Seperti apa Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Realis?

Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Realis

Realis mengakui keamanan dalam arti nontradisional ( non-traditional security ) seperti perubahan iklim, wabah penyakit, kemiskinan, krisis ekonomi dan kejahatan terhadap hak asasi manusia.

Seperti apa Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Realis?

Intervensi kemanusiaan menantang premis dasar realisme tentang konsep keamanan. Keamanan dalam sudut pandang realis dimaknai sebagai keamanan tradisional yakni kemanan negara ( states security ). Studi keamanan adalah studi tentang perang dan diplomasi yang sangat kental dengan urusan negara (Kolodziej, 1992). Walt (1991) merangkum gagasan tentang studi keamanan sebagai “studi tentang ancaman, penggunaan dan pengendalian kekuatan militer.” Penggunaan sarana militer ini tentu saja adalah otoritas negara sehingga negara adalah unit analisis primer yang menjadi sasaran ancaman atau referent object (Buzan & Hansen, 2009). Realis mengakui keamanan dalam arti nontradisional ( non-traditional security ) seperti perubahan iklim, wabah penyakit, kemiskinan, krisis ekonomi dan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Tetapi seperti dikatakan Lynn-Jones (1991), isu keamanan non-tradisional tersebut masuk ke dalam ranah studi keamanan hanya jika memberikan dampak langsung terhadap keamanan negara sebagai unit analisis utama. Sedangkan intervensi kemanusiaan hirau dengan isu keamanan non-tradisional yakni keamanan manusia ( human security ). Isu ini menjadi salah satu isu penting dalam studi keamanan dan menantang keterbatasan ruang lingkup studi keamanan tradisional yang hanya berkutat pada masalah keamanan negara (Buzan, 1991; Buzan, Waever & Wilde, 1998; dan Buzan & Hansen, 2009).

Konsep intervensi kemanusiaan juga menantang konsep moral dalam hubungan internasional. Moralitas adalah konsep sosiologis yang bermakna baik atau buruk. Intervensi kemanusiaan seringkali diklaim sebagai upaya untuk menegakkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Intervensi koalisi Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat di Libya pada bulan Maret 2011 dikatakan sebagai cara untuk melindungi hak asasi manusia warga sipil Libya dari kejahatan rezim Khadafi. Tetapi dalam ranah politik, kategori tindakan baik/buruk tentulah sangat subyektif. Pihak yang paling kuatlah yang berperan besar menciptakan kategorisasi baik/buruk ini.

Realisme sangat “alergi” dengan masalah moralitas. Ini karena akar pemikiran realis didasarkan pada pemikiran tentang hakekat politik yang sepenuhnya pesimistis. Bagi para penganut realisme, tidak ada moralitas dalam politik dan tentu saja politik internasional. Morgenthau (1954) mengemukakan salah satu dari enam prinsip dasar realisme yaitu “prinsip-prinsip moralitas universal tidak bisa diaplikasikan dalam tindakan negara.” Absennya moralitas diklaim berakar dari sifat dasar ( state of nature ) manusia yang mempunyai sifat jahat dalam dirinya. Seperti dikemukakan pemikir realpolitik termasyhur Machiavelli bahwa “harus diterima kenyataan bahwa manusia itu jahat dan selalu akan menggunakan kelicikan yang ada dipikirannya setiap ada kesempatan” (Donnely, 2000). Selain jahat, manusia juga mempunyai perangai mementingkan diri sendiri (egois). Mengenai hal ini, para penganut mazhab realisme sepakat tentang karakter egoistik dan mementingkan diri sendiri dalam politik internasional. Pandangan negatif dan pesimistis tentang sifat manusia tersebut menjadi ciri khas paradigma realisme dalam politik internasional.

