Dalam bahasa Arab Uulul Albaab berasal dari dua kata, yakni uulu dan albaab. Dari kata ulu ini tersirat makna bahwa tidak semua orang memiliki. Dalam Al-Quran disebutkan juga orang-orang yang memiliki beberapa hal seperti kekuatan atau Ulu Al-Ba’s, sebagaimana firman Allah Swt:
“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana” (Qs.al-Isra’ : 5).
Atau yang memiliki kekayaan (Ulu Al-Fadhl), sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. al-Nur : 22)
Begitu juga kata Ulu Al-Amr yang artinya “(orang) memiliki atau memegang urusan”, .
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. An-Nisa’: 59)
Kata lain yang relevan dengan pembahasan kita ini adalah Ulu Al-Ilm, artinya orang yang memiliki ilmu atau memiliki ilmu pengetahuan, firman Allah Swt yang berbunyi:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al-Imran : 18).
Dari ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang disebut “memiliki sesuatu itu” adalah mereka yang memiliki kelebihan atau keunggulan. Dalam sosiologi dikenal pengertian orang-orang yang memiliki kelebihan atau keunggulan (nation of superiority) yang disebut dengan elite (elit).
Kata albab, berasal dari kata lub, yang membentuk kata al-lubb yang artinya “otak” atau pikiran, isi tiap-tiap sesuatu, akal, cerdik, hati, intellect. Kata albab adalah bentuk jamak dari lubb.
Menurut Ma’luf, kata lubb adalah “yang murni” dan yang pilihan dari sesuatu. Lubb sering dipakai pada apa-apa yang dimakan di dalamnya dan dibuang kulitnya.
Dari term lubb, “isi” merupakan antonim dari “kulit”. Di sini Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia terdiri dari dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik adalah kulit sedangkan akal adalah isi.
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa lubb secara bahasa bermakna bagian yang terbaik atau utama dari segala sesuatu, akal yang jernih dan bermakna pula qalbu. Lubb adalah tempat cahaya tauhid, cahaya yang paling sempurna dan kekuasaan yang terbesar. Lubb adalah akal yang sangat jernih serta mendapatkan penyeimbangan dan pembentukan dari cahaya hidayah Allah Swt.
Begitu pula lafazh albab dari lubb ini terdapat pada hadits-hadits an-nabawi seperti yang dikemukakan oleh Wensink dari kitab Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Hadits An-Nabawi, sebanyak 15 kali. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada bab haidh yaitu : Abu Sa’id Al-Khudri bercerita katanya:
“Pada hari raya Idhul Adha atau hari raya Idhul Fitri Rasulullah Saw keluar rumah pergi ke tempat shalat. Beliau lalu ketempat wanita shalat dan disitu beliau bersabda: “hai kaum wanita ! bersedekahlah kalian semua, karena saya melihat, kaum wanitalah yang banyak di antara penduduk neraka”.
Mereka bertanya: sebab apa ya Rasulallah?
Jawab Rasulallah Saw:
“karena kamu sekalian banyak yang mencerca orang dan ingkar kepada suami. Saya tidak melihat diantara orang-orang yang kurang akal dan agamanya, yang lebih merusakkan hati laki-laki yang cermat, selain dari pada kamu sekalian” (Bukhari J.I : 205).
Arti lafazh lubb dalam hadits di atas yaitu orang-orang yang berakal. Bahwa orang-orang yang mempunyai lubb adalah mereka yang berfikir dengan akalnya sehingga tidak mencerca orang dan taat kepada suami sebagai kewajibannya.
Bila kata ulu disatukan dengan kata albab mempunyai arti: yang memiliki sesuatu yang murni, akal yang bersih dari cela, atau sesuatu yang cemerlang dari akal dan qalbu. Uulul Albaab, suatu ungkapan Al- Quran tentang kaum intelektual beriman, berpandangan jauh kedepan dan bertanggung jawab, orang bijak (hikmah) yang mempunyai cakrawala pemikiran yang dalam.
Uulul Albaab (cendekiawan beriman) bukan saja mereka yang berpengetahuan tapi juga mempunyai kebijakan dan kearifan dalam membaca fenomena masyarakat dan fenomena alam.
Yusuf Qardhawi mengutip dari tafsir Nuzhmudh Dhurar karya imam Al-Baqa’i berkata: “uulul albaab yaitu akal-akal yang bersih, serta pemahaman yang cemerlang yang terlepas dari semua ikatan fisik sehingga mampu menangkap ketinggian takwa dan ia pun menjaga ketakwaan itu”.
