Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku

Taman Surga

Rumi berkata,

“Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak semua yang cantik itu dicintai.”

Cantik adalah bagian dari sifat sesuatu yang kita cintai, dan sifat sesuatu yang kita cintai itulah asalnya. Ketika seseorang dicintai, maka orang itu akan menjadi cantik di mata orang yang mencintainya; bagian dari sesuatu tidak akan terpisah dari keseluruhannya, sesuatu yang melekat pada bentuk keseluruhannya.

Pada saat Majnun masih hidup, ada banyak sekali perempuan yang lebih cantik daripada Laila, akan tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang dicintai oleh Majnun.

Mereka berkata kepada Majnun,

“Ada banyak perempuan yang lebih cantik daripada Laila, kami akan membawakan beberapa kepadamu.”

Majnun menjawab,

“Silakan saja, tapi aku tidak mencintai Laila dari bentuk luarnya, dan Laila bukanlah bentuk luar. Ia laksana cangkir yang ada dalam genggaman tanganku, yang mana dari cangkir itulah aku meneguk anggur. Aku jatuh cinta pada anggur itu. Mata mereka hanya bisa melihat cangkir itu, tapi tidak tahu bahwa di dalamnya ada anggur. Jika aku memiliki sebuah cangkir emas bertatahkan mutiara tapi berisi cuka atau cairan lainnya, apa gunanya cangkir itu buatku? Bagiku, sebuah labu tua yang sudah usang tapi di dalamnya terdapat anggur akan jauh lebih baik ketimbang seratus cangkir itu."

Seorang manusia baru boleh mencinta dan merindu setelah mengetahui anggur itu, dan menjauhkan cangkir, tempat anggur itu, dari pandangan hatinya. Ini seperti dua orang yang melihat seiris roti, di mana orang yang pertama dalam kondisi kelaparan karena belum makan apapun selama sepuluh hari, sementara orang yang kedua dalam kondisi kekenyangan karena makan lima kali dalam sehari. Orang yang kenyang hanya melihat roti itu, sementara yang lapar melihat esensi yang ada di dalam roti itu. Roti itu bagaikan cangkir, dan kelezatan yang ada di dalamnya seperti anggur di dalam cangkir. Anggur tidak dapat terlihat kecuali dengan mata hasrat yang kuat dan kerinduan yang mendalam. Raihlah dua hal itu agar kamu tak menjadi orang yang hanya melihat bentuknya, tapi juga bisa melihat yang kau cinta di setiap wujud dan tempat.

Semua bentuk ciptaan Allah itu laksana cangkir. Ilmu, seni, dan pengetahuan adalah inskripsi di atas cangkir itu. Tidakkah kau mengerti bahwa ketika cangkir-cangkir itu jatuh dan pecah, maka inskripsi itu juga akan hilang? Anggur adalah sesuatu yang berada di dalam cangkir itu, dan barangsiapa yang meminumnya maka ia akan melihat:

“Amalan-amalan yang kekal lagi saleh. [QS. al-Kahfi: 46]”

Orang yang bertanya terlebih dahulu harus menyadari dua hal:

  • Pertama, ia harus percaya bahwa ada yang keliru dalam ucapannya dan ada sesuatu yang berbeda.

  • Kedua, ia harus sadar bahwa selama ini ada perkataan dan hikmah lain yang lebih baik dari miliknya, tapi ia tidak mengetahui hal itu.

Itulah maksud dari ucapan: “Bertanya adalah setengah dari pengetahuan.”

Setiap orang berpaling pada orang lainnya, dan mereka semua sedang mencari Allah. Dalam asa inilah mereka menghabiskan umur mereka. Akan tetapi, di dalam keributan ini, pasti ada seseorang yang istimewa yang mengetahui siapa yang terpilih. Di tubuhnya terdapat bekas pukulan tongkat sang raja hingga akhirnya ia menyatakan dan percaya bahwa hanya ada satu Tuhan.

Seorang baru bisa dikatakan ‘tenggelam dalam air’ ketika air yang menenggelamkannya, bukan ia yang menenggelamkan diri ke dalam air.

