Pada masa pra-kolonial, struktur masyarakat Aceh terdiri dari empat kelompok besar: (1) sultan, (2) ulama, (3) uleebalang , dan (4) rakyat biasa. Sesuai dengan urutannya, kelompok sultan memiliki porsi kekuasaan yang paling besar. Sementara kelompok ulama dan uleebalang yang hampir sama. Namun, karena pengaruh sistem negara kerajaan Aceh yang berhaluan agama, maka kelompok ulama menempati posisi kedua setelah sultan. Kaum uleebalang , oleh karena penguasaan sektor-sektor ekonomi yang produktif di sepanjang pesisir pantai, menjadi kekuatan politik ketiga — atau mungkin sama dengan kelompok ulama. Kelompok sultan, ulama dan uleebalang, karena kekuasaan yang dimilikinya, dapat kita sebut sebagai kelompok penguasa ( the rulers ). Sementara kelompok rakyat biasa, oleh karena kejelataannya, seperti terdapat di manapun, memiliki porsi kekuasaan yang lebih kecil atau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun ( the ruled groups ).
Pada masa kolonial, struktur dan komposisi kekuasaan di atas mengalami perubahan setelah masuknya kolonial Belanda dengan cara fisik yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan sultan secara definitif. Kekuasaan kolonial muncul dan menggeser kekuasaan sultan menjadi kurang lebih sama atau di bawah kekuasaan ulama dan uleebalang. Kekuasaan sultan selanjutnya melebur atau mengalami amalgamasi dengan kelompok uleebalang atau kelompok ulama. Sultan Aceh terakhir ditangkap dan diasingkan, sehingga pengaruh dan kuasanya sirna di masyarakat. Perjuangan repatriasi kekuasaan kesultanan Aceh dilanjutkan oleh kalangan ulama. Bahkan setelah penetrasi sistem kolonial demikian dalam ke masyarakat Aceh, kekuasaan kolonial hampir hilang sama sekali. Dengan hilangnya kekuasaan Sulthan, maka —di atas puing-puing politik yang tersisa— dimulailah program pembangunan ekonomi di Aceh oleh kolonial Belanda. Belanda mulai membangun jalur kereta api, jalan raya aspal dan jembatan yang menghubungkan mukim dan sagoe di seluruh Aceh.
Sementara itu, kalangan ulama dan uleebalang melanjutkan perjuangan jihad melawan kaphe (kafir) Belanda. Sehingga yang tinggal hanyalah komposisi 3 struktur kekuasaan saja: (1) uleebalang , (2) ulama, dan (3) rakyat biasa. Mulai saat itulah kohesi sosial politik golongan-golongan masyarakat yang mendukung struktur sosial Aceh menjadi retak.
Keretakan ini kemudian terus-menerus berimplikasi terhadap dinamika dan pergolakan politik di Aceh. Retakan kohesi sosial-politik ini sangat jelas terlihat pada pergeseran afiliasi politik di antara tiga golongan utama masyarakat Aceh. Sebagian besar golongan uleebalang, sesuai dengan politik pecah-belah Belanda, lebih berafiliasi pada pemerintah kolonial. Sementara, golongan ulama cenderung tetap bersatu dengan sultan. Bahkan dalam beberapa hal fungsi kepemimpinan sultan cenderung berpindah ke tangan para ulama. Terutama gejala ini terlihat dalam gerakan-gerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial.
Meskipun demikian, harus pula diingat bahwa tidak semua golongan uleabalang cenderung berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebab, seperti tercatat dalam sejarah, banyak pula terdapat kaum uleebalang menjadi pemimpin perlawanan yang gigih terhadap Belanda seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien di Aceh Barat, Cut Meutia di Aceh Utara, dan lain-lain. Bahkan, dalam hal ini, Belanda punya kecenderungan untuk memainkan peranannya sebagai penguasa tunggal. Dalam saat-saat tertentu, terutama ketika hubungan uleebalang menjadi dekat, mereka bisa mempromosikan golongan sultan untuk lebih dekat dengan pemerintah kolonial. Akan tetapi jelas pula, bahwa dengan munculnya pemerintah kolonial, dinamika dan pergolakan politik di Aceh lebih ditentukan oleh ketidakmantapan struktur sosial masyarakat Aceh. Ini terutama ditandai oleh persaingan yang tajam antara golongan ulama dan uleebalang. Golongan ulama, pada dasarnya merupakan golongan mayoritas di dalam masyarakat, terutama karena la lebih dekat dengan rakyat banyak. Sementara golongan uleebalang, merupakan kalangan minoritas.
Akan tetapi justru karena itu pula, konflik di antara mereka menjadi semakin tajam. Sadar akan kekuatan perlawanan yang potensial di pihak ulama, pemerintah kolonial berusaha menetralisasikan kekuatan itu lewat kemudahan-kemudahan pendidikan bagi kaum uleebalang. Sebagai akibatnya, kaum ulama semakin merasa terancam. Mereka menyaksikan dan juga mengkhawatirkan bahwa sebagian dari anak-anak muda Aceh sudah mulai tersosialisasikan ke dalam sistem pendidikan Barat. Kenyataan ini dilihat semakin memperkuat kedudukan uleebalang dan dengan demikian sekaligus akan semakin memperlemah kedudukan mereka.
Suasana yang penuh dengan benih-benih konflik ini semakin dipanaskan oleh munculnya perkembangan baru: munculnya Muhammadiyah. Organisasi pembaharu Islam ini menjadikan afiliasi-afiliasi politik dan sosial masyarakat Aceh semakin rumit. Di satu pihak, karena organisasi Muhammadiyah bersifat apolitis yang cenderung mempergunakan kaum uleebalang di banyak tempat sebagai pengurus dan tokoh yang memegang kekuasaan politik dan dengan sendirinya pula, memperkuat posisi kelompok ini. Bagi kalangan ulama organisasi Muhammadiyah bisa mengancam pengaruh mereka ke tengah-tengah masyarakat religius Aceh dan dikhawatirkan akan melemahkan semangat jihad melawah kafir penjajah. Tentu saja, golongan ulama menjadi semakin terdesak. Hal inilah yang mendorong mereka berpacu untuk menandingi gerakan Muhammadiyah yang dalam pandangan mereka akan bisa memalingkan anak-anak Aceh dari jihad, dari Islam yang sebenarnya.
Modernisasi pemikiran keagamaan dan sistem pendidikan Islam pun dilancarkan oleh kaum ulama untuk mendahului program-program Muhammadiyah yang sangat masif perkembangannya di Aceh. Ulama pun berencana untuk membuat pendidikan agama yang digabungkan dengan sistem pendidikan sekuler. Akan tetapi, reaksi ini menimbulkan bentuk konflik yang lain, dan justru terjadi di dalam tubuh kaum ulama. Modernisasi yang dilancarkan ini telah menimbulkan perpecahan antara ulama reformis dan ulama tradisionalis. Sebagai akibatnya, ulama tradisionalis cenderung berafiliasi dengan golongan uleebalang. Sampai dengan menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda, struktur sosial masyarakat Aceh tegak pada dasar yang goyah. Dalam pengertian bahwa struktur sosial itu mengandung benih-benih konflik. Kelompok-kelompok pendukung struktur sosial itu telah terperangkap ke dalam suasana prasangka yang mendalam. Dalam kondisi yang semacam itulah kita menyaksikan afiliasi-afiliasi sosial-politik yang relatif “aneh”.
Belanda melancarkan “modernisasi” masyarakat Aceh untuk menetralisasikan pengaruh atau kekuatan ulama. Untuk tujuan itu, Belanda berafiliasi dengan kaum uleebalang. Sejalan dengan sifat Muhammadiyah yang apolitis, uleebalang bisa bekerja sama dengan organisasi itu. Akan tetapi, karena terjadi perpecahan di dalam tubuh kalangan ulama, maka ulama-ulama tradisionalis —jadi agak bertentangan dengan modernisasi Belanda—berafiliasi dengan uleebalang. Dan untuk menghadapi pengaruh kaum ulama modernis yang populer di Aceh, kaum uleebalang cenderung membangun citranya sebagai kalangan yang mempertahankan “adat Aceh”. Sementara, justru untuk membendung pengaruh Muhammadiyah, sebagian dari kalangan ulama melancarkan gerakan reformasi. Berdirinya organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), adalah refleksi dari usaha ulama-ulama berhaluan modernis dalam menandingi Muhammadiyah.
Dalam komposisi struktur sosial yang semacam ini, Daud Beureueh berada dalam kalangan ulama reformis. Dialah salah seorang tokoh utama yang mendirikan PUSA. Dan dia pula yang menjadi ketua organisasi itu. Dengan demikian, jelas sekali terlihat bahwa dalam struktur sosial masyarakat Aceh di masa kolonial - yang penuh dengan benih konflik itu —Daud Beureueh memimpin golongan yang semakin lama semakin terdesak. Suatu golongan sosial-politik Aceh yang menjadi “kuda hitam” dan paling artikulatif dalam gerakan dan menyuarakan sikap anti Belandanya. Dukungan massa yang besarlah yang menyebabkan kaum ulama reformis ini menjadi “kuda hitam” dalam percaturan politik Aceh. Dan itu pula salah satu yang menjadi sebab, mengapa, walaupun semakin terdesak oleh berbagai pihak, kaum ulama reformis Aceh di bawah pimpinannya, tetap bisa bertahan.