Serat keluarga alasan dan keterbatasan

Sreeeeeekkkkk aaah… Telingaku tergores paku. Namaku Cahyani Afiatun Ni’mah dan biasa dipanggil Via. Aku mempunyai ayah yang bernama Murjito dan ibu yang bernama Anik Fauziah. Kedua orangtuaku adalah pahlawan semasa hidupku dan anugerah yang paling indah dari Tuhan SWT. Kurang satu lagi, namanya Rudi. Dia pamanku yang bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri di Surabaya. Pada hari Rabu malam aku dan teman teman bermain petak umpet yang sangat seru. Aku bersembunyi dihalaman rumah tetangga yang namanya pak ongki, menyesuaikan kaki duduk bersila, tubuh ku bersandar didinding dan rasa takut pun menghampiriku karena rumah pak ongki akhir-akhir ini jarang dihuni. Tak lama kemudian aku berdiri ingin keluar dari tempat persembunyian. Karena rasa takut yang menghampiriku, ketika aku bergegas untuk berdiri tidak melihat di dinding tempat tubuhku bersandar ternyata ada paku dan menegakan badanku. Lalu paku itu mengenai daun telingaku. Huuuhuuhuuu… Aku menangis terasa sakit karena darah ini bercucuran sehingga aku dipulangkan ke rumah. Huhuhuhuuuu… Tiba dirumah ibu tercengang lalu buru buru mengambil obat obatan karena melihat daun telingaku mengeluarkan darah yang lumayan deras. Pelan-pelan ibu membersihkan darah dan mengobatinya sambil menanyakan peristiwa yang terjadi sebenarnya. Lalu aku menceritakan kepada ibu apa yang telah terjadi pada saat petak umpet malam ini.
" Tadi bu, aku main petak umpet sembunyi di halaman rumah pak Ongki. Aku duduk sila nempel didinding lalu berdiri tanpa menengok kanan kiri karena rasa takut lalu daun telingaku tergores paku. "
" Berarti harus lebih hati - hati lagi dan memang seharusnya via hari ini harus berada dirumah. "
" Iya bu, Via salah. Via minta maaf karena tidak menaati nasihat ibu. "
" Iya nak… lain kali nurut sama nasihat ibu ya "
" Iya bu… "
Ibu memeluku dan aku menyesal karena tidak menaati apa yang telah dikatakan ibu.
Seminggu kemudian tepatnya malam Jumat aku bersama teman-teman pergi ke mushola untuk mengikuti pengajian. Lantunan sholawat yang merdu, pesan kesan yang dapat diambil dan diamalkan. Lalu acara pengajian telah selesai. Kita memutuskan untuk langsung pulang kerumah masing-masing karena mungkin waktu sudah terlalu larut malam. Sesampai tiba didepan pintu rumah aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Setelah berkali-kali aku mengucapkan salam, tak lama kemudian tetanggaku pak Ali menghampiriku didepan rumah. Beliau memberi kabar bahwa ibu dan ayahku pergi ke rumah sakit.
" Ibu dan ayahmu lagi pergi ke rumah sakit untuk berobat. "
" Emang siapa yang sakit pak? "
" Ibumu via… "
" Ibu sakit apa? "
" Ibumu mengalami keguguran "
" Innalillahi wa innailai raji’un "
Setelah kabar musibah itu, aku langsung diantar oleh pak Ali pergi ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit aku bertemu ayahku dan ayah menyuruhku untuk berdoa saja. Jam menunjukan pukul 02.00 menjelang fajar, dokter mengizinkan pihak keluarga masuk untuk menemani ibu. Hari selanjutnya ibuku sudah merasa sehat dan meminta pulang untuk rawat jalan dirumah. Sepulang dari Rumah Sakit kami sekeluarga berkumpul diruang keluarga ditemani suasana langit sedikit gelap, angin bertebaran, hujan rintik-rintik dan suara televisi yang tidak terlalu terdengar keras.
Nggug Nggug… Nggug nggug… Suara hp ibuku bergetar dan telepon masuk dari paman. Aku melanjutkan untuk menonton sinetron yang tayang di program SCTV. Terdengar suara salam menutup telepon. Kemudian ibuku menceritakan apa yang telah dibicarakan oleh pamanku. Pertama, paman memberi kabar akan menikah di bulan Februari. Sedangkan orangtua dari ibu Dan pamanku menetap di Pekanbaru Riau. Karena terhalang oleh jarak dan memang sudah cukup lanjut usia maka paman meminta tolong agar wali dari pamanku ketika menikah diwakilkan oleh ibuku yaitu kakak pertama paman. Yang kedua, paman juga meminta tolong agar orangtuaku meminjami uang untuk semua biaya acara pernikahan dan uang tersebut akan diganti ketika acara pernikahan telah selesai. Ayah dan ibu mencoba untuk merundingkan kembali tentang biaya pernikahan paman Rudi . Akhirnya ayah berpendapat bagaimana jika biaya pernikahan dibagi dua untuk di samakan agar paman juga ikut mengeluarkan uang atas biaya pernikahannya dan ibuku setuju dengan pendapat ayah.
Hari Minggu pagi paman pulang kerumah. Kemudian keluargaku menyambut ramah dengan memberi jamuan yang sederhana. Tak lama kemudian paman membicarakan masalah biaya pernikahannya. Lalu ayahku dengan santai menyampaikan pendapat bahwasanya akan meminjami uang setengah dari keseluruhan biaya acara pernikahan. Perasaan egois yang selalu menyelimuti paman dan tak pernah memikirkan beban orang lain dengan berbagai alasan mulai alasan yang masuk akal sampai alasan yang tidak bisa dipahami. Dilanjut ibu juga menyampaikan alasan yang hanya bisa membantu meminjami uang setengah biaya pernikahan karena keterbatasan dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Setelah berpikir, ayahku memutuskan untuk meminjami uang biaya pernikahan sepenuhnya dengan cara meminjam uang di bank. Karena bagaimanapun juga paman tetap saudara kita.
Beberapa hari setelah persiapan sudah tertata rapi bulan Februari telah tiba dan acara pernikahan berlangsung dirumahku. Acara yang sederhana, diiringi musik sholawat, jamuan kue dan minuman yang cukup, berbaris-baris karpet dari mulai ruang tamu sampai halaman rumah yang sudah di siapkan. Telah tiba calon istri didampingi banyak saudara yang ikut hadir dalam acara pernikahan. Kemudian saling bersalam-salaman dengan memberikan kue yang sederhana dan mempersilhkan duduk ditempat yang telah disediakan. Acara berlangsung lancar dan selesai acara tersebut, keluarga dari istri berpamitan pulang kembali ke halaman kampung untuk menitipkan putrinya kepada suaminya.
Beberapa bulan terlewati. Tidak ada kabar sama sekali dari keluarga paman untuk segera mengganti biaya pernikahannya. Secara tegas, ibuku mengambil langkah terpaksa untuk meminta paman mengganti uang yang telah digunakan untuk biaya pernikahan karena keluargaku sedang membutuhkan uang tersebut untuk biaya pendaftaran sekolahku dan berbagai kebutuhan lainnya. Dari pihak bank sudah mulai menarik pinjaman uang yang telah dipinjam ayahku. Dengan berbagai alasan dan rasa egois paman yang tetap memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri tanpa memikirkan akan tanggung jawab berupa uang yang harus dibayarkan sampai detik ini. Akhir cerita, ayah dan ibu dengan berat hati mengorbankan menjual rumah dan menetap di Madiun rumah orangtua dari ayahku. Singkat waktu, aku memutuskan berangkat pergi ke pondok sambil sekolah dibiayai ayah yang bekerja menjual songkok dikawasan pondok dan ibu bekerja mengasuh anak kecil diluar negeri :))IMG_20200418_155153