Rainbow Capitalism: Efektifkah di Indonesia?

r

Rainbow capitalism merupakan penggabungan gerakan LGBTQI+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, intersex, dll) dan ekonomi pasar, dimana penggabungan ini ditargetkan pada pasar kelas menengah atas dan masyarakat kulit putih. Di luar negeri, masyarakat cenderung menerima dan terbuka akan gerakan ini. Banyak perusahaan yang menghiasi logo perusahaan dan produknya untuk memperingati Pride Month. Dua perusahaan yang sempat ramai diperbincangkan di Indonesia karena kampanye ini adalah Unilever dan GO-JEK.

Melalui akun Instagram-nya, Unilever Global secara terang-terangan mengubah logo perusahaannya menjadi warna pelangi. Mereka berkomitmen untuk mendukung komunitas LGBTQI+. Unilever Indonesia juga menyatakan bahwa mereka tetap bersikap hati-hati dan menghormati budaya RI. GO-JEK sebagai perusahaan teknologi asal Indonesia juga membuat pernyataan yang menegaskan bahwa mereka sangat menghargai keberagaman dan percaya bahwa ide dan kreativitas lahir dari berbagai latar belakang, pendidikan, budaya dan keyakinan. Hal ini membuat banyak masyarakat yang marah dan ingin memboikot perusahaan tersebut. Namun, banyak juga masyarakat yang mendukung karena menganggap kampanye tersebut adalah bentuk dukungan keberagaman bagi setiap manusia.

Sebenarnya, masih banyak masyarakat kita yang tidak menyadari bahwa produk yang kita gunakan sehari-hari sebagian besar berasal dari perusahaan global yang menerapkan rainbow capitalism seperti IKEA, Coca-Cola, Starbucks, Google, Microsoft, dan masih banyak lagi. Nyatanya, kampanye dan strategi marketing ini membawa keuntungan bagi perusahaan yang menerapkannya. Keuntungan perusahaan mereka naik karena banyak yang membeli koleksi produk khususnya hingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan donasi atas keuntungannya tersebut. Jadi, selain melakukan edukasi untuk menerima keberagaman, mereka juga mendapatkan keuntungan berlebih dari rainbow capitalism.

Apakah Youdics setuju dengan kampanye ini? Menurut Youdics, efektifkah penerapan rainbow capitalism di Indonesia?

Referensi

https://today.yougov.com/topics/consumer/articles-reports/2019/06/06/lgbtq-inclusive-advertising-branding-consumer

Jika di Indonesia perusahaan masih malu-malu memuat simbol Pride,beda halnya di sejumlah negara lain yang telah relatif menerima dan ramah terhadap komunitas LGBTQI+. Lazada Filipina, misalnya, membuat kampanye dan berkolaborasi dengan sejumlah ilustrator untuk membuat desain emblem bertemakan Pride. Begitu pula di Amerika Serikat dengan warna pelangi menghiasi logo perusahaan fashion bank korporat, restoran, hingga toko permen untuk memperingati Pride Month.

Tak hanya sebagai logo ataupun hiasan, produk-produk berdesain pelangi pun dijual secara eksklusif dan berharga khusus–termasuk produk-produk kecantikan, baju kaus, sandal, dan lainnya. Walaupun kampanye dan strategi marketing ini menumbuhkan percakapan dan awareness terkait hak-hak LGBTQI+, tetapi upaya ini juga menyamarkan tujuan utama dari gerakan itu sendiri. Upaya ini bernama Rainbow Capitalism, atau penetrasi kapitalisme ke dalam gerakan LGBTQI±-yang terutama ditargetkan untuk masyarakat kelas menengah atas dan orang kulit putih.