Rumah bebas pasung: sebuah usaha mengembalikan orang dengan gangguan jiwa (odgj) kepada kehidupan sosial?

Catatan Awal

The first wealth is health (kekayaan pertama adalah kesehatan), demikian ungkapan Ralph Waldo Emerson, seorang Filsuf dan seniman abad 19 yang melihat kesehatan merupakan unsur esensial dalam hidup manusia.(Edward Serafino:1994) Namun, kesehatan yang didambakan itu tak pelak menjadi persoalan ketika sakit menyerang manusia. Berbagai penyakit timbul dan menyerang inti kehidupan manusia, tubuh hingga bagian terdalam manusia, yakni jiwa mengalami berbagai penyakit.

Akhir-akhir ini dengan berbagai situasi yang ada, penyakit kejiwaan mulai berkembang begitu pesat. Orang-orang yang mengalami penyakit kejiwaan ini mengalami berbagai persoalan dan distigma secara social. Ditolak, dihina, dikucilkan, hingga di pasung menjadi kenyataan pahit yang harus diterima para Orang Dengan Gangguan Jiwa ini (ODGJ) ini. Mengenai fenomena pasung banyak para ODGJ yang mengalami hal tersebut. Penderitaan akibat pasung ini sungguh memberatkan para ODGJ. Disisihkan dalan kehidupan sosial dan dianggap sebagai orang yang berbahaya, justru membuat para ODGJ kehilangan kesempatan untuk sembuh. Dengan demikian, pasung pada titik akhir memberi rasa aman bagi orang disekitar, tetapi menjadi sumber penderitaan bagi para ODGJ yang kehilangan kesempatan untuk sembuh.

Rumah bebas pasung yang merupakan program dari Seminari Tinggi St Kamilus (Ordo Kamilian) Maumere menjadi salah satu solusi mengembalikan para ODGJ kepada kehidupan sosialnya. Rumah dengan luas 3 x 4 m2 persegi ini menjadi oase di tengah segala stigma kepada para ODGJ. Fasilitas keamanan yang terjamin dengan disertai tempat tidur dan kamar mandi yang layak menjadi salah satu dasar membebaskan para ODGJ dari pasung yang membelenggu mereka.

Realitas ODGJ yang terpasung.

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah pribadi yang mengalami sindrom pada fungsi otak dan gangguan keseimbangan kimiawi motorik. Julianto Simanjuntak dalam bukunya Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme menyebut bahwa penyakit kejiwaan adalah sekelompok reaksi psikotis dengan ciri pengunduran diri dari kehidupan sosial, gangguan emosional dan afektif yang kadang kala disertai halusinasi dan delusi, serta tingkah laku yang negatif atau merusak. Ada beberapa kategori penyakit kejiwaan ini, yakni depresi, bipolar, anxiety (kecemasan), stres pasca trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD) dan skizofrenia. Pribadi yang mengalami sakit kejiwaan ini umumnya menunjukkan gejala, yakni delusi, halusinasi dan paranoid.

Melaui data yang dihimpun WHO, 26 Juta jiwa penduduk indonesia mengalami penyakit gangguan jiwa dan 13, 2 juta mengalami depresi.(Julianto Simanjuntak:2008) Data ini mau menunjukkan bahawa masalah ODGJ bukanlah masalah yang sepele dan menuntut peran penting pemrintah dan masyarakat untuk mengatasinya.

Situasi para ODGJ sungguh penuh dengan penderitaan. Banyak orang memilih untuk memasung mereka dengan berbagai argumen dan alasan. Dasar dari pemasungan para ODGJ ini variatif, namun umumnya karena alasan keamanan. Sering para ODGJ karena tindakan mereka sendiri yang meresahkan keluarga dan warga sekitar, membuat pemasungan adalah salah satu cara alternatif yang diambil. Cara pemasungan sungguh menyakitkan, salah satu kaki atau keduanya dihimpit oleh dua belah kayu yang pada bagian tengahnya diberi lobang. Cara ini membuat kaki ODGJ tersebut tak dapat bergerak karena telah di pasung dan dikunci dengan sebuah rantai.

Pemasungan bagi para ODGJ sungguh tidak manusiawi. Mereka dipasung untuk jangka waktu yang terkadang begitu lama hingga bertahun-tahun. Tubuh mereka terkadang tidak dirawat, rambut berurai panjang, bahkan mereka tidak mendapat pengobatan medis sekalipun. Mereka disisihkan dari tengah kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga dianggap sebagai sampah sosial.

