Seperti apa pemikiran dan peranan Soe Hok Gie dalam pergerakan mahasiswa?

image

Menurut Daniel Dhakidae, ada dilema kekuasaan dalam diri Hok-Gie yang ditandai dalam dua hal. Pertama, sikapnya terhadap suatu rezim yang sedang berkuasa. Kedua, sikapnya sendiri terhadap bagaimana caranya rnenghadapi rezim tersebut. Lebih jauh Daniel Dhakidae menjelaskan bagaimana pandangan Soe Hok-Gie tentang kekuasaan.

Sebenarnya, sikap Soe Hok-Gie mengenai keterlibatan seorang cendekiawan di dalam kekuasaan tidak terlalu jelas. Agar dapat merumuskannya secara lebih tajam, Soe Hok-Gie sebenarnya menolak kekuasaan. Hal ini bisa dilacak dalam beberapa tempat ketika dia sendiri mengatakan bahwa perjuangan moral yang terakhir adalah untuk menghabiskan kekuasaan. Dengan kata lain kekuasaan adalah antipati dari moralitas. Dengan demikian secara prinsipil dia memilih berada di luar lingkaran kekuasaan.Namun, ketika menentukan sikap dalam hubungannya dengan masalah kedua, tidak jelas posisinya. Agar dapat melacaknya kita bisa menyusuri perjalanan intelektual Soe Hok-Gie dalam hubungannya dengan kekuasaan.

Perjalanan intelektualnya terbagi dalam dua jalur yang berbeda. Pertama, perjalanan intelektualnya pada masa rezim Soekarno. Pengalaman pribadi dan pengalaman politik dalam hubungannya dengan kekuasaan menyebabkan dia mengambil sikap tegas terhadap rezim Soekarno yaitu meruntuhkan rezim tersebut. Namun, kekuasaan tidak dapat dilawan hanya dengan keyakinan moral, atau sekurang-kurangnya keyakinan moral tidak pernah menjadi suatu causa efficiens untuk meruntuhkan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, Soe Hok-Gie tidak ragu-ragu mengambil jalur kekuasaan untuk mewujudkan keinginan anti kekuasaan tersebut. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk memecahkan dilemanya tentang kekuasaan dengan benar- benar melibatkan diri ke dalam suatu pergerakan bawah tanah yang sampai sekarang tidak banyak diketahui orang, yaitu melalui GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan Gerakan Pembaharuan. Dua gerakan tersebut merupakan gerakan PSI pasca-pembubaran terutama dengan komandannya Soemitro Djojohadikusumo.

Menurut penulis, Hok Gie memandang dan menempatkan kekuasaan pada konteks bagaimana pola pengelolaan dan pengaturan sebuah pemerintahan yang menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Oleh sebab itu, ketika sebuah kekuasaan dijalankan dengan korupsi, oligarki, manipulasi, otoriter, diktaktor, tidak peduli siapa pun yang berkuasa baik itu dari kalangan sipil ataupun kalangan militer, akan dikritik oleh Soe Hok-Gie. Bahkan, dia mengatakan perlu diruntuhkan dengan jalan apa pun termasuk dengan politik dan kekerasan, terutama ketika sebuah rezim kekuasaan tersebut telah begitu parah, misalnya sang pemimpin asyik senang-senang dengan para selirnya, sedangkan korupsi merajalela dilakukan para pembantunya sementara rakyat menderita kelaparan.

Kekuasaan Soekarno menurutnya sudah tidak layak lagi dipertahankan. Kekuasaan yang menurutnya tirani, otoriter, dan banyak pejabatnya melakukan korupsi. Kemudian, kepribadian Soekarno sendiri kurang bermoral dalam urusan cinta dan perempuan, sementara kondisi ekonomi rakyat yang sangat menderita akibat melonjaknya harga BBM ditambah lagi kondisi pertarungan politik begitu memanas terutama antara kubu PKI dan tentara Angkatan Darat. Oleh sebab itu, Soe Hok-Gie bergerak menentang kekuasaan Soekarno dengan berbagai jalan, baik itu dengan jalan moral, turun ke jalan melakukan demonstrasi maupun jalur politik, melakukan kerja sama dengan militer untuk mengubah atau bisa dikatakan menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Kemudian, ketika kekuasaan Soeharto yang didukungnya telah berada dalam posisi sudah menggantikan Soekarno maka di sinilah Soe Hok-Gie berpendapat bahwasanya gerakan mahasiswa harus kembali ke kampus, harus kembali menjadi intelektual. Namun dalam perkembangan beberapa tahun kemudian, Soe Hok-Gie yang telah kembali menjadi intelektual, kembali ke kampusnya, tetapi tetap mengamati perkembangan politik yang ada, melihat bahwa sudah mulai terdapat benih-benih rezim kekuasaan Soeharto yang baru tersebut. Dia melihat beberapa indikasi melakukan kebijakan yang salah berkaitan dengan kondisi sosial, politik, dan ekonominya. Indikasi tersebut berkaitan dengan persoalan terjadinya pembunuhan massal yang dilakukan di Jawa Tengah, JawaTimur, dan Bali atas orang-orang yang dituduh komunis setelah PKI resmi dilarang oleh pemerintahan yang baru tersebut.

Mengenai pembunuhan massal tersebut pemerintah terkesan mendiamkan saja. Kemudian, kasus pengelolaan ekonomi dengan jalan membuat proposal utang ke negara-negara barat dilakukan secara keterlaluan. Di pihak lain, pengelolaan BUMN, Pertamina, dengan tokohnya Ibnu Sutowo, yang terindikasi kasus korupsi. Lebih lanjut lagi, bagaimana tidak manusiawinya pemerintahan Orde Baru dalam memperlakukan para tawanan politik. Oleh sebab itulah Soe Hok-Gie melakukan kritik terhadap pemerintahan Soeharto.

Perbedaan kritik Soe Hok-Gie terhadap Soekarno dan Soeharto sebagai pemimpin negara adalah bahwasanya kritiknya terhadap Soekarno lebih banyak daripada kritiknya terhadap Soeharto. Hal ini setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Soe Hok-Ge sudah lama mengamati kekuasaan Soekarno sementara pada Soeharto ini hanya mengamati sekitar 3 sampai 4 tahun. Ini jelas menjadikan pemahaman dan pengertian Hok Gie atas kedua kekuasaan tersebut jelas berbeda. Kedua, posisi Hok Gie saat itu adalah ikut serta meruntuhkan kekuasaan Soekarno, sementara pada Soeharto ikut serta membantu dan mendukung lahirnya Orde Baru tersebut. Dari situ terdapat beban moral yang terus bergolak dalam dirinya. Ketika kekuasaan baru tersebut setelah beberapa tahun didirikan kurang begitu dapat diharapkan, disini jelas daya kritis Soe Hok-Gie secara langsung kepada Soeharto agak terhambat.

Ketiga, berkaitan dengan perilaku individu dari dua sosok pemimpin tersebut berkaitan dengan perempuan. Sebagamana kita ketahui bersama Soekarno meminjam istilah “humornya Gus Dur” adalah gila wanita, sementara Soeharto sosok lelaki yang dikenal setia pada satu istri, adalah “gila harta”. Di pihak lain, posisi Soe Hok-Gie sendiri sangat menghargai kehormatan dan martabat seorang perempuan. Ini kemudian menjadi pengetahuan kita bersama bagaimana Soe Hok-Gie dalam beberapa catatan hariannya begitu muak dengan perilaku Soekarno terhadap perempuan apalagi hal ini berkaitan dengan jabatannya sebagai pemimpin negara.

Keempat, kita harus melihat bagaimana aktivitasnya Soe Hok-Gie banyak dipengaruhi oleh kalangan sosialis. Ini perlu dicatat karena para tokoh sosialis dan partai sosialis di zaman Soekarno telah dibubarkan hampir bersamaan dengan partai Masyumi pasca pemberontakan PRRI-Permesta. Harus dicatat pula dari sinilah kalangan sosialis melakukan perlawanan balik, dengan gerakan bawah tanahnya, menjadi gerakan klandestin untuk melakukan kritik besar-besaran terhadap Soekarno yang dianggap sebagai pemimpin menampakkan keotoriterannya.

Mengkomparasikan pemikiran Foucault dengan Soe Hok-Gie soal kekuasaan menarik. Disebabkan dari sanalah diingatkan bahwasanya perjuangan menegakkan kebenaran adalah perjuangan manusia melawan lupa. Hal ini dialami oleh Soe Hok-Gie sendiri bagaimana kawan-kawan seperjuangannya di jalanan ketika berdemonstrasi masuk dalam lingkaran kekuasaan. Akan tetapi, bukankah demikian para pejuang gerakan mahasiswa dari masa ke masa tetap saja ada yang masuk ke dalam kekuasaan.

Sebagai tambahan, setiap kekuasaan yang “dibubarkan” dan terbentuknya kekuasaan baru, pasti ada masa reda dari gerakan demonstrasi. Bagaimana Soeharto muncul, bagaimana tenangnya awal-awal pemerintahannya. Kemudian, begitu ramainya gerakan mahasiswa meruntuhkan Soeharto, kemudian kembali tenangnya pada masa awal kekuasaan Habibie. Kalaupun ada, gerakan mahasiswa terpecah dan tidak menyatu kembali sehingga kekuatan moral gerakan mahasiswa kurang memiliki kekuatan signifikan. Kemudian ramai kembali ketika kekuasaan Habibie mau diruntuhkan, tetapi tenang kembali ketika kekuasaan Gus Dur muncul. Kemudian, ramai kembali ketika kekuasaan Gus Dur mau diruntuhkan, begitu seterusnya polanya, sampai ke Megawati, kemudian muncul Susilo Bambang Yudhoyono di era Reformasi ini.

Namun demikian, konsep kekuasaan Soe Hok-Gie landasannya adalah moralitas. Karena persoalan moral dari dahulu hingga sekarang dan nanti tetap sama yaitu soal kebenaran, keadilan, kebijakan, dan kebaikan. Jelas bahwa garisnya adalah hitam dan putih. Dari sini Soe Hok-Gie memandang kekuasaan itu haruslah dikawal dengan moralitas sebagai penyeimbangnya. Jika tidak demikian, maka kekuasaan itu akan melahirkan tragedi kemanusiaan.

Kondisi dan basis pergerakan mahasiswa kala itu tumbuh tidak dapat dilepaskan dari konteks pergolakan politik yang ada. Bisa dikatakan ketika Wakil Presiden Hatta membuka kran bagi lahirnya sistem multipartai pasca- kemerdekaan , organisasi sosial politik melakukan ekspansi ke dalam dan keluar untuk membesarkan organisasi, menciptakan sayap-sayapnya dan salah satunya adalah menciptakan sayap organasasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri kebanyakan organisasi mahasiswa lahir untuk tidak mengatakan dilahirkan melalui organisasi politik, untuk kemudian bisa dikatakan secara kasar, organisasi pergerakan mahasiswa pasca kemerdekaan sampai terbentuknya Orde Baru sulit melepaskan diri dari kepanjangan tangan partai partai politik yang ada.

Beberapa data menyebutkan bahwa Soe Hok Gie pernah ikut dalam organisasi bawah tanah melalui GMS dan “gerakan pembaharuan” yang dikomandani Soemitro. Namun, kebanyakan data menyebutkan ia aktif dalam organisasi intra kampus dan mendirikan aktivitas mahasiswa pecinta alam. Harus diakui pada masa itu, polarisasi gerakan mahasiswa ekstra dan intra terjadi perbedaan tajam, dengan berbagai kecaman, mahasiswa tidak gaul, mahasiswa tidak kritis, mahasiswa kutu buku, mahasiswa sok politis, mahasiswa hanya yang-senang, dijadikan bahan ejekan satu sama lain.

Soe Hok Gie tampil pada saat itu mampu menjembatani dua kepentingan elemen gerakan mahasiswa ekstra dan intra pada satu tujuan kritis terhadap kekuasaan dan menghormati eksistensi dan wilayahnya masing-masing tanpa mengeksploitasi satu sama lain. Hok-Gie juga mampu menjembatani organisasi gerakan siswa Bandung dan Jakarta. Hok-Gie pula yang ikut berperan menjembatani gerakan mahasiswa dengan kalangan tentara agar dapat memiliki posisi tekan politis terhadap penguasa lebih kuat. Namun, untuk mencapai itu semua bukanlah perjalanan yang mudah.

Menurut Daniel Dhakidae untuk melacak bagaimana posisi Soe Hok Gie dalam pusaran pergerakan mahasiswa saat itu tidak dapat dilepaskan dan merupakan kelanjutan dari persoalan-persoalan politik 1950-an. Ketika kabinet Burhanudin Harahap mengganti Kabinet Ali I dan pada 12 Agustus 1955 mulai memerintah terjadi “pembersihan” besar-besaran terhadap tokoh-tokoh dalam kabinet Ali yang dicurigai melakukan tindak korupsi. Tetapi, ketika Burhanudin Harahap menyerahkan kembali mandat pada 3 Maret 1956, maka tuduhan yang sama dilontarkan kaum oposisi terhadap anggota Kabinet Harahap. Suasana jegal-menjegal itu dipelopori oleh PM dan PKI mengakibatkan politik ibukota tidak aman, disusul pula oleh tindakan-tindakan di daerah yang tidak mempedulikan pusat.

