Seperti apa karakter gerakan Mahasiswa 1998?

Gerakan mahasiswa 1998 memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan “angkatan-angkatan” sebelumnya. Dua karakter yang paling menonjol ialah absennya organisasi formal yang terstruktur dan bersifat hirarkis, serta tiadanya unsur kepemimpinan dalam pengertian konservatif dan tradisional. Tentang absennya tokoh pemimpin formal juga tersedia alasan taktis seperti itu. Mayoritas mahasiswa percaya bahwa gerakan mereka adalah “gerakan moral”. Itu berarti, tidak ada target kekuasaan atau ekonomi di dalam gerakan ekonomi.

Sejarah telah menunjukkan bahwa para pemimpin resmi mahasiswa adalah kelompok yang paling memetik keuntungan dari gerakan mahasiswa yang mereka pimpin. Karena itu, tidak boleh ada pemimpin resmi. Pemecahan atas munculnya masalah kepemimpinan dilakukan dengan menjalankan kepemimpinan kolektif. Karenanya, format presidium, dan terutama “forum” paling disukai. Forum memberi alternatif bagi kepemimpinan konvensional yang lebih terstruktur dan permanen. Di dalam forum, setiap orang memiliki kans untuk memimpin sebuah aksi, sekalipun pada prakteknya tetap tidak banyak aktivis yang memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah demonstrasi, terutama yang skalanya besar.

Dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya yang “normal”, gerakan mahasiswa pro-reformasi dengan kepemimpinan kolektifnya membawa dua konsekuensi, kekuatan dan kelemahan, sekaligus. Gerakan menjadi lebih kuat karena pihak aparat keamanan (biasanya melalui intel-intel) sulit mendeteksi siapa yang harus “dicomot” untuk menghentikan seluruh gerakan. Bahkan di dalam setiap aksi, pihak aparat sulit melakukan perundingan dan membuat “janji” dengan pemimpin yang kebetulan saat itu ditunjuk rekan-rekannya untuk maju memimpin di depan. Kasus-kasus di lapangan menunjukkan, setiap kali aparat “mengambil” satu atau beberapa orang yang dipercaya sebagai pemimpin aksi, maka gelombang aksi justru meningkat.

Kepemimpinan kolektif juga memberi kesempatan bagi setiap orang untuk belajar memimpin, untuk akhirnya menguasai komando lapangan yang relatif setara satu dengan yang lain. Di dalam kepemimpinan kolektif, mahasiswa menemukan inti gerakan moral mereka, yaitu egalitarianisme. Pada umumnya, semakin radikal suatu organ mahasiswa, maka semakin egaliter pengambilan keputusan dan langkah-langkah aksi yang dilakukan. Karakter inilah yang seringkali salah dimaknakan orang luar, sehingga miss persepsi gerakan mahasiswa radikal sebagai “komunis” mudah diluncurkan oleh kalangan rezim Orde Baru, yang terancam oleh gerakan mahasiswa.

Namun, kepemimpinan kolektif sekaligus membawa sejumlah kelemahan. Jalur “komando” sangat sulit dibangun. Setiap kali diputuskan untuk melakukan aksi, sulit diterka berapa banyak massa mahasiswa yang bisa diajak ikut serta. Akibatnya, perencanaan seringkali tidak sesuai dengan praktek aksinya di lapangan. Selain itu, kepemimpinan kolektif kadang kala menyebabkan saling tuding dan salah menyalahkan, jika suatu aksi gagal atau tidak mencapai target. Tidak banyak anggota kepemimpinan kolektif yang mau mengakui kesalahannya. Kepemimpinan kolektif bisa juga memberikan peluang bagi tokoh-tokoh untuk memisahkan diri dan membangun organ sendiri. Pengalaman sepanjang gerakan pro-reformasi menunjukkan, sekadar egoisme pribadi bisa memecah kepemimpinan kolektif yang semula diperkirakan cukup kokoh.

Terlepas dari karakter yang dimiliki dari gerakan mahasiswa 1998 dan keberhasilannya dalam menjatuhkan Soeharto dari kekuasaan, gerakan mahasiswa 1998 juga memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Beberapa kelemahan dari gerakan mahasiswa 1998, antara lain:

  • Merupakan gerakan yang strategis: diakui atau tidak, gerakan mahasiswa sebenarnya memainkan peranan yang sangat penting dan posisinya sangat strategis
  • Memiliki kemampuan untuk berkembang karena banyaknya waktu yang dapat dipakai untuk belajar mengenai teori perubahan, wacana, dan lain-lain
  • Gerakan mahasiswa bagian integral dari semesta gerakan rakyat
  • Dampak perubahan yang diberikan gerakan mahasiswa sangat besar
  • Mahasiswa bagian dari investasi perubahan dan pembangunan ke depan
  • Gerakan tidak dapat dimatikan oleh kekuatan kekuasaan manapun atau proses perubahan
  • Mahasiswa mengelola gerakan sendiri
  • Mampu menjadi penghubung masyarakat yang bermasalah dengan pihak yang berpengaruh.

Satu kelemahan di atas yang menarik untuk dibahas adalah tentang perpecahan di tingkat kesatuan aksi mahasiswa. Menurut Hermawan Sulistyo, mahasiswa bergerak ke arah dua lingkungan yang berbeda, yaitu faksionalisme dalam orientasinya yang bersifat ke dalam ( inward-looking orientation ) dan sekaligus membangun aliansi longgar serta jaringan yang terjalin cukup rapi, yang disebut “forum”. Arah pertama dicirikan oleh kompetisi yang sangat sengit, sebagai akibat dari fragmentasi internal, sementara arah kedua dicirikan oleh meningkatnya radikalisme. Perkembangan keduanya mensyaratkan satu hal yang sama, yaitu dukungan massa mahasiswa. Semakin lama peran kuantitas menjadi semakin penting. Betapapun radikalnya sebuah aksi, jika hanya dilakukan oleh sekelompok kecil massa mahasiswa, dampak politisnya tidak akan efektif. Pada suatu insiden, misalnya, sekitar 40 mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Jakarta, ditambah beberapa orang mahasiswa ISTN dan IISIP, memaksakan diri untuk bentrok—jargon umumnya, chaos —dengan aparat keamanan di depan kampus Unas di Pejaten. Tentu saja mereka kalah oleh pasukan keamanan yang jumlahnya sekitar tiga kali lipat.

Di samping kelebihan, gerakan mahasiswa menjatuhkan Soeharto bulan Mei 1998 juga memiliki kelemahan, di antaranya:

  • Ketidakmampuan mahasiswa membina hubungan yang baik dengan masyarakat: dalam hal ini seringkali mahasiswa bergerak sendiri di luar koridor rakyat kebanyakan. Jadi ada kesan bahwa mahasiswa bergerak atas nama heroisme , bukan atas nama kebutuhan material masyarakat banyak
  • Ada motivasi dari sekelompok mahasiswa yang hanya sekedar mencari kesenangan atau hobby. Dari kelompok seperti inilah, gerakan mahasiswa lalu hanya bersifat sebagai aktualisasi egoisme dan memenuhi sifat heroisme yang sementara saja
  • Pengorganisasian massa di basis gerakan yang lemah: karena hanya terfokus pada aktivisme yang berciri heroisme , gerakan mahasiswa secara umum lalai untuk melakukan pengorganisasian pada basis gerakan di tingkat bawah. Misalnya saja mereka tidak melakukan kaderisasi dan pengkaderan yang terus-menerus pada lapisan dalam (di antara para mahasiswa sendiri)
  • Terkadang mahasiswa memaksakan agenda atau mengangkat isu lama: pemilihan isu yang tidak strategis sebetulnya menggambarkan adanya bias kepentingan atau kurang menguasai situasi dan lapangan
  • Adanya jarak antara mahasiswa dan rakyat: hal ini ditunjukkan dengan pemilihan isu yang tidak berbasis pada kepentingan rakyat. Selain itu, gerakan mahasiswa juga tidak memiliki akar yang kuat melalui pengorganisasian terhadap rakyat
  • Adanya perpecahan di tingkat kesatuan aksi gerakan mahasiswa: perpecahan gerakan mahasiswa disebabkan oleh eksistensi, cara bergerak, perbedaan pandangan
  • Tidak ada arah dan tujuan yang pasti tentang proses reformasi yang dikumandangkan oleh mahasiswa: selain karena faktor eksternal yang berada dalam situasi yang dipenuhi oleh ketidakpastian, secara internal mereka memiliki latar belakang, orientasi dan visi yang berbeda-beda
  • Menganggap masyarakat sebagai ‘objek’ transformasi: tidak mampu mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat
  • Gerakan mahasiswa bersifat reaktif keluar, temporer, dan kemahasiswaan
  • Gerakan kehilangan daya reaktif.

Sebelum krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1997, dan sebelum marak aksi-aksi protes di banyak tempat di Indonesia, para elit politik berkumpul di bawah Soeharto. Soeharto berhasil mengontrol semua unsur elit politik, sosial, budaya, ekonomi dan agama, seperti militer, birokrasi, partai politik, kelompok bisnis, aristokrat lokal dan tokoh-tokoh agama. Sedangkan kemunculan elit politik, sosial, budaya, ekonomi dan agama sebagai oposisi rezim Orde Baru yang jumlahnya sangat sedikit masih memiliki kekuatan yang tidak signifikan. Bahkan krisis ekonomi berlangsung dari bulan September hingga bulan Desember 1997, tidak satupun dari elit politik di lingkaran kekuasaan yang bersikap kritis terhadap Soeharto. Argumen rasionalnya adalah para elit politik di lingkaran Soeharto tidak memiliki keyakinan politik yang kuat akan kejatuhan Soeharto baik yang disebabkan oleh krisis ekonomi maupun disebabkan oleh krisis politik. Para elit politik di lingkaran kekuasaan Soekarto tetap memiliki keyakinan politik bahwa Orde Baru tetap bertahan sekalipun oposisi menguat dan aksi-aksi protes meningkat setelah terjadi krisis ekonomi.

Namun di luar keyakinan itu, mobilisasi politik anti Orde Baru yang terus meningkat, menyebar dan meluas membuat elit politik di lingkaran kekuasaan Soeharto terbelah menjadi: (1) elit politik pendukung Soeharto, dan (2) elit politik penentang Soeharto. Elit politik yang mendukung Soeharto berusaha mempertahankan Soeharto hingga akhir masa jabatannya meskipun krisis ekonomi dan krisis politik tampak berhimpitan. Sementara elit politik yang menentang Soeharto telah mengubah posisi mereka dengan cara bersimpati dan mendukung aksi-aksi protes, memisahkan diri dari kekuasaan dan melawan Soeharto. Tidak diragukan lagi bahwa dukungan dan simpati itu semakin memperburuk posisi Soeharto.

Harmoko, salah satu elit politik yang berada di lingkaran kekuasaan termasuk ke dalam elit politik yang berani melawan Soeharto. Sebelum aksi-aksi protes meningkat, Harmoko merupakan pendukung setia Soeharto. Namun setelah aksi-aksi protes tidak terkendali, Harmoko yang sangat dekat dengan Soeharto tanpa ragu meminta Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Atas desakan gerakan mahasiswa dan elemen civil society pendukung reformasi dan pendukung demokrasi, dimana setelah itu Harmoko menemui dan meminta Soeharto di kediamannya. Harmoko adalah simbol elit politik dari dalam lingkaran Soeharto yang bertindak sebagai pelaku perubahan.

Selain elit politik yang kontra Soeharto yang berasal dari dalam lingkaran Soeharto sendiri, terdapat pula sejumlah elit pelaku perubahan seperti elit politik, elit intelektual, kelompok-kelompok gerakan mahasiswa dan civil society lainnya yang berasal dari luar lingkaran Soeharto. Dari kampus muncul nama-nama intelektual yang sangat kritis terhadap rezim Orde Baru, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Amien Rais. Sri Bintang Pamungkas mengkritik Soeharto melalui partai politik yang didirikannya sendiri, Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) menjelang kerusuhan tanggal 27 Juli 1996. Namun Sri Bintang Pamungkas berbeda dengan Amien Rais yang mendapat tempat dalam gerakan mahasiswa.

Perlawanan Amien Rais terhadap Soeharto dan rezimnya seperti yang ditunjukkan dalam kritiknya terhadap Kabinet Pembangunan VII telah membangkitkan sikap perlawanan terhadap Soeharto. Keberaniannya menyampaikan ide perubahan kepemimpinan nasional sebelum era krisis ekonomi dan kesediannya menjadi Calon Presiden melawan Soeharto, serta sikapnya yang mengancam rezim Soeharto akan memimpin aksi peoples power jika dalam enam bulan tidak terjadi perbaikan memberi semangat gerakan mahasiswa untuk menjatuhkan Soeharto dan rezimnya. Selain Sri Bintang Pamungkas yang pertama bersuara keras tapi dipenjara, Amien Rais juga termasuk tokoh yang sangat berani mengambil resiko politik untuk berhadapan dengan Soeharto dengan cara bertindak sebagai penggagas sekaligus pelaku perubahan. Amien Rais sebagai simbol intelektual kampus mampu memobilisasikan dan menginspirasikan aksi-aksi protes di berbagai kampus yang berpengaruh di Indonesia dengan cara memberikan pidato politik di depan mahasiswa yang siap mendukung perubahan.