Tantangan terbesar isu intervensi kemanusiaan kaitannya dengan paradigma realis adalah tentang konsep kepentingan nasional ( national interest ). Bagi realis, kepentingan nasional adalah faktor utama tindakan negara. Semua tindakan negara selalu dipandu oleh kepentingan nasional. Karena hakekat manusia adalah egois, maka negara pun demikian. Negara akan bertindak semata-mata karena memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri. Waltz (1979) menegaskan bahwa karakter anarki politik internasional memaksa negara untuk bertindak seragam ( like unit ) dengan hanya memfokuskan pada prinsip menolong diri sendiri ( self help ). Dalam hubungan internasional, negara adalah aktor privat yang memandang tidak ada kepentingan yang lebih tinggi daripada kepentingannya sendiri (Lu, 2006).

Intervensi kemanusiaan bagi realis bukan didasari oleh motivasi untuk memperjuangkan kepentingan keamanan internasional. Intervensi kemanusiaan adalah upaya untuk memperjuangkan kepentingan negara pengintervensi. Dalam hal ini, definisi intervensi kemanusiaan sesuai dengan pendapat Bellamy (2003) bahwa jika negara bertindak atas dasar kepentingan dirinya, maka intervensi kemanusiaan adalah upaya negara kuat untuk melawan negara lemah dengan kekuatan militer demi kepentingannya sendiri. Negara melakukan tindakan intervensi bukan semata-mata untuk alasan kemanusiaan karena negara senantiasa didorong oleh kepentingan nasional (Wheeler, 2000). Alhasil, negara tidak akan rela bersusah payah mengintervensi negara lain hanya untuk membela kepentingan selain kepentingan nasionalnya. Bellamy dan Wheeler (dalam Baylis & Smith, 1998) menegaskan bahwa kaum realis tidak hanya berangkat dari asumsi bahwa negara tidak melakukan intervensi untuk maksud kemanusiaan tetapi juga negara tidak perlu bertindak melalui cara ini. Pemimpin politik tidak punya hak moral untuk menumpahkan darah warga negaranya sendiri demi menolong orang asing. Singkatnya, intervensi kemanusiaan tak lebih daripada alat kebijakan luar negeri negara pengintervensi (Krieg, 2013).

Masalahnya di sini adalah keterbatasan realisme mengenai konsep kepentingan nasional. Realisme hanya mengakui kepentingan nasional dalam segi material, baik militer maupun ekonomi. Sebagaimana dikatakan Burchill (2005), “ideologi-ideologi dominan, agama, cara-cara produksi dan lembaga-lembaga sosial bagi realis hanya memberikan pengaruh kecil terhadap perilaku negara.” Kepentingan militer biasanya bersifat geostrategis, artinya letak suatu wilayah dianggap bisa memberikan keuntungan strategis bagi negara, misalnya menginvasi negara lain untuk membangun pangkalan militer atau mengokupasi wilayah tertentu untuk memberikan kemudahan dalam mengawasi atau menyerang negara lain.

Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki pangkalan militer terbesar di dunia yang mana mampu menjangkaukawasan di seluruh dunia. Sedangkan kepentingan ekonomi lebih bersifat geoekonomi, yakni letak suatu wilayah yang dianggap menguntungkan secara ekonomis misalnya dalam kasus invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 didorong oleh hasrat untuk mengontrol produksi minyak di negara tersebut. Namun seringkali kita melihat kepentingan nasional suatu negara tidak terbatas pada masalah materi semata, tetapi hal-hal yang bersifat ide/gagasan. Contohnya adalah Uni Soviet pada masa Perang Dingin dengan program Komintern yaitu kebijakan Josef Stalin mengeksporideologi Komunisme ke seluruh dunia. Sebagai respon Amerika Serikat di bawah pemerintahan Harry S. Truman mengeluarkan kebijakannya yang terkenal yaitu Doktrin Truman sebagai strategi pembendungan ( containment policy ) komunisme. Sebagai kompetitor ideologis, Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang paling banyak mendalangi upaya kudeta untuk mengganti rezim yang menentang dia dengan demokrasi, misalnya penggulingan Mossadeq di Iran, Salvador Allende di Chili, Ali Bhutto di Pakistan, termasuk kudeta 1965 di Indonesia yang menggulingkan presiden Sukarno (Blum 2002).

Realisme menganggap realitas kepentingan nasional yang bersifat nonmaterial ini sebagai epifenomena – ada tetapi keberadaannya tidak memberikan pengaruh – dalam politik internasional dan hanya mengakui kapabilitas material relatif sebagai determinan kebijakan luar negeri suatu negara. Kapabilitas material relatif ini memang penting, namun tidak begitu berarti dalam menjelaskan kepentingan AS dalam rangka menyebarluaskan demokrasi ke seluruh dunia. Monten (2005) mengatakan, “kapabilitas untuk menggunakan kekuatan politik dan militer jelas merupakan prasyarat bagi upaya menyebarluaskan demokrasi ke seluruh dunia, namun tidak semua negara yang memiliki kapabilitas ini melakukan kebijakan penyebarluasan demokrasi.”

Misi mempromosikan demokrasi sebagai identitas nasional Amerika memang lebih bernuansa liberal daripada realis. Tetapi strateginya menggunakan cara-cara realis yaitu penggunaan instrumen militer. Intervensi yang sering dilakukan Amerika Serikat dalam sejarah berupa pengerahan militer ke suatu wilayah bukan untuk latihan tetapi sematamata mencerminkan kepentingan nasionalnya (Hippel, 2004). Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Condoleeza Rice (2008) menandaskan dalam artikelnya bahwa “bagi Amerika Serikat, mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia harus menjadi prioritas utama”. Pernyataan ini menggarisbawahi politik luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan kepentingan untuk membuat dunia menganut sistem politik demokratis yang dianggap sebagai ideologi final dan universal (Fukuyama, 1992).

Politik luar negeri suatu negara senantiasa dituntun oleh doktrin; semacam pemikiran yang memberikan arahan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak oleh negara. Doktrin politik luar negeri Amerika Serikat dapat dikategorikan menjadi beberapa aliran. Kissinger (1994) membagi doktrin politik luar negeri Amerika Serikat menjadi dua aliran: isolasionis dan misionaris. Di kancah internasional, Amerika Serikat memainkan peran ganda sebagai “mercusuar” ( beacon ) dan “tentara salib” ( crusader ). Amerika Serikat menganut demokrasi dan oleh karena itu seolah-olah ia adalah pemberi petunjuk (mercusuar) bagi negara-negara lain. Nilai yang dianutnya itu kemudian melahirkan prinsip bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab untuk memaksakan nilai tersebut ke seluruh dunia. Justifikasi peran internasional Amerika Serikat adalah mesianistik: Amerika Serikat punya kewajiban, bukan demi keseimbangan kekuasaan, tetapi untuk menyebarluaskan prinsip yang dianutnya ke seluruh dunia (Kissinger, 1994).

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Francis Fukuyama. Dalam bukunya Fukuyama (2006) membagi doktrin politik luar negeri Amerika Serikat menjadi empat aliran: neokonservatif, realis, liberal internasionalis, dan nasionalis “Jacksonian”. Neokonservatisme merupakan aliran dalam politik luar negeri Amerika Serikat yang relatif baru. Aliran ini muncul sebagai doktrin kebijakan luar negeri setelah Robert Kagan dan William Kristol menulis artikel dalam majalah Foreign Affairs pada 1996. Dalam tulisannya, Kagan dan Kristol memberikan landasan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang berpedoman pada tiga hal yakni ekspansionisme, intervensionisme, dan mempromosikan demokrasi. Doktrin ini serupa dengan doktrin mesianistik Wilsonian menurut terminologi Kissinger dan “Realisme Baru”-nya Condoleeza Rice. Menurut doktrin ini, peran aktif di kancah internasional mencerminkan kepentingan nasional Amerika Serikat. Kagan dan Kristol (dalam Fukuyama 2006, 40) menggarisbawahi bahwa “hegemoni demi kebaikan” di bawah kepemimpinan Amerika Serikat adalah upaya untuk “menahan, dan jika memungkinkan mencegah munculnya diktator-diktator dan ideologi-ideologi mengancam; … mendukung kepentingan Amerika dan prinsip-prinsip demokrasi; dan … memberikan bantuan bagi mereka yang berjuang melawan sifat jahat manusia yang lebih ekstrim.”

Landasan politik luar negeri yang demikian itu dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan “pergantian rezim” ( regime change ) dalam rangka memaksa pemerintahan tiran dan despotis untuk tunduk pada nilai yang digariskan Amerika Serikat. Pemerintahan George W. Bush dengan tegas menyatakan bahwa garis kebijakan luar negerinya adalah mengikis habis rezim-rezim non-demokratis yang menentang negaranya. Sebagaimana Jervis (2003) mengatakan, “…pergantian rezim diperlukan sebab pemerintahan tirani akan senantiasa mengabaikan perjanjian serta mengancam tetangga-tetangganya sebagaimana mereka memperlakukan warga negaranya dengan tidak layak.”Pasca peristiwa 11 September 2001 kita melihat bagaimana Amerika Serikat menginvasi Afganistan dan menumpas habis rezim Taliban serta menggantinya dengan rezim boneka Hamid Karzai. Tidak lama setelah itu, Amerika Serikat melanjutkan petualangan mesianistiknya mendongkel rezim tiran Saddam Hussein di Irak dan memasang Jalal Talabani sebagai presidennya.

Intervensi kemanusiaan Amerika Serikat dan koalisi di Libya pada 2011 pada dasarnya adalah upaya mengganti rezim Khadafi yang dianggap tidak ramah terhadap negara-negara barat. Amerika Serikat menemukan momentum itu ketika Libya dilanda revolusi politik yang berlarut-larut oleh kaum pemberontak yang didukung barat. Demokratisasi ternyata tidak berjalan mulus seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir dimana demonstran anti pemerintah berhasil menggulingkan rezim Ben Ali dan Mubarak. Alih-alih mundur, Khadafi justru memberangus kelompok anti pemerintah dengan kekerasan. Situasi ini membuat DK PBB terpaksa mengambil langkah tegas. Tiga anggota tetap (Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat) minus Rusia dan Cina yang mengambil keputusan abstain mengeluarkan resolusi untuk menggelar operasi militer terhadap Libya dengan satu misi: menyelamatkan warga sipil yang menjadi korban penindasan rezim Khadafi.

Intervensi kemanusiaan di Libya adalah sebuah paradoks (Finnemore dalam Price, 2008). Serangan koalisi ke negara itu justru mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan sipil. Pada serangan tanggal 20 Maret 2011 serangan NATO membunuh 48 warga sipil Libya (Viva News 2011). Serangan militer itu membuktikan bahwa motivasi pasukan koalisi tidak lagi bersifat kemanusiaan, tetapi politis. Setelah NATO mengambil alih serangan, korban sipil terus berjatuhan. Pada tanggal 13 Mei 2011, serangan tentara NATO menewaskan 16 warga sipil Libya dan melukai sedikitnya 40 orang di kota Brega, Libya Timur (Antara News 2011).

Bukti lain jika serangan ke Libya bukan bermotif kemanusiaan adalah NATO menolak tawaran negosiasi dari pemimpin Libya Moammar Khadafi (Republika 2011). NATO meragukan kredibilitas tawaran damai tersebut. Penolakan barat tersebut bisa dikategorikan sebagai pengabaian terhadap upaya damai. Bagi negara-negara barat, upaya damai tidak ada gunanya jika Khadafi belum berhasil digulingkan dan menggantinya dengan rezim demokratis.