Seperti apa Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Konstruktivis?

Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Konstruktivis

Konstruktivisme memandang dunia secara berbeda dengan realisme. Jika realisme lebih mementingkan aspek material, konstruktivisme menekankan pada aspek non-material.

Seperti apa Intervensi Kemanusiaan dalam Perspektif Konstruktivis?

Konstruktivisme memandang dunia secara berbeda dengan realisme. Jika realisme lebih mementingkan aspek material, konstruktivisme menekankan pada aspek non-material. Realisme mengklaim bahwa benda mati (fakta kasar) seperti kekuatan militer dan ekonomi negara menentukan tindakan negara. Konstruktivisme menantang cara pandang itu bahwa karena hubungan internasional adalah masalah sosial, maka determinan tindakan negara adalah pemahaman bersama ( shared understanding ) atau meminjam terminologi Alexander Wendt sebagai intersubyektivitas (Wendt, 1992& 1999). Intersubyektivitas berarti tindakan aktor dalam hubungan internasional tidak serta-merta derivasi dari kepentingan yang inheren dan sudah seperti itulah adanya dan seharusnya ( given ), tetapi produk dari proses pemaknaan aktor tersebut.

Dalam menjelaskan fenomena internasional, konstruktivisme berpijak pada kata kunci norma. Norma dipahami sebagai “harapan-harapan kolektif mengenai perilaku yang pantas bagi aktor dengan identitas tertentu” (Jepperson, Wendt & Katzenstein dalam Katzenstein, 1996). Norma membantu mendefinisikan situasi dan oleh karena itu mempengaruhi interaksi antar negara (Zehfuss, 2004). Finnemore (1996a) lebih jauh menjelaskan bahwa kepentingan negara didefinisikan dalam konteks nilai dan norma internasional. Aktor-aktor hubungan internasional terutama negara melakukan tindakan karena dituntun oleh aturan-aturan, prinsip-prinsip, norma yang disepakati bersama, serta keyakinan yang kesemuanya ini menyediakan pengertian tentang apa yang penting, berharga, baik dan apa cara-cara yang efektif atau legitimate dalam rangka mencapai hal-hal tadi (Finnemore, 1996a). March dan Olsen (2004) berpendapat bahwa peraturan dan norma diikuti sebab sudah terlanjur dianggap alami, benar, dikehendaki, dan sah. Aktor-aktor internasional melakukan tindakan yang mereka anggap pantas untuk dilakukan berdasarkan peraturan dan norma tersebut. Jadi konstruktivisme tidak peduli dengan masalah kepentingan yang menyetir kebijakan negara akan tetapi apa yang membentuk kepentingan dan bagaimana kepentingan itu terbentuk.

Norma berfungsi sebagai penuntun perilaku (regulatif) negara sekaligus membentuk identitas (konstitutif) negara. Di satu pihak, norma secara intrinsik mengandung elemen “keharusan”, maka norma memberikan justifikasi atas tindakan yang diambil suatu negara (Finnemore & Sikkink, 1998). Di lain pihak, negara yang melakukan tindakan di luar norma internasional dianggap menyimpang ( deviant ), oleh karena itu negara bersangkutan menempel identitas sebagai negara jahat, tiran, tidak beradab, dan seterusnya. Bagi konstruktivis norma bukan sekadar alat kepentingan negara sebagaimana dikatakan kaum realis melainkan struktur sosial yang membatasi pilihan kebijakan negara (Rosyidin, 2015). Negara patuh terhadap norma bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material berjangka pendek tetapi karena norma tersebut dimaknai secara positif sebagai instrumen keteraturan masyarakat internasional.

Dalam isu intervensi kemanusiaan, standar perilaku yang menjustifikasi negara melakukan tindakan intervensi adalah norma yang termaktub dalam Piagam PBB tentang hak asasi manusia. Norma hak asasi manusia yang relevan di sini pada intinya berisi hak untuk hidup, yaitu “hak bebas dari penghilangan nyawa dan hukuman tanpa pengadilan serta bebas dari penganiayaan dan penangkapan yang semena-mena” (Risse & Sikkink dalam Risse, Ropp & Sikkink, 1999). Norma kemanusian ini berlaku sebagai “ principled beliefs ” (Goldstein & Keohane, 1993). yang berfungsi memberi makna dan kategorisasi tindakan yang baik atau buruk dan adil atau tidak adil. Institusi ini adalah struktur normatif yang menuntun aktor internasional untuk tunduk dan patuh kepada aturan legal-formal tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, norma internasional yang mendasari intervensi kemanusiaan adalah prinsip Responsibility to Protect (R2P). Prinsip etis ini sebenarnya muncul lantaran dunia internasional tidak mampu berbuat apa-apa ketika menghadapi genosida di Bosnia dan Rwanda pada paruh pertama dekade 1990-an. Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB menulis di The Economist bahwa kedaulatan bermakna tanggung jawab; tanggung jawab melindungi warga negaranya dari kejahatan kemanusiaan. Apabila pemerintah suatu negara gagal menjalankan kewajiban ini, maka dunia internasional akan mengambil alih kewajiban itu, yang artinya melakukan intervensi (Annan, 1999). Menurutnya, kedaulatan harus dipahami sebagai sesuatu hal yang bersyarat (tidak mutlak) sejauh pemerintah menghormati hak asasi warga negaranya (Annan, 2012).

Intervensi kemanusiaan baik dilakukan negara individual maupun multilateral bertujuan membela nilai-nilai luhur yang disepakati bersama yaitu hak asasi manusia. Negara dalam konteks ini adalah “aktor public” (Lu, 2006). Tindakan negara dimotivasi oleh “barang publik” dan oleh karena itu negara bersifat altruis (tidak mementingkan diri sendiri). Kepentingan nasional yang diterjemahkan ke dalam kepentingan internasional merupakan manifestasi altruisme negara. Organ internasional dalam hal ini DK PBB berperan seperti penegak hukum yang menjaga aturan dan norma internasional itu tetap dipatuhi. Pelanggaran terhadap norma internasional tadi sama artinya mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Oleh karena itu harus diberikan tindakan untuk menghukum si pelanggar. Pemberian sanksi dijustifikasi karena demi terwujudnya kebaikan bersama. Bagi penganut konstruktivis, studi tentang intervensi kemanusiaan adalah studi tentang justifikasi. Ketika suatu negara menjustifikasi intervensi yang ia lakukan, berarti negara itu telah mendapatkan legitimasi dan mengartikulasikan nilai-nilai dan harapan bersama dunia internasional (Finnemore dalam Katzenstein, 1996).

Penjelasan konstruktivisme yang melihat negara sebagai aktor yang memperjuangkan kepentingan publik yakni menegakkan norma internasional bisa kita cermati dalam kasus intervensi kemanusiaan Amerika Serikat di Somalia pada 1992. Dalam operasi militer bersandi Operation Restore Hope yang berlangsung selama tiga tahun itu, Amerika Serikat memasuki wilayah yurisdiksi Somalia untuk menunaikan misi kemanusiaan dan “nation building”. Seperti dinyatakan Finnemore (dalam Katzenstein 1996b), intervensi di Somalia bukan didasari oleh motif kepentingan karena Somalia bukanlan negara yang dapat memberikan keuntungan (baik politik, ekonomi, maupun militer) bagi Amerika Serikat. Sebaliknya, Somalia adalah negara kolaps yang didera pertikaian politik primordial akut, sehingga membawa kesengsaraan rakyat sipil. Dalam sebuah dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat bertanggal 7 Desember 1992, dikatakan bahwa sebagai anggota tetap DK PBB Amerika Serikat mengintervensi Somalia bukan untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya melainkan tekanan domestik berupa “desakan moral” untuk membantu rakyat Somalia, khususnya anak-anak (Sarbu, 2009). Pembunuhan rakyat sipil merajalela menyebabkan gelombang pengungsi ke negara tetangga seperti Kenya, Ethiopia dan Djibouti. Kelaparan parah akibat bantuan pangan dari lembaga internasional disabotase oleh para milisi untuk memberi makan tentara atau menukarkannya dengan senjata (Hippel, 2004). Di sini, Amerika Serikat berperan seperti sang Mesias atau juru selamat bagi rakyat Somalia, jadi bukan datang untuk mencari keuntungan-keuntungan jangka pendek. Kasus lain misalnya pada saat terjadi konflik Serbia-Bosnia di Yugoslavia antara tahun 1993-1995. Konflik bernuansa SARA memicu perpecahan politik di Balkan (debalkananisasi) yang kemudian diikuti dengan genosida besar-besaran. Slobodan Milosevic yang chauvinistik dari Serbia melakukan pembersihan etnis Bosnia di Srebrenica. Pada 1995, NATO menggempur Sarajevo dengan operasi militer bersandi Operation Deliberate Force untuk memburu Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic yang dianggap paling bertanggung jawab atas pembantaian warga sipil Bosnia. Intervensi Amerika Serikat di Bosnia adalah upaya untuk menegakkan norma hak asasi manusia yang dilanggar oleh rezim tiran dan berdarah dingin. Intervensi kemanusiaan di Bosnia dan Kosovo paling tidak menunjukkan komitmen komunitas internasional untuk menanggapi pelanggaran hak asasi manusia berat di negara itu (Morris dalam Welsh, 2004). Sama seperti Somalia, kawasan Balkan tidak terlalu menguntungkan bagi Amerika Serikat secara ekonomis maupun strategis. Balkan adalah wilayah yang terfragmentasi berdasarkan identitas etnis dan agama. Setelah Amerika Serikat angkat kaki dari Bosnia, kini wilayah itu terbagi-bagi menjadi beberapa negara independen yakni Macedonia, Slovenia, Kroasia, Bosnia, dan Serbia-Montenegro.