Seperti apa pergerakan mahasiswa Angkatan 1974 dan 1977 pada masa Orde Baru?

Sementara pada masa Orde Baru, rezim Demokrasi Pancasila yang dipimpin oleh Soeharto juga muncul gerakan mahasiswa Angkatan 1974, Angkatan 1977 dan Angkatan 1998. Gerakan mahasiswa Angkatan 1998 inilah kemudian yang menumbangkan rezim Soeharto. Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal tahun 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada tahun 1972 karena Golkar dinilai curang. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorong munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution dan Asmara Nababan. Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Memasuki tahun 1974 kemandirian ekonomi Indonesia mulai dipertanyakan. Membanjirnya produk Jepang menciptakan hegemoni baru. Pasar Indonesia mutlak dikuasasi Jepang sehingga memancing kemarahan mahasiswa untuk bertindak. Dari bulan Juli 1943 sampai bulan Januari 1974 terjadi demonstrasi hampir setiap hari di berbagai kota. Kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia disambut mahasiswa dengan demonstrasi. Isu yang diangkat berkisar hutang luar negeri, penjajahan modal asing dan penghapusan jabatan Asisten Pribadi Presiden. Kerusuhan meledak di Jakarta, ratusan mahasiswa ditangkap karena dituduh membuat makar. Peristiwa kerusuhan ini dikenal sejarah sebagai peristiwa Lima Belas Januari (Malari).

Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (tanggal 14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Waktu dalam aksi mahasiswa, didukung masyarakat banyak, terjadi penjarahan dan pembakaran secara besar-besaran di DKI Jakarta, terutama di sekitar kawasan Senen, Jakarta Pusat, dan sekitarnya. Data yang ada menunjukkan, dalam protes anti-Jepang itu, setidaknya 807 buah mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa di mana-mana. Selain itu, sedikitnya 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, dan 775 orang kemudian ditahan. Lalu, dalam pendataan yang dilakukan, sebanyak 144 buah bangunan rusak berat dan 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa kelabu yang meletus bersamaan dengan kedatangan tamu negara, yang memiliki investasi besar di Indonesia itu, jelas memukul pemerintahan Presiden Soeharto. Betapa tidak, di saat itu pemerintah sedang ‘membujuk’ agar Jepang terus berinvestasi, karena Indonesia berjanji memberikan kemudahan- kemudahan berinvestasi. Akibatnya sejumlah tokoh mahasiswa ditahan, dan belasan media dibredel. Salah satu tokoh sentral, yang sampai sekarang dikenal sebagai motor penggerak Malari, adalah Hariman Siregar.

Soeharto memberhentikan Soemitro sebagi Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan asisten pribadi juga dibubarkan oleh Presiden. Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari (Alm.) Jenderal Soemitro, ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Demonstrasi yang cukup besar dilakukan mahasiswa terjadi lagi empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 1978 menjelang pemilihan kembali Presiden Soeharto pada tanggal 23 Maret 1978. Sumber pergolakan gerakan mahasiswa 1978 berkaitan dengan berbagai masalah serius yang semakin jauh dari etika politik yang sehat melalui praktek kekuasaan politik rezim Orde Baru. Yang dikritik antara lain pelaksanaan kampanye, pola rekruitmen anggota legislatif mulai dari DPRD hingga MPR/DPR. Termasuk masalah pemilihan gubernur, bupati di daerah-daerah yang dinilai memperkosa nilai-nilai demokrasi dan keadilan.

Para mahasiswa juga mempersoalkan hutang luar negeri Indonesia. Dalam buku pledoinya Lukman Hakim ketua Dewan Mahasiswa UI waktu itu disebutkan, jika pada 1965 utang luar negeri Indonesia berjumlah US$ 2,35 juta, maka pada 1977 meningkat drastis, menjadi sebesar US$ 15, 814 juta. Yang paling penting, mahasiswa juga mengingatkan adanya kesenjangan sosial yang sudah melebar. Gerakan mahasiswa 1978 dan gerakan mahasiswa 1974 sebetulnya nyaris serupa, sama-sama mengandalkan basis orgasisasi mahasiswa, yaitu Dewan Mahasiswa. Keduanya berbeda dengan gerakan 1966 yang melibatkan organisasi ekstra.

Reaksi pemerintah cukup keras. Kampus sempat diduduki militer dan sejumlah tokoh mahasiswa ditahan dan diajukan ke pengadilan. Pemerintah juga memperlakukan Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) diberlakukan secara efektif tahun 1978 oleh Mendikbud Daoed Joesoef dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) didirikan di kampus-kampus pada tahun 1979. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Joesoef dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK.

Berdasarkan SK Menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Menurut peraturan menteri, Ketua BKK yaitu Pembantu Rektor III.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada Rektor dan Pembantu Rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurut Daoed Joesoef sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Adanya kebijakan NKK/BKK tersebut, beberapa kampus menolaknya. Di ITB, kampus yang paling keras menolak kebijaksanaan tersebut, BKK nyaris tak pernah jelas eksistensinya. Di UGM, de facto BKK memang ada namun juga tidak berjalan. Di Salatiga, Kampus Universitas Kristen Satya Wacana juga melakukan kreasi serupa. Keberadaan BKK diakui namun pengurusnya berasal dari mahasiswa sendiri. Sementara di Universitas Indonesia memang memiliki BKK tetapi fungsi sehari-hari dijalankan oleh Forum para Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, dan dinamakan Forkom UI. Beberapa anggota DPR sempat mengusulkan pengajuan hak interpelasi oleh Syafi’i Sulaiman dan kawan-kawan tentang NKK/BKK, pada tahun 1979. Pengusul adalah anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dari Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan para 24 pengusul lainnya terdiri dari anggota F-PP dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI).

Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan represif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.

Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah adalah dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.