Seperti apa kondisi ekonomi di era orde baru?

Gelombang krisis makroekonomi mendadak melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Dampak yang paling cepat terlihat pada ketersediaan cadangan devisa. Pemerintah dengan segenap daya tidak mampu melakukan stabilisasi nilai tukar. Kondisi ini membawa kemerosotan pada cadangan devisa negara dari 20,3 milyar Dollar AS pada bulan Juni 1997 menjadi sekitar 14 milyar dollar AS pada pertengahan 1998. Ini juga merupakan dampak dari memburuknya neraca modal Indonesia akibat penurunan arus modal masuk secara drastis maupun melonjaknya arus modal keluar.106

Turunan dari krisis ekonomi saat itu membawa dampak sangat signifikan bagi dunia perbankan. Krisis kepercayaan kemudian muncul di mana-mana dan akhirnya berdampak pada masalah likuiditas perbankan yang sangat serius. Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas ekonomi dan moneter melakukan langkah penyelamatan dengan menyuntik kebijakan penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang melonjak dari sekitar Rp 7 trilyun pada bulan September 1997 menjadi Rp 140 trilyun pada bulan Juli 1998.

Krisis kemudian menjadi kenyataan di depan mata. Permintaan domestik secara signifikan mengalami penurunan pada kwartal pertama tahun 1998. Situasi ini mempengaruhi sisi produksi, karena permintaan domestik telah menjadi sumber penting pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun 1990-an. Karena terdapat peningkatan ketidakseimbangan eksternal, diperkirakan Produk Domestik Bruto (GDP) menyusut kurang dari kontraksi permintaan domestik. GDP merosot sebesar 13,45% pada tahun 1998. Pukulan krisis ini kemudian menghantam empat sektor penting, yaitu konstruksi, pariwisata, keuangan, dan manufaktur. Sektor konstruksi adalah korban terparah “menggelepar” menerima pukulan; hentakan krisis yang menghantam sektor ini sebenarnya sudah dirasakan pada empat bulan pertama tahun 1997, yang mengalami pertumbuhan negatif.

Kondisi ekonomi Indonesia di masa akhir Orde Baru diwarnai oleh krisis moneter. Gejolak moneter ini diindikasikan oleh depresiasi nilai rupiah sampai di atas 100 persen—tepatnya 170 persen—terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Jika pada bulan Juli 1997 nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS masih sekitar Rp 2.433 maka pada awal bulan Januari 1998 nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah mencapai Rp 8.300. Bahkan, dalam waktu satu hari saja nilai rupiah pada tanggal 8 Januari 1998 anjlok menjadi Rp 9.700 per Dolar AS; dan diperdagangkan pada Rp 11.000 per Dolar AS di pasar uang Jakarta. Krisis mata uang itu kemudian memunculkan krisis ekonomi ketika rupiah terdepresiasi demikian tajamnya dalam waktu yang amat singkat. Banyak kalangan kemudian menilai bahwa naiknya kembali Soeharto tidak menimbulkan pengaruh signifikan, malahan justru semakin membuat terpuruknya nilai rupiah menuju titik yang sudah di luar batas perhitungan wajar.

Akibat persoalan-persoalan di atas, pengangguran terbuka lebar dan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melaju tak terkendali. Keduanya (pengangguran dan kemiskinan) bergabung melaju bersama inflasi yang meningkat. Jika memakai basis tahunan, inflasi selama Januari hingga bulan Mei 1998 telah mencapai lebih dari 100 persen. Walhasil terdapat peningkatan antara kemiskinan masyarakat dan kekurangan pangan dan dampak berantainya menimbulkan gejolak sosial berupa peningkatan tindakan anarkis dan kriminalitas.

Pada tahun 1996, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun hingga 22,5 juta jiwa atau 11,2 persen dari jumlah penduduk. Akan tetapi, kenaikan dua kali lipat harga pangan pada sembilan bulan pertama sejak mulainya krisis menyebabkan jumlah orang miskin membengkak menjadi 118,5 juta jiwa atau 60,6 persen dari jumlah penduduk. Jumlah mereka yang kehilangan pekerjaan selama tahun 1998 saja mencapai minus 20%, yang bisa diterjemahkan bahwa tambahan PHK bisa mencapai 9,6 juta pekerja. Jika ditambah dengan penganggur sebelumnya dan pencari kerja, maka jumlah penganggur pada akhir tahun 1998 diperkirakan mendekati 20 juta pekerja.112

Untuk memulihkan kepercayaan pasar, pemerintah sebenarnya melakukan usaha menggandeng International Monetary Fund (IMF) atas desakan para penasehat ekonomi. Kesepakatan bersama (Letter of Intent/LoI) dengan IMF ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1997 oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Sudrajad Djiwandono. Keberadaan IMF ternyata tidak membawa dampak yang signifikan dalam memutus mata rantai krisis, dan cenderung tidak mempertimbangkan kondisi sosial politik Indonesia saat itu. Blunder kebijakan terbesar IMF adalah menutup 16 Bank swasta, yang berakibat dunia perbankan Indonesia menjadi porak poranda, terjadi rush dan pengambilan dana besar-besaran dengan antrian panjang di beberapa Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Tidak hanya itu, pada tanggal 15 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan pada saat nilai tukar dolar saat itu sudah merayap naik menuju angka Rp 10.000,- per US$. Pasar ternyata tidak merespons positif Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Presiden Soeharto. Sebagian pengamat malah menilai kesepakatan kedua ini seperti “menyiram api dengan bensin”. Walaupun begitu, LoI kedua ini menyinggung berbagai masalah sensitif seperti proyek mobil nasional, proyek cengkeh dan sejumlah bisnis yang dilakukan anak- anak Soeharto.

Dampak paling nyata lainnya dari krisis moneter adalah meningkatnya harga-harga barang termasuk sembilan bahan pokok (beras, gula, minyak terigu, kacang kedelai, jagung, telur, susu). Kenaikan harga juga terjadi pada bahan- bahan baku impor untuk industri. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak dapat mempertahankan proses produksinya, bahkan ada yang tutup sama sekali. Sebagai akibat lanjutan terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran. PHK semakin meningkatkan jumlah penganggur.

Naiknya harga-harga sembako juga mengakibatkan kepanikan konsumen golongan menengah-atas. Mulai tanggal 9 Januari 1998 mereka secara panik memborong sembako di pasar-pasar swalayan dan di pasar-pasar tradisional. Aksi pembelian sembako besar-besaran terjadi serempak di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Aksi ini membuat harga kian melonjak tinggi dan akibat lainnya konsumen kelas bawah di pasar-pasar tradisional kian menderita.

Kenaikan harga sembako memiliki dua dampak. Pertama , mendorong sejumlah produsen maupun distributor untuk menimbun barang sampai harga tertinggi. Akibatnya soal lain muncul, yaitu kelangkaan sembako di pasar. Di Jakarta dan di Tangerang, misalnya, Bakorstanasda Jaya mengaku menemukan timbunan beras hingga 250 ribu ton, 31 ribu ton kedelai, dan 11 ribu ton gula. Kedua , kenaikan drastis itu menciptakan kepanikan luar biasa di kalangan masyarakat bawah hingga mendorong mereka melakukan kerusuhan. Di jalan raya di Bandung-Cirebon, kota Jatiwangi, pada tanggal 12 Februari 1998, massa berkerumun dan berteriak, “turunkan harga!”.