Seperti apa tipologi kerajaan Islam di Nusantara?

image

Kehadiran Islam di nusantara memberi identitas bagi penyokong pemerintahan Islam yang terbentuk, tetapi secara institusional Islam tidak menghegemoni pemerintahan. Setiap pemimpin pemerintahan kerajaan Islam tidak terikat oleh kepemimpinan agama, sekalipun di dalamnya banyak didukung tokoh-tokoh agama yang menurut, Azyumardi Azra, saling terikat oleh adanya jaringan keilmuan. Hanya saja, jaringan tersebut bersifat kekerabatan keilmuan, yang lebih berpretensi membangun kesamaan madzhab dan selebihnya diorientasikan untuk kepentingan dakwah, penyebaran agama.

Warna kultur sosial politik yang dipengaruhi oleh Islam di nusantara hanya tampak pada momentum-momentum tradisi. Islam hanya tampak pada upacara-upacara keagamaan yang ditangani kerajaan. Secara politis, apresiasi terhadap Islam hanya memberikan legitimasi bagi kharisma kepemimpinan yang semula disandarkan pada tokoh ataupun simbol-simbol mitis setempat menjadi kharisma keagamaan. Jejak-jejak kharisma tersebut tampak pada diagungkannya raja-raja tertentu, seperti Cirebon, Banten dan Gresik yang membuat iri panembahan Senopati Mataram.

Apresiasi kerajaan-kerajaan, terutama yang besar atas Islam bahkan belum menyentuh aspek penerimaan hukum agama secara penuh. Meski sudah menerima Islam sebagai agama resmi, tapi tradisi setempat masih tetap berjalan tanpa banyak memperoleh kritik ataupun penerapan hukum berdasarkan agama. Islam berintegrasi dan mewarnai kultur setempat yang di satu sisi menjadikannya mudah diterima, tetapi di sisi lain, tidak mampu memberikan kritik yuridis secara signifikan. Barangkali paradigma Islam yang demikian, sufistik, cenderung menjadikannya tidak cukup concern terhadap pembenahan hukum, melainkan lebih menekankan persoalan spiritual. Rekonseptualisasi tatanan sosial politik juga kurang memungkinkan untuk terbangun di tengah perkembangan intelektual Islam yang berada pada fase kemunduran.

Seiring tertutupnya pintu ijtihad, nyaris tidak dijumpai pembaruan baik bidang hukum, teologi dan apalagi bidang sosial politik, karena pada bidang keagamaan sendiri diliputi kemandegan (jumud) berfikir. Wacana sosial politik Islam yang masuk ke nusantara Islam hanya memberikan imbuhan kebudayaan bagi kerajaan-kerajaan nusantara. Hukum Islam diterapkan secara terbatas di beberapa kerajaan. Islam hanya memberikan label dan legitimasi atas kultur yang telah ada sebelumnya, tanpa memperbaharui sistem sosial politik.

Dengan tipologi semacam ini, persoalan apakah Islam sudah menjadi dasar negara atau tidak, kurang menampakkan pengaruh. Ini dikarenakan pola perilaku menonjol masyarakat nusantara umumnya memang masih komunalistik. Kontrol sosial atas berbagai perilaku dan kasus moral masyarakat yang lekat dengan pandangan adikodrati merupakan warisan budaya khas yang ada sejak sebelum masuknya Islam. Kecuali pada kasus munculnya ketokohan ulama yang berupaya meluruskan kesadaran komunal yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai normatif keagamaan, Islam tidak banyak memberi kontribusi atas perubahan kultur dan sistem sosial politik yang progresif.

Dari sini dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya Islam nusantara tidak mengenal pengalaman adanya negara agama, dalam arti negara dikuasai oleh doktrin-doktrin agama. Meski menjadikan Islam sebagai agama negara, tapi pola perilaku yang dijalankan memiliki kemiripan dengan sistem negara sekuler, di mana agama tidak menjadi pertimbangan yang cukup signifikan dalam menentukan jalannya sistem pemerintahan, penataan hukum yang terkait dengan perilaku sosial budaya maupun norma-norma intelektual. Sistem sosial politik kerajaan Islam nusantara, khususnya di Jawa, bahkan masih lebih didominasi oleh warisan sistem sosial politik pra-Islam. Penerimaan atas sistem pemerintahan Islam baru tampak pada perubahan gelar raja dari Prabu, Panembahan, Susuhunan atau Raja menjadi Sultan. Selebihnya, menyangkut status dan kedudukan raja dengan bawahan dan rakyat jelata tetap berlangsung seperti semula. Kedudukan raja di hadapan rakyat dan sebaliknya pada kerajaan-kerajaan di luar pulau Jawa juga tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Kondisi ini dimungkinkan oleh kemiripan pola pikir, tingkat perkembangan intelektual, sosial ekonomi dan budaya bangsa-bangsa di nusantara.