Setetes Air Dari Hari Alastu

Taman Surga

Ibnu Muqri membaca al-Qur’an dengan benar. Ya, dia melantunkan aksiden al-Qur’an dengan benar, tetapi dia tidak mengetahui maknanya. Buktinya adalah dia tidak bisa menjawab ketika ditanya tentang maknanya. Ia membaca tanpa melihatnya. Dia seperti seseorang yang menggenggam cerpelai, kemudian ada orang lain yang menawarkan cerpelai yang lebih bagus dari miliknya, tapi ia menolaknya.

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya orang tersebut tidak tahu apa-apa tentang cerpelai. Orang lain berkata padanya: “Ini adalah cerpelai,” lalu ia serta merta mengambilnya karena ikut-ikutan saja. Seperti anak-anak yang bermain dengan buah kenari, ketika mereka disuguhkan buah kenari atau minyak kenari itu, mereka akan menolak sambil berkata: “Kenari itu yang bunyinya kertak-kertuk. Benda ini tidak bersuara, apalagi berbunyi kertak-kertuk.” Gudang-gudang Allah itu sangat banyak, begitu juga dengan ilmu-ilmu-Nya. Jika seseorang membaca al-Qur’an itu dengan ilmu, lantas kenapa ia menolak al-Qur’an yang lain?

Kutegaskan lagi pada para pembaca al-Qur’an bahwa Allah telah berfirman:

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat- kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. al-Kahfi: 109)

Sekarang, dengan tinta seharga lima puluh dirham, seseorang sudah bisa menyalin seluruh isi al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri hanyalah sebagian kecil dari simbol ilmu Allah, karena semua ilmu adalah milik Allah, tidak hanya yang tertulis dalam mushaf al-Qur’an saja. Seorang ahli obat meletakkan sedikit obat di atas secarik kertas. Kamu kemudian berkata:

“Semua obat-obatan yang dimiliki oleh ahli obat ada di atas secarik kertas ini.”

Perkataan seperti itu tentu amat bodoh dan menggelikan. Di zaman Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-Nabi lainnya, sudah ada al-Qur’an. Kalam Allah sudah ada kala itu, hanya saja tidak dalam bahasa Arab. Kutegaskan hal ini pada para pembaca al-Qur’an dengan cara demikian, tapi aku melihat semua itu tidak berbekas sama sekali pada mereka, jadi kutinggalkan saja mereka.

Dikisahkan bahwa di zaman Nabi Muhammad Saw., siapa saja sahabat yang mampu menghafal satu atau setengah surat al-Qur’an dalam hati, maka dia disebut sebagai orang yang hebat dan orang-orang akan mengatakan: “Ia menghapal satu surat al-Qur’an,” karena ia telah ‘menelan’ al-Qur’an. Seseorang yang bisa menelan satu atau sepotong roti tentu merupakan pekerjaan yang hebat. Akan tetapi orang-orang yang mampu meletakkan roti di dalam mulut mereka tanpa mengunyahnya dan malah memuntahkannya lagi, maka ia akan mampu memakan ribuan ton roti dengan cara seperti itu.

Oleh karena itu dikatakan bahwa, “Banyak orang yang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an mengutuknya.” Tentu yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak memperhatikan makna al- Qur’an itu sendiri.

Meski demikian, hanya membaca al-Qur’an saja juga tetap merupakan sebuah kebaikan. Sekelompok orang ditutup matanya oleh Allah dengan ketidaksadaran sehingga mereka memakmurkan dunia ini. Jika mereka semua dianugerahi kesadaran terhadap dunia lain di sana, maka tentu dunia ini tidak akan makmur sama sekali. Ketidaksadaran itulah yang menyebabkan kemajuan di bumi ini. Coba pikirkan masa kanak-kanak kita dahulu. Dari ketidaksadaran itu kita menjadi besar dan tumbuh tinggi, namun ketika pertumbuhan akal ini telah mencapat kesempurnaan, pertumbuhan kita terhenti.

Jadi, penyebab pertumbuhan dan kemajuan di bumi ini adalah ketidaksadaran itu, dan penyebab kerusakan dan kemusnahan adalah kesadaran.

Apa yang aku katakan ini tidak akan keluar kecuali karena dua hal: Aku mengatakan semua ini karena cemburu, atau aku mengatakannya karena rasa kasihan. Aku berlindung kepada Allah dari kecemburuan di hatiku. Sayang sekali jika kita harus cemburu pada seseorang yang memang layak untuk dicemburui, tapi bagaimana jika kita cemburu pada mereka yang tidak layak untuk dicemburui? Tidak, aku mengatakan semua ini karena rasa kasihan dan kasih sayangku yang begitu besar pada kalian, karena aku berharap bisa membawa kalian ke dalam muara makna yang sesungguhnya.

Dikisahkan pada suatu hari ada seorang jamaah haji memasuki daerah gurun pasir. Di sana, ia merasa kehausan. Sampai akhirnya ia melihat ada sebuah tenda kecil yang sudah koyak di kejauhan. Ia pun berjalan ke arah tenda itu. Ketika ia melihat seorang perempuan, ia berteriak:

“Aku adalah tamu! Aku telah mencapai tujuanku!”

orang itu pun masuk, duduk, dan meminta air. Pemilik tenda memberinya minuman yang lebih panas dari api dan lebih asin dari garam. Air itu membakar semua yang dilewatinya, dari bibir hingga kerongkongannya. Rasa haru orang itu membuatnya ingin menasihati gadis itu sebagai tanda terima kasih.

“Karena kebaikan yang telah kamu berikan kepadaku, sekarang aku berhutang padamu.”

Kata orang itu.

“Kasih sayang telah meluap dalam diriku, jadi perhatikan baik-baik apa yang akan aku ucapkan padamu. Lihatlah, Baghdad sudah dekat dari di sini, begitu juga dengan Kufah, Wasith, dan juga kota lainnya. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan perjalanan, kamu bisa berhenti dan beristirahat di sana dan di sana, dan berputar balik dari satu tempat ke tempat lainnya sampai kamu sampai ke tempat itu. Di sana ada banyak minuman yang manis dan dingin, berbagai jenis makanan, bak mandi, berbagai kenikmatan dan perhiasan.”

Orang itu terus menyebutkan kemegahan-kemegahan yang ada di kota itu.

Sesaat kemudian, datang seorang Badui yang tidak lain adalah suami dari perempuan itu. Dia sudah menangkap sekeranjang tikus gurun, lalu meminta sang istri untuk memasaknya. Sang tuan rumah juga menyuguhkan beberapa kepada sang tamu, yang dimakan oleh lelaki itu dengan perasaan jijik. Setelah itu, di tengah malam, sang tamu tidur di luar tenda. Perempuan itu berkata kepada suaminya:

“Apa kamu tidak pernah mendengar semua kisah yang diceritakan oleh tamu kita itu?”

Dia pun menceritakan semua yang diceritakan tamu tadi pada suaminya. Badui itu menjawab:

“Istriku, jangan kamu dengarkan apapun dari tamu kita ini. Ada banyak sekali orang yang cemburu di dunia ini. Ketika mereka melihat orang lain hidup dalam kebahagiaan dan kesenangan, mereka cemburu padanya dan ingin mengusir mereka dari tempat tinggalnya dan menjerumuskan mereka pada kehidupan yang menyedihkan.”

Sebagian orang mirip seperti orang Badui ini. Ketika orang menasihatinya karena perasaan sayang kepada orang lain, ia justru menyebutnya sebagai pencemburu. Namun, jika seseorang memiliki akar yang kuat dalam hatinya, pada akhirnya, ia akan memalingkan wajahnya kepada kebenaran. Ketika setetes air dari Hari Alastu (Perjanjian Awal) dipercikkan kepadanya, kelak tetes air itu akan membebaskannya dari kebingungan dan kesedihan. Maka, kemarilah! Sampai kapan kamu akan jauh dariku dan menjadi orang asing? Sampai kapan kamu akan diliputi oleh kebingungan dan kesedihan? Apa yang harus kita katakan pada orang yang belum pernah mendengar cerita-cerita tersebut, bahkan dari guru mereka sendiri?

Seorang penyair pernah berkata:

Karena keagungan tak pernah melingkupi nenek moyang mereka,

Mereka juga tidak akan mampu mendengar sesuatu dari orang-orang yang agung.

Meskipun berhadapan dengan esensi tidaklah menarik pada awalnya, tapi jika ia terus mengikutinya, maka ia akan menjadi semakin manis. Ini berlawanan dengan aksiden yang membuat kita terpesona pada awalnya, tapi semakin lama kita berhadapan dengannya, ia akan menjadi semakin dingin. Apalah artinya bentuk al-Qur’an jika dibandingkan dengan maknanya?—bayangkan seorang manusia; apalah artinya bentuk dibanding dengan esensi orang tersebut?—Jika bentuk dari manusia itu terlepas dari dirinya, kita tidak akan melepaskannya dari tempat ia berada barang sejenak.

Maulana Syamsuddin, semoga Allah menyucikan jiwanya, pernah bercerita: Suatu ketika ada sebuah kafilah besar yang sedang berjalan menuju suatu tempat. Sepanjang perjalanan, mereka tidak menemukan tanda-tanda adanya pemukiman dan sumber mata air.

Tiba-tiba mereka sampai di depan sebuah sumur yang tidak ada timbanya. Mereka pun mengambil sebuah ceret dan tali secukupnya kemudian menurunkannya ke dalam sumur. Saat mereka menarik tali itu, ceret yang diikat tali itu pecah. Mereka mengambil ceret lainnya dan kembali dimasukkan ke dalam sumur, tapi lagi-lagi ceret itu pecah. Setelah itu, mereka mengikat beberapa orang dengan seutas tali untuk diturunkan ke dalam sumur, tetapi mereka juga tak kunjung keluar dari sumur gelap itu. Kemudian ada seorang pandai berkata, “Aku akan turun.” Mereka pun menurunkannya. Ketika hampir mendekati dasar sumur, tiba-tiba laki-laki itu melihat sesosok makhluk hitam yang menakutkan muncul dihadapannya.

“Aku tidak akan melarikan diri, tapi setidaknya biarkan aku menjaga akalku dan tidak kehilangan kesadaranku sehingga aku bisa melihat apa yang akan terjadi,” Kata laki-laki itu.

“Jangan banyak bicara. Kamu adalah tawananku, dan kamu tidak akan selamat kecuali kamu bisa memberikan jawaban yang benar. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu,” Jawab sosok hitam itu.

“Silakan, tanya saja,” timpal laki-laki itu.

“Tempat mana yang paling baik di muka bumi ini?” sosok itu bertanya.

“Aku hanyalah seorang tawanan dan makhluk lemah di hadapannya. Jika aku menjawab Baghdad atau kota lainnya, mungkin aku menghina kampung halamannya,” laki-laki itu membatin. Kemudian ia pun berkata dengan suara lantang, “Tempat yang paling baik untuk ditinggali adalah tempat di mana pun kita bisa merasa nyaman di dalamnya. Meskipun tempat itu berada di perut bumi atau di lubang tikus, maka itu adalah tempat yang terbaik.”

“Benar, jawabanmu benar,” kata sosok hitam itu. “Sekarang kamu selamat. Kamu adalah satu-satunya dari sejuta orang. Sekarang aku akan melepaskanmu, dan akan kubebaskan yang lainnya demi kamu. Mulai sekarang aku tidak akan menumpahkan darah lagi. Akan aku limpahkan anugerah berupa sumur ini pada semua orang karena cintaku padamu.”

Sosok hitam mengerikan itu pun memberikan banyak air agar bisa diminum oleh rombongan kafilah tersebut.

Tujuan dari kisah ini terkandung dalam maknanya. Kita bisa mengatakan makna yang sama dengan bentuk yang lain. Tetapi orang-orang yang ikut-ikutan akan berpegang pada bentuk itu sendiri. Akan sulit untuk berbicara dengan mereka, meski kamu menceritakan tentang makna kisah ini dalam bentuk yang lain, mereka tetap tidak akan mendengarnya.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum