Seperti apa tradisi sosial politik nusantara pada masa pra-kolonial?

Sebelum kehadiran bangsa Eropa, masyarakat nusantara masih menganut monarkhi, di mana raja merupakan penentu kelangsungan negara satu-satunya. Bangsa-bangsa di nusantara, seperti halnya masyarakat tradisional di manapun, merupakan penganut otokrasi kerajaan secara turun-temurun. Legitimasi kekuasaan raja disandarkan pada pembenaran-pembenaran spiritual ataupun eskatologis sesuai kepercayaan setempat. Sistem tersebut tidak pernah mengalami perubahan, bahkan tidak pernah dipertanyakan.

Tradisi sharing kekuatan sosial politik tidak ditemukan pada kerajaan-kerajaan besar, khususnya di pulau Jawa. Justru semakin besar sebuah kerajaan, hegemoni raja semakin besar dalam menentukan jalannya pemerintahan. Bahkan seluruh kehidupan sosial ekonomi, politik, budaya dan keagamaan masyarakat, pada dasarnya dipresentasikan untuk memfasilitasi kehidupan raja, keluarga dan orang-orang terdekatnya. Kehendak raja direpresentasikan sebagai kehendak negara. Raja memiliki kedudukan tinggi dengan legitimasi ketuhanan, yang titahnya tidak mungkin salah.

Di nusantara juga terdapat tradisi yang identik dengan praktik demokrasi era Viking yang diklaim Dahl sebagai bibit demokrasi di Eropa. Pemerintahan memiliki struktur yang relatif kompleks juga pernah berkembang pada sebagian kerajaan-kerajaan nusantara. Fenomena tersebut dapat dicermati tradisi politik di kerajaankerajaan Gowa, Tallo, Bone dan Wajo di Sulawesi yang tidak menerapkan sistem keturunan melainkan dipilih oleh para karaeng atau arung. Praktik pemerintahan ditunjang oleh pangreh praja yang terdiri dari pedukung panji (Pa’ Bate Lompo), raja hakim (arung ma’bicara) dan duta yang terdiri dari 40 orang. Keputusan-keputusan pemerintahan tidak dapat diambil tanpa persetujuan mereka semua. Praktik ini berlangsung di tengah sistem kerajaan yang terbentuk akibat federasi beberapa penguasa lokal.

Meski praktik politik pemerintahan tersebut menyerupai demokrasi Eropa era Viking atau Yunani, tapi tidak mengalami perkembangan ke arah demokrasi modern, mengingat selain hanya didorong oleh tuntutan kondisi lokal, juga tidak ada dialektika konseptual maupun dukungan perkembangan sosial politik lebih lanjut. Demokrasi tersebut tidak berkembang ke arah tuntutan akan persamaan hak dan kwajiban setiap individu. Praktiknya masih berlangsung elitis, sebagai bentuk sharing antar unsur kekuatan dalam suatu komunitas yang memiliki status sosial sepadan. Tidak ada fenomena penyimpangan sejarah yang menonjol sebagaimana Eropa yang memungkinkan bangsa-bangsa di nusantara keluar dari lingkaran pengulangan tradisi dan budaya sebelumnya.

Struktur pemerintahan tradisional di nusantara, menurut Hatta, tidak membuat rakyat merasa tertindas oleh kekuasaan raja. Rakyat jelata masih dapat menyampaikan aspirasinya yang seringkali hanya disampaikan melalui pesan simbolis dan selalu direspon penguasa. Bilamana rakyat keberatan dengan aturan penyerahan upeti atau kebijakan tertentu dari penguasa, mereka berkumpul di depan istana dalam posisi diam sampai raja atau penguasa menanyakannya. Upaya ini lebih menyentuh dan menyelesaikan masalah dibanding pernyataan terang-terangan ataupun sikap konfrontatif. Bila penguasa tetap kukuh pada pendiriannya, sekelompok masyarakat dapat saja memilih meninggalkan tempat tinggal mereka dan pindah, atau membuka daerah baru di luar jangkauan aparat kerajaan.

Lekatnya otokrasi pada kerajaan-kerajaan nusantara menjadikannya rentan terhadap persaingan yang berujung konflik internal maupun eksternal. Situasi sosial politik terlalu tergantung pada kehendak raja secara perorangan, tanpa dukungan sistem sosial politik yang mapan secara sistemik. Kerajaan-kerajaan nusantara dihadapkan pada problem yang hampir serupa dan terus terulang, di antaranya:

  • Persaingan antar keturunan (wangsa/marga) untuk menjadi penguasa.
    Kasus paling menonjol dapat dicermati berdasarkan dinamika kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang sarat pertikaian antar keturunan yang diikuti dengan perpindahan pusat kekuasaan. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik internal yang mampu menghindarkan dari resiko runtuhnya tatanan dan keutuhan negara. Perpindahan pusat-pusat kerajaan dari Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang dan terakhir di Mataram Yogyakarta banyak diwarnai konflik berdarah dalam rangka perebutan kekuasaan antar keturunan raja (trah). Karena itu, kebanyakan kerajaan di nusantara, bahkan yang terhitung kerajaan besar, tidak mampu bertahan cukup lama.

  • Persaingan dan peperangan antar kerajaan
    Persaingan dan perang sering terjadi antar kerajaan nusantara karena kepentingan ekonomi, stabilitas keamanan, perebutan pengaruh maupun sekedar memperjuangkan hargai diri raja dan keluarganya. Situasi semacam ini masih terjadi hingga mulai berkuasanya bangsa Eropa di nusantara, baik dalam bentuk persaingan terbuka, maupun persaingan diam-diam (silent rivality). Di kemudian hari, situasi ini bahkan memberi jalan bagi Belanda dalam menaklukkan seluruh kerajaan nusantara.

  • Rapuhnya daya tahan kerajaan dan hubungan antar kerajaan
    Ketergantungan pada kehendak individual menjadikan daya tahan kerajaan kurang begitu kuat. Kerajaan tidak ubahnya sebuah keluarga besar yang memiliki kekuatan berlebih, hingga mampu mengendalikan komunitas yang lebih luas di sekitarnya. Sejalan dengan pola pikir pada masanya, penaklukan dengan kekuatan bersenjata masih dipandang sebagai sesuatu yang wajar dalam tradisi rivalitas antar kerajaan.

Keadaan ini dimanfaatkan dengan baik oleh pendatang Eropa, dengan mendukung salah satu di antara kelompok yang bertikai. Para pendatang Eropa dapat membangun pengaruh, dan memperoleh konsesi-konsesi perekonomian, bahkan politik. Lemahnya kerajaankerajaan nusantara di samping situasi rivalistik dan konfliktif antara kerajaan menjadikannya tidak berdaya ketika berhadapan dengan negara lain yang memiliki struktur organisasi, sistem sosial politik lebih mapan dan persenjataan yang lebih baik dari kalangan pendatang Eropa. Mereka dimanfaatkan sebagai sarana memperlemah kekuatan kerajaan tertentu dengan cara mendukung kerajaan yang lain.

Hingga menjelang penjajahan Belanda, relasi antar kerajaan sarat persaingan untuk dominasi dan penguasaan, bahkan ketika Islam sudah menyatukan mereka. Berbeda dari agama Nasrani yang berhasil mempersatukan Eropa meski disertai hegemoni politik yang despotik, Islam hanya mewarnai tradisi pemerintahan, tanpa menimbulkan hegemoni politik yang mengatasnamakan agama.

Setelah hampir seluruh kerajaan nusantara menerima Islam sebagai agama kerajaan, tidak berarti ada sejarah yang menyatukan antar bangsa yang melahirkan dendam bersama seperti yang dirasakan oleh kerajaan-kerajaan Eropa akibat perang Salib. Nusantara juga tidak mengenal antipati pada institusi keagamaan sebagaimana Eropa sejak lepas dari kungkungan gereja di era kegelapan. Saat Eropa mengalami penyimpangan sejarah, menurut istilah Hans Romain. Islam bahkan baru memulai awal perkembangan dan penyebarannya di nusantara.

Pola hubungan antara raja dengan bawahan dan rakyatnya adalah patriarchalism, yang menempatkan kedudukan atasan dan bawahan pada pola hubungan tuan-hamba. Ini terjadi bahkan ketika menyentuh aspek-aspek yang semestinya menuntut profesionalisme. Dapat dicermati sistem rekrutmen tentara pada kerajaan mutakhir nusantara, Mataram, yang dilakukan dengan pengalokasian kerja untuk diri sendiri atau keluarga dan pengabdian pada raja.

Rakyat rela terbatasi kesempatannya dalam memanfaatkan sumber daya alam, karena keharusan menyisihkan sebagian waktu, tenaga bahkan kekayaannya untuk kepentingan kerajaan. Rakyat hanya memiliki kesempatan bercocok tanam sekali sampai dua kali dalam satu tahun, sebab selebihnya dialokasikan untuk mengabdi pada raja. Secara umum, tingkatan pertama terdiri dari raja dan keluarganya; disusul golongan elit dari kalangan bangsawan kerajaan; kemudian golongan non-elit; dan terakhir golongan budak. Setelah sebelumnya sistem monarkhi menciptakan stratifikasi sosial, kurun penjajahan menyebabkan penggolongan masyarakat tersebut kian menajam ke beberapa tingkatan yang rumit.

Ketundukan mutlak bawahan pada raja merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar, sebab sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, kedudukan raja dengan aparat di bawahnya dan rakyat jelata adalah dalam konteks hubungan tuan-hamba. Raja tidak memiliki banyak kewajiban terhadap bawahan ataupun rakyatnya, tapi sebaliknya bawahan dan rakyat jelata mempunyai kewajiban mengabdikan diri dan hidupnya secara penuh pada raja. Kedekatan jarak pengabdian seseorang dengan raja lebih menentukan tingkatan status sosialnya, di mana semakin dekat jarak pengabdian seseorang dengan raja, maka semakin tinggi derajatnya di tengah masyarakat. Pola relasi antara rakyat dan penguasa semacam ini hampir merata di hampir seluruh wilayah nusantara. Pejabat-pejabat kerajaan, termasuk tentara merupakan status pengabdian hamba pada raja, padahal pada kurun yang sama di Eropa, kedudukan raja telah bergeser menjadi simbol negara.

Meski demikian, keadaan ini diterima oleh rakyat nusantara bukan sebagai bentuk penindasan. Bila pada kurun yang sama masyarakat Eropa merasakan penderitaan yang sangat akibat otokrasi dan berusaha mengubah keadaan, bangsa nusantara tidak banyak merasakannya sebagai penderitaan meski menghadapi sistem yang sama. Pada masyarakat Barat, justifikasi ketuhanan atas status raja mulai dipertanyakan, terlebih bilamana kebijakan kerajaan dengan intensitas kerja birokrasinya dirasa memberatkan masyarakat. Perkembangan intelektual juga mendorong pikiran-pikiran rasional mengemuka mempertanyakan kembali konsep-konsep sosial kemasyarakatan yang sebelumnya dianut.

Sementara pada kawasan di luar Eropa, kemapanan birokrasi pemerintahan yang pada umumnya masih lemah tidak cukup menimbulkan perasaan tereksploitasi berlebihan pada masyarakat. Pajak dan upeti yang biasa diserahkan rakyat pada penguasa tidak menimbulkan pergolakan yang berarti, karena jaringan birokrasi pemerintah belum mampu mengeksploitasi pajak secara sistemik, di samping secara antropologis kondisi masyarakat juga masih benarbenar lemah untuk memberikan respon rasional

Perbedaan kemajuan sistem birokrasi menimbulkan perbedaan intensitas perasaan tertindas, kesengsaraan maupun respon terhadap sistem otokrasi. Dalam banyak kasus di nusantara, justru dampak dari kebijakan negara, terutama beban pungutan oleh negara seperti pajak dan upeti lebih banyak ditanggung penguasa lokal, yang secara langsung berhadapan dengan penguasa yang lebih tinggi, dibanding rakyat jelata.

Beban pajak dan upeti baru benar-benar terasa justru ketika penjajah menghegemoni kerajaan-kerajaan nusantara. Dengan tuntutan jenis, besaran dan masa penyerahan yang sistematis, banyak anggota masyarakat yang merasakan beratnya pajak dan upeti sebagai bentuk eksploitasi yang berlebihan. Penerapan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang di antaranya memunculkan insiden terbunuhnya seorang tokoh di Banten merupakan satu bukti bahwa pungutan yang dilakukan penguasa yang lebih mapan secara birokratis lebih terasa menindas dibanding hal yang sama dilakukan penguasa tradisional sebagaimana masa-masa sebelumnya.

Pemberontakan-pemberontakan akibat beban rakyat pada penguasa tidak muncul sebelum adanya sistematisasi kerja birokrasi penjajah yang hegemonik. Kalaupun sering terjadi pada masyarakat tradisional di Indonesia sebelum penjajahan, pada umumnya hal itu memang merupakan satu bentuk pembangkangan, perlawanan penguasa lokal atas penguasa di pusat kerajaan, terutama karena didorong oleh keinginan memisahkan diri. Berbeda halnya ketika birokrasi kolonial yang mapan memanfaatkan pemimpin-pemimpin lokal sebagai aparat-aparat birokrasi. Aparat yang direkrut dan bekerja dalam sistem birokrasi menjadi kurang peka terhadap realitas sosio kultural masyarakatnya sendiri. Struktur birokrasi yang mestinya berperan sebagai perangkat organisasi negara justeru dirasakan masyarakat bawah sebagai instrumen penindas.

Tidak bergeraknya pola pehidupan sosial ekonomi masyarakat, bahkan harus mundur kembali pada pola tradisional agraris pada era kolonial, menjadikan struktur sosial politik tersebut tidak mengalami perubahan hingga mulai berkuasanya bangsa Eropa, khususnya Belanda di nusantara. Sampai menjelang masa kemerdekaan tidak ada tuntutan dari rakyat jelata untuk mengubah status sosial menjadi setara. Bangsa-bangsa di nusantara belum mengalami perubahan dari pola hidup masyarakat pra-industri. Tidak ada imperasi sosial, ekonomi, kultural maupun intelektual yang secara sigifikan memungkinkan perkembangan ke arah perubahan sebagaimana pengalaman Barat era renaissnace, selain gelombang nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan seiring gelombang perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia.