Seorang Mukmin Adalah Cermin Bagi Mukmin Lainnya

Bunga Keindahan

Perkataan ini ditujukan untuk orang yang membutuhkan kata-kata untuk memahami. Tapi bagi orang yang sudah bisa memahami tanpa harus berbicara, apa gunanya berbicara? Seluruh langit dan bumi adalah kata-kata bagi mereka yang mengerti. Mereka adalah anak dari kata-kata: Jadi, maka jadilah.” Demikian juga bagi mereka yang sudah mendengarkan sebuah bisikan, apa gunanya mereka berteriak dan menjerit?

Seorang pujangga menggubah puisi dengan bahasa Arab di hadapan baginda raja. Raja itu berkebangsaan Turki, tapi ia tidak mengerti bahasa Arab (Persia). Pujangga itu menggubah kata-kata indah dan luar biasa ke dalam bahasa Arab pada pembukanya dan kemudian melanjutkan ke inti puisinya. Ketika sang raja menduduki singgasananya, diiringi anggota dewan kerajaan, para gubernur dan menteri-menteri, sang pujangga beranjak dan mulai mendeklamasikan puisinya.

Sang raja selalu menganggukkan kepalanya di setiap alinea sebagai tanda acungan jempol kepada sang pujangga. Di setiap alinea itu, ia tampak terkagum-kagum karena takjubnya, dan sebagai tanda tawaduknya ia perhatikan dengan serius lantunan puisi itu. Para anggota dewan kerajaan keheranan dan bertanya-tanya:

“Raja kita tidak mengetahui satu kata pun dalam bahasa Arab, bagaimana dia bisa menganggukkan kepala sesuai dengan lantunan puisi di di majelis tadi? Bisa jadi beliau memang sudah mengetahui Bahasa Arab selama bertahun-tahun tapi kita tidak mengetahuinya. Jika kita pernah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dalam bahasa Arab, celakalah kita!”

Sang raja memiliki seorang budak kesayangan. Para anggota dewan kerajaan memanggil budak itu dan memberinya seekor kuda, bagal, dan sejumlah uang, dan mereka juga berjanji akan memberikan hadiah lainnya. Kemudian mereka berkata:

“Coba kamu cari tahu apakah baginda raja bisa berbahasa Arab atau tidak. Jika memang beliau tidak bisa, bagaimana beliau bisa menganggukkan kepala di saat yang tepat? Apakah itu karomah ataukah ilham dari Tuhan?”

Akhirnya, tibalah pada suatu hari di mana sang budak mendapatkan kesempatan untuk menjalankan tugas dari para anggota dewan. Sang raja sedang keluar untuk berburu dan si budak menganggap bahwa rajanya sedang dalam suasana hati yang baik karena memperoleh banyak hasil buruan. Maka bertanyalah budak itu tanpa berbelit-belit. Sontak sang raja tertawa meledak-ledak.

“Demi Allah, aku tidak mengerti bahasa Arab,” kata raja. “Adapun mengenai anggukkan kepalaku itu karena aku mengerti maksud dari susunan puisi yang dideklamasikan pujangga itu, makanya aku menganggukkan kepala sebagai bentuk apresiasi kepadanya.”

Sekarang bisa dipahami bahwa akar dari materi adalah tujuan yang diharapkan. Puisi itu hanyalah cabang dari tujuan, meskipun tujuannya tidak ada dalam kandungan puisi tersebut. Jika yang dilihat adalah tujuannya, maka dualisme akan hilang. Karena dualisme hanya terjadi dalam cabang, sementara akarnya tetap satu. Sama halnya dengan syekh-syekh sufi. Meski dalam penampilan luar, keadaan, perilaku, dan perkataan mereka berbeda, tapi mereka semua memiliki satu tujuan yang sama, yaitu mencari Tuhan.

Contoh lainnya adalah angin. Ketika angin berhembus di istana, ia akan mengangkat ujung-ujung karpet, membuat berantakan dan gerakan pada karpet-karpet itu, menerbangkan batang dan jerami ke udara, mengibaskan permukaan air hingga nampak seperti anting-anting yang serupa baju baja, serta membuat pepohonan, dahan-dahan, dan dedaunan menari. Semua itu seolah menjadi hal-hal yang berbeda, akan tetapi dari perspektif tujuan, akar, dan realitasnya, semua itu adalah satu hal, yaitu hembusan angin.

Salah seorang dari mereka berkata:

“Aku telah melalaikan tujuan sejati itu.”

Maulana Rumi menjawab:

“Ketika pikiran ini menghampiri benak manusia kemudian ia menegur dirinya sendiri seraya berkata: ‘Ah, apa yang aku lakukan, mengapa aku melakukan semua ini?” Maka ini menjadi bukti cinta dan perhatian Allah kepadanya.’”

Jika teguran pergi, begitu pula dengan cinta — Dan tinggallah cinta, jika teguran tetap ada .

Cinta akan tetap tinggal selama teguran terus berlangsung.

Abu Tamam

Hal itu karena teguran hanya diberikan pada orang-orang yang dikasihi, dan tak pernah ada teguran bagi orang asing. Teguran juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ketika seseorang merasakan sakitnya teguran dan mendapatkan sebuah informasi baru darinya, itu pertanda bahwa Allah mencintai dan menyayangi mereka. Namun jika seseorang mendapatkan teguran tapi tak merasakan pedihnya, maka ini bukanlah pertanda cinta. Sama halnya ketika sebuah karpet dipukul-pukul dengan sebatang kayu untuk membersihkan debu yang melekat padanya, maka orang yang bijak tidak akan menyebutnya sebagai sebuah teguran. Namun jika seseorang memukul anak atau kekasihnya, maka itu disebut dengan teguran yang mana teguran itu adalah bukti kasih sayangnya. Oleh karena itu, selama kamu masih menemukan rasa sakit dan kekecewaan dalam dirimu, maka itu adalah bukti sayang dan cinta Allah padamu. Jika kamu melihat aib pada diri saudaramu, maka sejatinya aib yang kamu lihat itu adalah aibmu juga. Sufi sejati itu seperti sebuah cermin di mana di dalamnya kamu melihat gambarmu sendiri, karena “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” Jauhkanlah aib itu darimu, karena sesuatu yang menyakitkan dalam diri mereka, juga akan menyakitkan dirimu.

Kemudian beliau melanjutkan ucapannya: Seekor gajah dibimbing menuju sumber mata air untuk minum. Ketika gajah itu melihat bayangan dirinya di permukaan air, ia berlari menjauh. Gajah itu mengira bahwa ia berlari karena ada gajah lain yang datang, padahal sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri. Ketika sifat-sifat buruk seperti kezaliman, kebencian, kecemburuan, ketamakan, keras hati, dan kesombongan ada dalam dirimu, kamu tidak merasa sakit karenanya. Tapi ketika kamu melihatnya ada pada diri orang lain, maka kau akan menghindar dan merasa sakit karenanya. Seseorang tidak akan terganggu ketika ia terkena kudis atau bisul. Ia akan mencelupkan tangannya yang terkena penyakit itu ke dalam sup, lalu menjilati jemarinya tanpa merasa jijik sama sekali. Namun ketika ia melihat bekas bisul atau sedikit luka gores di tangan orang lain, ia menghindari makanan itu dan tidak mau mencicipinya.

Sifat-sifat buruk itu seperti kudis dan bisul. Pada saat sifat-sifat itu ada pada dirinya, ia tak merasa tersakiti. Namun, ketika ia melihat sifat-sifat itu ada pada tubuh orang lain, ia justru merasa tersakiti dan menjauhi orang tersebut.

Seandainya kamu menjauhi saudaramu, lantas bagaimana jika nanti justru saudaramu yang menjauhimu dan merasa jijik pada penyakitmu? Rasa jijik yang kamu tampakkan pada saudaramu itu adalah pemberitahuan baginya sebab perasaanmu itu muncul karena kau melihat aibnya, dan dengan demikian dia bisa melihat aibnya sendiri.

Nabi Saw. telah bersabda:

“Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.”

Beliau tidak bersabda: “Seorang kafir adalah cermin bagi orang Mukmin.” Mengapa orang kafir tak memiliki karakter itu? Sebab ia bukan cerminan bagi yang lain, ia hanya melihat dirinya dalam cermin.

Seorang raja yang sedang bersedih hati duduk di tepi sungai. Para petinggi menjadi sangat takut kepadanya. Belum ada seorangpun yang mengetahui alasan kesedihan rajanya itu. Sang raja memiliki seorang penghibur yang sangat disayanginya. Para petinggi tersebut membuat kesepakatan dengan si pelawak, “Jika kamu bisa membuat raja tertawa, kami akan memberimu sejumlah uang.” Penghibur itu mendekati sang raja, namun sekeras apapun penghibur berusaha, sang raja tetap tidak memedulikannya, padahal ia hendak mempertontonkan wajah lucunya pada sang raja untuk membuatnya tertawa.

Sang raja tetap menatap sungai dalam-dalam dan sama sekali tak mengangkat kepalanya.

“Apa yang Anda lihat di air sungai itu?” Penghibur itu bertanya kepada raja.

“Aku melihat mucikari,” Jawab raja.

“Wahai raja dunia, hambamu ini juga tidak buta.” Kata penghibur.

Begitu juga halnya denganmu. Jika kamu melihat sesuatu dalam diri hambamu yang menyakitkanmu, sesungguhnya mereka juga tidak buta. Mereka melihat yang kamu lihat.

Di hadapan Allah tidak akan ada dualisme Aku; kamu berkata Aku dan Dia juga berkata Aku. Jika kamu mati di hadapan-Nya, maka Dia juga akan mati di hadapanmu hingga dualisme Aku itu lenyap. Matinya Allah SWT adalah hal yang mustahil, baik di dunia nyata maupun di alam pikiran. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Hidup dan Yang Kekal akan mati? Allah memiliki kelembutan dan kasih sayang yang jika mungkin Dia mati demi kamu, Dia akan mati, hingga tak ada lagi dualisme. Sekarang, karena kematian Allah adalah hal yang mustahil, maka dirimulah yang harus mati agar Dia mengungkapkan Keakuan-Nya kepadamu, dan hilanglah dualisme Aku. Ketika kamu mengikat dua ekor burung secara bersamaan, meski keduanya sejenis, dan kamu mengubah kedua sayapnya menjadi empat, mereka tetap tidak akan bisa terbang, karena ada dualisme makhluk di situ. Tapi jika kamu mengikat seekor burung yang telah mati dengan seekor burung yang masih hidup, maka burung yang hidup itu akan bisa terbang, karena dualisme telah hilang.

Matahari juga memiliki kelembutan yang bisa mendorongnya untuk mati di hadapan seekor kelelawar. Karena hal itu tidak mungkin, matahari berkata: “Wahai kelelawar, kelembutanku bisa dirasakan oleh segala sesuatu, aku juga ingin berbuat baik padamu. Maka matilah kamu, karena kematianmu bukanlah hal yang mustahil, sehingga keberuntungan cahaya kemuliaanku akan memelukmu dan kamu bisa keluar dari ke-kelelawar-anmu, untuk kemudian menjadi burung phoenix yang dekat denganku.

Seorang hamba bisa membuat dirinya fana untuk kekasihnya. Ia memohon kekasih itu pada Allah SWT, tapi Allah tidak mengabulkan permintaannya. Datanglah sebuah seruan:

“Aku tak ingin kamu melihatnya!”

Si hamba itu tetap bersikeras terhadap permintaannya, ia tak berhenti bertawasul dan berdoa:

“Wahai Tuhan, aku sudah tenggelam dalam lautan cintanya dan ia tak mungkin terpisah dariku.”

Akhirnya datang seruan lagi:

“Apa kamu menginginkan kejelasan? Maka korbankan dirimu dan jadilah fana. Jangan tetap di sini, tinggalkan dunia ini!”

Hamba itu menjawab:

“Ya Tuhan, aku rela dan itulah yang akan terjadi.”

Hamba itu rela mengorbankan dirinya demi orang yang dicintainya hingga ia berhasil meraih apa yang diinginkannya. Ketika seorang hamba memiliki kelembutan yang bahkan mau mengorbankan umur kehidupannya, satu hari baginya akan sepadan dengan umur alam ini dari awal sampai akhir. Bukankah Allah juga memiliki kelembutan seperti yang dimiliki hamba itu? Hal yang demikian tentu tidak mustahil. Fana-nya Allah-lah yang mustahil. Maka tidak ada jalan lain selain kamu sendiri yang harus membuat dirimu fana.

Seorang datang dengan membawa beban berat dan duduk di atas salah satu wali besar. Maulana Rumi berkata:

“Apa perbedaan antara mereka yang berada di atas lampu dengan mereka yang berada di bawahnya? Jika lampu berada di atas, ia tidak berharap untuk dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk memberikan manfaat pada orang lain sehingga mereka bisa merasakan sinarnya yang terang. Ke arah mana saja lampu mengarah, lampu tetaplah lampu, ia tetaplah Matahari Abadi. Jika para wali menginginkan kemuliaan dan pangkat duniawi, hal ini karena mereka memiliki satu tujuan: mereka berhasrat untuk memburu para ahli duniawi, yang berteman dengan dunia, yang tidak memiliki pandangan tentang kedudukan hakiki seperti yang dilihat para wali, untuk kemudian mencoba membuat mereka menemukan jalan menuju kedudukan hakiki itu dan menjadi teman akhirat. Demikian juga, Nabi Muhammad Saw. tidak menaklukkan Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya lantaran beliau membutuhkannya. Beliau menaklukkan kota-kota itu untuk memberikan kehidupan pada semua manusia dan memuliakan mereka dengan cahaya. “Ini adalah tangan yang terbiasa untuk memberi, ia tidak terbiasa untuk meminta.” Para wali tersebar bersama orang-orang lainnya untuk memberikan sesuatu kepada mereka, bukan untuk mengambil sesuatu dari mereka.

Ketika seseorang membuat sebuah perangkap dan mengharapkan burung-burung kecil akan terjerat dalam perangkapnya untuk kemudian dimakan atau dijual, maka itu disebut tipuan. Tetapi jika seorang raja membuat perangkap untuk menangkap burung elang yang tak terlatih, tak memiliki sopan santun, dan tak tahu berharganya dirinya untuk kemudian dilatih dengan tangan sang raja sendiri hingga menjadi burung yang dihormati, terlatih, dan memiliki sopan santun, maka ini bukanlah sebuah tipuan. Meskipun kelihatannya seperti tipuan, hal demikian dapat dikatakan hakikat kebenaran, pemberian, hadiah, menghidupkan makhluk yang mati, mengubah batu menjadi akik, mengubah air mani yang mati menjadi manusia, dan bahkan lebih dari semua itu. Seandainya elang itu mengetahui alasan sang raja memburunya, justru ia akan mendatangi sendiri perangkap tadi dengan jiwa dan hatinya dan akan terbang ke tangan sang raja. Orang-orang hanya melihat pada aspek lahiriah dari perkataan para wali dan berkata: “Kita telah banyak mendengar tentang ini. Hati kita telah penuh dengan kata-kata semacam itu.”

“Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup,” tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 88)

Orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya hati kita telah tertutup dan sudah terisi penuh dengan perkataan semacam itu. Allah SWT berfirman:

“Tak mungkin hati mereka terisi oleh perkataan-perkataan ini. Hati mereka penuh terisi oleh kegelisahan dan praduga-praduga yang salah, berisi syirik dan keraguan, serta terisi oleh laknat.”

Semoga mereka segera terlepas dari kungkungan halusinasi-halusinasi itu sehingga mereka bisa menerima perkataan ini. Namun karena mereka tak kunjung menerima, Allah menutup telinga, mata, dan hati mereka. Mata mereka melihat sesuatu yang bukan sebenarnya, sehingga mereka melihat Yusuf sebagai seekor serigala. Telinga mereka mendengar sesuatu yang bukan sebenarnya, sehingga mereka menganggap hikmah sebagai canda tawa dan halusinasi. Hati mereka berubah menjadi kaleng-kaleng kegelisahan dan prasangka.

Sungguh mereka telah diracuni oleh berbagai bentuk kezaliman dan prasangka yang bercabang-cabang saat musim dingin, dan membeku saat musim salju tiba.

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah: 7)

Bagaimana mungkin mereka bisa memenuhi hati mereka dengan perkataan sejati ini? Bahkan baunya saja mereka tidak bisa menciumnya. Mereka tak akan pernah sempat mendengar sepanjang hidupnya. Bukan hanya mereka yang akan mengalami hal demikian, tapi siapa saja yang selalu berbangga-bangga dengan dirinya sendiri serta leluhur mereka yang tak tertolong. Perkataan itu adalah bejana yang diperlihatkan oleh Allah kepada sebagian dari mereka dalam keadaan terisi penuh dengan air, sehingga mereka bisa meneguk dan melepas dahaga. Allah juga memperlihatkan bejana itu pada sebagian yang lain tapi dalam keadaan kosong. Ketika yang terjadi adalah yang kedua, rasa syukur apa yang bisa diberikan seseorang demi sebuah bejana kosong? Hanya mereka yang mendapatkan bejana berisi air yang akan menemukan rasa syukur atas berkah itu. Ketika Allah SWT menciptakan Nabi Adam as. dari tanah dan air—selama empat puluh hari—Dia menyempurnakan bentuknya, kemudian menetap beberapa saat di atas bumi. Iblis kemudian turun dan masuk ke dalam hati Adam, mengitari seluruh aliran darahnya, menelitinya, dan kemudian menyimpulkan bahwa pembuluh dan urat syaraf manusia berisi darah dan campuran-campuran lainnya. Kemudian berkata:

“Oh, tidak ada tanda-tanda bahwa iblis yang kulihat di sisi singgasana ‘Arsy akan muncul. Jika iblis muncul dalam pembuluh dan urat manusia, maka inilah jadinya.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum