Seperti apa filosofi dan sejarah demokrasi?

Istilah, demokrasi terbentuk dari paduan kata demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratien yang berarti memerintah. Makna etimologis demokrasi sering dinyatakan dengan “government or rule by the people”, “pemerintahan oleh rakyat”, “rakyat berkuasa” atau “rakyat memerintah”. Untuk maksud yang sama, bangsa Romawi menggunakan istilah republik, yang berarti kembali ke rakyat. Meski Madisson membedakan istilah demokrasi dan republik, tapi Dahl melihat tidak ada perbedaan signifikan antara keduanya mengingat argumen Madisson kurang didukung informasi kesejarahan memadai. Dahl melihat perbedaan mendasar antara kedua istilah tersebut tidak tampak selain dari segi asal-usul kedua istilah.

Demokrasi didefinisikan secara berbeda-beda, tapi ada beberapa pengertian mendasar yang disepakati bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan, di mana setiap anggota masyarakat memperoleh hak yang sama, sebagai pemegang kekuasaan, pembuat, penentu serta pengontrol pelaksanaan kebijakan tertinggi. Keterlibatan tersebut dirupakan melalui keikutsertaan dalam pembentukan, pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan melalui lembaga perwakilan yang dibentuk melalui pemilihan umum. Suara mayoritas diposisikan sebagai manifestasi kehendak kebanyakan warga negara.

Demokrasi dapat dinyatakan sebagai kebalikan sistem monarkhi absolut, oligarki, aristokrasi atau otokrasi, yang menempatkan hak menentukan tata nilai terletak pada tangan satu atau beberapa orang. Karenanya, demokrasi secara sederhana juga sering diungkapkan dengan pemerintahan dari rakyat (government of the people), oleh rakyat (government by the people) dan untuk rakyat (government for the people).

Seperti apa filosofi dan sejarah demokrasi?

Demokrasi muncul karena adanya kebutuhan dan hak setiap individu untuk turut serta membentuk tata nilai yang mengatur diri mereka sendiri. Demokrasi adalah perwujudkan kesadaran humanistik yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta intelektual. Demokrasi menggugat hak-hak eksklusif kelompok-kelompok tertentu sebagai pemegang otoritas dalam menentukan berbagai kebijakan dan tata aturan yang diwariskan secara turuntemurun, meski mengatasnamakan Tuhan.

Pemikiran ini disinyalir merupakan kelanjutan tradisi berfikir Yunani kuno yang mengedepankan otoritas rasio dan mengesampingkan mitos ataupun tradisi. Meski secara diskursif para filosof, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles memandang demokrasi berpotensi menimbulkan anarkhisme, namun tradisi Yunani kala itu sudah terbiasa dengan pola pikir rasional dan pragmatis. Manusia merumuskan sendiri tata nilai melalui power sharing di lembaga perwakilan rakyat (ecclesia). Hukum dan tata nilai yang dibuat manusia selanjutnya memiliki kekuasaan di atas manusia. Ini memungkinkan ketaatan hukum tumbuh bukan karena keterpaksaan, rasa takut atau kepasrahan, melainkan kesadaran swadisiplin.

Pemikiran dan tradisi ini sempat mengalami kemandegan ketika kebebasan berfikir didominasi oleh Gereja selama abad pertengahan. Gerakan renaissance dan Aufklaerung di Eropa membangkitkan kembali tradisi humanisme Yunani, di mana pemikiran murni menjangkau keluasan ruang dan kedalaman waktu. Humanisme menekankan pada kebutuhan manusia akan kesejahteraan yang bersifat kekinian, di dunia. Penghargaan terhadap rasionalitias juga berarti penghargaan terhadap hak-hak individu. Dalam diskursus filsafat, humanisme memandang individu rasional sebagai nilai tertinggi dan menentukan dalam membangun kreativitas dan nilai-nilai moralnya secara rasional, bahkan tanpa merujuk pada pandangan-pandangan adikodrati.

Seiring melemahnya kesakralan raja, revolusi politik Eropa khususnya Perancis dan Inggris yang berpadu dengan tuntutan akan revolusi sosial dan ekonomi, merebak dengan mengetengahkan jargon liberté, egalité dan fraternité. Kaum penentang raja atau monarchomacha mempertegas konsep kedaulatan rakyat dengan argumen-argumen duniawi, dan mengesampingkan dogma agama. Dampak lanjutnya, rakyat lebih membutuhkan parlemen sebagai agen rakyat dari pada raja yang mengklaim dirinya sebagai agen Tuhan. Tuntutan tersebut diejawantahkan dengan sekularisasi yang mengakhiri kekuasaan gereja atas negara dengan adagium “berikan kepada kaisar hak kaisar, dan berikan kepada Tuhan hak Tuhan”.

Kesadaran ini pada tataran komunal melahirkan keinginan berbagai bangsa untuk membangun komunitas negara dan melahirkan republik-republik kecil di Eropa. Kesadaran komunal tersebut mengalami pengentalan atas dasar ikatan kepentingan yang kemudian melahirkan paham nasionalisme. Paham ini meruntuhkan dominasi feodalisme yang kokoh di Eropa sejak abad ke-8 dan menumbuhkan tatanan baru yang memungkinkan aktualisasi hak-hak individu. Tatanan baru tersebut dikenal dengan istilah demokrasi, yang pada awalnya masih bersifat elitis, ajang kelompok elite sosial dan ekonomi yang memiliki nilai tawar tinggi di hadapan penguasa feodal.

Demokrasi sebagai konsep terus berkembang seiring perjalanan kesejarahan manusia. Perang dunia yang berlanjut dengan perang dingin dengan berbagai fragmentasi pertarungan ideologis dan kepentingan politiknya menyuguhkan perubahan baru dalam hal konsep demokrasi. Runtuhnya komunisme yang sering dinilai sebagai kemenangan demokrasi liberal tidak serta-merta menjadi penghujung akhir kesejarahan (the end of history) demokrasi seperti tesiss Fukuyama, sebab munculnya berbagai sintesa dan antitesa baru senantiasa terbuka.