Tindakan ini misalnya, dengan penyelundupan besar-besaran di Sumatra dan Sulawesi yang hasilnya tidak dilaporkan dan bukan untuk mengisi kas pusat. Lantas semuanya mencapai puncak dengan meletusnya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958 di Sumatra dan disusul oleh Perjuangan Semesta Alam (Permesta), yang diproklamasikan pada 2 Maret 1958 dengan diumumkan di daerah Indonesia Timur dalam keadaan darurut perang dan dikuasai oleh militer. Masih menurut Daniel Dakidae, Soe Hok Gie yang agak kecewa dengan kelompok sosialis salon, karena kaum sosialis Indonesia yang ditemuinya kebanyakan slogan sok pintar, sok dekat dengan rakyat dan sok paling benar. Di sinilah kemudian akhirnya menjalin hubungan dengan Nugroho Notosusanto, di mana dekat dengan Kolonel Suwarto dan menjalin hubungan dengan SSKD yang kelas menjadi SESKOAD, yaitu sekolah yang direncanakan untuk mendidik kaum cendekiawan dalam uniform, yaitu militer yang dianggap memiliki kemampuan manajerial yang kelak bisa ditempatkan di dalam posisi pimpinan negara. Dan sinilah kemudian kita bisa melihat bagaimana cara berpikir dan bergeraknya Soe Hok-Gie melawan Soekarno secara habis-habisan, dan melakukan kerja sama dengan militer.

Selain itu pola penjuangan Soe Hok-Gie juga melalui radio Ampera. Di mana melalui radio inilah Soe Hok-Gie dengan kelompoknya melakukan perjuangan bentuk lain, bawah tanah, karena RRI masih kuat dikuasai oleh para pendukung Soekarno. Menariknya, melalui radio Ampera inilah kita mengetahui pendanaan pembentukan radio Ampera ternyata dibantu oleh tentara. Bahkan, lebih jauh bentuk kerja sama militer dengan mahasiswa, terutama Soe Hok-Gie terlihat dengan tidak sedikitnya aktivis mahasiswa yang bersenjata api. Ia pernah membawa senjata kaliber FN 9 mm diranselnya meski senjata itu meminjam dari temannya.

Menurut John Maxwell, Soe Hok-Gie mengenal dan terlibat jauh dengan GMS dan Gerakan Pembaharuan juga melalui Henk Tombokan dan terutama melalui Zaske. Diperkirakan Soe Hok Gie benar-benar masuk kelompok C05, nama sandi Henk Tombokan, tahun 1963-1964. Masih menurut John Maxwell, sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam aktivitas Soe Hok Gie dan rekan-rekannya di Gerakan Pembaharuan, yang disebabkan demokrasi terpimpin menghalangi ekspresi perlawanan politik secara terbuka, maka kelompok- kelompok oposisi terpaksa melakukan gerakan bawah tanah. Ketegangan politik di Indonesia menyebarkan kekhawatiran bahwa krisis sudah di ambang pintu.

Banyak pengamat yang tidak menyadari konfrontasi antara PKI dan angkatan senjata tidak lama lagi akan terjadi. Saat itu Soe dan teman-temanya hanya dapat menunggu waktu yang tepat. Mereka diam-diam mendorong orang-orang di sekitarnya agar tidak kehilangan semangat sementara mereka menunggu terbukanya celah untuk menerobos sistem tersebut. Alasan Soe Hok-Gie memilih bentuk perjuangan dengan bergabung dengan militer, hal ini karena hasil refleksinya yang mendalam, dimana mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral intelektual bertugas melakukan reaksi atas kesalahan yang terjadi, baik itu melalui kritik wacana, demonstrasi, termasuk dalam menggunakan desakan yang keras sedangkan militer sebagai kekuatan untuk mengeksekusinya. Meskipun ia harus bergabung dengan blok atau bekerja sama dengan kelompok politik tertentu yang memiliki kekuatan politik yang kuat adalah pilihan yang siap ia ikuti.

Namun, di sisi lain kita juga melihat bagaimana Soe Hok-Gie dalam pusaran gerakan mahasiswa saat itu memiliki independensi sendiri, keinginan, atau rekayasa gerakannya untuk membedakan dengan gerakan lain. Hal ini bisa dilihat bagaimana Soe Hok tidak ikut bergabung dengan secara struktural atau aktif meskipun pada organisasi ekstra kampus yang besar dan punya nama, seperti HMI, PMII, GMN, dan CGMI. Walaupun beberapa menyebutkan ia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Sosial (GMS) dan aktif dalam gerakan asimiliasi etnis China- Indonesia dalam Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsa (LKBP). Namun, kedua organisasi tersebut ia tempatkan sebagai kegiatan di luar kampus.

Soe Hok-Gie menilai kebanyakan organisasi kemahasiswaan yang ekstra kampus merupakan kepanjangan tangan dari partai politik. Jika sudah demikian, sulit dipungkiri dan layak dipertanyakan keindependenan gerakan kemahasiswaan, gerakan kritis mereka sebagai intelektual, dan sebagai agen perubahan itu sendiri, disebabkan mereka membawa nuansa politis rasialnya masing-masing. Sekali lagi disebabkan organisasi pergerakan mahasiswa membawa nuansa politisnya masing-masing di dalam kampus UI, akhirnya menciptakan blok-blok sosial dan politis dalam lingkup civitas akademik tersebut. Mereka menjadikan kampus sebagai tempat dan ajang memperoleh massa, memperebutkan kekuatan, dan posisi kekuasaan di Senat Mahasiswa. Konflik-konflik tersebut tidak jarang menimbulkan kekerasan dan pastinya bukan menciptakan sebuah kesatuan dan kebebasan yang baik dan murni sebagai intelektual, melainkan hanya sekadar basa-basi yang memendam konflik.

Berbagai konflik politik pemerintahan dimasukkan dalam kampus yang sewaktu bisa meledak, tinggal menunggu momentumnya saja. Oleh karena itu, menurut Luki Sutrisno Bekti, Soe Hok-Gie menentang politisasi masuk dalam kampus. Soe Hok-Gie melakukan gerakan pergerakan untuk meminimalisasi politisasi gerakan mahasiswi di kampusnya. Ia bekerja sama dengan kawan-kawan yang sepaham dengannya seperti Herman O. Lantang dan Parsudi Suparlari. Bentuk kerja sama itu memperoleh hasilnya ketika kolaborasi kedua orang ini, Hok Gie dan Herman, berhasil menempatkan Herman sebagai ketua SM-FUI dan terpilih lagi pada 1964.

Pada proses pencalonan tersebut Hok Gie banyak berperan mendukung penuh, memberikan nasihat, menuliskan beberapa teks pidato kampanye, dan membantu kerja-kerja Herman sebagai ketua SM-FUI. Bahkan, ada yang menyebutkan Herman digerakkan oleh Hok Gie. Keberhasilan tersebut sebenarnya juga ditunjang oleh kedekatan kedua orang ini dalam sebuah organisasi yang independen, non politis, pencinta alam, dengan kegiatan utama mendaki gunung, Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam), Pradjna Paramita. Organisasi ini didirikan pada 1964 yang salah satu otak pendirinya adalah Soe Hok-Gie dan Herman O. Lantang itu sendiri. Mapala didirikan bercita- cita menjadikan kehidupan yang sederhana, sehat, berani, bersahabat dan mencintai alam.

Kelompok ini didirikan tidak saja untuk mengembangkan segi teknis dalam pendakian gunung semata, tetapi juga persahabatan yang bebas spontan, yang terbentuk dan perjalanan pendakian mereka. Klub ini juga merupakan tindakan penolakan terhadap ideologi dan politik yang dipenuhi kemunafikan. Menurut Soe tujuan Mapala sebagai berikut : Tujuan Mapala ini adalah mencoba membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya.

Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dari jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik”.Awal pendirian organisasi ini hanya sedikit memperoleh simpati. Tentu hal ini karena organisasi Mapala dibentuk melawan arus zamannya yang politis. Namun, perkembangan selanjutnya keanggotaannya semakin banyak. Pada akhirnya Mapala menjadi kekuatan sendiri yang mampu menandingi kekuatan organisasi pergerakan mahasiswa ekstra di kampus. Bahkan, mampu mengalahkan mereka dalam pemilihan senat mahasiswa Fakultas Psikologi dan fakultas sastra yang menjadi lahan kekuasaan Soe Hok Gie.