Karakteristik Uulul Albaab dalam Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran
Jika dicari dengan indeks Al-Quran, ada 16 ayat yang menggunakan kata Uulul Albaab. Tidak ada satu ayat pun yang secara lugas memberi definisi tentang Uulul Albaab. Tapi, dari apa yang disampaikan Al-Quran kita bisa mengidentifikasi ciri-ciri yang melekat pada sosok Uulul Albaab.
Dalam penjelasan tafsir Fi Zhilaali Al-Quran, Uulul Albaab itu tidak hanya yang berpikir tentang alam fisik, botani, dan sejarah. Merekapun ternyata mempunyai ciri-ciri yang berkaitan tidak hanya dengan aktivitas pikirnya, melainkan juga dengan amal konkretnya. Kata Uulul Albaab dalam surat Ar-Raad, ternyata ada keterangannya pada ayat 19-22. Secara ringkas, Uulul Albaab adalah orang dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Orang Yang Mempunyai Pengetahuan atau Orang Yang Tahu.
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” QS. Ar- Raad : 19
Menurut Sayyid Qutb (J.VII : 47) Lawan atau kebalikan dari orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan (wahyu) dari Tuhanmu itu benar bukanlah orang yang tidak mengetahui hal ini. Tetapi, lawan atau kebalikannya ialah orang yang buta. Namun kebutaannya ini adalah kebutaan mata hati, tumpulnya penalaran, tertutupnya kalbu, redupnya sinar makrifah di dalam ruh, dan terpisahnya dari sumber cahaya, sehingga…… “ Hanyalah orang-orang yang berakallah saja yang dapat mengambil pelajaran”.
Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah. Seperti disebutkan dalam Al-Quran:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)
Termasuk dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu ialah kesenangannya mentafakuri ciptaan Allah di langit dan di bumi. Allah menyebutkan tanda Uulul Albaab ini sebagai berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Qs. Al Imron : 190-191).
Jadi dalam karakter pada ayat di atas adalah mereka orang yang memiliki akal dan hati yang mengerti, mengingat kebenaran lantas mengambil pelajaran, dan menyadari petunjuk-petunjuknya lantas merenungkannya.
2. Orang Yang Memenuhi Perjanjian Dengan Allah Swt dan Tidak Akan Ingkar.
Dari Janji Tersebut (yaitu beriman, berbuat baik dan menjauhi yang keji dan mungkar).
Dijelaskan dalam firman Allah Swt. :
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian Quran surah ar-Raad : 19-20
Janji Allah Swt disini mutlak, meliputi semua macam perjanjian; janji terbesar yang menjadi pokok pangkal semua perjanjian ialah janji iman. Pakta terbesar yang menjadi tempat bertumpunya semua pakta (perjanjian) ialah perjanjian untuk setia menunaikan segala konsekuensi iman ini. Dari perjanjian ketuhanan ini dilanjutkanlah dengan perjanjian kepada sesama musia, baik terhadap rasul maupun terhadap orang lain, baik yang masih ada hubungan kekerabatan maupun tidak, perseorangan maupun kolektif. Maka, orang yang memelihara perjanjian yang pertama sudah tentu akan memelihara perjanjian-perjanjian lainnya, karena memelihara itu merupakan suatu kewajiban.
Dari ayat diatas, Jalaluddin Rakhmat mengutip pendapat Muhammad Hijazi pada at-tafsir al-wadhih menyebutkan perjanjian ini disebut mitsaq. Ia mendefinisikannya sebagai “Apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan Tuhannya, antara mereka dengan diri mereka sendiri, dan antara mereka dengan manusia yang lain”.
Seorang intelektual harus memilih komitmennya, kaitannya pada nilai-nilai seorang intelektual muslim ialah ia memilih untuk komitmen dengan nilai-nilai Islam. Memenuhi mitsaq berarti tetap setia pada komitmen yang dipilih.
3. Yang Menyambung Apa Yang Di Perintahkan Oleh Allah Swt Untuk Disambung, (misalnya ikatan cinta kasih).
Dalam Quran surah ar-Raad 21 :
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”
Menyambungkan apa yang diperintahkan Allah Swt, meliputi segala hal, dan bukan hanya silaturrahmi. Termasuk didalamnya “menggabungkan iman dan amal cinta kepada Allah Swt dengan cinta kepada manusia”. Demikianlah sifat-sifat mereka secara garis besar. apa saja yang diperintahkan Allah Swt supaya disambung, mereka sambung, yaitu ketaatan yang paripurna, istiqamah yang berkesinambungan, dan berjalan di atas sunnah sesuai dengan aturan-Nya dengan tidak menyimpang dan tidak berpaling. Yang dimaksud ialah sikap yang mutlak yang tidak berbelok-belok, ketaatan mutlak yang tidak berpaling, dan hubungan mutlak yang tidak putus-putus. (Sayyid Qutb)
4. Takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena takut kepada hasil perhitungan yang buruk.
Tanda Uulul Albaab yang ini ada pada surat Ar-Raad: 21. seperti yang tertulis di atas. Gaya bahasa ayat ini menyinarkan ketaatan yang sempurna itu kedalam perasaan dan hati yang bersangkutan sebagaimana dilukiskan, “Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”. Yaitu takut kepada Allah dan takut kepada siksaan yang buruk dan menyedihkan pada hari pertemun yang menakutkan. Mereka itulah Uulul Albaab yang memikirkan hisab (perhitungan) sebelum datangnya yaumul hisab.
Merasa takut hanya kepada Allah seperti tersirat dalam QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10.
Dalam Quran surah al-Baqarah 197 :
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas bahwa: Takutlah terhadap hukuman, siksaan dan azab-Ku yaitu bagi orang yang menyalahi, tidak melaksanakan perintah-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai pemikiran dan pemahaman. (as-Shobuni : 179) Perbekalan yang biasa dikenal orang adalah makanan dan minuman. Kemudian mengapa dalam ayat ini dikatakan bahwa perbekalan adalah taqwa, dan itu adalah sebaik- baik bekal? Itulah yang dipikirkan Uulul Albaab kaum yang dipanggil untuk bertaqwa.
Hasbi As-Shidieqy menguraikan ayat diatas yaitu “berikhlaslah kepada-Ku wahai orang yang berakal, dengan menunaikan segala rupa fardhu yang aku wajibkan dan menjauhi segala yang Aku haramkan, supaya kamu terlepas dari apa yang kamu takuti yaitu siksa neraka dan azab-Ku. Supaya kamu memperoleh apa yang kamu cari, yaitu keridhaan- Ku dan rahmat-Ku.” (Hasbi as-Shidieqy)
Orang-orang yang berakal dan mau berfikir (Uulul Albaab) diperintahkan untuk berikhlas kepada Allah Swt melakukan kewajiban-kewajiban dan menjauhi apa yang diharamkan kepada mereka, dengan demikian mereka akan selamat dari kemurkaan dan siksaan Allah Swt yang pedih. Mereka akan selamat memperoleh apa-apa yang dicita-citakan selama ini, yaitu: kebahagiaan mendapat keridhaan dan rahmat Allah Swt.
Allah Swt juga berfirman:dalam surah at-Thalaq 10-11 :
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang- orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah menurunkan peringatan kepadamu, (dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.”
Ayat ini menghimbau siapa yang sempurna dan sehat akal pikirannya. Hendaklah berhati-hati bertakwa kepada Allah Swt, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. orang yang bertaqwa kepada Allah Swt jiwanya akan terang sehingga mengerti dan menyadari tentang bahaya yang haram, memahami keuntungan yang halal, haq dan baik.
Karena itu orang-orang yang berakal dan beriman harus bertakwa kepada Allah Swt.
Karena-Nya telah lama menurunkan peringatan yaitu Al-Quran yang memperingatkan segala sesuatu untuk menjadi pegangan hidup dengan mengamalkan serta mematuhi isinya. Dalam Munasabah ayat berikutnya Allah Swt menerangkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul untuk membaca dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadanya, yang didalamnya terdapat bermacam-macam persoalan dan hukum. Ayat-ayatnya sangat jelas dan mudah dipahami bagi orang yang mau memikirkannya dan menggunakanya, agar dapat petunjuk dan keluar dari kegelapan dan menuju cahaya yang terang benderang.
Redaksi ini menurut Al-Maraghi (ditujukan kepada ”Uulul Albaab" dimaksudkan untuk menjelaskan kepada mereka nilai tuntutan dan petunjuk yang diturunkan kepada mereka. Hal ini terwujud dalam diri Rasulullah Saw yang menjadi bentuk perwujudan keimanan yang hidup dalam sunnah dan sirahnya, dan ia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya” Dalam ayat ini Allah Swt menerangkan juga bahwa orang yang senantiasa memperhatikan keingkaran dan pembangkangan mereka untuk mengikuti ajaran-ajaran para rasul yang berasal dari Allah Swt. Bagi mereka itu telah disediakan azab yang keras di kemudian hari, oleh karena itu orang-orang yang berakal dan beriman harus bertakwa kepada-Nya, karena Allah Swt telah menurunkan peringatan yaitu Al-Quran yang memperingatkan segala sesuatunya untuk menjadi pegangan dengan mengamalkan serta mematuhi isinya.
Keempat karakter Uulul Albaab yang selanjutnya ada di dalam firman Allah Swt surah ar-Raad : 22 : “Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”
5. Yang Sabar Karena Ingin Mendapat Ridha Allah Swt.
Sabar itu bermacam-macam. Sabar memiliki konsekuensi- konsekuensi. Yaitu sabar atas semua beban perjanjian-perjanjian di atas (seperti beramal, berjihad, berdakwah, berijtihad dan sebagainya), sabar dalam menghadapi kenikmatan dan kesusahan serta kesulitan (karena sedikit sekali orang yang dapat bersabar didalam menghadapi kenikmatan sehingga tidak sombong dan tidak kufur), dan sabar dalam menghadapi kebodohan dan kejahilan manusia yang sering menyesakkan hati. (Sayyid Qutb)
Mereka bersabar atas nikmat dan cobaan-Nya, serta bersabar dengan menerima qadha dan qadar-Nya, menyerah kepada kehendak- Nya, dan menerima segalanya dengan senang hati. Dan semuanya dilakukannya semata hanya untuk mencari ridha Allah Swt. (Sayyid Qutb)
6. Menegakkan Shalat.
Mendirikan shalat ini juga termasuk memenuhi perjanjian dengan Allah Swt. Dan sekaligus lambang penghadapan diri secara tulus dan sempurna kepada Allah Swt. Juga merupakan hubungan yang jelas antara hamba dengan Tuhan, yang tulus dan suci. Sehingga tidak ada satupun gerakan dan ucapan selain Allah Swt. (Sayyid Qutb)
7. Membelanjakan Rizki yang Diperoleh Untuk Kemanfaatan Orang Lain, Baik Secara Terbuka Maupun Sembunyi-Sembunyi.
Maksudnya ialah menginfakkan hartanya dengan baik seperti zakat, shadaqah, dan lain-lain. Infak (zakat) ini juga untuk membersihkan jiwa orang yang zakat dari penyakit bakhil, dan membersihkan hati orang yang menerima dari penyakit hasad atau iri hati. Dan infak ini juga menjadikan kehidupan masyarakat muslim sebagai masyarakat yang suka tolong menolong dan memiliki kepedulian sosial yang mulia atas dasar mencari keridhaan Allah Swt. (Sayyid Qutb)
Infak ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang- terangan. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga kehormatan dan harga diri. Karena kalau dilakukan secara terang- terangan dapat menyinggung perasaan (orang yang menerima). Akan tetapi, ada kalanya perlu dilakukan secara terang-terangan agar perbuatan itu dapat diteladani atau di ikuti oleh yang lain, sebagai bukti pelaksanaan syariat, dan sebagai bukti kepatuhan terhadap aturan yang berlaku. Masing-masing ada tempatnya dalam kehidupan.
8. Menolak Kejahatan dengan Kebaikan.
Maksudnya, mereka membalas kejahatan dengan kebaikan dalam pergaulan sehari-hari, bukan dalam urusan agama. Karena membalas kejelekan dengan kebaikan itu akan melemahkan keburukan jiwa yang bersangkutan, mengarahkanya kepada kebaikan, memadamkan api permusuhan, dan dapat menolak gangguan setan. Dengan demikian, kejelekan dan keburukan itu akan tertolak. Tetapi, kalau dibalas dengan kebaikan justru akan menambah keberaniannya berbuat jahat, maka tidak ada tempat untuk membalasnya dengan kebaikan, agar kejahatan dan keburukan tidak semakin merajalela dan semakin menjadi-jadi. Karena pengarahan Qur’aniah dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, dengan dimusyawarahkan oleh para Uulul Albaab, lantas diambil tindakan yang lebih baik dan lebih cepat. Mereka dengan kedudukan yang tinggi itu mendapat tempat kesudahan yang baik, yaitu surga ‘and sebagai tempat tinggal dan tempat menetap.
“(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun 'alaikum bima shabartum (artinya: keselamatan atasmu berkat kesabaranmu )”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Qs. Ar-Raad: 23-24.)
Keadaan mereka layaknya sebuah festival atau reuni dimana mereka saling bertemu, mengucapkan salam, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan dan menggembirakan serta penuh dengan penghormatan. (Sayyid Qutb)
Sedangkan dipihak lain adalah orang- orang yang tidak memiliki akal pikiran yang sehat dan tidak mau mengingat Allah Swt serta tidak memiliki mata hati untuk memandang. Maka, keadaan mereka bertentangan dengan Uulul Albaab.
“Orang- orang yang merusak janji Allah Swt setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah Swt perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). Allah Swt meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Qs. Ar-Raad: 25-26).
9. Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain.
Uulul albaab memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18) ;
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah Swt petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Itulah sebagian dari sifat mereka. Mereka mendengar perkataan yang telah mereka dengar. Lalu qalbu mereka memungut bagian tuturan yang baik dan membuang sisanya. Sesungguhnya Allah Swt mengetahui kebaikan yang ada pada jiwa mereka. Maka, Dia menunjukkan mereka untuk menyimak dan merespon perkataan yang baik. Petunjuk itu adalah petunjuk Allah Swt. (Sayyid Qutb)
Allah Swt memberikan sifat kepada mereka tiga hal: bertauhid kepada Allah Swt atau menjauhi thaghut, kembali kepada Allah Swt, dan mengikuti perkataan yang paling benar (wahyu). (Qardhawi) Yaitu bahwa perkataan-perkataan yang mereka dengarkan, mereka memperhatikan baik-baik, pasang telinga menyalakan mata dan sambut dengan penuh kesadaran, lalu mengikuti mana yang sebaiknya.
Hamka mengutip satu tafsir dari Ibnu Abbas: “didengarkannya ada kata-kata yang baik dan ada yang tidak baik untuk di dengar. Maka yang dipegangnya ialah yang baik, sedang yang tidak baik didengar itu tidak dipercakapkannya” (Hamka)
Begitu pula Hasbi As-Shidieqy mengutip ayat di atas dengan meguraikan, Ya Muhammad, gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menjauhi diri dari penyembah selain Allah Swt dan kembali kepada Tuhan, serta mau mendengarkan perkataan yang benar, lalu mengikuti mana yang lebih utama untuk diterima dan mana yang dapat menunjuk kepada kebenaran, bahwa mereka akan diberikan oleh Allah Swt nikmat yang kekal di dalam surga (jannatun na’im). Merekalah orang-orang yang ditaufiqkan oleh Allah Swt kepada kebenaran, bukan orang-orang yang berpaling dari kebenaran dan menyembah berhala. Orang itulah yang mempunyai akal yang sejahtera dan fitrah yang sehat yang tidak dapat ditundukkan oleh hawa nafsu. Karena itu senantiasa mereka memilih mana yang lebih baik untuk agama dan dunianya. (Hasbi as- Shidiqiy)
Setelah itu, Allah Swt memuji mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang kritis dalam beragama, mereka dapat menbedakan antara yang baik dan yang lebih baik, dan antara utama dengan yang lebih utama. Orang-orang yang mendengarkan perkataan yang baik dan mengerjakan yang baik dari perkataan itu adalah orang yang mendapat taufiq dari Allah Swt dan selalu menggunakan akal pikirannya.(al- Maraghi J.23 : 287) Hamka mengutip dari tafsir Al-Kasyaaf yaitu Zamahsyahriy menguraikan tafsir ayat ini: maksud ayat ini adalah mendidik mereka agar mereka dalam hal agama hendaklah kritis, dapat memilih diantara yang baik dengan yang lebih baik. Yang utama dengan yang sangat utama, termasuk didalamnya dalam memilih suatu pendirian mazhab, diantara dua yang bagus mana yang lebih kokoh, mana yang lebih kuat ketika diuji, mana yang lebih jelas dalil dan alasannya, dan sekali-sekali jangan jadi orang yang hanya taqlid (menurut saja dengan tidak memakai pertimbangan akal sendiri). (Hamka )
Uulul albaab itulah yang termasuk golongan ahli fikir dan akal yang sempurna yaitu mereka yang dapat memahami pembicaraan orang yang merupakan petunjuk dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Sumber : Sri Aliyah, Ulul albab : Dalam tafsir fi zhilali al-Quran, IAIN Raden Fatah Palembang