konteks membicarakan isi alam, seperti tumbuh- tumbuhan, air, bumi. Firman-Nya:

    “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan- Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Qs. Az-Zumar: 21)

  • Terakhir, ayat Uulul Albaab Makkiyah terdapat pada surat Mu’min, yaitu:

    “Dan Sesungguhnya Telah kami berikan petunjuk kepada Musa; dan kami wariskan Taurat kepada Bani Israil, Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir” (Qs. Al-Mu’minun : 53-54).

Allah Swt memberikan petunjuk dan kemenangan kepada Musa dan menurunkan Taurat kepadanya sebagai warisan bagi bani Israil dan menjadi petunjuk bagi orang yang berfikir.

Bentuk Uulul Albaab dalam Ayat-Ayat Madaniah

Sedangkan bentuk Uulul Albaab dalam ayat Madaniah adalah sebagai berikut: alam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”(Qs. Al- Baqarah:179).

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah- bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada- Ku Hai orang-orang yang berakal” (Qs. Al-Baqarah:197).

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 100)

Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah menurunkan peringatan kepadamu” (Qs. At-Thalaq: 10)

Ayat Madaniah di atas keempatnya menggunakan harfu an-nida’ (kata panggilan), disini Uulul Albaab diseru supaya mengambil pelajaran dan bertakwa kepada Allah Swt. Sedangkan redaksi tiga ayat yang lainnya adalah:

“Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki- Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Qs. Al-Baqarah:269).

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang- orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wil-nya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (Qs. Al- imran: 7).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Qs. Al-imran: 190).

Analisa penggunaan kata Uulul Albaab dalam surat Makkiyah dan Madaniah: Ayat Makkiyah surat-suratnya pendek, nada perkataannya keras dan bersifat bersajak. Mengandung seruan untuk keimanan kepada Allah dan hari kiamat dan menggambarkan surga dan neraka. Mengajak manusia berakhlak mulia dan berjalan di jalan yang benar dan baik.

Sesuai dengan sifat kemakkiyahan Al-Quran pada ayat Uulul Albaab di surat Yusuf ayat 110 Uluul Albaab yaitu ahli hujjah dan berakal dapat mengetahui rentetan cerita nabi Yusuf As. sebagai menteri muda yang berjiwa sosial dapat dilihat dalam konteks ini ada hukum- hukum yang terpatri dari kejadian menjadikan pelajaran bagi ahli hujjah dan berakal yaitu mereka yang menjadikan I’tibar dan mauidzah (pelajaran) yang mereka renungkan tentang kejadian ini. Yang terdapat beberapa sifat dan suri tauladan yang mulia yang dapat diambil dari cerita Yusuf As. dan mu’jizat-mu’jizatnya; ketentuan yang berhubungan dengan keagamaan adalah hak Allah Swt semata-mata; qadha Allah Swt tak dapat dirubah; para rasul penyampaikan risalah-Nya.

Pada surat Ibrahim ayat 52 berisikan keimanan bahwa Al-Quran adalah pembimbing manusia ke jalan Allah Swt; segala sesuatu di alam ini adalah kepunyaan Allah Swt; mengandung petunjuk-petunjuk bagi manusia untuk mengenal Tuhan mereka dengan janji Allah Swt menyediakan surga kepada orang-orang yang beriman.

Munasabah pada surat Ar-Ra’du ayat 19 sebelumnya berkaitan dengan orang taat kepada Allah Swt dan rasul-Nya adalah pahala yang terbaik sedangkan sebaliknya, akan menerima azab yang berat. Penghisapan yang buruk, tempat tinggal mereka adalah jahannam yang dinyatakan Allah Swt tidaklah sama perumpamaan orang yang mengetahui tentang haq dan orang yang buta. Hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan berfikiran lurus saja yang dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan ini.

Surat Shaad ayat 29 berisikan keimanan bahwasanya Al-Quran diturunkan untuk menjadi pelajaran bagi jin dan manusia seluruhnya terutama bagi Uulul Albaab.

Pada surat Az-Zumar ayat 9 menerangkan masalah keimanan dengan mendirikan sholat malam mengharapkan rahmat Allah Swt, kasih sayang tuhan yang tiada putus dan tidak terbatas. Sedangkan pada ayat 21 memperhatikan fenomena alam dari daun yang hijau sampai kering yang menyatakan bahwa makhluk tidak kekal, Allahlah yang kekal.

Surat Al-Mu’min ayat 53 masalah keimanan terhadap kitab suci yang telah Allah turunkan kepada nabi Musa a.s. berupa Taurah dan merupakan peringatan bagi Uulul Albaab.

Berdasarkan ayat-ayat Makkiyah di atas dapat disimpulkan bahwa Uulul Albaab selalu diartikan dengan orang-orang yang berakal, tetapi jika dikaitkan dengan Munasabah ayat maka beridentifikasi tentang aqidah sesuai dengan kemakkiyaannya.

Sedangkan pada ayat Madaniah mengandung isi: setiap surat mengandung izin berjihad atau di lihat pada surat Al-Baqarah ayat 197 berkenaan dengan syariat haji menjadikan manusia bertaqwa bagi Uulul Albaab mau menjauhkan apa-apa yang dilarang diwaktu yang telah ditentukan menjalankan ibadah. Begitu pula ayat Madaniah yang memuat penjelasan secara rinci tentang hukum-hukum pidana, ayat 179 surat Al-Baqarah, Allah Swt mengkhususkan kepada makhluk berakal, supaya memahami rahasia dan hikmah ditegakkannya hukum atas Qishas dapat memelihara manusia dari perbuatan saling membunuh. Begitu pula berkenaan faraid (waris), hak-hak perdata, peraturan-peraturan. Ayat 269 surat Al-Baqarah yaitu masalah sosial kemasyarakatan membelanjakan, mendermakan atau menzakatkan harta mereka untuk suatu pekerjaan bagi maslahat umum atau pertolongan kepada yang membutuhkan.

Begitu pula firman Allah Swt pada ayat 7 surat Al-Imran, orang telah diberikan Allah Swt segala kunci-kunci ilmu disebut Uulul Albaab mengetahui hukum Al-Qur’an baik Muhkam dan Mutasyabihat, mereka paham dari tafsir dan ta’wil yang telah diberikan Allah Swt. Dengan demikian ayat Uulul Albaab madaniah banyak mengidentifkasikan berkenaan dengan syariat hukum. Sebagai catatan dari tela’ah ayat Makkiyah dan Madaniah ternyata tidak ada perbedaan arti Uulul Albaab yang terlalu mendasar kecuali sesuai dengan konteks ayat.