Sepenggal Kata yang Dicabik Ersa

Sumber: https://images.app.goo.gl/tEr7yYwJ6sw1HiCLA

Hari ini adalah hari yang sangat sibuk. Riuh keramaian santriwati di pondok pesantren rasa-rasanya membuat dadaku sesak. Bau keringat, bau bawang, dan bau-bau tak bersahabat lainnya terus menusuk penciumanku.

" Sa’idni shuwayya!"* Kata Ersa, sahabatku, dalam Bahasa Arab yang artinya " bantu aku sebentar".

Aku pun membantunya mengangkat lemarinya dan membawanya ke kamar baru yang akan ia tempati. Sebenarnya aku sangat sedih dengan keadaan ini, walaupun kami tetap sekolah dan mengaji bersama, tetap saja tidak menyenangkan jika harus berpisah kamar.

Bayangkan, dia adalah teman dikala suka dan dukamu, tempat kau mencurahkan segala unek-unekanmu, selalu bersedia mendengar ocehan tak penting darimu, bahkan sampai larut malam demi membuatmu bahagia.

Pasti sangat sulit menemukan sosok sahabat setulus itu, dan akulah orang yang sangat beruntung.
Terimakasih, Tuhan.
Engkau sangat baik telah menghadirkannya untukku. Ah! Pasti aku akan sangat merindukannya nanti.

Hari-hari berikutnya kulewati dengan mood yang sangat berantakan, entah kenapa sejak kami berpisah kamar, Ersa tak lagi banyak bicara denganku. Rasa canggung untuk bertanya mulai menguasai diriku, sikapnya yang terkadang tak jelas itu membuat hubungan kami makin merenggang dari waktu ke waktu.

Sampai pada suatu hari di sekolah saat jam istirahat, Ersa menarikku ke pojok ruangan.

" Raina, aku jadian sama Fathan, anak baru itu."

“Lah? Gimana ceritanya? Kan—”

“Iya, aku dipinjemin handphone sama si Nadya, nekat banget dia bawa, hahaha.”

“O, oh.”

Untuk saat ini kesimpulan yang dapat kuambil sendiri adalah bahwa Ersa mulai tidak mempedulikanku lagi semenjak dia kenal dengan pacar barunya itu.

“Kamu kok ngelamun? Udah nggak papa, aku ingat kok nasihatmu itu, aku bakal jauhin dia kalau memang dia bukan cowok baik-baik.” Ersa tersenyum lalu pergi, membuatku tak bisa membendung lama bulir bening itu.

Malam itu selesai sholat isya, tak seperti santriwati lainnya yang buru-buru keluar, aku memilih untuk tetap duduk dan membaca Al-Qur’an di musholla, mungkin itu akan membuat perasaanku sedikit tenang dan prasangka burukku menghilang.

Pada awalnya, kedamaian muncul di dalam hatiku karena kalam-kalam Tuhan yang indah itu. Namun, aku tak bisa menahan air mataku saat mengetahui Ersa asyik bercengkerama dan tertawa bersama komplotan Nadya di belakangku. Saat aku menoleh, dia bukannya bertanya kenapa aku, justru ia melemparkan senyuman manisnya ke arahku.

Aku meraung dalam dekapanku sendiri, sesekali kuperdengarkan keras isakan tangisku, berharap Ersa akan datang memelukku, lalu bertanya ada apa dengan diriku. Tapi nihil, itu semua hanya permainan bayang-bayang saja.

Malam yang sangat pilu. Benar-benar egois, pikirku. Di samping itu, Allah menghadirkan mereka yang mungkin saja diutus lewat hati untuk menemui dan menenangkan perasaanku.

“Udahlah, Rain. Kan ada kita.”

“Iya, Rain. Orang kayak gitu mah, nggak usah diledenin, mungkin Allah sengaja jauhin dia dari kamu, Allah nggak mau kamu punya temen egois kayak dia. Allah sayang sama kamu, Rain.”

" Positive thinking, Rain."

Cukup, Ya Allah! Engkau sudah sangat baik kepada hamba, Engkau mengambil satu orang yang hamba sayangi, lalu engkau menghadirkan banyak orang yang menyayangi hamba.

Maaf, Ersa.
Aku juga tidak sanggup harus terus berlarut-larut seperti ini, aku butuh kebahagiaan, mungkin bukan bersamamu lagi, melainkan bersama teman-teman baruku, sama sepertimu, bahagia bersama teman-teman barumu.

Waktu demi waktu berlalu. Kesalahanku masih sama, aku belum bisa melupakan Ersa, sahabatku itu. Sampai pada suatu hari, Ersa tertidur saat jam kosong di sekolah, kumanfaatkan keadaan itu untuk mencurahkan segala unek-unekanku ke dalam buku kecil miliknya.

Ersa, aku rindu sama kamu yang dulu. Kamu inget, nggak? Dulu kita kemana-mana bareng, makan bareng, sholat dhuha bareng, huft! Aku rindu itu semua, Er. Aku nggak nyangka akhirnya kita bakal kayak gini, cuma karena Fathan datang dalam hidup kamu, kamu ngelupain aku gitu aja. Belum lagi pacaran itu dosa, Er. Aku kan udah bilang berapa kali sama kamu. Intinya aku rindu sama kamu yang dulu, itu aja, maaf kalau aku banyak salah sama kamu.

Kuletakkan buku itu ke tempatnya kembali, harap-harap Ersa akan kembali seperti dulu lagi setelah membacanya.

Siangnya saat pulang sekolah, aku melihat Ersa berdiri lama di depan pintu kelas, aku mendekat, kulihat ia mencabik kasar kertas yang kutulis tadi ke dalam tong sampah.

Deg!

Hatiku retak.
Ya Allah, aku menyerah.
Maafkan aku Ersa, aku kecewa.
Terimakasih untuk setahun yang kau habiskan bersamaku, terimakasih untuk setahun yang cukup membuatku merasa menjadi sahabat paling spesial untukmu.
Terimakasih, Ersa.
Aku menyayangimu.