Seperti Apa Pengaturan Intervensi Kemanusiaan menurut Hukum Internasional?

Pengaturan Intervensi Kemanusiaan menurut Hukum Internasional

Intervensi kemanusiaan secara umum adalah upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan kekuatan-kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara, baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami konflik internal).

Seperti Apa Pengaturan Intervensi Kemanusiaan menurut Hukum Internasional?

Negara yang berdaulat dapat mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional lainnya, maupun mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang ada kaitannya dengan kepentingan negara itu. Hal ini di dasari oleh Piagam PBB Pasal 2 ayat (1) yang menerangkan bahwa hubungan antar negara berdasarkan persamaan derajat dan bebas.

Hubungan internasional menurut Pasal 2 ayat (4) bahwa negara dalam melakukan hubungan internasional tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Kemudian Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB menyatakan bahwa setiap negara dalam melakukan hubungan internasional dilarang untuk melakukan suatu intervensi kedalam urusan domestik negara lainnya, begitu pula dengan PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik negara lain dan mewajibkan negara-negara yang berkonflik untuk menyelesaikan urusannya menurut ketentuan Piagam PBB. Hal ini berkaitan dengan adanya prinsip non intervensi sebagai salah satu pondasi dasar dalam hukum internasional.

Prinsip non intervensi yang berkembang saat ini membuat kedaulatan negara saat ini tidak hanya dilihat sebagai hak negara, tetapi erat kaitannya dengan kewajiban negara untuk melakukan perlindungan hak asasi manusia. Karena tujuan dibentuknya sebuah negara adalah untuk melindungi setiap manusia baik warga negaranya maupun warga negara asing dari terjadinya pelanggaran hak asasinya. Hanya saja seringkali dalam penerapannya, negara yang bersangkutan menyalahgunakan hak dan kewenangan yang dimiliki, bahkan sampai mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan, yang kemudian mengakibatkan kesengsaraan kepada rakyatnya. Oleh karena itu, dalam keadaan banyaknya pelanggaran berat HAM yang terjadi, pihak asing dapat masuk sebagai pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan mengembalikan kondisi negara tersebut kepada keadaan semula, salah satunya dengan cara intervensi.

Humanitarian intervention atau Intervensi kemanusiaan secara umum adalah upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan kekuatan-kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara, baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami konflik internal). Ketika terjadi suatu masalah kemanusiaan di suatu negara yang bersifat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka masyarakat internasional dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan intervensi.

Pelanggaran hak asasi manusia berat ada berbagai macam seperti kejahatan kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang, dan lainnya. Pengenalan kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes against humanity ), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi Perang Dunia II dalam Charter of International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) tahun 1946, yang selanjutnya diatur dalam Charter of International Military Tribunal for The Far East (IMTFE) atau yang disebut juga dengan Piagam Tokyo pada tahun 1948, International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) tahun 1993, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) tahun 1994, dan yang terakhir diatur dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional ( Statute for an International Criminal Court ) yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma pada tahun 2002.

Pengaturan tentang intervensi kemanusiaan belum diatur secara tegas dalam hukum internasional. Akan tetapi, menurut Piagam PBB Pasal 24 tentang tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB, maka PBB melalui Dewan Keamanan berhak menjalankan kewajibannya terkait adanya ancaman terhadap keamanan internasional, atau pelanggaran perdamaian dan keamanan, dan agresi sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB dan dengan sebisa mungkin mengurangi penggunaan kekuatan bersenjata, hal ini sesuai dengan Pasal 26 Piagam PBB. PBB juga dalam menyelesaikan suatu konflik di dasarkan pada Bab VI Pasal 33 Piagam PBB.

PBB memiliki mandat untuk melakukan semua upaya agar konflik dapat diselesaikan secara damai melalui cara-cara negoisasi, mediasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, serta cara damai lainnya. Selanjutnya Pasal 34 menyatakan bahwa PBB bisa melakukan investigasi setiap pertikaian (konflik) yang bisa membahayakan perdamaian internasional. Dewan Keamanan PBB dapat menyelidiki setiap pertikaian atau keadaan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Pada Pasal 36 Dewan keamanan dapat menganjurkan cara-cara penyelesaian yang dianggap sesuai dalam suatu pertikaian yang mengacu pada Pasal 33 atau suatu keadaan yang semacam itu. Selanjutnya Pasal 37 menerangkan bahwa apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam pertikaian tersebut dianggap tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka Dewan Keamanan akan menetapkan apakah akan diambil tindakan menurut Pasal 36 ataukah mengambil cara-cara penyelesaian yang dianggap layak.

Anjuran tentang cara-cara penyelesaian yang dianggap layak seperti yang tercantum dalam Bab VII Piagam PBB, Pasal 39 menyebutkan bahwa Dewan Keamanan akan menentukan ada tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian dunia dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 Piagam PBB yaitu bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan apa yang dapat dilakukan di luar penggunaan kekuatan bersenjata, seperti pemutusan hubungan ekonomi, alat-alat komunikasi, serta pemutusan hubungan diplomatik. Dan Pasal 42 yang menyatakan bahwa jika langkah-langkah politik dan ekonomi (berdasarkan Pasal 41) tidak bisa atau cukup mendorong pihak-pihak yang bertikai maka penggunaan kekuatan militer (kekuatan darat, laut, dan udara) dapat dibenarkan untuk menjamin kestabilan keamanan dan perdamaian internasional. Tindakan militer hanyalah langkah terakhir jika cara-cara lain tidak berhasil untuk melindungi penduduk dari pelanggaran HAM berat.

Intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara yang mengalami konflik. Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB. Intervensi atas dasar kemanusiaan yang dikenal sebagai humanitarian intervention ini dilakukan secara kolektif berdasarkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertujuan untuk mengatasi masalah kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 Piagam PBB yang mengatur salah satu bentuk intervensi. Di mana intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan- persoalan yang ada. Selanjutnya intervensi dalam rangka pembelaan diri terdapat dalam Pasal 51 Piagam PBB.