Setujukah Anda bahwa Penyebab Utama Timbulnya Kasus Pelecehan Seksual adalah Perempuan?

images

Belakangan ini kembali marak terjadi kasus pelecehan seksual di masyarakat. Kasus yang memang sudah ada sejak lama ini sangat disayangkan menjamur kembali dikala masyarakat masih bergelut dengan pandemi yang belum berakhir. Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan verbal (komentar, gurauan, rayuan atau penghinaan bernada seksual) dan non-verbal atau fisik (gerakan seksual yang tidak diinginkan, seperti menyentuh, menepuk, mencubit, sengaja menyentuh tubuh orang lain, memeluk, mencium, menatap atau melirik) sampai pada kasus utama yaitu pemerkosaan.

Sebenarnya apa penyebab utama hal ini terjadi? Banyak pihak mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena adanya stimulus dari pihak korban (sebagian besar wanita) yang kemudian memancing terdorongnya perilaku melecehkan. Stimulus yang dimaksudkan adalah penggunaan pakaian yang minim, membentuk tubuh/terlalu ketat, serta perilaku lainnya. Namun, kasus yang baru-baru ini terjadi di Pesantren yang ada di Bandung haruslah menyadarkan kita bahwa selagi ada kesempatan meski tanpa stimulus/dorongan dari korban pun tidak menutup kemungkinan terjadinya kasus pelecehan seksual.

Guru yang mencabuli santrinya hingga hamil dan melahirkan, pria yang mencabuli anak laki-laki maupun perempuan, serta bapak, kakak dan tetangga yang melakukan pelecehan terhadap dua orang anak menunjukkan bahwa meskipun seorang korban telah menggunakan pakaian tertutup, berada di bawah umur, serta tidak melakukan perilaku memancing pelecehan dapat menjadi korban pelecehan seksual dari pria yang tidak bertanggung jawab bahkan dapat saya sebutkan memiliki kelainan seksualitas. Sudah bukan masanya lagi hanya anak perempuan yang diberikan anjuran untuk menutup diri namun para orang tua haruslah mulai mengajarkan kepada anak laki-laki cara bertindak bergaul dan berkomunikasi secara sehat.

Bagaimanakah teman-teman menanggapi hal ini?

Referensi :

Topik hangat ini semakin marak diperbincangan musabab akhir akhir ini kasus semacam semakin sering terjadi dan muncul dipermukaan. Yang saya soroti dari hal ini adalah kesehatan mental dari para pelaku pemerkosa itu sendiri, seperti kasus yang mention diatas yaitu pemerkosaan 14 santriwati yang mereka juga menggunakan baju yang tertutup dan bisa juga disebut sosok yang agamis, namun karena paksaan dari gurunya sehingga hal semacam ini pun terjadi.
Sejatinya ,karena penulis juga seorang laki laki, setiap laki laki kadar seksualitas yang sama, tergantung dari setiap individu cara mengontrolnya, kejadian semacam ini karena kurangnya moralitas dan disintegritas pada seorang individu, dan pengetahuan mengenai seks yang kurang. Padahal kasus ini dilakukan oleh seseorang yang notabene memiliki pengetahuan spiritual yang tinggi namun karena pengetahuan tersebut tidak dibersamai dengan implementasi yang baik sehingga ia melakukan penyelewengan moral seperti ini.
Menurut saya hal semacam ini membutuhkan awareness baik dari pria ataupun wanita, dari pria harus bisa menjaga kehormatannya dengan baik dan memperbanyak insight tentang pendidikan spiritual dan seks. dan dari wanita harus selalu menjaga diri dan membekali diri dengan self deffence secara moral ataupun fisik.

08d6fc1f44d2c2144cf355eb15a17d2e

Timbulnya stereotype negatif seperti “dalam kasus pemerkosaan, yang salah adalah korbannya” merupakan hasil dari representasi budaya Patriarki di Indonesia. Pola relasi masyarakat yang patriarki, dimana pola relasi ini didominasi oleh laki-laki memunculkan ketidakadilan gender terhadap perempuan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang disebabkan oleh tatanan masyarakat yang
berbasis pada nilai patriarkhis, misalnya: diskriminasi, marginalisasi, beban ganda, stereotype dan kekerasan berbasis gender, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat pada umumnya.

Dalam pola ini, perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki dan oleh sebagian orang yang memegang teguh pola relasi ini, perempuan tak lebih disimbolkan sebagai obyek seksual. Dampaknya, perempuan di diskriminasi dan tidak mendapat kebebasan yang sama seperti laki-laki dalam segi apapun, baik itu berpakaian, bersikap, bertutur kata dan berperilaku.

Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender dan kaum laki-laki
mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender. Pola relasi antara perempuan dan laki-laki tidak akan bisa mencapai titik harmonis jika masih ada budaya patriarki yang melekat di masyarakat.

Konstruksi sosial budaya sangat berperan dalam memberikan konstribusi penciptaan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam institusi keluarga secara adil atau sebaliknya terjadi ketimpangan.- Danik Fujiati

Summary

Artikel Danik Fujiati. “Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga Dalam Pandangan Teori Sosial Dan Feminis.”

Apa yang ditulis oleh @Arya_Prima_putra saya sangat setuju. Tak hanya itu pendidikan karakter saya rasa juga harus mampu diterapkan sejak dini guna mencegah pelecehan seksual yang semakin memprihatinkan dewasa ini. Hal itu pun selaras dengan apa yang disampaikan Dwi Hastuti, Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA-IPB (Pakar Perkembangan Anak). Adapun kegiatan dalam kurikulum pendidikan karakter adalah seperti Toilet yang dipisahkan antara siswa laki laki dan perempuan, proses pergantian baju dan pakaian dalam yang dilakukan secara tertutup, pengenalan anggota tubuh, serta berpakaian sopan dan santun. Sehingga ketika mereka sudah memiliki bekal moral yang baik, saya rasa kejadian tak terpuji semacam itu akan hilang dan tidak ada lagi di masa mendatang.

Sumber:

Jika tidak ada perempuan manusia tidak akan berkembang biak. Banyak yang menyalahkan keberadaan wanita yang sebenarnya adalah korban. Wanita sendiri juga tidak akan semena mena menyerahkan diri nya untuk di lecehkan. yang perlu dipertanyakan adalah ada apa dengan kesehatan mental laki laki yang dengan sangat tega melakukan hal keji seperti itu? apa rasa kemanusiaanya sudah hilang? tidakkah memikirkan bagaimana nasib dan masa depan korban? saya rasa perspektif ini perlu di didik oleh orang tua keada anak laki lakinya sejak kecil untuk selalu menghormati perempuan, sebab tanpa seorang perempuan dia tidak akan lahir di dunia ini.


Gambar 1. Demonstration about Sexually Harased Blame The Victim (Sumber: Unsplash.com/EhimelatorAkhereUnuabona)

Saya tidak setuju bahwa penyebab utama timbulnya kasus pelecehan seksual adalah perempuan. Namun, bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Pada intinya saya sangat tidak setuju bahwa penyebab utama timbulnya kasus pelecehan seksual adalah korban, baik itu korban berjenis laki-laki maupun perempuan karena kasus pelecehan seksual menurut saya murni kesalahan pelaku pelecehan seksual. Hal yang mendasari pernyataan ini adalah interpretasi dari berbagai kejadian yang hadir secara realita bahwa korban dalam kondisi apapun baik disangkutpautkan pada cara berpakaian, waktu, ataupun lokasi didapatkan bahwa pelecehan seksual tidak terpaku pada satu korban dengan varietas tertentu, tetapi secara keseluruhan kondisi.

Faktanya siapapun tanpa terhindari bisa menjadi korban pelecehan seksual. Dari sinilah, didapatkan bahwa yang perlu dipertanyakan merupakan pola pikir pelaku. Maka dari itu, kesalahan pelecehan seksual terdapat pada diri pelaku. Lebih lanjut lagi, konteks pelecehan seksual sendiri pada intinya adalah penyalahgunaan otoritas pelaku terhadap hak korban, meskipun beberapa pelaku dalam realita mengajukan alibi bahwa tindakan tersebut bukan merupakan pelecehan seksual, tetapi suatu hal romantism antara dua sejoli. Tentunya hal ini adalah hal yang sangat tidak mendasar untuk diungkapkan apalagi dibenarkan. Sayangnya, alibi ini tidak hanya hadir dari pelaku, tetapi juga dari lingkungan sekitar korban di mana seringnya ungkapan yang muncul adalah pasti sama-sama mau, mengapa kok mau? Kedua pertanyaan ini adalah implementasi Victim Blaming. Yang seharusnya korban dilindungi menjadi berbalik arah. Apapun pada saat nantinya kebenaran terungkap, menurut saya, kita dalam menyikapi tindak pelecehan seksual adalah percaya korban.

Tidak, saya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Pelecehan seksual tidak dapat disalahkan pada satu kelompok tertentu, seperti perempuan. Ini adalah masalah kompleks yang melibatkan banyak faktor, termasuk budaya, pendidikan, ketidaksetaraan gender, dan kebijakan perlindungan.

