Jakarta, CNN Indonesia – Pemilihan kepada daerah DKI Jakarta 2017 menjadi barometer politik nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh tim sukses atau tim pemenangan untuk memenangkan kandidat yang diusungnya dalam pilkada Jakarta, salah satunya melalui media sosial.
Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni
Tim sukses pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menyadari pentingnya media sosial saat ini. Dan untuk memudahkan kerja sang calon, tim berencana memaksimalkan seluruh potensi yang ada, termasuk kampanye lewat media sosial.
CNNIndonesia.com sempat berbincang dengan ketua bidang media sosial dari tim pemenangan Agus-Sylvi, Roy Suryo. Dalam perbincangan itu Roy mengakui bahwa peran media sosial sangat penting, terutama untuk menyampaikan pesan lebih mendalam kepada masyarakat.
“Kepentingan media sosial harus membantu kapitalisasi (kegiatan Agus-Sylvi), media sosial harus serempak dengan kegiatan,” kata Roy.
Dalam setiap kegiatan sosialisasinya, Agus dan Sylvi memang sering berinteraksi dengan masyarakat, mulai dari bertegur sapa, bertatap muka, hingga berjabat tangan.
Namun harus diakui bahwa aktivitas itu hanya terjadi dalam waktu singkat dan belum tentu memberikan ingatan yang kuat bagi para warga yang disambangi.
Kondisi seperti itulah yang harus dimanfaatkan oleh media sosial, saat pesan yang terkandung tak sampai ke masyarakat maka media sosial bertugas untuk membawa pesan tersebut.
Pemetaan Pengguna
Roy pun mengakui bahwa tugasnya bukanlah hal yang mudah karena dia harus bisa memetakan berapa banyak jumlah pemilih yang menggunakan media sosial.
Sebab, tak semua pengguna media sosial adalah pemilih dan begitu juga sebaliknya.
“Tak semua pengguna adalah pemilih dan tak semua pemilih adalah pengguna media sosial,” ujarnya.
Tak melulu untuk menaikkan elektabilitas, Roy menjelaskan kampanye melalui media sosial juga digunakan untuk menangkal serangan-serangan yang ditujukan kepada Agus-Sylvi.
Politisi Partai Demokrat yang pernah menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga itu lantas menyebut bahwa haters dan buzzer sebagai serangan-serangan yang mungkin dihadapi nanti. Oleh karena itu, katanya, untuk melawan serangan itu tim Agus-Sylvi harus mengemas image sang calon dengan sangat baik.
Haters dan buzzer sudah pasti menjadi hal lazim yang muncul saat kampanye melalui media sosial dilakukan. Di masa kampanye sekarang pun keberadaan haters dan buzzer sudah muncul bahkan sebelum kampanye dimulai.
Seakan enggan mengikuti tren haters dan buzzer itu, tim media sosial Agus-Sylvi memilih untuk tidak menggunakan dua aspek itu saat kampanye media sosial dilakukan.
Roy mengklaim kubu Agus-Sylvi akan melakukan teknik defensif tapi tetap menyampaikan pesan. Penyampaian pesan tersebut ditegaskan Roy tak perlu harus menjatuhkan pasangan lain. “Saya pastikan kami tak membentuk buzzer, apalagi haters. Tidak sama sekali,” kata Roy.
Menurut Roy, untuk bisa memenangkan pasangan di Pilkada DKI bisa dilakukan tanpa harus menurunkan nilai pasangan lain. Yang perlu dilakukan hanyalah menambah nilai dan tak perlu melakukan serangan yang merendahkan pihak lain.
Setali tiga uang dengan Roy, calon wakil gubernur Sylviana Murni juga enggan menggunakan buzzer saat melakukan kampanye melalui media sosial. Sylvi mengaku dia sangat melek terhadap media dan menggunakan itu sejak lama.
Namun khusus untuk Pilkada 2017, dia menegaskan tak akan melakukan pencitraan apalagi menggunakan buzzer. Dia mengaku akan bertindak secara alamiah dalam mempromosikan kegiatannya. “Saya alamiah saja, tak suka pencitraan. Artinya tak perlu buzzer,” kata Sylvi.
Meskipun sudah menegaskan diri tak akan menggunakan haters ataupun buzzer, Roy menekankan bahwa peran dua aspek itu memang penting untuk kampanye via media sosial.
Hanya saja dia mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya DKI Jakarta, sudah melek akan hal itu. Bagi Roy cara kerja buzzer sudah terlalu mudah dicek dan itu sudah tentu tak akan mempengaruhi pemikiran masyarakat, khususnya para pemilih di Pilkada DKI.
Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
Konsultan politik dari Cyruss Network Hasan Nasbi Batupahat berpendapat pencitraan yang tak lepas dari media sosial tidak mengharuskan pasangan calon memiliki buzzer.
Dalam pandangan Hasan justru pikiran buzzer merupakan pikiran kuno di era 2012. Menurutnya, peran buzzer justru tidak memiliki pengaruh untuk memenangkan pasangan calon. Hal ini karena isu buzzer hanya terletak di satu titik dan sulit berkembang.
Konsultan politik yang membantu Ahok ini menyebut ada tiga tipe pengguna media sosial.
Pertama, kelompok die hard. Biasanya, die hard dianggap sebagai seorang buzzer baik yang aktif mengicaukan hal positif ataupun negatif soal pasangan calon.
Kedua, bersifat santai. Biasanya, pengguna dengan tipe ini akan menggunakan sosial medianya secara spontan untuk mendukung pasangan calonnya. Waktu yang digunakannya pun tidak terlalu aktif.
Ketiga, pengguna sosial media yang mengaku sebagai buzzer. Hasan mengatakan, pengguna ini biasanya mengaku sebagai buzzer padahal sebenarnya bukan.
“Itu sudah komoditi kuno yang hari ini mungkin sudah tidak laku lagi,” ucapnya.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
Tim pemenangan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno menyatakan, tidak akan menggunakan buzzer di media sosial selama masa kampanye di Pilkada DKI Jakarta 2017, yang sudah dimulai sejak Jumat 28 Oktober.
Sekretaris Tim Pemenangan Syarif mengatakan, penggunaan buzzer untuk menyerang atau menangkal serangan negatif dari kandidat lain dinilai hanya menghabiskan tenaga.
“Tidak ada (buzzer), capek lebih baik ke bawah grassroots. Kebijakan kita belum ada buat counter, karena kesimpulan kita melelahkan,” ujar Syarif saat ditemui CNNIndonesia.com di Sekretariat Tim Pemenangan, Cicurug, Jakarta, baru-baru ini.
Syarif tak ambil pusing dengan potensi ancaman serangan dari buzzer di media sosial. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwenang jika ditemukan pelanggaran.
“Kalau dia jelas melanggar dan bisa dikejar ke operatornya. Laporkan ke polisi dan Bawaslu, sudah gitu saja. kalau tidak ketemu ya sudah kami biarkan,” kata Syarif.
Menggunakan Facebook
Anies sendiri sebelumnya telah menyatakan bahwa untuk mengantisipasi kampanye negatif, pihaknya menjalin kerja sama dengan Facebook. Hal itu dilakukan untuk menutup dan meleburkan akun-akun yang mengatasnamakan Anies-Sandi.
Wakil Ketua Bidang Media Tim Pemenangan Anies-Sandiaga, Naufal Firman Yusak menegaskan, pihaknya tidak tertarik mengunakan buzzer selama Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ia pun tidak sepakat dengan istilah itu. Sebab, menurutnya akun media sosial yang dibuat relawan untuk Anies-Sandi, ditujukan untuk berkampanye dengan mengedepankan visi-misi dengan cara yang santun.
“Jadi kami sih tidak sepakat namanya buzzer ya, karena ada temen-temen yang sukarela berkampanye Anies-Sandi di sosial media kita terbuka aja,” ujarnya.
Meski demikian, Firman mengakui bahwa pihaknya tidak dapat mengendalikan kerja relawan yang mengatasnamakan Anies-Sandi di media sosialnya.
Selain itu, menurut Firman, media sosial bukan menjadi ajang untuk menaikkan elektabilitas seorang pasangan calon. Kenaikan elektabilitas melalui kampanye di media sosial hanya sedikit pengaruhnya. “Kalau saya tidak salah berkisar 5-7 persen pengaruhnya dari total elektabilitas,” kata Firman.
Di sisi lain, Syarif menuturkan, pihaknya belum akan menggunakan jasa konsultan politik dalam waktu dekat. Tim pemenangan, kata dia, akan memaksimalkan dewan pakar yang sudah resmi diluncurkan Ahad (30/10). “Dalam satu bulan ini belum ada. tapi satu bulan sebelum coblosan nanti dipikirkan,” ucap Syarif.
Menurut Syarif, konsultan politik yang biasa merangkap sebagai lembaga survei cenderung mengarahkan pilihan warga meski momen pencoblosan masih jauh dilaksanakan.
Akan tetapi, Syarif menjelaskan pihaknya tengah mempertimbangkan kebutuhan penggunaan konsultan politik dengan melihat perkembangan kampanye Anies-Sandi dalam dua bulan mendatang. (obs)
Seberapa penting Politik dan media sosial ?