Si Egois itu Aku


Pikiranku menarikku kembali pada sebuah ingatan satu tahun silam. Tepat saat aku masih berkuliah di Jabodetabek.

Ingat betul saat jam perkuliahan usai, aku keluar dengan beberapa teman melewati lorong-lorong kampus. Saling melempari guyonan khas anak milenial atau sekedar mengeluhkan tugas kuliah yang tidak ada habisnya. Tepat di tengah lorong yang biasa aku lewati, mataku berhenti pada sesosok gadis remaja tanggung berusia ‘mungkin’ belasan tahun. Duduk seorang diri dengan sekotak wadah berwarna bening.

Ehhh…tunggu…

*“Dia jualan? Bukankah tidak diperbolehkan berjualan di area kampus?”*aku bertanya dalam batinku sendiri.

Pakaiannya tampak santun dengan jilbab menjulur hingga ke dada lengkap dengan kaos kaki sebagai penyempurnanya menutup aurat. Tampak malu-malu menawarkan dagangannya kepada setiap mahasiswa yang melintas. Dari kejauhan aku mendengar suaranya lirih mengatakan

“Gorengannya kaa…”

Gadis remaja tanggung ini berjualan tepat di jantung kampus.

“Dia dapat izin dari siapa?” lagi-lagi aku bertanya dalam batin.

Aku pun mengajak teman-temanku menghampiri gadis itu.

Sebenarnya bukan hanya karena aku penasaran perihal dia, tetapi juga karena perutku keroncongan. Yaa…semenjak masuk jenjang perkuliahan dan jauh dari orang tua aku sering lupa makan. Jadi kupikir tidak ada salahnya sambil membeli gorengannya akan kuajak dia mengobrol.

“Dek, mau beli gorengannya”

“Ohiyaa ka…silahkan. Semuanya seribuan, kecuali risoles dua ribu” sambil tersenyum ramah ia menjelaskan satu persatu makanan yang ia jajakan.

“Aku mau risolesnya dua yaa. Gausah pakai plastik. Aku mau makan disini” alasanku agar bisa mengobrol dengannya.

Beberapa temanku juga mulai memilih makanan, ada juga yang tidak.

“Kalian duluan aja gapapa” beberapa detik kemudian bayangan mereka sudah sampai diujung lorong kampus.

“Emm enak risolesnya. Ngomong-ngomong nama kamu siapa?”

“Alhamdulillah kalau kakak suka risolesnya. Namaku Putri ka. Kalau kakak siapa?”

Kalimat pertama gadis ini membuatku tertegun sekaligus kagum dengan pribadinya yang teramat santun. “Alhamdulillah kalau kakak suka” belum pernah aku temui pedagang sesantun ini kepada pembelinya. Ditambah lagi sejak tadi kuperhatikan dia tidak berani memandang mata setiap mahasiswa yang melintas di depannya. Apakah dia malu? Atau sungkan? Entah. Yang jelas aku sebagai sesama perempuan bisa mengagumi pribadinya.

Bukan apa, aku melihat sesuatu yang menarik dari caranya bicara, sikapnya kepada orang lain. Sungguh berbeda dari remaja yang biasa kutemui.

“Namaku Indri… Putri kenapa milih jualan disini?” aku mengurungkan niat menanyakan dengan kalimat ‘emang boleh jualan disini’, khawatir ia tersinggung.

“Putri sudah meminta izin ka sama salah satu dosen. Alhamdulillah diperbolehkan. Allah mudahkan rezeki untuk bantu orang tua dan biaya sekolah Putri”

Aku tersontak dengan jawabannya, sepertinya aku telah salah menyangka ia tidak sekolah.

Ada rasa bersalah dalam diriku…bagaimana tadinya aku berpikir sangat dangkal kala mendapatinya berjualan di area kampus. Soal aturan dilarang berjualan di area kampus.

Berdasarkan obrolan beberapa menit kami, aku mendapat banyak informasi tentang Putri. Ia adalah salah satu siswi SMA di salah satu sekolah. Saat ini tengah libur sekolah sehingga ia bisa berjualan. Orang tuanya bekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu. Hal ini membuat Putri tidak bisa seperti anak-anak lain, menikmati libur panjang dengan pergi bersama keluarga. Jangankan liburan, untuk makan besok hari saja mereka hanya mengandalkan upah tidak menentu dan hasil jualan gorengan dari Putri.

“Tapi aku sering sedih kalau daganganku ngga habis. Uang yang kudapat berkurang. Tapi ayah selalu bilang kalau ada dagangan sisa jangan dibawa pulang ke rumah. Kasih aja ke orang-orang jalanan. Katanya rezeki amat luas dan Allah Maha Adil atas hamba-hamba-Nya”

Hatiku yang penuh dengan rasa kufur ini rasanya seperti jatuh dari lantai tertinggi gedung pencakar langit. Mengantarkanku pada dasar bumi. Menyadarkanku bahwa manusia seharusnya tidak boleh melangit.

Beberapa menit di sebelahnya membuat hatiku tertampar berkali-kali.

Aku telah menjadi manusia egois. Egois karena tidak pernah mau membuka mata dengan kenyataan hidup yang pahit dari orang-orang disekitarku. Setauku bahwa rezeki itu sudah bertuan, ia tidak akan salah alamat apalagi tidak sampai kepada tuannya. Bahwa rezeki tidak hanya dalam bentuk materi. Namun sekali lagi, aku hanya paham teori. Definisi-definisi sempit yang aku baca dari berbagai literatur.

Egoisme tidak melulu tentang orang lain yang menindas atau merampas hak kita. Tidak hanya soal kita tersakiti atau terlaku lalu kita menghardik orang lain bahwa ‘ia egois’. Tidak…tidak sesempit itu.

Dari Putri, gadis remaja tanggung penjual gorengan di kampus yang aku temui satu tahun silam. Darinya aku belajar memaknai bahwa hidup bukanlah urusan perutmu sendiri. Sekali-kali kita musti belajar menggunakan hati dan akal secara bijak.

2 Likes