Penting untuk memahami bahwa pelecehan seksual bukanlah tanggung jawab satu kelompok gender saja. Pada kenyataannya, pelecehan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak tergantung pada jenis kelamin. Menghubungkan pelecehan seksual langsung dengan satu kelompok gender dapat menyederhanakan isu ini secara tidak adil dan memperburuk stereotip gender.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pelecehan seksual termasuk ketidaksetaraan kekuasaan, norma budaya yang merugikan, dan kurangnya pendidikan tentang persetujuan dan batas-batas pribadi. Oleh karena itu, kita perlu menganalisis masalah ini dari perspektif yang lebih luas dan tidak hanya menyalahkan satu kelompok gender.

Dalam menanggapi pelecehan seksual, penting untuk mempromosikan kesetaraan gender, mendidik masyarakat tentang persetujuan, dan memperkuat kebijakan perlindungan yang adil dan efektif. Saling pengertian dan kerjasama antara semua kelompok gender adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari pelecehan seksual.

Penelitian Terkait Penyebab Pelecehan Seksual


Terdapat banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memahami penyebab pelecehan seksual, dan hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor kompleks yang melibatkan budaya, kekuasaan, dan ketidaksetaraan gender berkontribusi pada masalah ini. Mari kita eksplorasi beberapa temuan kunci dari penelitian-penelitian tersebut.

1. Budaya dan Norma Sosial: Banyak penelitian menyoroti peran budaya dan norma sosial dalam memengaruhi tingkat pelecehan seksual. Norma-norma yang merugikan atau membiarkan perilaku pelecehan dapat menciptakan lingkungan yang memperbolehkan tindakan semacam itu. Penelitian telah menunjukkan bahwa di masyarakat yang mempromosikan kesetaraan gender dan menghormati hak-hak individu, tingkat pelecehan seksual cenderung lebih rendah.

2. Kekuasaan dan Ketidaksetaraan: Ketidaksetaraan gender dan ketidaksetaraan kekuasaan adalah faktor kunci yang terkait dengan pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa di lingkungan di mana terdapat ketidaksetaraan gender yang signifikan, tingkat pelecehan seksual cenderung lebih tinggi. Kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban dapat memperkuat perilaku pelecehan.

3. Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan memiliki peran penting dalam pencegahan pelecehan seksual. Penelitian menyoroti bahwa kurangnya pengetahuan tentang persetujuan, batas-batas pribadi, dan konsekuensi pelecehan seksual dapat menjadi faktor pendorong tindakan tersebut. Program pendidikan seksual yang holistik dan menyeluruh telah terbukti efektif dalam menurunkan tingkat pelecehan.

4. Faktor Psikologis: Beberapa penelitian juga meneliti faktor-faktor psikologis yang mungkin terlibat dalam perilaku pelecehan seksual. Ini termasuk penelitian tentang perilaku antisosial, gangguan kepribadian, dan trauma masa kecil. Namun, penting untuk diingat bahwa faktor-faktor ini tidak selalu menjadi penyebab langsung pelecehan seksual dan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya.

5. Pengaruh Media dan Konten Seksual: Pengaruh media dan konten seksual juga telah menjadi fokus penelitian. Paparan yang berlebihan terhadap gambar dan konten seksual yang merendahkan dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku individu. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh media ini dapat menciptakan lingkungan yang mendukung atau membenarkan tindakan pelecehan.

6. Kebijakan Perlindungan dan Penegakan Hukum: Penelitian juga menyoroti pentingnya kebijakan perlindungan dan penegakan hukum dalam menanggulangi pelecehan seksual. Lingkungan yang memiliki sistem hukum yang kuat dan efektif dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku, menciptakan dorongan untuk mengurangi tindakan pelecehan.

7. Ketidaksetaraan Ekonomi: Ketidaksetaraan ekonomi, terutama dalam hubungan pekerjaan, juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa di lingkungan di mana terdapat ketidaksetaraan upah dan peluang karir antara jenis kelamin, tingkat pelecehan seksual dapat meningkat.

8. Lingkungan Tempat Kerja dan Pendidikan: Lingkungan tempat kerja dan pendidikan memiliki peran signifikan dalam mendorong atau menghambat pelecehan seksual. Kebijakan yang mendukung lingkungan yang aman, prosedur pelaporan yang jelas, dan pendekatan nol toleransi terhadap pelecehan seksual dapat membantu mengurangi insiden.

Dalam melihat hasil-hasil penelitian ini, penting untuk menyadari bahwa pelecehan seksual adalah masalah yang kompleks dan banyak faktor yang saling terkait. Tidaklah tepat untuk menyalahkan satu kelompok gender atau faktor tunggal. Solusi yang efektif harus mencakup pendekatan holistik yang melibatkan perubahan budaya, pendidikan yang memadai, penegakan hukum yang kuat, dan kebijakan perlindungan yang berdaya guna. Melalui pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor ini, masyarakat dapat bekerja bersama-sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari pelecehan seksual.