Sampah pun beralhamdulillah

SAMPAH PUN BERALHAMDULILLAH

Puput fadhilah

Jalan itu terdiam, termangu. Melamun, meratapi nasibnya.

“Saat tubuhku tak karuan, berdebu aku dihina.”

Dulu ketika Jalan itu masih berlapis tanah, ketika musim hujan Jalan jadi becek, dan ketika kemarau debu terbang ke mana-mana. Orang-orang rutin menggerutu.

“Jalan kok ya begini beceknya.”

“Jalan, kok ya debunya tebar pesona ke mana-mana”.

Jalan pun merasa minder, di tengah malam yang sepi, ia munajat. Memanjatkan doa, “Ya Allah, berikanlah karunia-Mu. Aspallah tubuhku agar hamba tak dihina setiap orang yang melangkahi hamba.”


Kemudian selang beberapa bulan Jalan itu diaspal. Betapa senangnya Si Jalan. Begitu juga orang-orang yang melintasinya. Doa Si Jalan bagaikan didengarkan.

Namun, tak bertahan lama, aspal mulai keropos, air hujan yang tiap jadwalnya turun menyisahkan lubang kecil. Lubang kecil kemudian terus melebar. Batu yang awalnya direkatkan dengan aspal, keluar. Jalan pun terlihat bagaikan lintasan berbatu. Permukaan aspal yang halus sudah tidak terlihat lagi. Walaupun tak becek dengan permukaan tanah, Jalan itu pun sedih. Merasakan nasibnya saat ini. Ia kembali diolok-olok orang.

“Jalan kok brongkalan thok !”

“Jalan atau jalan ini, tak layak dilewati.”

Orang-orang sering mengumpat saat melewatinya. Beberapa orang ada yang terjatuh dan banyak hal buruk lainnya. Jalan kembali mengadu.

Jalan itu ingin seperti jalan di kota, ramai. Jalan itu dengan segenap melasnya memohon-mohon kepada-Nya. Berdoa tiada henti, tak peduli nasib yang sudah dibagi pasti.

Beberapa bulan kemudian Jalan itu menunjukkan wajah gembiranya. Jalan merasa doanya terkabul. Proyek besar digelar di Jalan itu, pohon di pinggir jalan dibabat. Sawah ditanami bangunan. Sungai kecil di sebelah jalan dirapikan. Ditutupi atasnya dijadikan gorong-gorong. Sempurna.

Hitam kental warna aspal menyelimuti Jalan itu. Tempat pohon yang ditebang diganti pot-pot berisi tumbuhan. Pot itu juga sebagai pembatas antara jalan untuk kendaraan dan pejalan kaki, beberapa meter jarak ada bangku untuk istirahat.

Kini Jalan itu senang sekali. Tiap hari ramai. Mentari dengan leluasa menyinarinya. tak ketinggalan lampu-lampu menyala otomatis setiap malam hari, namun kebahagianan Jalan itu hanya bertahan beberapa bulan.

Beberapa lampu yang disediakan redup. Setiap pagi ada saja orang cek-cok di Jalan itu, klakson dibunyikan karena kemarahan. Berkali-kali terjadi kecelakaan. Di malam hari menjadi suasana asyik untuk orang pacaran di tempat duduk yang disediakan. Lengkap sudah ruang dan suasana peredup keindahan. Jalan pun murung. Dan Ia pun sadar. Tak harus meminta bagus, indah atau apalah.

Ia pun bermunajat di malam sepi. Memohon ampun dan meminta rupa apa saja terserah Tuhan yang Maha Kuasa. Ia pasrah, biarlah orang mengolok tentang dirinya. Ia ikhlas seperti dulu daripada sekarang, di punggungnya hiruk-piruk kendaraan diikuti rasa marah, daripada ia jadi saksi kecelakaan-kecelakaan, atau malam hari dibuat maksiat muda-mudi di keremangan lampu jalan. Daripada seperti ini, ia relakan jadi apa pun.

“Terserah Engkau ya Allah. Kalau sebagus ini tubuhku, meski tidak ada orang menghinaku, aku tak rela.”


Sampah itu menundukkan hatinya. Ia malu setelah mendengar kisah Jalan pasar. Jalan yang tadinya gembira-ria, sekarang terdiam selesai mengisahkan rasa malunya ketika dulu telah berani meminta neko-neko. Sampah melamun.

Sampah-sampah pasar sangat malu, karena dia telah berdoa seperti yang telah Jalan pasar lakukan. Dia sadar keadaannya sekarang di pasar tradisional, tercecer di mana-mana. Di gorong-gorong menyumbat, hingga hujan turun melahirkan banjir. Di atas jalan terabaikan hingga menimbulkan bau busuk menyengat. Ia sadar hanya beberapa orang memang menghinanya. Namun dari ratusan orang yang memandanginya, masih ada yang tersenyum melihatnya, atau seminggu sekali ada orang yang menempatkannya ke tempat yang layak, yakni Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ia mengambil pelajaran jalanan pasar dari sebelumnya jalanan kota. Jalanan pasar awalnya adalah jalan yang sangat ramai, yang kemudian ruko-ruko di sebelah jalan dibongkar jadi Rumah Susun (rusun), karena ada proyek pemindahan pasar. Pasar tradisional di kota yang terlalu sering kebakaran, sekarang dipindahtempatkan ke tempat Jalan itu berada. Jalan yang sangat rapi sekali. Jalan itu kini semakin ramai. Siang malam jadi saksi orang suka cita mencari rejeki. Becek iya, kumuh sampah iya, namun sampah-sampah di pasar telah bertekat tidak mengeluh walau munumpuk berhari-hari. Ia mengucapkan Alhamdulillah, sampah-sampah di pasar tradisional itu memasrahkan nasibnya.

Jombang