Seperti apa Legalitas intervensi kemanusiaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?

Legalitas intervensi kemanusiaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Pembentukan PBB adalah merupakan hasil dari berakhirnya perang dunia ke-2 dimana adanya suatu keinginan dunia internasional akan perdamaian dan kerjasama antar bangsa-bangsa.

Seperti apa Legalitas intervensi kemanusiaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ?

Pembentukan PBB adalah merupakan hasil dari berakhirnya perang dunia ke-2 dimana adanya suatu keinginan dunia internasional akan perdamaian dan kerjasama antar bangsa-bangsa. Ide pembentukannya adalah dengan menggabungkan empat kekuatan di dunia pada saat itu, yaitu; Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet (sekarang Russia) dan Perancis di dalam satu organisasi internasional. Tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan perdamaian internasioanl dan mencegah terjadinya lagi kehancuran dunia dengan terjadinya perang dunia di masa yang akan datang. Untuk mewujudkan cita-cita ini maka PBB melarang ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata/militer terhadap suatu negara dan menghormati kedaulatan suatu negara pula.

Sebagai refleksi atas keinginan dan cita-cita tersebut, maka demi mewujudkan tujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, di dalam piagam PBB dicantumkan larangan penggunaan kekuatan militer, prinsip non intervensi dan pengakuan terhadap kedaulatan. Ini terdapat di dalam pasal 2 piagam PBB:

Article 2

  1. The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members.

  2. All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.

  3. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state

Walaupun demikian di dalam piagam PBB juga disebutkan bahwa diperbolehkan adanya penggunaan kekuatan militer untuk suatu kondisi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini berarti merupakan celah bagi adanya intervensi kemanusiaan, akan tetapi penggunaan kekuatan militer tersebut sangat dibatasi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 (7) dan pasal 39 yang berbunyi:

Article 2

  1. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.

Article 39

The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security.

Piagam PBB memberikan dampak yang fundamental terhadap intepretasi atas legalitas intervensi kemanusiaan. Sejak berakhirnya perang dingin, Dewan Keamanan PBB ( United Nation Security Council ) mengambil kesempatan untuk menggunakan haknya melakukan intervensi kemanusiaan dengan mengadopsi terhadap beberapa resolusi yang berkembang secara progresif. Banyak pihak mengatakan bahwa akhir dari perang dingin adalah merupakan kelahiran kembali dari PBB. Setelah masa ini, tepatnya pada dekade tahun 1990-an intervensi kemanusiaan mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah misi pasukan perdamaian PBB ( Enforcement Forces ) di dalam intervensi kemanusiaan. Sebelum berakhirnya perang dingin, misi pasukan perdamaian PBB hanya tercatat sekitar 13 misi. Akan tetapi setelah berakhirnya perang dingin, PBB telah mengirimkan 47 operasi pasukan perdamaian.

Operasi PBB di teluk persia pada perang teluk pertama ( First Gulf War ) dapat dikatakan merupakan preseden pertama atas intervensi kemanusiaan. Hal ini ditandai dengan adanya resolusi Dewan Keamanan PBB No 688 tahun 1991 dimana disebutkan aksi Sadam Hussein yang menindas populasi Kurdi dan Shiah yang mengakibatkan kematian sedikitnya 30.000 orang dan pengungsi lebih dari 2 juta orang, merupakan suatu perbuatan yang mengancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Dewan Keamanan PBB mendasarkan otorisasi pelaksanaan intervensi dari bab 7 piagam PBB. Intervensi yang dilakukan oleh PBB dengan menggunakan kekuatan senjata hanya dapat digunakan apabila terdapat suatu ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian, atau suatu aksi agresi. Piagam PBB tidak mendefinisikan istilah ini maupun suatu situasi yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karena itu maka hal ini menjadi tugas dan wewenang dari Dewan Keamanan PBB di dalam menentukan dan mengintepretasikannnya. Penentuan tersebut didasarkan pada berbagai macam pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan tersebut meliputi penemuan fakta-fakta, interpretasi pasal-pasal dari piagam PBB, dan termasuk di dalamnya pertimbangan politis.

Masalah dalam pengintepretasian di dalam piagam PBB ini adalah terletak pada kata-kata; perdamaian, keamanan, ancaman dan internasional. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apabila suatu konflik dikatakan sebagai suatu konflik internal, apakah kemudian kriteria ancaman secara internasional tidak dapat terpenuhi. Suatu transformasi yang terjadi di dalam Dewan Keamanan PBB dewasa ini, adalah dimana suatu konflik internal (atau perang sipil) telah seringkali memenuhi sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Oleh karena itu intervensi kemanusiaan dapat dibenarkan pelaksanaanya di bawah bab 7 piagam PBB atas suatu konflik yang sifatnya adalah konflik internal ( Internal armed conflict ). Hal ini diperkuat dengan putusan pada International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (“ICTY”) sebagai berikut:

“… There is a common understanding, manifested by the “subsequent practice” of the membership of the United Nations at large, that the “threat to the peace” of Article 39 may include, as one of its species, internal armed conflicts.”

Tidak semua definisi yang diberikan oleh dewan keamaan dapat menjelaskan bentuk ancaman terhadap perdamaian dan keamanan secara nyata di dalam suatu konflik atau krisis kemanusiaan. Adanya suatu peristiwa atas pelanggaran HAM yang kejam dan berat ataupun pelanggaran di dalam prinsip dan hukum internasional maka biasanya hal tersebut telah cukup menimbulkan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, sehingga memungkinkan dilakukannya intervensi kemanusiaan oleh PBB .

Melihat isi dari piagam PBB, maka dapat dilihat bahwa adanya suatu usaha untuk menyeimbangkan antara tujuan dari organisasi PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, dengan kenyataan yang ada. Perpecahan konflik yang dapat menimbulkan krisis kemanusiaan tidak mungkin dapat dihindari adanya, hal tersebut menjadi kewajiban PBB untuk membantu mengatasi keadaan serta mengembalikan keadaan pada perdamaian dan keamanan. Melalui tugas dan wewenang dari Dewan Keamanan PBB sebagaimana yang diamanatkan pada piagam PBB, maka Dewan Keamanan PBB harus mampu mengambil langkah yang diperlukan dalam mengatasi suatu situasi atau konflik yang terjadi. Di dalam mengambil keputusannya, Dewan Keamanan PBB tidak tertutup kemungkinan mengambil langkah militer setelah dirasakan penyelesaian secara damai tidak dapat dilakukan. Dewan Keamanan PBB mempunyai hak dan kewajiban di dalam menentukan langkah apa yang akan diambil berdasarkan adanya suatu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional. Oleh karena itu Dewan Keamanan PBB mempunyai kuasa secara legal untuk melegitimasi pelaksanaan intervensi kemanusiaan. Akhir kata dengan adanya bab 7 di dalam piagam PBB merupakan suatu bentuk justifikasi di dalam hukum internasional untuk dilakukannya intervensi kemanusiaan oleh organisasi internasional.