Ada beberapa implikasi yang terjadi ketika para ODGJ dipasung. Pertama, kehilangan kontak sosial. Keterpasungan ini membuat mereka disisihkan dari pergaulan, padahal kenyataanya, mereka justru memerlukan pendampingan secara sosial untuk sembuh. Kedua, luka fisik. Ketika kaki dari ODGJ dipasung dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelumpuhan karena terjadi gangguan terhadap sensorik saraf. Apalagi pemasungan tersebut membuat ruang gerak ODGJ menjadi terbatas. Ketiga, lingkungan yang tidak sehat. Banyak para ODGJ dipasung pada kondisi yang mengenaskan. Hal ini karena ketiadaan tempat untuk membuang hajat. Sering mereka harus makan dan membuang hajat di tempat yang sama. Dari sisi kesehatan hal ini sungguh-sungguh tidak higenis.

Di Sikka sendiri salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, fenomena pasung cukup meningkat secara tajam. Dari laporan pemerintah daerah di tahun 2019 ini terdapat 688 orang yang mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah tersebut, 38 diantara mengalami pemasungan. Hal riskan yang dapat dijumpai adalah situasi penderitaan pemasungan yang mereka alami. Dari 38 korban pemasungan tersebut, banyak diantaranya telah dipasung hingga belasan tahun. Kondisi kesehatan mereka sungguh tidak diperhatikan. Hal ini karena mereka sering ditempatkan di tengah hutan, jauh dari pemukiman warga, makan dan membuang hajat ditempat yang sama. Kayu yang dipakai pun dibuat seadanya, sehingga sungguh menambah penderitaan ODGJ yang dipasung.(www.kumparan.com)

Rumah Bebas Pasung: Mengembalikan Kehidupan Sosial.

Sejak tahun 2012, Seminari Tinggi St.Kamilus de Lellis (Ordo Kamilian) yang bertempat di Nita, Kabupaten Sikka membuat sebuah program untuk membangun rumah sederhana dan aman yang dapat membebaskan para ODGJ dari pasung yang membelenggu mereka. Rumah ini semacam shelter yang dibangun persegi empat dengan luas 3 x 4 m2. Dibangun dengan dinding pelupuh (bambu) yang dilapisi anyaman besi di sekelilingnya, sehingga ODGJ yang tinggal di dalamnya tidak ada kemungkinan keluar dengan bebas. Fasilitas penunjang lainya adalah sebuah tempat tidur dan WC sederhana di dalamnya. Sejak tahun 2012 hingga sekarang, program ini telah berhasil melepas 34 OGDJ yang terpasung.(ekorantt).

Ada tiga tujuan yang mau dicapai dari program rumah bebas pasung ini. Pertama, aspek psikis. Pasung menyebabkan para ODGJ justru mengalami tekanan psikis yang bertambah karena kondisi tersebut, sehingga rumah bebes pasung memberi sebuah insight berpikir baru tentang pemulihan yang bisa terjadi. Kedua, aspek sosial. Para ODGJ pastilah mengalami disorientasi sosial dan disisihkan. Rumah bebas pasung mengembalikan mereka kepada kehidupan sosial. Rumah bebas pasung sering dibangun berdampingan dengan rumah keluarga, sehingga para ODGJ merasa menjadi bagian dari keluarganya lagi. Memang tidak dapat dipastikan cara ini bisa menyembuhkan, tetapi secara perlahan dengan penerimaan secara sosial dan bantuan obat medis, para ODGJ tersebut dapat pulih. Ketiga, aspek keamanan. Hal ini begitu penting karena sering alasan mendasar para ODGJ dipasung karena ketakutan melukai orang disekitarnya. Rumah bebas pasungg sungguh aman karena dilengkapi rangka besi, sehingga mereka tidak sanggup merusaknya dan keluar dengan mudah.

Kesimpulan Akhir: Gerakan Perubahan hanya bisa dilakukan dengan hal konkrit.

Titik akhir dari essay ilmiah ini mau menunjukkan bahwa gerakan perubahan itu tidak dilakukan dengan berbagai permenungan ide yang berlarut-larut, tetapi membutuhkan langkah konkrit. Berhadapan dengan situasi realitas pemasungan para ODGJ yang sungguh menderita, rumah bebas pasung adalah langkah konkrit yang bisa diambil dari sekian banyak cara lainnya.

Rumah bebas pasung tidak serta merta menjadi solusi yang menyelesaikan seluruh masalah dengan situasi para ODGJ yang terpasung. Tetapi, rumah bebas pasung telah memberi secercah harapan tentang hidup baru bagi para ODGJ yang pernah terpasung, setidaknya bagi 38 orang yang telah menempati rumah sederhana itu. Hal ini karena para ODGJ yang terpasung berhak kembali kepada esensi dirinya sebagai mahkluk sosial-homo socialis. Tidak ada waktu menunggu untuk perubahan, selain melakukannya di hari ini.

Referensi

  • Edward Serafino, Health psychology: Biopsychosocial Interaction (New york: John Wiley & Son Inc:1994)
  • Julianto Simanjuntak, Konseling Gangguan jiwa dan Okultisme: Membedakan Gangguan Jiwa dan Kerasukan Setan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
  • www.kumparan.com
  • Ekorantt.com