Seperti Apa Profesionalisme Militer Jepang?

militer jepang
Perubahan kebijakan pertahanan yang terjadi pada masa Pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2015 menghasilkan banyak pro dan kontra di kalangan publik. Seperti Apa Profesionalisme Militer Jepang?

PROFESIONALISME MILITER JEPANG


Profesionalisme militer menurut Samuel Huntington dalam bukunya the Soldier and the State didefiniskan sebagai bagaimana militer mengerjakan tugasnya untuk mengabdi kepada sipil dan negara sebagai alat keamanan dan pertahanan. Artinya dalam hal ini militer tidak boleh memiliki ‘tugas’ lain yang dapat mengalihkan perhatiannya terhadap tanggung jawab yang diembannya. Salah satu yang paling sering terjadi adalah terlibatnya militer dalam politik sebuah negara. Keterlibatan ini bukan tanpa alasan, dengan kekuatan yang dimilikinya, militer dapat dengan mudah mengambil alih otoritas kepemimpinan suatu negara dari tangan sipil. Meskipun begitu, perkembangan yang terjadi terhadap sistem internasional, yaitu semakin berkurangnya perang akibat pesatnya pertumbuhan sistem demokrasi, membuat pengaruh yang dimiliki aktor militer dalam perpolitikan menjadi terkikis. Hal ini dapat terlihat dengan runtuhnya sejumlah rezim totalitarian di Eropa Timur dan tersebarnya demokrasi di negara-negara dunia ketiga (Muhammad, 2012).

Jepang adalah sebuah negara yang dalam sejarahnya pernah mengalami pemerintahan di bawah rezim militer untuk waktu yang sangat lama. Menurut Samuel Finer terdapat tiga bentuk rezim militer berdasarkan tingkat keikutsertaan militer di dalam politik (Finer, 2002). Bentuk pertama adalah indirect rule di mana politik tetap berada di bawah pemerintahan sipil tetapi militer melakukan intervensi ‘di belakang layar.’ Kedua adalah dual yaitu sipil dan militer masing-masing memiliki kekuatan politik sendiri yang dapat terlihat. Sedangkan yang ketiga adalah direct rule yang mana militer secara terang-terangan mengambil alih pemerintahan dari sipil dan membentuk pemerintahan militer. Selama ratusan tahun perkembangannya hingga saat ini, negara Jepang telah melalui ketiga bentuk pemerintahan militer tersebut.

Berdasarkan sejarahnya, bentuk keikutsertaan militer dalam politik Jepang diawali dengan bentuk ketiga yakni direct rule. Pada periode 1185 hingga 1868, kepulauan Jepang dikuasai oleh Shogun yang dapat disamakan dengan diktator militer. Jabatan ini selalu dipegang oleh panglima perang atau dikenal dengan sebutan daimyo yang memimpin kelas sosial militer (samurai) dan sukses mengalahkan panglima perang lainnya. Pada masanya Shogun memiliki kekuasaan penuh terhadap setiap orang yang tinggal di Jepang bahkan kaisar yang berkuasa tidak lepas dari pengaruh besar yang dimilikinya. Era Keshogunan berakhir pada tahun 1868 setelah perang Boshin. Saat itu kaisar mengambil alih kekuasaan dan menghapus jabatan tersebut sehingga dapat berkuasa penuh atas Jepang. Bentuk pertama yakni indirect rule dari militer dapat terlihat pada masa ini. Untuk memperoleh kekuasaanya, kaisar dibantu oleh tiga buah keluarga besar samurai yakni Satsuma, Chosu, dan Tosa (Jensen, 2002). Meskipun sempat kehilangan sebagian besar pengaruh dan kekuatannya dalam politik akibat dihapuskannya samurai sebagai sebuah kelas sosial, tidak bisa dipungkiri bahwa samurai adalah golongan yang paling terpelajar di antara masyarkat Jepang (Jensen, 2002). Oleh karena itu, kemudian kekaisaran Jepang dikelilingi oleh bekas petinggi dari kelas militer tersebut yang masih berpikiran militeristis. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan kebijakan luar negeri Jepang yang bersifat imperialistik. Bentuk kedua atau dual muncul pada awal Perang Dunia II di mana militer memiliki partai tersendiri yang terbagi menjadi dua yakni Kodoha dan Toseiha (Sims, 2001). Meskipun begitu, keduanya memiliki paham dasar fasisme yang menolak sistem politik kepartaian demokrasi (Sims, 2001). Semenjak awal hingga berakhirnya Perang Dunia II, partai Toseiha menguasai pemerintahan Jepang sebagai perdana menteri di bawah kaisar Jepang. Hideki Tojo, adalah seorang perdana menteri sekaligus jenderal Jepang yang mengambil keputusan untuk melancarkan Perang Pasifik melawan Amerika Serikat.

Berdasarkan sejarah, dapat diketahui bahwa Jepang bukanlah negara yang asing terhadap ideologi militeristis di mana otoritas militer sebagai pemegang kekuasaan atau dengan kata lain militer memiliki kontrol terhadap sipil. Pada sejarah tersebut dapat terlihat juga bahwa tidak ada sama sekali profesionalisme dari militer Jepang jika didefinisikan menurut Huntington karena keikutsertaannya untuk aktif dalam berpolitik. Selama tahun 1930- 1945, militer mengontrol baik kebijakan luar negeri maupun kebijakan dalam negeri Jepang (Sebata, 2008). Profesionalisme militer baru pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II di mana peraturan hukum seperti konstitusi sengaja dibuat untuk menghalangi militer dalam berpolitik atau bahkan menghilangkan militer secara keseluruhan dari negara Jepang.

Pada saat ini, militer Jepang diatur berdasarkan dua buah teori utama dalam civil military relations yakni Huntingtonian dan Janowitzian. Penerapan profesionalitas dari Samuel Huntington terlihat pada jarangnya prajurit SDF berseragam yang bertemu masyarakat sipil di sekitarnya kecuali pada waktu-waktu tertentu. Kebanyakan dari mereka tinggal di markas yang berada di pedesaan dan memiliki jarak cukup jauh dengan area perkotaan. Kebanyakan orang Jepang yang tinggal di perkotaan mungkin sama sekali tidak pernah secara langsung bertemu dengan prajurit SDF (Hikotani, 2014). Sedangkan dalam konteks Janowitzian, militer Jepang selalu dikesankan (terutama oleh pemerintah Jepang) sebagai bagian dari masyarakat sipil. Mereka sering sekali diterjunkan untuk membantu ketika terjadi bencana bahkan di masa lalu pembuatan sarana infrastruktur dan agrikultur Jepang dilakukan oleh SDF (Hikotani, 2009). Kedua hal di atas menghasilkan dua akibat yang berbeda pula yakni keberadaan ‘jarak’ dan ‘kedekatan’ antara sipil dan militer yang saling tarik-menarik. Hal ini dapat terlihat pada bagaimana warga sipil Jepang sendiri yang terkadang memandang SDF sebagai ‘malaikat penyelamat’ sewaktu terjadi bencana dan terkandang juga sebagai ‘ancaman’ warisan dari militer kemaharajaan Jepang peninggalan Perang Dunia II.

Meskipun begitu, pada saat ini SDF mungkin lebih dipandang secara positif oleh mayoritas masyarakat Jepang. Berdasarkan data survei yang dikeluarkan oleh kementerian pertahanan Jepang terhadap SDF dan isu pertahanan yang banyak berkembang di masa Pemerintahan Shinzo Abe, tren terhadap ketertarikan masyarakat sipil terhadap SDF cukup tinggi dan cenderung mengalami peningkatan yakni 69,8% pada tahun 2012 di mana sebelumnya hanya 64,7% di tahun 2009 (Public Relations Office, 2012). Argumen terhadap keberadaan dari dua padangan masyarakat kepada SDF yang saling tarik-menarik juga diperkuat dengan data bahwa dari 69,8% ketertarikan tersebut, 34% di antaranya disebabkan oleh bantuan yang diberikan SDF ketika terjadi bencana besar. Sedangkan terdapat 16% dari responden yang mengaku tidak tertarik sama sekali terhadap SDF. 46,7% di antaranya diakibatkan ketidaktahuan mereka terhadap SDF (Public Relations Office, 2012). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa popularitas militer di Jepang cukup tinggi dan pada saat ini tengah mengarah pada tren positif.

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa militer Jepang tidak memiliki pengaruh pada pemerintahan sipil. Hal ini terjadi salah satunya adalah akibat tidak adanya afiliasi antara militer dengan aktor sipil yang berpengaruh terhadap pembuatan keputusan seperti contohnya partai politik (Saideman, 2018). Namun bukan berarti militer Jepang tidak memiliki pandangan politik sendiri, setidaknya secara individual. Pada tahun 2008, Jepang digemparkan oleh esai yang ditulis oleh salah satu petinggi militernya yakni Jenderal Toshio Tamogami dari ASDF (Hikotani, 2009). Kejadian ini di Jepang terkenal dengan nama Tamogami Incident. Hal kontroversial yang dituliskan Jenderal Tamogami dalam esainya adalah pada Perang Dunia II, Jepang bukanlah negara agresor tetapi terjebak oleh permainan politik yang dilakukan oleh Soviet, Komunis Cina, dan Amerika Serikat (Yoshida, 2008). Setelah penurunan paksa dari jabatannya sebagai panglima ASDF, Tamogami menjadi politikus independen dan semakin vokal menyuarakan revisi terhadap konstitusi dan mengklaim bahwa 99% dari perwira SDF berpandangan serupa seperti dirinya (Hikotani, 2009).

Klaim Tamogami tersebut sepertinya hanya dibesarbesarkan karena berdasarkan data survei terhadap 1394 perwira SDF yang dilakukan oleh Takako Hikotani, salah satu ahli hubungan sipil-militer Jepang kebanyakan dari perwira SDF yang menjadi responden memiliki orientasi politik yang liberal (74,8%) ketimbang konservatif (36,2%) (Hikotani, 2014). Namun, pada pertanyaan yang berbeda dengan menempatkan kebijakan LDP sebagai acuan orientasi konservatif maka perwira SDF lebih banyak memberikan dukungan terhadap partai tersebut (Hikotani, 2014). Dapat dipahami bahwa SDF berorientasi konservatif sejauh yang ada pada partai LDP. Hal ini mungkin dikarenakan kebijakan yang selama ini diputuskan oleh partai tersebut selalu mendukung keberadaan SDF sendiri, sedangakan partai oposisi lainnya seperti DPJ dan SPJ cenderung masih mempertanyakan hal tersebut. Orientasi politik pada pertanyaan sebelumnya yang menghasilkan mayoritas perwira adalah liberal mungkin dikarenakan pengaruh dari ideologi Jepang yang selama ini bersifat liberalis serta nilai-nilai pasifisme yang terdapat pada masyarakatnya.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa pola hubungan sipil-militer di Jepang adalah ideologi anti militer, dengan pengaruh militer yang rendah dalam politik dan profesionalisme militer yang tinggi. Ideologi Jepang jelas-jelas bersifat anti militer sebagaimana pasal 9 dalam konsitusinya yang hingga saat ini masih diinterpretasikan sebagai penolakan perang dalam bentuk agresi. Nilai pasifisme dalam pasal tersebut, ditambah dengan sistem demokrasi, menyulitkan militer untuk tumbuh kembali di Jepang seperti pada masa sebelum Perang Dunia II.

Pengaruh yang dimiliki militer dalam politik Jepang juga sangat rendah atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Ketiadaan afiliasi dengan partai politik ditambah adanya prasangka buruk masyarakat, membuat militer sulit berpolitik secara langsung. Hingga saat ini belum pernah ada mantan perwira militer yang pernah menduduki jabatan politik atau sukses terpilih dalam pemilu yang diadakan. Meskipun begitu popularitas militer dalam hal lain cenderung meningkat akibat keterlibatan dalam penanggulangan bencana besar.

SDF adalah militer profesional meskipun memiliki sejarah panjang yang bertolak belakang. Bentuk militer yang mengarah pada teori hubungan sipil militer Huntingtonian dan Janowitzian membuat tercapainya keseimbangan di mata publik dan di dalam angkatan bersenjata sendiri. SDF cukup populer di kalangan masyarakat. Meskipun begitu, popularitas ini tidak disalahgunakan dalam berpolitik dengan bukti tidak adanya afiliasi antara SDF dengan salah satu partai politik ataupun mantan jenderal SDF yang sukses dalam politik di Jepang. Terakhir, dapat diketahui bahwa mayoritas perwira SDF berorientasi politik sesuai dengan yang ditampilkan oleh partai LDP.

sumber: