Memasuki era modern, demokrasi memasuki fase perkembangan konsep secara ambigu, dalam arti terbuka pada munculnya berbagai interpretasi. Kemenangan atas rejim-rejim fasis pada masa perang dunia II membuka kesempatan bagi kedua pemenang, rejim liberal dan rejim komunis, untuk menterjemahkan demokrasi menurut versi masing-masing, hingga melahirkan dua aliran besar demokrasi. Keduanya adalah demokrasi liberal atau konstitusional (constitutional democracy) dan yang lain dikenal dengan sebutan demokrasi saja.
Kedua model demokrasi pada dasarnya merupakan demokrasi konstitusional, tapi perbedaan pola penerapan dan ekses yang ditimbulkan menjadikan keduanya sebagai istilah dibedakan satu sama lain. Demokrasi konstitusional identik dengan sistem sosial politik negara-negara sekutu Amerika Serikat yang bercorak liberalkapitalis. Sementara itu, sebutan demokrasi saja identik dengan sistem sosial politik negara-negara blok komunis yang berpijak pada pandangan Marxis-Leninis. Dari sini konsep demokrasi masih berkembang lagi kepada interpretasi yang lebih luas sesuai kondisi negara dan pemerintahan, hingga muncul istilah-istilah demokrasi lain, seperti demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi Sovyet dan sebagainya.
Demokrasi konstitusional yang didasarkan pada nilai-nilai liberal-kapitalis menawarkan tatanan sosial politik yang berdasarkan hukum (rule of law) dan dibangun berdasarkan pemilihan umum yang bebas. Demokrasi konstitusional menuntut beberapa prinsip dasar, berupa konstitusionalisme, asas mayoritas, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggung jawab, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan jaminan kewajiban sipil. Demokrasi berkembang lagi menjadi sebuah sistem politik dan ketatanegaraan yang menjanjikan akses yang sama pada setiap individu untuk menyatakan pendapat dan mengakses kekuasaan. Demokrasi diselenggarakan dengan sistem perwakilan yang dilaksanakan melalui wakil-wakil masyarakat yang dipilih secara berkala, bebas dan melalui persaingan terbuka untuk meraih kekuasaan politik.
Kekuasaan pemerintahan dibatasi oleh konstitusi dan tidak dibenarkan berbuat sewenang-wenang pada warga negara. Batasbatas kekuasaan tersebut tercantum dalam konstitusi. Kekuasaan masih dibagi-bagi lagi kepada beberapa badan-badan independen, yang ditujukan untuk memperkecil kemungkinan disalahgunakan oleh beberapa orang atau kelompok tertentu. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini di Eropa kontinental dikenal dengan istilah negara hukum (Rechsstaaat) dan di Anglo Saxon dikenal dengan istilah Rule of law.
Seiring perjalanan kesejarahan, secara evolutif konsep rule of law juga mengalami perubahan, terutama didorong oleh perkembangan sosial ekonomi dan politik di berbagai negara. Ekses-ekses kapitalisme dengan kuatnya industrialisasi serta kemenangan kelompok-kelompok sosialis di beberapa negara Eropa, mengubah pandangan bahwa larangan campur tangan pemerintah dalam urusan warga negara berubah menjadi kebutuhan akan keharusan pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan warga negara. Konsep negara yang semula hanya sebagai penjaga malam (Nachtwächtersstaat) atas warga negaranya berubah menjadi negara kesejahteraan (Welfare State) atau negara pelayan masyarakat (Social Service State). Demokrasi tidak lagi hanya berhenti pada persoalan politik melainkan meluas pada berbagai aspek, terutama distribusi kesejahteraan ekonomi.