Orang yang berenang dan tenggelam sama-sama berada di dalam air; perbedaannya adalah orang yang tenggelam dibawa oleh air, sementara orang yang berenang mengontrol air itu dengan kekuatannya dan bergerak sesuka hatinya. Semua gerakan, perbuatan dan perkataan yang berasal dari orang yang tenggelam sejatinya berasal dari air. Dalam hal ini, ia hanya merupakan alat. Seperti saat kamu mendengar kata-kata dari dinding, kamu pasti tahu bahwa kata-kata itu tidak berasal dari dinding, akan tetapi ada Wujud yang membuat dinding itu berbicara.

Para wali tak berbeda dengan perumpamaan ini. Mereka sudah mati sebelum mati. Mereka bergerak mengikuti gerakan pintu dan dinding, tidak ada sehelai rambut pun yang tersisa dari diri mereka. Di tangan kekuasaan, mereka seperti perisai, dan gerakan perisai itu bukan berasal dari dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan “Akulah Allah.”

Perisai itu berkata, “Aku sama sekali tidak ada." Gerakan ini berasal dari Tuhan. Lihatlah perisai ini sebagai Tuhan dan janganlah kamu berseteru dengan Tuhan, sebab orang-orang yang memukul perisai ini berarti ia menyatakan perang dengan Tuhan. Dari masa Nabi Adam hingga saat ini, kamu sudah banyak mendengar tentang orang-orang yang menyatakan perang dengan Allah—seperti Fir’aun, Syaddad, Namrud, kaum ‘Ad, kaum Luth, dan kaum Tsamud— tanpa henti. Perisai itu tetap berdiri sampai hari kiamat, masa demi masa. Satu waktu berbentuk Nabi dan di waktu lain dalam wujud wali, hingga akhirnya dapat dibedakan antara orang-orang yang bertakwa dari orang-orang yang durhaka, dan antara para musuh dari para wali.

Setiap wali adalah bukti Allah bagi manusia. Tingkatan dan maqam manusia disesuaikan dengan derajat hubungan mereka dengan para wali tersebut. Jika mereka memusuhi para wali, berarti mereka memusuhi Allah. Sementara jika mereka membenarkan para wali, berarti mereka membenarkan Allah. Inilah arti dari ungkapan:

“Siapa saja yang melihatnya, berarti ia telah melihat-Ku. Siapa saja yang mencarinya, berarti ia sedang mencari-Ku.”

Para hamba Allah adalah mahram dari tempat suci Allah. Seperti Allah yang memotong semua urat yang membuat para hamba menjauh dari-Nya dan lebih memilih mendekati syahwat, dan semua benih pengkhianatan, maka ia pasti menjadi pangeran di muka bumi dan begitu intim dengan misteri-misteri karena:

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. [QS. al-Waqi’ah: 79]

Maulana Rumi berkata:

“Jika orang tersebut memalingkan punggungnya pada kuburan para wali dan orang-orang besar, sesungguhnya ia tidak melakukan hal tersebut lantaran ingkar atau sebagai bentuk kelalaian, melainkan karena ia memalingkan wajahnya kepada roh (esensi) para wali. Perkataan yang keluar dari mulutku ini adalah roh mereka. Memalingkan punggung dari jasad dan menghadapkannya kepada roh tentu bukanlah sesuatu yang merugikan."

Sudah menjadi tabiatku bahwa aku tidak menginginkan hati manapun bersedih karena diriku. Di tengah-tengah perkumpulan, terkadang sekelompok orang menghambur kepadaku, tetapi beberapa kekasihku mengusir mereka. Itu tidak menyenangkanku. Telah kukatakan ratusan kali,

“Jangan katakan apapun atas namaku, karena aku rela akan hal itu.”

Ketika teman-temanku datang kepadaku dan aku takut akan membosankan mereka, maka aku membacakan puisi untuk menyenangkan mereka. Jika tidak, apa perlunya aku menggubah puisi? Demi Allah, aku tidak peduli pada puisi. Di mataku, tidak ada yang lebih buruk dari puisi. Tapi justru itu menjadi kewajiban buatku; seperti halnya tuan rumah yang memasukkan tangannya ke dalam periuk berisi makanan untuk menjaga nafsu makan sang tamu, maka hal itu menjadi wajib untukku.

Seorang pedagang mencoba untuk melihat barang apa yang dibutuhkan dan yang ingin dibeli oleh orang-orang di sebuah kota. Itu barang yang akan dibeli dan itu barang yang akan dijual, meskipun barang-barang itu harganya murah. Banyak ilmu telah kupelajari, banyak orang menderita yang telah kutemui, agar aku dapat menunjukkan hal-hal yang indah, luar biasa, dan detail kepada para cendekiawan, para muhaqqiq, orang-orang pandai, dan para pemikir yang datang kepadaku. Allah SWT telah menghendaki hal ini. Dia mengumpulkan semua ilmu itu beserta rasa sakit yang terkandung di dalamnya untukku sehingga aku menjadi sibuk dengan pekerjaan ini. Apa yang bisa aku lakukan? Di kotaku ini, di antara semua penduduk yang ada di sini, tidak ada yang lebih rendah kedudukannya ketimbang puisi.

Jika aku tinggal di tempat ini, maka aku harus hidup sesuai dengan adat-istiadat penduduk dan mempraktikkan sesuatu yang mereka suka, seperti memberikan pelajaran, mengarang buku, dan saling mengingatkan dan menasehati, berlaku zuhud, dan melakukan perkara-perkara yang tampak.

Amir berkata padaku:

“Akar masalahnya adalah tindakan.”

Maulana Rumi menjawab:

“Di mana orang-orang yang melakukan tindakan dan yang mencari tindakan itu, sehingga aku bisa menunjukkan kepada mereka sebuah tindakan? Sekarang, kamu mencari kata-kata dan memiringkan telingamu agar bisa mendengar sesuatu. Jika aku tidak berbicara, maka kau akan bosan. Jadilah para pencari tindakan agar aku dapat menunjukkan sebuah tindakan kepadamu! Aku sedang mencari murid tindakan (orang yang melakukan tindakan) di dunia ini untuk mengajarkan tentang tindakan kepadanya. Karena aku tidak menemukan murid tindakan dan hanya menemukan murid perkataan, maka kusibukkan diriku dengan berkata-kata. Apa gunanya kamu mengetahui tindakan itu apa, kalau kamu tidak bertindak? Tidak mungkin mengetahui tindakan tanpa bertindak. Tak mungkin bisa memahami ilmu kecuali dengan ilmu, bentuk dengan bentuk, dan makna dengan makna. Tidak ada seorang pejalan pun yang di jalanan sepi ini, bagaimana seseorang bisa tahu kalau kita berada di jalan tindakan yang benar?

Kesimpulannya, tindakan itu bukanlah salat dan bukan puasa. Keduanya adalah aksiden dari tindakan, sementara tindakan itu sendiri berada di hati. Bagaimanapun, sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw., salat dan puasa telah berubah bentuk, tetapi tindakannya selalu sama. Semua itu adalah aksiden dari tindakan, sementara tindakan itu berada dalam diri manusia. Seperti ketika kamu berkata, “Obat itu bekerja (bertindak).” Tentu yang dimaksud di sini bukanlah aksiden dari tindakan, melainkan esensi dari tindakan. Ketika seseorang mengatakan, “Lelaki itu bekerja (bertindak) di kota sebagai…;” orang itu tidak sedang melihat aksidennya (jenis pekerjaannya), tetapi sedang mengajak orang yang diajak bicara untuk bekerja mengikuti pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki tersebut.

Tindakan tidak seperti apa yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka beranggapan bahwa tindakan adalah sebuah aksiden. Jika memang demikian, mengapa jika seorang munafik melakukan tindakan itu (shalat dan puasa), ia tidak akan memperoleh manfaat apa-apa? Itu disebabkan karena makna (esensi) dari kejujuran dan iman tidak ada dalam aksiden itu.

Prinsip rahasia dari segala sesuatu adalah ucapan dan kata-kata. Kamu belum benar-benar mengetahui ucapan dan kata-kata itu, dan karenanya kamu menganggapnya tidak penting. Bagaimanapun, ucapan adalah buah dari pohon tindakan. Karena kata-kata dilahirkan dari tindakan. Allah SWT menciptakan dunia dengan kata-kata: “Jadi, maka jadilah.”

Iman itu terletak di hati. Tetapi jika kamu tidak menyatakannya dengan ucapan, maka ia tidak akan berarti apa-apa. Salat adalah serangkaian tindakan, tapi jika kamu tidak membaca al-Qur’an dalam prosesinya, maka salatmu akan batal. Jika kamu berkata, “Saat ini, kata-kata tidak perlu lagi dipertimbangkan,” bukankah pernyataan ini ini juga disampaikan melalui kata-kata? Jika kata-kata memang tidak perlu dipertimbangkan, lantas bagaimana kita bisa mendengar pernyataan itu darimu? Intinya adalah bahwa kamu mengatakan hal itu juga dengan kata-kata.

Seseorang bertanya:

“Ketika kita melakukan kebaikan dan beramal saleh, lantas kita memupuk harapan kepada Allah agar Dia memberikan ganjaran yang setimpal, apakah itu buruk untuk kita?

Maulana Rumi menjawab:

“Demi Allah, sudah sepatutnya bagi manusia untuk selalu memiliki harapan. Iman itu sendiri terdiri atas rasa takut dan harapan.”

Seseorang pernah menanyaiku:

“Harapan itu baik, tapi apa gunanya rasa takut ini?”

Aku menjawab:

“Tunjukkan padaku rasa takut tanpa harapan, atau harapan tanpa rasa takut. Selama keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, kenapa kamu menanyakan pertanyaan semacam itu?”

Sebagai contoh, jika seseorang menanam benih gandum, tentu ia berharap bahwa suatu saat ia akan memanen gandum itu. Di saat yang sama, ia juga takut ada penyakit atau hama yang akan membuatnya gagal panen. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak ada harapan tanpa adanya rasa takut. Kita bahkan tidak mungkin bisa membayangkan harapan tanpa rasa takut atau sebaliknya. Jika seseorang memupuk harapan akan balasan atas kebaikan yang sudah ilakukannya, bukan tidak mungkin ia akan menjadi lebih giat dan rajin di dalam melakukan pekerjaan tersebut. Harapan itu seperti menjadi sayap baginya, di mana semakin kuat lambaian sayapnya maka ia akan terbang semakin tinggi. Sementara jika ia berputus asa, ia akan menjadi malas. Ia tak akan melakukan apa-apa lagi. Seperti orang sakit yang meneguk obat yang pahit dan meninggalkan puluhan makanan lezat; jika ia tidak mengharapkan sehat, bagaimana bisa ia tahan meneguk obat yang pahit itu?

“Manusia adalah hewan yang berbicara.”

Manusia terdiri atas dua hal, hewan dan berbicara. Seperti halnya hewan yang selalu ada dalam diri manusia, begitu juga dengan berbicara. Jika manusia tampak tidak berbicara dengan mulutnya, berarti ia berbicara dalam batinnya. Ia berbicara secara konstan. Jika hal ini dibandingkan dengan banjir, maka air yang jernih diserupakan dengan berbicara, sementara tanah yang bercampur dengan air itu adalah sifat kehewanannya; tetapi tanah itu bukan sifat asli dari air. Tidakkah kamu melihat bahwa tanah-tanah itu terpisah dan hilang dari air, sedangkan ucapan, cerita, dan pengetahuan mereka yang baik dan yang buruk masih tetap tinggal?

Pemilik hati adalah keseluruhan. Jika kamu telah melihatnya, berarti kamu telah melihat keseluruhan. “Hewan buruan itu semuanya ada di dalam perut keledai.” Semua makhluk yang ada di bumi adalah bagian-bagian dari pemilik hati, ia adalah bagian dari keseluruhan.

Seluruh manusia, yang baik maupun yang buruk, adalah bagian dari para darwis

Siapa saja yang tidak memiliki hati, dia tidak seperti para darwis itu.

Jalaluddin Rumi

Sekarang, jika kamu sudah melihat dia yang sudah menjadi bagian dari keseluruhan, maka tentu kamu sudah melihat seluruh dunia. Siapa saja yang kamu lihat setelah itu hanyalah bentuk pengulangan, sebab ucapan-ucapan mereka sudah terkandung dalam perkataan keseluruhan. Ketika kamu sudah mendengar perkataan mereka, semua yang kamu dengar setelah itu hanya sebuah gema:

“Maka barang siapa yang melihatnya di suatu tempat, maka seolah-olah ia telah melihat semua manusia dan semua tempat.”

Seperti kata seorang penyair:

Wahai kamu yang menjadi salinan sejati dari kitab Tuhan, Wahai kamu yang menjadi cermin keindahan sang Raja, Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang keluar dari dirimu,

Maka mintalah semua yang kamu inginkan dari dalam dirimu, dan berteriaklah: “Inilah aku!”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum