Seperti apa Pengaturan mengenai kepailitan transnasional di Indonesia?

Pengaturan mengenai kepailitan transnasional

Seperti apa Pengaturan mengenai kepailitan transnasional di Indonesia ?

Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997 yang diakibatkan oleh melemahnya mata uang rupiah pada saat itu. Hal itu tentu berdampak besar bagi kegiatan perekonomian di Indonesia, banyak pengusaha indonesia yang memiliki hutang di luar negeri tidak mampu membayar utangnya. Selain itu di dalam negeri sendiri mengalami permasalahan berupa kredit macet dari bank dalam negeri sebagai akibat terpuruknya sektor riil.

Peraturan perundang-undangan saat itu adalah Faillissements-Verordening dirasa sudah tidak tepat dan tidak bisa lagi diandalkan sementara upaya restrukturisasi bank-bank yang ada tidak bisa mengembalikan kondisi yang ada. IMF sebagai pemberi utang untuk Indonesia mendesak untuk segera merevisi atau membuat ketentuan baru mengenai kepailitan, sehingga diterbitkan (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetepakan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang kemudian diperbarui kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Namun seiring dengan perkembangan zaman dapat dilihat pula dunia perdagangan internasional juga berkembang, oleh karenanya aturan mengenai kepailitan di Indonesia harus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Banyak kreditur asing yang memberi modal bagi debitur di Indonesia menjadi sangsi dalam berinvestasi karena tidak diberi kepastian oleh hukum kepailitan Indonesia baik dari segi perlindungan ( protection ) maupun pelaksanaan ( enforcement ) .

Dalam UUK-PKPU pengaturan mengenai kepailitan transnasional masih bertentangan dengan asas-asas hukum perdata internasioanl, sehingga apabila terdapat kasus kepailitan transnasional yang diadili di Indonesia akan sulit penanganannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal-Pasal yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berkaitan dengan kepailitan transnasional diantaranya adalah pasal 212, 213 dan pasal 214 UUK-PKPU.

Melihat dari ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa UUK-PKPU sudah mengatur mengenai pelunasan piutang atas beban harta pailit yang berada di luar negeri yang mana dalam pasal 212, 213 dan pasal 214 undang-undang ini menganut prinsip universal yang memberlakukan putusan di pengadilan niaga Indonesia untuk negara di luar Indonesia. Dimana melihat dari kelemahan dari prinsip universal adalah mengenai pelaksanaan putusan di luar wilayah Indonesia karena dibatasi oleh yuridiksi masing-masing negara. Sehingga ketentuan pemberlakuan prinsip universal yang dianut dalam pasal 212, 213 dan 214 UUK-PKPU bertentangan dengan asas teritorial yang dianut dalam hukum perdata internasional yang meniktikberatkan kekuasaan suatu negara dibatasi oleh yurisdiksi masing-masing negara.

Mengenai pelaksanaan dari putusan pengadilan asing sendiri UUK-PKPU tidak mengatur secara tegas mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing di Indonesia. Tetapi jika melihat dari pasal 229 UUK-PKPU yang dalam prakteknya memberlakukan hukum acara perdata pada pengadilan niaga, dimana pada pasal 436 Rv dinyatakan bahwa putusan asing tidak bisa berlaku di Indonesia. Sehingga untuk pemberlakuan putusan asing dianut prinsip teritorial oleh Indonesia. Selain itu, dalam pasal 22 Algemene Bepaligen van Wetgewing atau “AB” mengatur bahwa pelaksanaan atau eksekusi putusan pengadilan asing dan akta-akta otentik asing dibatasi oleh prinsip-prinsip yang sejak lama dikenal dalam dalam hukum internasional karena Indonesia menganut prinsip teritorialitas maka pelaksaan putusan asing hanya dapat dilakukan sesuai dengan prinsip teritorial yang berlaku.

Pengaturan di dalam UUK-PKPU tentang kepailitan Transnasional di rasa masih tidak bisa menjamin penyelesaian perkara kepailitan transnasional, karena dalam pelunasan harta pailit di luar negeri masih terhalang oleh yurisdiksi dari negara lain sehingga dalam prakteknya akan dialami kesulitan untuk membereskan harta yang terdapat di luar negeri, sementara pelaksanaan putusan asing di Indonesia tidak bisa di lakukan dimana hal ini akan menimbulkan kebuntuan bagi pengusaha luar yang ingin memperoleh haknya.