Di minggu kedua Mei 1998 di Café Gallery di Jakarta Pusat, Amien Rais bersama sejumlah tokoh pendukung perubahan, seperti Rizal Ramli, Toety Heraty, Daniel Sparingga, Goenawan Mohammad dan Arifin Panigoro, Albert Hasibuan membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR). MAR mengeluarkan tiga statement politik, yaitu:

  • meminta Presiden Soeharto untuk mundur secara hormat untuk kepentingan negara. Langkah itu penting agar keseluruhan proses reformasi dapat berjalan baik dan damai

  • meminta aparat keamanan mencegah berbagai macam kekerasan terhadap masyarakat dan mencegah kondisi yang makin memburuk. Permintaan itu terkait tindakan represif aparat keamanan terhadap aksi-aksi protes. Sebelumnya, pada tanggap 18 April 1998 Amien Rais menegaskan bahwa perintah kepada mahasiswa untuk kembali ke kampus dan peringatan penggunaan tindakan represif untuk menghadapi protes jalanan tidak membuat mahasiswa mundur. Selo Soemardjan dan intelektual dari FISIP Univesitas Indonesia justru mendorong mahasiswa untuk meneruskan aksinya untuk menyuarakan aspirasi rakyat

  • meminta mahasiswa, generasi muda dan masyarakat secara umum mendukung demokrasi.

Keseriusan Amien Rais menjadi penggagas sekaligus pelaku perubahan juga ditunjukkan oleh rencananya melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut mundur Presiden Soeharto. Namun karena situasi tidak aman rencana demonstrasi yang awalnya akan dilaksanakan di Lapangan Monas dibatalkanya melalui siaran RRI dan TVRI. Juga ditunjukkan oleh acara mimbar bebas di kompleks gedung DPR/MPR yang menampilkan pembicara sejumlah tokoh pendukung reformasi total, seperti Emil Salim, Deliar Noer, Albert Hasibuan, Erna Witoelar, Wimar Witoelar, Saparinah Sadli, dan Nursyahbani Kantjasungkana.

Kondisi ekonomi dan politik yang terus memburuk mendorong satu persatu elit di lingkaran Soeharto mencari posisi aman tidak terkecuali elit militer yang selama rezim Orde Baru berdiri dapat dapat dikatakan yang paling loyal terhadap Soeharto. Syarwan Hamid, misalnya, secara terang-terangan menunjukkan peran politiknya melalui statement politiknya yang intinya dua hal, yaitu:

  • bersedia mengambil resiko dari sikapnya yang mendukung reformasi politik;
  • bersama dengan anggota DPR lainnya, mengubah posisi politiknya dari mendukung menjadi meminta Soeharto untuk mengundurkan diri.
    Statement Syarwan Hamid sebagai anggota DPR yang meminta Soeharto mengundurkan diri, meskipun mengaku didiskusikan dengan Ketua DPR/MPR, Harmoko, secara fundamental telah mengubah iklim politik negara saat itu.

Keberanian Amien Rais melawan Soeharto dengan cara bersedia melakukan protes dan bersedia mencalonkan diri jadi Presiden lalu menjalar ke mana-mana. Selain hadir dalam aksi keprihatinan menuntut pemerintah mengatasi berbagai krisis yang sedang melanda Indonesia pada tanggal 25 Februari 1998, Emil Salim melalui Gema Madani juga mengajukan diri sebagai Calon Presiden kepada Fraksi Utusan Daerah di gedung DPR/MPR pada awal bulan Maret 1998.

Di hadapan mahasiswa Universitas Indoenesia (UI) dan Ikatan Alumni UI (ILUNI UI) yang didukung oleh Mahar Mardjono mantan Rektor UI dan Selo Soemardjan Guru Besar FISIP UI, Emil Salim mengungkapkan keprihatinannya dalam acara Mimbar Bebas yang dipimpin oleh Inspektorat Jenderal Kehutanan Mayjen (Purn) Hariadi Darmawan. Penutupan Mimbar Bebas yang berlangsung pada tanggal 25 Februari 1998 ditandai oleh tindakan simbolis mahasiswa UI menutup tulisan “Kampus Perjuangan Orde Baru” yang terpampang pada Baliho besar yang dipajang di depan kampus UI “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru”. Penutupan itu sebagai simbolis berakhirnya dukungan mahasiswa dan civitas academika UI terhadap Soeharto. Mahasiswa dan civitas academika UI yang sudah tanpa rasa takut secara terus menerus menekan Soeharto melalui serangkaian aksi-aksi unjuk rasa hingga pada tanggal 13 April 1998, Rektor UI, Prof. Dr. Asman Budisantoso Ranakusuma, terpaksa harus membela mahasiswa dan civitas akademikanya yang mendapat sambutan represif dari pihak keamanan.